Al-Qur'an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung berbagai macam kisah, hukum, serta hikmah yang mendalam. Salah satu ayat yang sering menjadi perbincangan dan renungan adalah Surat An-Nisa Ayat 158. Ayat ini memberikan gambaran yang jelas mengenai nasib orang-orang yang menentang dan mengingkari ayat-ayat Allah.
Surat An-Nisa adalah surat keempat dalam Al-Qur'an, yang secara umum membahas tentang hukum-hukum keluarga dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Ayat 158 sendiri turun sebagai penegasan atas kekuasaan Allah dan kebenaran ajaran yang dibawa oleh para nabi, sekaligus sebagai ancaman bagi mereka yang mengingkarinya.
"Dan apabila mereka datang kepadamu, orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka katakanlah, 'Salaamun 'alaikum' (semoga keselamatan tercurah padamu). Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) barangsiapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian ia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Terdapat perbedaan penomoran pada beberapa mushaf, namun makna yang terkandung dalam ayat ini secara umum dipahami sebagai berikut. Ayat ini menggarisbawahi dua aspek penting: pertama, sikap yang harus diambil oleh orang mukmin ketika bertemu dengan orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah, yaitu dengan mengucapkan salam. Kedua, penekanan terhadap rahmat Allah yang luas, bahkan bagi mereka yang berbuat salah karena ketidaktahuan, asalkan segera bertaubat dan memperbaiki diri.
Ayat ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap. Ketika bertemu dengan sesama mukmin, hendaknya disambut dengan salam, yang merupakan doa keselamatan dan penghormatan. Ini mencerminkan persaudaraan dalam iman yang diajarkan Islam. Ucapan salam ini bukan sekadar sapaan biasa, melainkan sebuah pengakuan atas iman yang sama dan harapan akan keselamatan dunia akhirat.
Lebih lanjut, ayat ini mengingatkan kita akan sifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang Allah SWT. Frasa "kataba Rabbukum 'ala nafsihi ar-rahmah" (Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang) menunjukkan bahwa rahmat adalah sifat inheren dari Allah. Rahmat ini dilimpahkan kepada seluruh makhluk-Nya, namun bagi orang mukmin, rahmat ini memiliki makna yang lebih dalam, yaitu keselamatan dan kebahagiaan abadi.
Aspek penting lainnya adalah pengampunan dosa bagi pelaku kesalahan yang disertai taubat nasuha. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan, "man 'amila minkum suu'an bijahaalah, tsumma taubu min ba'dihi wa ashla'hu" (barangsiapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian ia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri). Kata "jahaalah" (kebodohan) di sini bisa diartikan sebagai ketidaktahuan akan konsekuensi perbuatannya, atau melakukan maksiat dalam keadaan lalai dan tidak menyadari betapa buruknya perbuatan tersebut.
Namun, penting untuk dicatat bahwa taubat dan perbaikan diri adalah kunci utama untuk mendapatkan ampunan tersebut. Taubat yang tulus tidak hanya penyesalan di hati, tetapi juga diiringi dengan tekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut (taubah nasuha) dan memperbaiki diri dengan melakukan perbuatan baik. Dengan demikian, Allah SWT, dengan sifat Ghafur (Maha Pengampun) dan Rahim (Maha Penyayang)-Nya, akan mengampuni dosa-dosanya dan menerima taubatnya.
Ayat ini mengajarkan beberapa hikmah yang sangat berharga bagi kehidupan seorang mukmin:
Memahami dan merenungkan makna Surat An-Nisa Ayat 158 akan membantu kita untuk senantiasa memperbaiki diri, memperkuat tali persaudaraan, serta meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran dan keluasan rahmat Allah SWT. Ini adalah pengingat abadi bahwa pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja yang tulus memohon ampunan dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.