Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai surah yang menyingkap tabir kemunafikan, memegang peranan vital dalam memahami dinamika sosial dan spiritual masyarakat Muslim pada awal periode Madinah. Di antara sekian banyak ayat yang menggambarkan sifat-sifat kaum munafik (hipokrit), ayat 65 dan 66 berdiri tegak sebagai peringatan keras, tajam, dan mutlak mengenai konsekuensi teologis dari perbuatan mencemooh Allah SWT, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan vonis atas tindakan spesifik yang terjadi pada masa itu, tetapi juga menawarkan pelajaran universal mengenai kesakralan agama dan bahaya meremehkan syiar-syiar Ilahi, baik dalam konteks candaan, gurauan, maupun ejekan yang disengaja.
Pentingnya dua ayat ini terletak pada penegasannya bahwa batas antara keimanan dan kekafiran bukanlah sekadar ritual formal, melainkan juga terletak pada penghormatan mendalam terhadap dasar-dasar agama. Sebuah kalimat ringan yang diucapkan dalam rangka bercanda tentang hal-hal suci dapat memiliki bobot yang mampu meruntuhkan seluruh bangunan keimanan seseorang. Analisis mendalam terhadap Surah At-Taubah ayat 65 dan 66 memerlukan pembedahan terhadap konteks pewahyuan (Asbabun Nuzul), interpretasi linguistik dari istilah-istilah kunci, serta implikasi fiqih dan aqidah yang ditimbulkannya, yang kesemuanya membentuk pelajaran abadi bagi setiap Muslim.
Dua ayat ini merupakan pilar yang menggarisbawahi kegagalan total kaum munafik dalam mempertahankan klaim keimanan mereka setelah terbukti melakukan pencemoohan. Mereka mencoba berlindung di balik dalih candaan, namun Allah SWT menolak alasan tersebut secara tegas dan tanpa kompromi.
Penolakan tegas dalam ayat 66 ("لَا تَعْتَذِرُوا" - Jangan kamu meminta maaf) adalah puncak dari penghakiman Ilahi. Ini adalah deklarasi bahwa perbuatan mencemooh itu sendiri, terlepas dari motif yang diklaim (seperti bercanda atau mengisi waktu luang), telah secara definitif membatalkan status keimanan mereka. Ayat ini menetapkan prinsip fundamental bahwa penghinaan terhadap hal-hal suci adalah *kufr* (kekafiran) yang nyata, bukan sekadar dosa biasa.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus merujuk pada latar belakang historisnya, yang secara umum disepakati terjadi selama perjalanan menuju Perang Tabuk. Ekspedisi Tabuk adalah perjalanan yang sangat sulit. Jarak yang jauh, cuaca yang panas menyengat, dan ancaman dari Kekaisaran Romawi menciptakan suasana tegang dan penuh ujian iman. Dalam suasana inilah, perilaku munafik terungkap.
Menurut riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mujahid, yang paling terkenal adalah kisah sekelompok kaum munafik yang berjalan di barisan belakang pasukan Muslim. Dalam perjalanan, mereka mulai berbicara di antara mereka sendiri, meremehkan Al-Qur'an, dan terutama mencemooh Rasulullah SAW beserta para sahabat yang dikenal saleh.
Diriwayatkan bahwa salah satu dari mereka berkata, "Kami belum pernah melihat orang-orang yang lebih rakus perutnya, lebih dusta perkataannya, dan lebih pengecut dalam menghadapi musuh daripada para pembaca Al-Qur'an (merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat senior)." Ejekan ini ditujukan pada kesalehan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan bagaimana beliau menerima wahyu.
Seketika itu, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW mengenai perkataan mereka. Ketika Rasulullah SAW meminta mereka datang dan menghadapi tuduhan tersebut, mereka bersumpah bahwa mereka hanya "bersenda gurau dan bermain-main" (نَخُوضُ وَنَلْعَبُ). Mereka mengklaim bahwa ucapan itu hanyalah cara untuk menghabiskan waktu di perjalanan yang panjang dan membosankan, tanpa ada maksud serius untuk menghina agama. Ini menunjukkan upaya mereka untuk meminimalisir kesalahan mereka sebagai 'kesalahan non-serius' atau 'kesalahan verbal yang tidak disengaja'.
Penolakan yang datang dalam ayat 65 dan 66 adalah jawaban langsung dari Allah SWT terhadap dalih yang remeh ini. Allah menegaskan bahwa subjek ejekan mereka bukanlah sesuatu yang sepele. Ejekan itu tertuju pada Diri Allah, Tanda-tanda-Nya (ayat-ayat Al-Qur'an), dan Rasul-Nya. Mencampuradukkan ejekan terhadap hal-hal sakral dengan candaan adalah pelanggaran yang tak terampuni, kecuali dengan pertobatan yang tulus dan segera.
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata Arab yang digunakan, yang membawa bobot makna teologis yang sangat spesifik.
Kata kunci dalam ayat ini adalah *tastahzi'un* (تَسْتَهْزِئُونَ), yang berasal dari akar kata *hazaa* (هـ ز أ), yang berarti mencemooh, mengolok-olok, atau menghina. Istihza' adalah tindakan yang meremehkan martabat sesuatu, menjadikannya bahan tertawaan atau penghinaan. Dalam konteks Islam, Istihza' terhadap Allah, Rasul-Nya, atau ayat-ayat-Nya, bukan hanya dosa sosial, melainkan tindakan yang melucuti keimanan (Al-Kufr).
Istihza' menunjukkan penyakit hati, di mana individu tersebut tidak lagi memiliki rasa hormat atau takut terhadap sumber otoritas spiritual tertinggi. Sikap meremehkan ini menunjukkan bahwa keimanan yang diklaim hanya berada di lidah, namun hati mereka dipenuhi keraguan dan penentangan.
Ini adalah dalih yang diajukan oleh kaum munafik. *Nakhudzu* (نَخُوضُ) berarti terlibat dalam pembicaraan sia-sia, berbicara tanpa tujuan, atau terjun ke dalam hal-hal yang tidak penting. *Nal'ab* (نَلْعَبُ) berarti bermain atau bergurau. Mereka berargumen bahwa perkataan mereka hanyalah obrolan santai dan permainan lidah.
Tafsir linguistik menyoroti bahwa walaupun niat mereka mungkin hanyalah untuk bersenang-senang, subjek yang mereka pilih—yaitu Al-Qur'an dan Nabi—adalah subjek yang mustahil untuk dikategorikan sebagai 'permainan'. Ketika sesuatu yang sakral dijadikan bahan gurauan, maka 'gurauan' tersebut berubah menjadi penghinaan, dan niat 'bermain' tidak lagi menjadi pembenar atas tindakan tersebut.
Frasa ini adalah titik paling krusial. Kata *qad* (قَدْ) dalam konteks ini berfungsi sebagai penegasan yang kuat (tahqiq). Ini berarti 'Sungguh kalian telah kafir.' Penegasan ini tidak memberikan ruang untuk interpretasi yang fleksibel. Pernyataan ini memastikan bahwa tindakan Istihza' terhadap syiar agama adalah kekafiran yang nyata (*kufr sarih*), yang terjadi *setelah* mereka sebelumnya mengklaim beriman. Ini adalah bukti bahwa iman (Nifaq) mereka sebelumnya pun rapuh dan mudah runtuh oleh lisan mereka sendiri.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang sangat tegas terhadap dua ayat ini, menjadikannya landasan hukum (fiqh) mengenai murtad dan penghinaan agama.
Imam At-Tabari menekankan bahwa ayat ini ditujukan secara spesifik kepada mereka yang beriman di lisan namun menyembunyikan kekafiran di hati, yaitu kaum munafik. At-Tabari menjelaskan bahwa ketika mereka mencemooh Rasulullah dan wahyu, mereka seolah-olah mengatakan, "Jika ucapan Muhammad itu benar, maka kita benar-benar celaka." Mereka meragukan kebenaran kenabian sambil mengklaim bahwa ejekan mereka hanyalah basa-basi.
At-Tabari menyimpulkan bahwa pengakuan mereka (bahwa mereka hanya bercanda) justru membuktikan kejahatan mereka. Karena tidak ada candaan yang dapat membatalkan status kekafiran yang timbul dari mencemooh Tuhan dan Rasul-Nya. Tindakan tersebut secara langsung melanggar perjanjian iman.
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, memperluas cakupan hukum dari ayat ini. Beliau menyatakan bahwa seluruh ulama sepakat bahwa siapa pun yang mencemooh Allah SWT, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya, atau sunnah-sunnah Nabi yang jelas, atau syariat-syariat yang telah disepakati, adalah kafir secara hukum. Ini disebut sebagai *kufr qauli* (kekafiran melalui ucapan).
Al-Qurtubi juga menegaskan bahwa niat bercanda bukanlah alasan yang valid. Jika seseorang mengucapkan kata-kata kekafiran, meskipun ia berniat bergurau, ia tetap jatuh ke dalam kekafiran, kecuali ia dipaksa (ikrah) atau berada dalam keadaan hilang akal. Hukum ini sangat ketat karena menjaga martabat dan kesakralan sumber agama adalah pondasi dari keimanan itu sendiri.
Sayyid Qutb melihat ayat ini dari sudut pandang pemisahan hakikat iman dan nifaq. Bagi Qutb, Istihza' adalah manifestasi dari penolakan hati yang mendalam. Kaum munafik telah mencapai titik di mana mereka melihat kebenaran sebagai bahan tertawaan. Ini adalah titik balik yang tidak bisa diperbaiki dengan sekadar permintaan maaf. Permintaan maaf hanya dapat diterima jika didasari oleh pertobatan sejati dan perubahan perilaku total, yang diindikasikan pada bagian kedua Ayat 66 (tentang memaafkan segolongan yang bertobat).
Qutb menekankan bahwa keimanan bukanlah sekadar teori; ia harus diiringi dengan pengagungan dan penghormatan. Ketika pengagungan itu hilang, maka keimanan itu pun musnah.
Ayat 65-66 menetapkan batasan yang sangat jelas antara gurauan yang diperbolehkan (seperti yang dilakukan Nabi SAW dalam batas-batas yang benar) dan gurauan yang terlarang (Istihza' Billah, wa Ayatihi, wa Rasulihi). Kehidupan Muslim memerlukan keseimbangan antara kegembiraan dan keseriusan, namun keseriusan mutlak harus diberikan kepada hal-hal yang datang dari Allah SWT.
Syariat Islam sangat menjunjung tinggi konsep *hurmah* (kesucian atau kehormatan) dari hal-hal yang menjadi syiar agama. Ini mencakup Al-Qur'an (ayat-ayat Allah), Nabi Muhammad SAW (sebagai pembawa risalah), dan hukum-hukum Allah secara umum. Menjadikan salah satu dari hal-hal ini sebagai subjek ejekan sama dengan menodai kesucian agama itu sendiri. Ini merupakan serangan langsung terhadap otoritas wahyu.
Perbedaan mendasar antara *khudh* (obrolan sia-sia) dan *istihza'* adalah tujuannya. Obrolan sia-sia mungkin tidak menghasilkan pahala, tetapi ia tidak harus merusak iman. Sementara *istihza'* secara inheren mengandung unsur penghinaan. Ketika seorang munafik mencampuradukkan keduanya (klaim bercanda padahal isinya menghina), ia menunjukkan bahwa hati kecilnya memandang rendah agama, dan lidahnya hanyalah corong dari keraguan yang tersembunyi tersebut.
Kaum munafik menggunakan dalih "kami hanya bermain-main" sebagai perisai, berharap Allah hanya akan menghakimi niat permukaan mereka. Namun, Islam menilai ucapan yang keluar dari mulut sebagai representasi dari isi hati. Jika hati seseorang benar-benar menghormati Allah, ia tidak mungkin membiarkan lidahnya mengucapkan penghinaan, bahkan dalam bentuk candaan. Hal ini menunjukkan bahwa Istihza' adalah indikator paling jelas dari *Nifaq I’tiqadi* (kemunafikan dalam keyakinan), yang merupakan kekafiran murni.
Ayat 65-66 memiliki implikasi mendalam bagi ilmu Aqidah, terutama dalam mendefinisikan batas-batas keimanan dan kekafiran. Ini menetapkan salah satu *Nawaqidhul Islam* (pembatal-pembatal keislaman) yang paling jelas.
Ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah, termasuk para teolog dan fukaha, menjadikan ayat ini sebagai dalil utama bahwa mencemooh agama, Rasul, atau syariat adalah tindakan murtad (keluar dari Islam). Ini bukan masalah dosa besar yang masih menyisakan keimanan, melainkan kekafiran yang menghilangkan keimanan secara total.
Argumen teologisnya adalah: Iman (*Iman*) didefinisikan sebagai *Iqrarun bil lisan* (pengakuan dengan lisan), *Tashdiqun bil janan* (pembenaran di hati), dan *Amalun bil arkan* (pengamalan dengan anggota badan). Mencemooh adalah kebalikan dari pembenaran dan pengakuan. Ketika seseorang mencemooh ayat Allah, ia menunjukkan bahwa ia tidak membenarkan keagungan ayat tersebut. Jika tidak ada pembenaran, maka tidak ada iman.
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya lingkungan dan komunitas yang menjaga kesucian agama. Kaum munafik melakukan ejekan ini dalam kelompok mereka, menciptakan suasana di mana meremehkan agama menjadi hal yang lumrah dan ringan. Hal ini menunjukkan bahwa kemunafikan seringkali diperkuat oleh interaksi sosial yang buruk, di mana kritik terhadap agama disamarkan sebagai hiburan atau kecerdasan.
Tugas setiap Muslim adalah memastikan bahwa komunitasnya (baik di dunia nyata maupun digital) menjunjung tinggi pengagungan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Diam ketika syiar agama diejek, atau bahkan ikut tertawa, dapat menjadi bentuk kemunafikan yang ringan yang berpotensi berkembang menjadi Istihza' yang lebih serius.
Hukum Islam (Fiqh) yang diturunkan dari ayat ini sangatlah tegas, khususnya mengenai hukum bagi mereka yang terbukti melakukan Istihza' terhadap hal-hal suci.
Berdasarkan ayat 66 ("قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ"), para fuqaha menetapkan bahwa orang yang melakukan Istihza' adalah murtad. Dalam hukum pidana Islam, orang yang murtad harus diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat secara tulus dan kembali pada keimanan dengan meninggalkan ejekan tersebut, ia diterima kembali ke dalam Islam. Jika ia menolak, ia dikenakan hukuman murtad, karena tindakan Istihza' dianggap sebagai pengkhianatan terbesar terhadap tauhid.
Sebagian besar madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) menyepakati bahwa dalam urusan Kekafiran dan Iman, tidak ada perbedaan signifikan antara niat serius (*jidd*) atau niat gurauan (*hazl*). Seseorang yang mengucapkan kata-kata kekafiran, meskipun niatnya hanyalah untuk bercanda, tetap dianggap telah jatuh dalam kekafiran.
Dasar hukum ini adalah: Keimanan bukanlah perkara yang bisa dibuat main-main. Ketika lisan seseorang mengucapkan sesuatu yang menghina Allah, itu menunjukkan ketidakseriusan total terhadap fondasi agamanya, dan ketidakseriusan tersebut adalah kekafiran. Pengecualian hanya berlaku jika ucapan itu dipaksakan di bawah ancaman pembunuhan atau penyiksaan yang parah (ikrah), seperti yang diizinkan dalam kasus Ammar bin Yasir, namun pengecualian ini tidak berlaku untuk ejekan.
Ayat 66 memberikan secercah harapan bagi sebagian munafik: "Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (karena mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa."
Bagian ini menegaskan bahwa pintu taubat selalu terbuka, bahkan setelah melakukan kekafiran melalui ejekan. Namun, taubat haruslah tulus (Taubatun Nasuha). Taubat yang tulus bukan sekadar permintaan maaf lisan; ia harus disertai dengan penyesalan mendalam, penghentian total dari perbuatan Istihza', dan komitmen untuk menggantinya dengan penghormatan dan pengagungan.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ada beberapa munafik yang benar-benar menyesal dan bertaubat setelah ayat ini turun. Namun, ada pula yang terus menerus dalam kemunafikannya, dan bagi mereka, ancaman azab Allah adalah mutlak.
Ayat 65-66 menyajikan deskripsi psikologis yang kaya tentang kaum munafik, menunjukkan bahwa kemunafikan bukanlah sekadar ketidakcocokan antara lisan dan hati, melainkan sebuah gaya hidup yang penuh dengan kepengecutan dan penghindaran tanggung jawab.
Para munafik memilih untuk mencemooh di belakang Nabi dan para sahabat (di barisan belakang), menunjukkan kepengecutan intelektual. Mereka tidak berani menyatakan keraguan atau penolakan mereka secara terbuka dan jujur. Sebaliknya, mereka menyembunyikannya di balik candaan, berharap bisa melepaskan ketegangan internal mereka tanpa menghadapi konsekuensi dari keyakinan mereka yang sesungguhnya.
Kepengecutan ini diperkuat oleh penggunaan dalih "kami hanya bermain-main." Mereka menolak bertanggung jawab atas bobot kata-kata mereka. Ayat 66 menghancurkan perisai kepengecutan ini, memaksa mereka untuk mengakui bahwa kata-kata mereka memiliki bobot, konsekuensi, dan sifat teologis yang serius.
Salah satu ciri khas kaum munafik dalam konteks ini adalah kecenderungan mereka meremehkan orang-orang yang saleh (para pembaca Al-Qur'an dan pengikut setia Nabi). Mereka melihat kesalehan sebagai kelemahan, ketaatan sebagai kebodohan, dan ketaqwaan sebagai kepura-puraan yang bodoh. Hal ini dilakukan untuk membenarkan ketidaktaatan mereka sendiri. Jika mereka bisa meyakinkan diri bahwa orang yang saleh itu konyol, maka gaya hidup mereka yang malas dan durhaka akan tampak lebih masuk akal.
Dalam sejarah Islam, sindiran terhadap kesalehan seringkali menjadi cara kaum munafik untuk memecah belah komunitas dan merusak moral kaum Mukminin. Ayat 65-66 memperingatkan bahwa menyerang individu Muslim yang tulus karena ketaatan mereka, ketika didasarkan pada penghinaan terhadap ajaran Islam yang mereka pegang, dapat setara dengan Istihza' terhadap syiar itu sendiri.
Meskipun ayat ini diturunkan di padang pasir Tabuk, pesan intinya sangat relevan dalam era modern, khususnya di dunia digital dan media sosial, di mana ejekan terhadap agama seringkali disamarkan sebagai "satire," "komedi," atau "kebebasan berekspresi."
Dalam budaya kontemporer, humor dan satire sering digunakan sebagai alat kritik. Namun, Surah At-Taubah 65-66 mengajarkan bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar. Ketika humor diarahkan untuk menghina konsep ketuhanan, kenabian, atau teks suci (Al-Qur'an), ia melampaui batas kritik sosial dan masuk ke ranah Istihza' yang mengancam keimanan.
Penggunaan meme, video pendek, atau komentar digital yang merendahkan ayat-ayat Allah atau Rasulullah SAW, meskipun dilakukan dengan alasan "bercanda dengan teman" atau "konten kreatif," tetap berada di bawah ancaman serius yang diuraikan dalam ayat ini. Niat subjektif si pembuat konten tidak dapat membatalkan objektivitas hukum yang ditetapkan: jika yang diejek adalah Allah, Ayat-Ayat-Nya, dan Rasul-Nya, maka itu adalah kekafiran, bukan sekadar kesalahan humor.
Media sosial sering menjadi sarana di mana kemunafikan dapat menyebar dengan cepat dan anonim. Seseorang mungkin menampilkan diri sebagai Muslim yang saleh di satu platform, namun di platform lain ia terlibat dalam kelompok yang secara terang-terangan atau terselubung meremehkan ajaran agama. Lingkungan "obrolan santai" (*nakhudzu wa nal'ab*) kaum munafik Tabuk kini telah berevolusi menjadi grup obrolan terenkripsi atau forum anonim.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bagi setiap Muslim untuk menjaga lidah digitalnya sebagaimana ia menjaga lidah fisiknya. Keimanan harus konsisten di semua ruang dan waktu, dan penghormatan terhadap hal-hal suci adalah ujian utama kejujuran hati.
Dua ayat ini merangkum pelajaran moral, etika, dan teologis yang harus menjadi panduan hidup bagi Mukmin sejati, menekankan bahwa kewaspadaan terhadap lidah adalah sama pentingnya dengan kewaspadaan terhadap perbuatan fisik.
Pelajarannya adalah wajibnya mengagungkan Allah, Rasul, dan wahyu-Nya di atas segala sesuatu. Pengagungan ini harus menjadi inti dari setiap ucapan dan tindakan seorang Muslim. Keimanan yang tidak disertai dengan pengagungan akan rentan terhadap keruntuhan melalui ejekan dan pelecehan verbal.
Ayat ini mengajarkan bahwa iman harus bersifat menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak bisa menjadi Mukmin di masjid tetapi munafik di antara teman-temannya. Keimanan menuntut konsistensi dalam sikap dan ucapan, menolak pemisahan antara ibadah formal dan perilaku sosial sehari-hari.
Sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata yang dia anggap biasa-biasa saja, padahal ia menjerumuskannya ke dalam api neraka sejauh jarak timur dan barat." Ayat 65-66 adalah penafsiran Al-Qur'an atas hadis ini. Ia menunjukkan bahwa kata-kata yang diucapkan tanpa dipikirkan, apalagi kata-kata yang mengandung penghinaan terhadap hal suci, memiliki konsekuensi kekal yang jauh melampaui niat sesaat si pengucap.
Dalam konteks modern, di mana kata-kata dan gambar dapat disebarkan secara instan dan global, tanggung jawab ini menjadi berkali-kali lipat. Setiap Muslim wajib mengawal lisan dan ketikan digitalnya agar tidak terjebak dalam perangkap *Istihza'* yang mematikan keimanan.
Ayat 66, meskipun sangat keras, diakhiri dengan menunjukkan keadilan dan rahmat Allah. Adanya pemisahan antara golongan yang diampuni (yang bertaubat dengan tulus) dan golongan yang diazab (yang terus berbuat dosa/munafik) menunjukkan bahwa Allah tidak menutup pintu bagi pertobatan, bahkan dari dosa kekafiran sekalipun. Namun, pertobatan haruslah sejati, bukan sekadar dalih atau permintaan maaf yang dangkal seperti yang mereka coba lakukan di hadapan Nabi SAW.
Tindakan mencemooh agama adalah pengkhianatan spiritual yang paling serius. Ayat-ayat Surah At-Taubah 65-66 berdiri sebagai tiang peringatan abadi, mengingatkan umat manusia bahwa beberapa hal dalam hidup ini terlalu suci untuk dijadikan bahan permainan, dan bagi Mukmin sejati, hal-hal tersebut adalah Allah SWT, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap lidah, kehati-hatian dalam memilih kata-kata, dan penguatan pengagungan dalam hati adalah pertahanan utama seorang Mukmin agar tidak terjatuh ke dalam jurang kemunafikan yang diuraikan oleh Surah At-Taubah ini. Ajaran ini menuntut pemahaman yang dalam bahwa keimanan sejati memerlukan komitmen serius dan pengorbanan, bukan sekadar permainan atau klaim lisan tanpa makna.
Konsekuensi yang ditimbulkan oleh ejekan para munafik di Tabuk adalah kekal. Kekafiran yang mereka peroleh bukan karena mereka tidak percaya pada keberadaan Tuhan, melainkan karena mereka meremehkan Tanda-tanda dan Utusan Tuhan yang menjadi jembatan menuju petunjuk Ilahi. Mereka telah merusak fondasi hubungan antara hamba dan Penciptanya melalui lisan mereka yang tidak terkontrol dan hati yang penuh keraguan. Peringatan ini tetap resonan, menuntut setiap Muslim untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap cara mereka memperlakukan ajaran dan simbol-simbol Islam dalam interaksi sehari-hari.