Ilustrasi: Simbol Harmoni Keluarga
Dalam lautan ajaran Islam yang luas, terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi pedoman fundamental bagi kehidupan umat manusia. Salah satu bagian penting yang mengatur aspek sosial, khususnya pernikahan dan hubungan keluarga, adalah Surat An Nisa ayat 23 hingga 25. Ayat-ayat ini bukan sekadar larangan dan perintah, melainkan sebuah bingkai kebijaksanaan yang diturunkan untuk menciptakan keharmonisan, keadilan, dan keberkahan dalam institusi terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Memahami kandungan ayat-ayat ini secara mendalam adalah langkah awal untuk membangun rumah tangga yang kokoh dan masyarakat yang sehat.
Surat An Nisa ayat 23 diawali dengan penyebutan beberapa perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Ayat ini merinci daftar kerabat mahram yang tidak boleh dinikahi, antara lain: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah (bibi dari pihak ayah), saudara perempuan ibu (bibi dari pihak ibu), anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, ibu-ibu yang menyusui, saudara perempuan sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak tiri dari istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri—tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa bagimu (mengawini anak tiri tersebut), dan (perhatikanlah) perempuan-perempuan yang terikat perkawinan (istri orang lain), kecuali perempuan yang kamu miliki (hamba sahaya). Hal ini adalah ketetapan yang diwajibkan atasmu.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
(Allah berfirman): "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu kamu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara kamu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan (bibi); saudara-saudara ibumu yang perempuan (bibi); anak-anak keponakanmu laki-laki; anak-anak keponakanmu perempuan; ibu-ibu yang menyusuimu; saudara-saudara perempuanmu yang sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang sudah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa bagimu (mengawini) anak-anak istrimu itu; (dan diharamkan) perempuan-perempuan yang berasal dari tulang punggung suamimu (menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An Nisa: 23)
Daftar ini mencakup larangan yang bersifat abadi dan mutlak, baik karena hubungan nasab (keturunan) maupun hubungan persusuan. Keberadaan larangan ini memiliki hikmah yang mendalam, antara lain untuk menjaga kemurnian nasab, mencegah potensi permusuhan dalam keluarga besar, serta menjaga kehormatan dan kesucian hubungan kekerabatan. Selain itu, larangan mengawini perempuan yang sudah bersuami juga menegaskan prinsip kesetiaan dan menjaga hak-hak orang lain.
Setelah menjelaskan larangan-larangan yang ada, ayat-ayat selanjutnya dalam Surat An Nisa memberikan kaidah mengenai siapa yang boleh dinikahi dan bagaimana seharusnya proses pernikahan itu berjalan.
Surat An Nisa ayat 24 melanjutkan dengan menjelaskan beberapa golongan wanita yang dihalalkan untuk dinikahi, kecuali bagi mereka yang memiliki status tertentu. Ayat ini berbunyi:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۖ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan) perempuan-perempuan yang sudah bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (tangan kananmu). Demikian itu adalah ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagimu selain yang demikian itu, supaya kamu mencari (dengan hartamu) perempuan-perempuan yang masih dalam ikatan pernikahan dengan memelihara kehormatanmu bukan karena kamu membuat mereka zina, dan perempuan mana saja yang kamu nikmati dari mereka, berikanlah kepada mereka maharnya. Dan tidak ada dosa bagi kamu melakukan apa yang kamu perbuat bersama setelah ditetapkan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisa: 24)
Ayat ini menegaskan bahwa wanita yang sudah bersuami haram dinikahi, kecuali budak perempuan yang dimiliki. Namun, perlu dicatat bahwa konteks kepemilikan budak saat ini sudah tidak relevan di banyak negara. Inti dari ayat ini adalah larangan untuk merusak rumah tangga orang lain. Selain itu, ayat ini juga membolehkan laki-laki untuk menikahi wanita lain yang tidak termasuk dalam daftar yang diharamkan, dengan syarat dilakukan secara sah dan bertanggung jawab, bukan untuk memenuhi nafsu belaka. Pemberian mahar menjadi bagian penting dari proses pernikahan yang menunjukkan penghormatan dan tanggung jawab suami terhadap istri.
Ayat 24 juga menyentuh isu pernikahan dengan budak perempuan. Pada masa turunnya Al-Qur'an, perbudakan adalah fenomena yang umum terjadi. Ayat ini memberikan solusi bagi budak perempuan yang menjadi milik, memungkinkan pernikahan mereka jika memang diinginkan, dengan tetap memperhatikan hak-hak mereka dan kewajiban suami, termasuk pemberian mahar. Seiring perkembangan zaman dan upaya penghapusan perbudakan, pemahaman mengenai ayat ini perlu disesuaikan dengan konteks sosial yang berlaku, namun semangat keadilan dan perlindungan hak tetap menjadi esensi yang harus dijaga.
Selanjutnya, Surat An Nisa ayat 25 memberikan aturan tambahan mengenai pernikahan, khususnya terkait dengan hubungan dengan budak dan perempuan dari kalangan ahli kitab. Ayat ini menjelaskan:
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَافَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan siapa di antaramu yang tidak mempunyai cukup harta untuk (mengawini) perempuan merdeka lagi beriman, maka (kawinilah) budak-budak yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain; kawinilah mereka dengan izin tuan mereka dan berikanlah kepada mereka mahar mereka menurut cara yang patut, sedang kitapun (perempuan-perempuan itu) yang memelihara diri, bukan yang menunjukkan diri untuk berzina dan bukan yang menjadikan perempuan simpanan. Apabila mereka sudah menjadi istri orang, kemudian mereka melakukan perbuatan keji, maka (hukumannya) separo dari hukuman perempuan merdeka. (Hukum cambuk). Dan demikian itu (perkawinan dengan budak) adalah bagi orang yang takut kepada kemaksiatan di antaramu. Dan jika kamu bersabar adalah lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa: 25)
Ayat ini memberikan keringanan bagi mereka yang tidak mampu menikahi wanita merdeka beriman untuk menikahi budak perempuan beriman. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan jalan keluar bagi kesulitan, namun tetap menekankan pada keimanan dan proses yang benar. Pernikahan dengan budak harus dilakukan dengan izin walinya (pemiliknya) dan dengan mahar yang sesuai. Ayat ini juga membedakan antara pernikahan yang sah dan hubungan yang tidak sah seperti zina atau memiliki simpanan. Bagi budak perempuan yang sudah menikah namun melakukan perbuatan keji, hukumannya adalah separuh dari hukuman wanita merdeka. Keringanan ini diberikan kepada mereka yang khawatir terjerumus dalam kemaksiatan jika tidak menikah, namun tetap dianjurkan untuk bersabar jika mampu.
Surat An Nisa ayat 23-25 memberikan pondasi yang kokoh bagi institusi pernikahan. Larangan yang jelas, aturan yang adil, dan anjuran untuk menjaga kehormatan, semuanya bertujuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan masyarakat yang beradab. Pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat ini, dengan mempertimbangkan konteks historis dan sosial, sangat penting bagi setiap Muslim. Tujuannya adalah untuk menegakkan nilai-nilai luhur pernikahan, melindungi hak-hak semua pihak, dan membangun generasi yang saleh dan berintegritas.