Kedalaman Tauhid dalam Surah At-Taubah Ayat Terakhir

Menggali Makna "Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa" dalam Konteks Perlindungan Ilahi

I. Pengantar: Kekuatan Penutup Surah Bara'ah

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Surah Bara'ah, memegang posisi yang unik dan krusial dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan lafaz Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Ketidakhadiran Basmalah ini mencerminkan sifat dasar surah yang diturunkan pada akhir periode kenabian di Madinah, yaitu seruan keras untuk berlepas diri dari perjanjian dengan kaum musyrikin yang telah melanggar kesepakatan, serta perintah untuk jihad dan penegasan total terhadap kedaulatan Islam. Suasana surah ini sarat dengan peringatan, penetapan hukum yang ketat, dan pemeriksaan terhadap niat para munafik.

Namun, di tengah suasana hukum dan peringatan yang tegas tersebut, Surah At-Taubah ditutup dengan sebuah permata keimanan, sebuah deklarasi tauhid yang paling agung, yang meringkas seluruh pesan Islam: Ayat 129. Ayat penutup ini berfungsi sebagai jangkar spiritual, mengarahkan hati setiap mukmin, setelah menghadapi tantangan, fitnah, dan peperangan yang digambarkan dalam surah, kembali kepada sumber kekuatan dan perlindungan yang mutlak. Penempatan ayat ini di penghujung surah bukan sekadar kebetulan, melainkan penegasan bahwa hasil akhir dari segala usaha, perjuangan, dan ketetapan syariat adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Agung.

Ayat terakhir ini telah menjadi salah satu dzikir dan wirid paling utama dalam tradisi Islam, dikenal sebagai ayat perlindungan dan kecukupan. Keagungan maknanya merangkum seluruh prinsip tauhid rububiyyah dan uluhiyyah, menegaskan bahwa tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya. Mari kita telaah lebih mendalam struktur, konteks, tafsir, serta keutamaan dari Surah At-Taubah ayat ke-129 ini, yang menjadi puncak dari pelajaran keimanan dalam surah yang penuh ketegasan ini.

Kajian mengenai ayat penutup ini, terutama frasa ‘Hasbiyallahu laa ilaaha illaa Huwa’, tidak hanya terbatas pada aspek linguistik atau sejarah penurunannya semata, melainkan merambah jauh ke dalam psikologi spiritual seorang mukmin. Di saat dunia terasa penuh ancaman, ketidakpastian, dan godaan, ayat ini menawarkan ketenangan yang absolut. Ia adalah manifestasi dari penyerahan total (tawakkul) kepada Dzat yang memegang kendali atas segala sesuatu, termasuk ‘Arsy yang Maha Agung. Para ulama dari berbagai mazhab dan periode sejarah, mulai dari Tabi'in hingga ulama kontemporer, telah menghabiskan banyak waktu untuk mengupas esensi dari kalimat-kalimat yang singkat namun padat makna ini, menjadikannya salah satu titik fokus utama dalam kajian spiritual dan perlindungan (hizb) sehari-hari.

II. Teks, Terjemah, dan Keagungan Ayat 129

Ayat ke-129 Surah At-Taubah adalah penutup yang indah dan kuat bagi surah yang penuh tantangan ini. Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, namun pesan utamanya berlaku universal bagi seluruh umatnya yang beriman.

فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ

"Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad): ‘Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal (berserah diri), dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.’" (QS. At-Taubah [9]: 129)

A. Analisis Komponen Kunci Ayat

Ayat ini dapat dibagi menjadi empat bagian yang saling menguatkan, membentuk sebuah rantai keyakinan yang tak terputus:

  1. Syarat Tindakan (فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ): "Jika mereka berpaling, maka katakanlah..." Ini menunjukkan respons yang harus diambil seorang mukmin ketika menghadapi penolakan, pengkhianatan, atau ketidakpedulian dari manusia. Respon tersebut bukanlah keputusasaan, melainkan penegasan kembali pada sumber kekuatan.
  2. Deklarasi Kecukupan (حَسْبِيَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ): "Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan selain Dia." Ini adalah inti dari tauhid, gabungan dari pengakuan bahwa Allah adalah Yang Mencukupi (`Hasbi`) dan penolakan terhadap semua ilah selain Dia (`Laa Ilaaha Illaa Huwa`).
  3. Aksi Penyerahan Diri (عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ): "Hanya kepada-Nya aku bertawakkal." Ini adalah penerapan praktis dari deklarasi tauhid tersebut. Tawakkul adalah penyerahan urusan secara total setelah melakukan segala usaha yang mungkin.
  4. Penegasan Kekuasaan Mutlak (وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ): "Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung." Ini adalah penutup yang menegaskan bahwa Dzat yang dijadikan sandaran dan tempat bertawakkal adalah Penguasa mutlak alam semesta, yang memiliki takhta (Arsy) yang agung, sebuah simbol kekuasaan dan keagungan tertinggi yang tak terbandingkan.

III. Tafsir Mendalam (Tafsir Al-Klassikiyyah)

Para mufassir klasik dan kontemporer memberikan penekanan luar biasa pada ayat ini, melihatnya bukan hanya sebagai penutup surah, tetapi sebagai ringkasan akidah Islam yang praktis.

A. Tafsir Al-Qurthubi dan Aspek Kecukupan (Hasbiyallahu)

Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya, sangat fokus pada frasa حَسْبِيَ ٱللَّهُ (Hasbiyallahu). Beliau menjelaskan bahwa kata 'Hasbi' (cukup bagiku) mengandung makna perlindungan, penjaminan, dan pemenuhan kebutuhan. Ketika seorang mukmin mengucapkan ‘Hasbiyallahu’, ia secara implisit menyatakan bahwa pertolongan Allah adalah jaminan yang lebih kuat daripada perlindungan siapa pun atau apa pun di dunia ini.

Menurut Al-Qurthubi, konteks ayat ini adalah respons terhadap sikap para munafik dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran yang telah disampaikan Nabi ﷺ. Ketika Nabi menghadapi kesulitan, pengabaian, atau permusuhan dari komunitas sekitar, beliau diperintahkan untuk tidak berkecil hati. Kedudukan sebagai Rasul dan penutup para Nabi adalah agung, dan jika manusia menolak, maka sandaran beliau harus diarahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Kuasa. Ini adalah pelajaran bagi semua dai dan umat Islam: kesuksesan bukan diukur dari penerimaan manusia, tetapi dari kecukupan (Hasbi) Allah.

Lebih jauh, para ulama menafsirkan bahwa kecukupan ini meluas ke segala aspek kehidupan. Kecukupan dalam rezeki, kecukupan dalam menghadapi musuh, kecukupan dalam menghadapi kesedihan, dan kecukupan dalam menghadapi godaan. Pernyataan ini adalah kontrak spiritual yang mendalam, di mana hamba menukar ketergantungan pada makhluk dengan ketergantungan pada Sang Khaliq. Al-Qurthubi juga mengutip riwayat yang menunjukkan bahwa kalimat ini adalah sumber kekuatan para Nabi. Ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api, beliau mengucapkan, "Hasbiyallahu wa Ni’mal Wakil," sebuah deklarasi kecukupan yang menyelamatkan beliau.

B. Tafsir Ibnu Katsir dan Pilar Tauhid (Laa Ilaaha Illaa Huwa)

Ibnu Katsir menyoroti bahwa setelah deklarasi kecukupan, ayat ini langsung diikuti oleh inti dari Islam: لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Laa Ilaaha Illaa Huwa), "Tidak ada Tuhan selain Dia." Ini adalah Syahadat pertama, yang menunjukkan bahwa kecukupan dan perlindungan Allah hanya dapat diperoleh melalui penegasan tauhid yang murni.

Menurut Ibnu Katsir, jika seseorang benar-benar mengakui bahwa Allah-lah yang mencukupi, maka secara logis ia harus mengakui bahwa hanya Dia yang berhak disembah. Frasa ini menutup celah bagi praktik syirik yang tersembunyi (syirk khafi). Jika kita bergantung pada Allah, kita tidak boleh bergantung pada jimat, peramal, atau kekuatan manusia. Keselarasan antara 'Hasbiyallahu' dan 'Laa Ilaaha Illaa Huwa' memastikan bahwa tawakkul yang dilakukan adalah tawakkul yang murni dan benar, bebas dari noda kesyirikan.

Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa ayat ini merupakan perintah langsung kepada Nabi ﷺ untuk bersandar penuh kepada Allah dalam menghadapi tekanan yang luar biasa dari orang-orang munafik di Madinah. Mereka bersekongkol, menyebarkan fitnah, dan mencoba melemahkan moral umat Islam. Respon Ilahi adalah: jangan hiraukan mereka, serahkan urusanmu kepada Penguasa ‘Arsy yang Agung.

C. Penyerahan Mutlak: Tawakkul

Frasa عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ (Alaihi Tawakkaltu - Hanya kepada-Nya aku bertawakkal) bukan hanya pengakuan pasif, melainkan sebuah tindakan aktif yang melibatkan hati dan anggota tubuh. Tawakkul adalah penyerahan hasil akhir kepada Allah setelah melakukan segala upaya yang diwajibkan dalam syariat (kasb).

Para ulama tafsir menekankan penggunaan kata 'Alaihi' yang diletakkan di depan (taqdim), yang dalam bahasa Arab berfungsi sebagai pembatasan (hasr). Artinya, tawakkul tersebut secara eksklusif hanya ditujukan kepada Allah, dan kepada tidak ada yang lain. Tawakkul adalah puncak dari keimanan, menandakan tingkat kepasrahan tertinggi yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang yang hanya mengaku beriman secara lisan.

Tawakkul dalam konteks ayat 129 ini adalah respon terhadap kegagalan dan penolakan. Ketika manusia, yang merupakan sebab (asbab) duniawi, mengecewakan atau berpaling, tawakkul mengembalikan fokus kepada Musabbib al-Asbab (Penyebab Segala Sebab), yaitu Allah SWT. Penyerahan diri ini menghasilkan ketenangan batin (sakinah) yang tidak bisa digoyahkan oleh gejolak duniawi, karena hamba yakin bahwa takdirnya berada di tangan Penguasa ‘Arsy.

D. Kekuasaan Ilahi: Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim

Bagian terakhir ayat, وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ (Wa Huwa Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim - Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung), adalah penutup yang paling mengesankan. Penyebutan 'Arsy (Singgasana) dalam konteks tawakkul berfungsi untuk memperkuat keyakinan hamba. ‘Arsy dalam akidah Islam adalah makhluk terbesar Allah, yang meliputi seluruh alam semesta, dan ia adalah batas bagi makhluk. Mengaitkan tawakkul dengan Dzat yang menguasai Arsy yang agung berarti Dzat yang kita sandari adalah Penguasa segala-galanya, dari yang terkecil hingga yang terbesar.

Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa penutup ini adalah pernyataan tentang keagungan dan kekuasaan absolut. Jika Allah adalah Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim, maka tidak ada urusan, seberapa pun besarnya, yang dapat luput dari kendali-Nya. Oleh karena itu, kekhawatiran dan ketakutan manusia menjadi tidak relevan di hadapan keagungan-Nya. Tawakkul pada Dzat ini adalah jaminan yang sempurna.

Penyebutan 'Arsy yang Agung' (Al-'Azhim) secara spesifik memiliki implikasi teologis yang mendalam. Para ulama akidah menjelaskan bahwa penggunaan sifat 'Al-'Azhim' (Maha Agung) dalam konteks ini menekankan bahwa kekuasaan Allah bersifat transenden dan universal, meliputi dimensi waktu dan ruang yang tak terbatas. Bagi hati yang gundah karena urusan duniawi, pengingat bahwa sandarannya adalah Penguasa Takhta Yang Maha Agung, yang mengatur miliaran galaksi dan mengendalikan takdir individu, memberikan perspektif baru. Kesempurnaan tauhid pada ayat ini terletak pada perpaduan antara keterikatan hati yang intim ('Hasbiyallahu') dengan pengakuan terhadap keagungan kosmik ('Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim'). Pengulangan tema ini dalam wirid harian bertujuan untuk menginternalisasi rasa kagum (khauf) sekaligus rasa cinta (mahabbah) kepada Allah.

IV. Konteks Historis dan Keunikan Posisi Ayat

Surah At-Taubah adalah surah Madaniyah yang terakhir diturunkan, atau salah satu yang terakhir, yang menandai fase penutupan syariat dan penegasan total kedaulatan Islam di Jazirah Arab. Penempatan ayat 129 di akhir surah ini sarat dengan hikmah.

A. Penegasan setelah Ujian Berat

Surah At-Taubah mencakup peristiwa-peristiwa berat seperti Perang Tabuk, pembongkaran kemunafikan secara terbuka, dan perintah tegas terkait pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin. Umat Islam saat itu menghadapi ujian internal (munafikin) dan eksternal (musuh-musuh di perbatasan). Setelah melalui rincian hukum, peringatan keras, dan kisah kegagalan orang-orang yang mundur dari jihad, penutup surah membawa pesan rahmat dan kepastian.

Ayat 128 (sebelumnya) telah menyebutkan sifat Nabi ﷺ yang penuh kasih sayang dan belas kasih kepada umatnya. Ayat 129 kemudian mengajarkan Nabi dan umatnya bagaimana merespons jika kasih sayang tersebut dibalas dengan penolakan atau pengkhianatan: kembali kepada tawakkul. Ini adalah metode pengobatan spiritual bagi hati yang terluka akibat penolakan dakwah atau pengkhianatan kepercayaan.

B. Jawaban atas Ketidakpastian

Periode akhir kenabian sering kali ditandai dengan ketidakpastian mengenai masa depan pasca-Nabi dan konflik yang berkelanjutan. Ayat ini berfungsi sebagai warisan spiritual: meskipun Nabi ﷺ akan wafat, sandaran umat Islam tidak boleh beralih. Sandaran itu tetap pada Allah, Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim, yang kekuasaan-Nya abadi dan tidak akan pernah berakhir.

Banyak ulama salaf, termasuk para ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, menekankan penggunaan kalimat ini di masa-masa fitnah dan pergolakan sosial-politik. Mereka melihat ayat ini sebagai benteng akidah, sebuah kalimat yang mengingatkan bahwa semua kekuatan fana akan hilang, tetapi kekuasaan Allah kekal. Dengan demikian, ayat 129 bukan hanya kesimpulan bagi Surah At-Taubah, melainkan sebuah konklusi filosofis dan teologis bagi perjalanan keimanan seorang individu di dunia.

As-Suyuthi, dalam karya-karyanya tentang keutamaan surah, menyoroti bagaimana ayat ini, bersama dengan Ayat 128, membentuk penutup yang sempurna yang menggabungkan kasih sayang Rasul (Raufur-Rahim) dengan kekuatan Tauhid mutlak. Gabungan ini memberikan umat Islam model kepemimpinan yang ideal: lembut kepada mukmin, tetapi teguh dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi tantangan.

V. Keutamaan Spiritual (Fadhilah) dan Penerapan dalam Wirid Harian

Ayat terakhir Surah At-Taubah dikenal luas dalam tradisi Islam karena keutamaannya yang luar biasa dalam mendatangkan perlindungan dan kecukupan (kifayah). Ayat ini seringkali diulang-ulang sebagai bagian dari dzikir dan hizb (litani/wirid) harian, terutama di kalangan sufi dan masyarakat umum.

A. Benteng Perlindungan (Hizb)

Banyak riwayat, meskipun tidak semua mencapai derajat shahih tertinggi, tetapi populer dalam babak Fadhail Al-A'mal (keutamaan amal), menyebutkan manfaat mengulang ayat ini. Keutamaan yang paling sering disebutkan adalah:

  1. Perlindungan dari Musibah: Dipercaya dapat melindungi pembacanya dari segala macam bahaya, termasuk kebakaran, perampokan, dan fitnah.
  2. Kecukupan Rezeki: Membaca ayat ini dengan keyakinan penuh akan menjamin kecukupan rezeki, karena Allah adalah Yang Mencukupi (Al-Kafi).
  3. Mengusir Kesedihan dan Hutang: Doa ini berfungsi sebagai penghilang kesulitan dan beban, termasuk beban hutang yang melilit, karena ia adalah manifestasi tawakkul yang sempurna.

Salah satu praktik yang paling umum adalah membacanya sebanyak tujuh kali setiap pagi dan petang. Angka tujuh ini diyakini memiliki keistimewaan, sejalan dengan praktik Nabi ﷺ dalam membaca doa-doa tertentu dengan jumlah ganjil. Pengulangan ini dimaksudkan untuk menguatkan keyakinan (yaqin) dalam hati, sehingga tawakkul tidak hanya sekadar ucapan lisan.

B. Riwayat Khusus Mengenai Kekuatan Ayat

Beberapa riwayat dari kalangan tabi'in dan ulama salaf menceritakan tentang penggunaan spesifik ayat ini: Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah sangat menekankan pembacaan ayat ini dalam wirid beliau, melihatnya sebagai penarik rezeki dan penolak bala yang paling kuat. Praktik ini kemudian diwariskan dalam tradisi Hanafi dan mazhab-mazhab lainnya.

Penting untuk dicatat bahwa keutamaan ayat ini tidak terletak pada jumlah hitungan, melainkan pada keikhlasan dan keyakinan saat membacanya. Wirid ini menjadi efektif ketika hati benar-benar meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pelindung, Dzat yang memiliki Arsy yang Agung. Pengulangan hanya merupakan alat untuk mencapai tingkat keyakinan tersebut.

Kekuatan ayat ini, menurut para ahli hikmah, terletak pada penegasan yang berurutan. Dimulai dengan ‘Hasbi’ (kecukupan diri), diikuti dengan ‘Laa Ilaaha Illa Huwa’ (pemurnian tauhid), diperkuat dengan ‘Tawakkaltu’ (penyerahan hati), dan diakhiri dengan ‘Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim’ (pengakuan kekuasaan). Struktur ini memastikan bahwa hamba yang berdoa telah melalui semua fase keimanan yang diperlukan sebelum meminta perlindungan.

Dalam tradisi Tasawuf, ayat ini dikenal sebagai salah satu 'Ayat Al-Kifayah' (Ayat Kecukupan). Para sufi sering menggunakannya sebagai bagian dari "Hizib Al-Bahr" (Litani Laut) atau "Hizib An-Nashr" (Litani Kemenangan), yang disusun oleh para wali untuk menghadapi kesulitan spiritual dan material. Keyakinan mereka adalah bahwa ketika seseorang mengucapkan ayat ini, ia memanggil kekuasaan tertinggi Allah yang mengatasi segala hukum alamiah dan interaksi manusiawi. Rasa aman yang ditimbulkan oleh dzikir ini jauh melampaui rasa aman yang dapat diberikan oleh kekayaan, jabatan, atau tentara.

VI. Dimensi Linguistik dan Balaghah Ayat

Dari segi Balaghah (Retorika Bahasa Arab), ayat 129 Surah At-Taubah menunjukkan keindahan dan kekuatan yang luar biasa. Pilihan kata dan urutan frasa memberikan dampak emosional dan spiritual yang sangat mendalam.

A. Penggunaan Isim dan Fi'il yang Tepat

1. Hasbi (Isim Fa'il): Kata 'Hasbi' adalah isim (kata benda) yang berarti "cukup bagiku". Penggunaan isim menunjukkan sifat yang permanen dan stabil. Kecukupan Allah bukanlah sesuatu yang datang dan pergi, melainkan sifat abadi dari hubungan hamba dengan Tuhannya.

2. Tawakkaltu (Fi'il Madhi): Penggunaan kata kerja lampau (fi'il madhi) 'tawakkaltu' (aku telah bertawakkal) menunjukkan penyerahan diri yang telah terjadi dan bersifat final. Ini bukan janji masa depan, tetapi deklarasi tindakan yang telah dilakukan dan keputusan hati yang telah diambil. Ini memberikan penekanan bahwa keputusan untuk bersandar pada Allah adalah sesuatu yang tegas dan tidak bisa dibatalkan.

B. Struktur Qasam dan Hasr (Pembatasan)

Struktur ayat ini menggunakan tiga bentuk penegasan (tauqid) yang berbeda:

  1. Tauqid dengan Nafyi dan Istitsna': Frasa لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Laa Ilaaha Illaa Huwa) adalah bentuk penegasan terkuat (hasr) dalam bahasa Arab. Ia menolak semua ilah (nafyi) dan kemudian hanya mengkhususkan Allah (istitsna'), memastikan tauhid yang absolut.
  2. Tauqid dengan Taqdim: Peletakan frasa عَلَيْهِ (hanya kepada-Nya) sebelum kata kerja تَوَكَّلْتُ (aku bertawakkal) adalah contoh Taqdim wa Ta'khir untuk tujuan Hasr. Ini berarti penyerahan diri itu eksklusif hanya kepada Allah, menghilangkan segala kemungkinan ketergantungan pada yang lain.
  3. Penegasan Sifat Agung: Frasa رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ (Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim) menggunakan dua sifat yang mengagumkan (Rabb dan ‘Azhim), yang menambah kekuatan deklarasi. Pengaitannya dengan ‘Arsy, makhluk terbesar, menegaskan kekuasaan yang tak terbayangkan.

Kombinasi ketiga bentuk penegasan ini menjadikan Ayat 129 salah satu ayat yang paling padat dan kuat secara retoris dalam Al-Qur'an, yang secara efektif menanamkan keyakinan bahwa sumber kekuatan mukmin tidak tertandingi oleh entitas manapun.

Kajian linguistik yang mendalam pada ayat ini mengungkapkan bahwa pesan spiritualnya ditopang oleh arsitektur bahasa yang kokoh. Para ahli Balaghah, seperti Abdul Qahir Al-Jurjani, mungkin akan memuji bagaimana urutan logis dari kecukupan, tauhid, penyerahan diri, dan keagungan kosmik diikat menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ayat ini mengajarkan bahwa kesempurnaan tawakkul tidak mungkin tercapai tanpa kesempurnaan tauhid, dan kesempurnaan tauhid itu didasarkan pada pengetahuan akan keagungan (Arsyil Azhim) Dzat yang dipertuhankan.

VII. Konsep Tawakkul Sejati dalam Ayat 129

Tawakkul (berserah diri) adalah inti dari pesan ayat ini. Namun, tawakkul sering disalahpahami sebagai kepasrahan total tanpa usaha. Ayat 129, ketika dilihat dalam konteks Surah At-Taubah, justru mengajarkan tawakkul yang aktif dan bertanggung jawab.

A. Tawakkul vs. Tawaakul (Pasrah Buta)

Surah At-Taubah, secara keseluruhan, adalah surah perintah aksi: perintah jihad, perintah memutus hubungan dengan musuh, perintah introspeksi diri (taubah), dan perintah menunaikan zakat. Ini menunjukkan bahwa seorang mukmin harus berbuat, bergerak, dan berusaha semaksimal mungkin.

Tawakkul, sebagaimana diajarkan oleh ayat 129, adalah meletakkan hati pada Allah setelah tangan selesai bekerja. Jika Nabi ﷺ diperintahkan untuk melakukan semua tindakan politik, militer, dan dakwah di Madinah, namun kemudian diperintahkan untuk mengatakan ‘Hanya kepada-Nya aku bertawakkal,’ itu berarti hasil dari semua upaya (kemenangan, perdamaian, atau penerimaan) sepenuhnya berada di tangan Allah. Tawakkul adalah finalisasi spiritual dari usaha manusia.

B. Ketidakbergantungan pada Manusia

Ayat ini dimulai dengan syarat: فَإِن تَوَلَّوْا (Jika mereka berpaling). Ini adalah pengajaran krusial bagi kepemimpinan dan dakwah. Ketika manusia—yang kita harapkan dukungannya—justru berpaling, langkah yang harus diambil bukanlah mengejar mereka atau meratapi penolakan mereka. Langkahnya adalah memutus ketergantungan emosional dan material dari mereka, dan mengaitkan diri hanya kepada Allah.

Ketergantungan pada makhluk (ta'alluq bi ghayrillah) adalah penyakit hati yang dapat merusak tauhid. Ayat 129 berfungsi sebagai penawar, mengingatkan bahwa pengagungan dan ketergantungan hanya layak diberikan kepada Dzat yang kekuasaan-Nya abadi, bukan kepada makhluk fana yang bisa saja berpaling sewaktu-waktu.

Konsep ini sangat penting dalam menghadapi ketidakadilan atau tekanan. Ketika seorang mukmin merasa tertekan oleh sistem, penguasa, atau bahkan kerabat, ayat ini adalah pengingat bahwa satu-satunya kekuasaan yang harus ditakuti adalah Allah. Jika sandaran sudah kepada Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim, maka kekuatan duniawi apapun tidak akan mampu menghadirkan bahaya yang sesungguhnya.

VIII. Integrasi Akidah dan Syariat dalam Ayat

Ayat terakhir Surah At-Taubah menyajikan integrasi sempurna antara tiga pilar agama: Akidah (Keyakinan), Syariat (Hukum), dan Ihsan (Spiritualitas).

A. Akidah (Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah)

Ayat ini adalah deklarasi tauhid murni. لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ adalah tauhid uluhiyyah (pengesaan dalam peribadatan). Sementara رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ adalah tauhid rububiyyah (pengesaan dalam penciptaan, pengaturan, dan kekuasaan). Ayat ini memastikan bahwa hamba mengakui Allah sebagai satu-satunya yang patut disembah sekaligus satu-satunya yang mengatur alam semesta.

B. Syariat (Implementasi Perintah)

Meskipun ayat ini terdengar seperti doa, ia adalah perintah. Perintah kepada Nabi ﷺ dan umatnya untuk bersikap tegas dalam tauhid dan berserah diri penuh ketika menjalankan perintah-perintah syariat (seperti jihad, yang merupakan inti dari surah ini). Syariat harus dilaksanakan, namun hati harus terlepas dari hasil syariat tersebut.

C. Ihsan (Tawakkul sebagai Puncak Kualitas)

Ihsan adalah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Tawakkul adalah manifestasi tertinggi dari Ihsan, karena hanya hati yang benar-benar merasakan kehadiran dan keagungan Allah yang mampu menyerahkan segala urusannya secara total. Ketika hamba mengucapkan 'Hasbiyallahu', ia mencapai tingkat tertinggi dari kesadaran spiritual, yaitu merasa cukup hanya dengan Allah.

Pengajaran mendasar dari ayat ini adalah bahwa agama tidak hanya sekadar ritual formal (syariat) atau dogma kering (akidah). Agama adalah penghayatan yang utuh (ihsan), di mana setiap perbuatan fisik didasari oleh keyakinan hati yang teguh. Ayat 129 menutup Surah At-Taubah dengan mengingatkan bahwa semua hukum, perintah, dan larangan bertujuan untuk membawa manusia kembali kepada kesempurnaan tawakkul dan tauhid.

IX. Dampak Psikologis dan Spiritual Pembacaan Ayat

Dalam konteks modern, di mana kecemasan, stres, dan ketidakpastian ekonomi merajalela, Ayat 129 memiliki peran terapeutik yang luar biasa. Ia adalah obat penenang bagi jiwa yang gelisah.

A. Mengatasi Kecemasan (Qalaq)

Kecemasan seringkali berakar pada kekhawatiran tentang masa depan atau ketidakmampuan untuk mengontrol hasil. Ketika seseorang mengulang 'Hasbiyallahu', ia menyerahkan kontrol yang mustahil dipegangnya kepada Penguasa Mutlak. Penyerahan ini secara instan mengurangi beban psikologis yang dipikul oleh individu tersebut. Keyakinan bahwa 'Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim' akan mengurus urusannya memberikan ruang bagi kedamaian batin.

B. Penguatan Identitas Diri (Self-Reliance on God)

Ayat ini membantu membangun identitas diri yang kuat, di mana harga diri dan rasa aman tidak bergantung pada validasi atau dukungan eksternal. Jika orang lain berpaling (fa in tawallau), nilai diri seorang mukmin tidak turun, karena sandarannya adalah Allah. Ini adalah fondasi dari kemuliaan diri (izza) yang bersumber dari keimanan, bukan dari dunia.

Para ulama kontemporer menekankan bahwa membaca ayat ini harus disertai dengan refleksi (tadabbur) pada makna ‘Arsyil-‘Azhim. Jika kita dapat merenungkan betapa dahsyatnya alam semesta, dan bahwa Dzat yang kita sandari menguasai semua itu, maka masalah pribadi kita akan terasa kecil dan dapat ditanggung. Ini adalah teknik kognitif untuk mengubah perspektif dari yang berpusat pada masalah menjadi yang berpusat pada Tuhan.

Lebih dari sekadar penghibur, ayat ini mengajarkan disiplin mental. Dalam disiplin ilmu psikologi Islam (Tazkiyatun Nafs), penyakit hati seperti riya' (pamer), ujub (kagum pada diri sendiri), dan tamak (serakah) seringkali berakar pada ketergantungan pada makhluk. Dengan mendisiplinkan lidah dan hati untuk hanya mengatakan ‘Hasbiyallahu’, hamba secara bertahap memutus ikatan psikologis yang merusak ini. Semakin kuat pengakuan 'Laa Ilaaha Illaa Huwa' terinternalisasi, semakin mudah bagi jiwa untuk menerima ketetapan (qada') Ilahi, baik berupa nikmat maupun musibah. Kedamaian yang dihasilkan adalah hasil dari penerimaan takdir secara total.

X. Warisan dan Penggunaan Ayat dalam Sejarah Islam

Ayat 129 Surah At-Taubah tidak hanya menjadi objek tafsir, tetapi juga bagian integral dari praktik keagamaan dan sejarah kepahlawanan Islam.

A. Tradisi Salaf dan Kifayah

Generasi Salafus Shalih, termasuk para sahabat, menaruh perhatian besar pada kalimat-kalimat tauhid yang pendek dan padat. Mereka menggunakannya sebagai benteng ketika menghadapi cobaan. Ucapan ‘Hasbiyallahu wa Ni’mal Wakil’, meskipun berasal dari surah lain (Ali Imran 173), memiliki makna yang sangat dekat dengan Ayat 129, dan keduanya sering digunakan secara bergantian sebagai doa kecukupan.

Diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa siapa saja yang membaca ayat ini di pagi hari sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencukupi segala urusan dunia dan akhiratnya pada hari itu. Keyakinan akan janji kecukupan ini merupakan praktik umum yang diwarisi turun-temurun, berfungsi sebagai janji perlindungan Ilahi di awal hari yang penuh tantangan.

B. Penggunaan dalam Wirid Tarekat

Dalam tradisi tarekat sufiyah, ayat ini adalah elemen sentral dalam berbagai wirid dan hizib. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah, dikenal karena merumuskan wirid yang sangat populer, yang memasukkan ayat ini di bagian yang krusial. Dalam konteks ini, pembacaan ayat tersebut tidak hanya untuk perlindungan fisik, tetapi juga untuk perlindungan hati dari bisikan jahat (waswas) dan godaan dunia.

Pengulangan yang konsisten dalam majelis dzikir bertujuan untuk mencapai keadaan fana' (peleburan diri) dalam tauhid, di mana kehadiran Allah terasa begitu kuat sehingga kehadiran masalah duniawi menjadi pudar. Ayat 129 membantu mencapai pemahaman bahwa segala sesuatu di luar Allah adalah sekadar ilusi atau bayangan yang tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.

Beberapa guru spiritual bahkan mengajarkan bahwa ketika seseorang berhadapan dengan keputusan besar yang mengandung risiko tinggi, setelah melakukan shalat Istikharah, ia harus mengakhiri doanya dengan membaca ayat ini dengan hati yang penuh penyerahan. Dengan demikian, ia telah melakukan upaya spiritual (istikharah) dan upaya hati (tawakkul) untuk mencapai hasil terbaik yang telah ditetapkan oleh Rabbul-‘Arsyil-‘Azhim.

XI. Perbedaan Tafsir dan Isu Basmalah

Meskipun Ayat 129 diterima secara universal, konteks Surah At-Taubah secara keseluruhan memunculkan isu tafsir yang khas, terutama terkait dengan ketiadaan Basmalah.

A. Hubungan Ayat 129 dengan Ayat 128

Sebagian mufassir menekankan kontras antara Ayat 128 (Rasul yang penyayang) dan Ayat 129 (Tawakkul mutlak). Ayat 128: لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin).

Ayat 128 menunjukkan sifat Nabi yang penuh empati. Namun, jika pun setelah semua kasih sayang ini manusia tetap berpaling, Nabi tidak boleh bersedih berkepanjangan; beliau harus segera kembali kepada sumber kekuatannya (Hasbiyallahu). Ini menunjukkan keseimbangan antara kasih sayang terhadap makhluk dan ketergantungan mutlak kepada Khaliq.

B. Kontroversi 'Akhir' Surah

Ada beberapa riwayat lemah dalam tradisi Syiah yang mengklaim bahwa dua ayat terakhir (128 dan 129) awalnya bukan bagian dari Surah At-Taubah, melainkan bagian dari Surah Al-Anfal, atau bahkan dari mushaf yang hilang. Namun, klaim ini secara mutlak ditolak oleh konsensus (ijma') Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para ulama Qira'ah, yang menegaskan bahwa dua ayat ini adalah penutup Surah At-Taubah berdasarkan Mushaf Utsmani dan riwayat mutawatir dari Nabi ﷺ.

Oleh karena itu, penempatan Ayat 129 sebagai penutup Surah Bara'ah adalah sesuatu yang disepakati, berfungsi sebagai penutup yang memberikan rahmat setelah serangkaian hukum dan peringatan yang keras. Seakan-akan, Allah ingin menutup surah yang penuh ketegasan ini dengan janji belas kasih dan jaminan perlindungan bagi hamba-Nya yang berserah diri.

Kajian perbandingan tafsir juga menunjukkan bahwa fokus utama dalam penafsiran kedua ayat ini adalah untuk mengokohkan peran Nabi Muhammad ﷺ sebagai teladan terbaik dalam semua kondisi. Beliau adalah pemimpin yang penyayang (Ayat 128), tetapi juga pribadi yang paling tawakkal (Ayat 129). Bagi umatnya, ini berarti bahwa kelembutan dan kekuatan spiritual harus berjalan beriringan.

XII. Penutup: Deklarasi Keimanan Abadi

Surah At-Taubah ayat ke-129 adalah lebih dari sekadar ayat penutup; ia adalah deklarasi abadi tentang inti keimanan seorang Muslim. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, ketika manusia merasa rentan, ayat ini menawarkan perlindungan total melalui pengakuan tauhid yang murni.

Inti dari pesan ini adalah bahwa setiap kesulitan, setiap pengkhianatan, dan setiap ketakutan harus direspon dengan afirmasi yang teguh: Cukuplah Allah bagiku. Dzat yang aku sandari bukan hanya Dzat yang mencukupi, tetapi juga Pemilik Takhta yang Maha Agung. Tawakkul yang lahir dari pengetahuan ini adalah kekuatan spiritual yang tidak dapat dihancurkan, menjamin ketenangan hati di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.

Dengan menginternalisasi dan mengamalkan kalimat agung ini, seorang mukmin menempatkan dirinya di bawah naungan ‘Arsy yang agung, terlindungi dari segala bentuk kelemahan dan keterbatasan makhluk. Ayat ini merupakan warisan berharga yang terus menerus mengingatkan umat Islam untuk kembali kepada tauhid murni, penyerahan total, dan keyakinan akan keagungan Allah SWT.

***

🏠 Homepage