Dalam ajaran Islam, kekayaan dan harta benda memiliki kedudukan yang penting. Namun, Islam juga menekankan bahwa harta adalah titipan Allah SWT semata dan harus dikelola serta dibelanjakan sesuai dengan tuntunan-Nya. Dua ayat dari Surat An Nisa, yaitu ayat 5 dan 6, memberikan panduan yang sangat jelas mengenai hal ini, khususnya terkait dengan pengelolaan harta yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bawah perwalian, serta kewajiban untuk berbuat baik dan adil dalam membelanjakannya.
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum cukup akal harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu. Peliharalah mereka (dengan harta itu) dan beri pakaianlah mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."
Ayat ini secara tegas melarang penyerahan harta kepada orang-orang yang belum mampu mengelolanya dengan baik, yang dalam istilah Al-Qur'an disebut sebagai "sufaha'" (orang-orang yang belum cukup akal atau bodoh dalam urusan harta). Dalam konteks historis, ini seringkali merujuk pada anak-anak yatim yang telah memasuki usia dewasa namun belum teruji kemampuan finansialnya, atau orang-orang yang memiliki keterbatasan mental. Namun, secara umum, ayat ini juga dapat dipahami sebagai larangan memberikan kebebasan penuh atas pengelolaan harta kepada individu yang belum memiliki kedewasaan finansial, kematangan berpikir, atau pengalaman dalam mengelola kekayaan.
Allah SWT menyebut harta sebagai "pokok kehidupan" (qiyaman). Ini menunjukkan betapa pentingnya harta untuk kelangsungan hidup dan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, penyerahannya harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Sebagai gantinya, orang yang dipercayakan untuk mengelola harta tersebut diperintahkan untuk:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka siap untuk kawin (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka sudah cerdas (dapat mengurus hartanya), maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) harta itu melampaui batas dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (memakannya) sebelum mereka dewasa. Dan barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah menahan diri (dari memakannya), dan barang siapa miskin, hendaklah ia memakannya secara patut. Kemudian apabila kamu telah menyerahkan kepada mereka harta mereka, maka saksikanlah atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan."
Ayat ini melanjutkan penjelasan mengenai anak yatim, dengan fokus pada proses ujian dan penyerahan harta ketika mereka telah mencapai kedewasaan dan terbukti mampu mengelolanya. Kata "balaghun nikaah" yang sering diterjemahkan sebagai "siap untuk kawin" dalam konteks ini melambangkan kedewasaan jasmani dan mental. Namun, yang terpenting adalah "ruyudan" (kecerdasan atau kematangan dalam mengurus harta).
Ayat ini memerintahkan untuk menguji anak yatim sampai mereka benar-benar siap dan mampu mengurus harta mereka sendiri. Jika sudah terbukti kecerdasan dan kematangan mereka, barulah harta tersebut diserahkan sepenuhnya.
Terdapat larangan keras untuk memakan harta anak yatim secara berlebihan (israf) atau tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Ini menekankan kewajiban menjaga amanah harta tersebut.
Lebih lanjut, ayat ini membedakan perlakuan bagi pemelihara harta anak yatim yang memiliki kondisi finansial yang berbeda:
Terakhir, setelah harta diserahkan kepada anak yatim yang telah dewasa, disyariatkan untuk mengadakan saksi. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban dan bukti bahwa amanah telah ditunaikan. Allah SWT menegaskan bahwa Dia adalah sebaik-baik penghisab, yang Maha Mengetahui setiap perbuatan.
Surat An Nisa ayat 5-6 mengajarkan kita beberapa prinsip penting:
Di era modern ini, prinsip-prinsip dalam Surat An Nisa ayat 5-6 tetap sangat relevan. Pengelolaan dana wakaf, zakat, hibah, dan harta warisan harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip ini demi kemaslahatan umat dan menjaga amanah Allah SWT. Umat Muslim diajak untuk menjadi pengelola harta yang amanah, adil, dan bijaksana, senantiasa mengingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah titipan dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya.