Tafsir dan Hikmah Surat An-Nahl Ayat 43

Wahyu Pesan Ilahiah

Visualisasi proses penerimaan dan penyampaian ilmu (merujuk pada peran Nabi)

Konteks Surat An-Nahl Ayat 43

Surat An-Nahl (Lebah) adalah surat ke-16 dalam Al-Qur'an yang kaya akan ayat-ayat yang menunjukkan kebesaran Allah (ayatun lil 'ālamīn) melalui fenomena alam dan hukum kehidupan. Ayat ke-43 dari surat ini memiliki peran krusial dalam menegaskan legitimasi kerasulan Nabi Muhammad SAW, khususnya dalam konteks penolakan atau keraguan dari sebagian masyarakat Mekkah terhadap beliau.

Ayat ini adalah sebuah penetapan ilahiah yang tegas, menegaskan bahwa fungsi utama seorang Rasul adalah menyampaikan risalah yang telah diwahyukan kepadanya, bukan mengarang atau menciptakan ajaran baru. Hal ini menjadi bantahan langsung terhadap tuduhan bahwa Nabi Muhammad menciptakan ajaran Islam dari dirinya sendiri.

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Wa mā arsalnā qablaka illā rijālan nūḥī ilayhim, fas'alū Ahladz-Dzikri in kuntum lā taʻlamūn(a).

Artinya: "Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahli Kitab) jika kamu tidak mengetahui."

Makna Hakiki: Kewenangan Rasul dan Kewajiban Bertanya

Pesan utama dari surat an nahl 43 ini dapat diuraikan menjadi dua poin fundamental:

1. Konsistensi Pengutusan Nabi

Firman Allah, "Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya," menegaskan bahwa pola kenabian selalu sama sepanjang sejarah. Allah memilih rijālan (laki-laki) dari kalangan manusia itu sendiri, yang kemudian Allah pilih secara khusus untuk menerima wahyu (nūḥī ilayhim). Ini menunjukkan bahwa risalah Islam bukanlah keunikan baru yang terisolasi, melainkan kelanjutan dari rantai kenabian yang diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW. Jika ada yang meragukan keaslian wahyu yang dibawa Nabi Muhammad, maka mereka sebenarnya meragukan mekanisme baku pewahyuan yang telah Allah tetapkan sejak zaman Nabi Nuh, Musa, hingga Isa.

Penekanan bahwa para rasul adalah manusia biasa (laki-laki) menghilangkan anggapan bahwa beliau adalah sosok dewa atau entitas asing yang tidak mungkin dipahami. Justru, karena beliau manusia, maka keteladanan beliau menjadi relevan dan dapat dicontoh.

2. Otoritas Ahli Ilmu (Ahluz Zikr)

Bagian kedua ayat ini, "maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahli Kitab) jika kamu tidak mengetahui," adalah pedoman metodologis yang sangat penting. Ayat ini ditujukan kepada kaum musyrikin atau siapa pun yang meragukan kebenaran risalah Nabi Muhammad.

Secara historis, konteksnya sering dikaitkan dengan kaum Quraisy yang menuduh Nabi mengarang Al-Qur'an. Allah memerintahkan mereka untuk merujuk kepada Ahluz Zikr (secara umum berarti pemilik pengetahuan atau ingatan), yang pada konteks ini sering diinterpretasikan merujuk kepada para ulama Yahudi dan Nasrani yang telah menerima Taurat dan Injil. Jika Muhammad benar-benar mengarang, kitab-kitab suci terdahulu pasti akan membantahnya, atau para ahli kitab yang memahami ajaran nabi-nabi terdahulu akan memberikan kesaksian bahwa ajaran Muhammad bertentangan.

Namun, secara universal, Ahluz Zikr adalah fondasi dari setiap komunitas muslim. Jika umat Islam menghadapi isu atau masalah keagamaan yang belum mereka pahami, mereka wajib merujuk kepada mereka yang memiliki ilmu mendalam dan otoritas keilmuan yang sahih. Ini mengajarkan prinsip tawadhu’ (kerendahan hati) dalam berilmu dan pentingnya otoritas keilmuan yang terverifikasi, bukan sekadar mengikuti asumsi atau hawa nafsu.

Implikasi Pendidikan dan Dakwah

Ayat 43 An-Nahl bukan hanya tentang penetapan kenabian, tetapi juga tentang cara berinteraksi dengan kebenaran. Pertama, ia menetapkan bahwa sumber utama ajaran adalah wahyu. Kedua, ia memberikan jalan keluar bagi ketidaktahuan: yakni bertanya kepada ahlinya.

Dalam konteks dakwah modern, ayat ini menekankan bahwa keraguan adalah hal yang alami, namun ketidaktahuan yang dibiarkan tanpa dikonsultasikan kepada sumber yang kompeten adalah kegagalan. Ini memvalidasi pentingnya lembaga keilmuan dan guru agama yang mumpuni. Mengabaikan nasihat ulama yang kompeten dalam urusan agama sama dengan menolak panduan yang Allah sediakan ketika manusia dihadapkan pada ketidaktahuan.

Oleh karena itu, surat an nahl ayat 43 adalah pilar yang menopang struktur keilmuan Islam; ia mengukuhkan keaslian wahyu melalui konsistensi kenabian, sekaligus memberikan metodologi yang jelas bagi umat beriman ketika mereka menghadapi hal-hal yang melampaui pengetahuan mereka: merujuk kepada orang yang berilmu.

🏠 Homepage