Surat An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surat Madaniyah yang kaya akan ajaran dan pedoman hidup bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung berbagai aspek hukum, etika, dan spiritualitas. Dua ayat yang sangat penting dan sarat makna adalah ayat 64 dan 65. Ayat-ayat ini secara mendalam menjelaskan tentang hakikat kenabian, ketaatan kepada Rasulullah SAW, serta konsekuensi dari penolakan terhadap ajaran beliau.
Surat An-Nisa ayat 64 berbunyi:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Dan sesungguhnya ketika mereka berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri, mereka datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menegaskan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: ketaatan kepada Rasulullah Muhammad SAW adalah bagian tak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT mengutus para nabi dan rasul bukan sekadar sebagai penyampai wahyu, tetapi juga sebagai teladan dan pembuat kebijakan yang harus ditaati atas izin-Nya. Rasulullah SAW, sebagai penutup para nabi, membawa risalah Islam yang sempurna dan menjadi otoritas dalam menjelaskan serta mempraktikkan ajaran Allah.
Poin penting dari ayat ini adalah frasa "dengan seizin Allah". Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasul bukan berarti menuhankan beliau, melainkan mengikuti petunjuk dan ajaran yang telah Allah perintahkan untuk disampaikan melalui beliau. Ketaatan ini adalah bentuk ibadah kepada Allah. Lebih lanjut, ayat ini juga membuka jalan bagi mereka yang berbuat salah untuk bertaubat. Ketika seseorang merasa telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, ia dianjurkan untuk mendatangi Rasulullah, memohon ampunan kepada Allah, dan Rasulullah pun akan memohonkan ampunan baginya. Ini menunjukkan betapa besar rahmat dan kemurahan Allah, serta peran sentral Rasulullah sebagai perantara dalam mendapatkan ampunan-Nya.
Kemudian, surat An-Nisa ayat 65 melanjutkan penegasan otoritas Rasulullah SAW:
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak akan beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima putusan itu sepenuhnya."
Ayat 65 ini memberikan penegasan yang sangat kuat mengenai keimanan. Allah bersumpah demi Dzat-Nya yang Maha Mulia bahwa seseorang tidak dianggap beriman secara sempurna sampai ia menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim tertinggi dalam setiap perselisihan yang terjadi di antara mereka. Ini mencakup segala aspek kehidupan, baik urusan agama, dunia, hukum, maupun sosial. Hakim dalam konteks ini bukan hanya dalam arti peradilan formal, tetapi juga sebagai sumber rujukan dan otoritas dalam memahami serta menerapkan ajaran Islam.
Lebih dari sekadar menjadikan Rasulullah sebagai hakim, ayat ini juga mensyaratkan adanya penerimaan yang tulus dari hati. Mereka tidak boleh merasa "berat" atau "keberatan" dengan putusan yang diberikan oleh Rasulullah. Kepatuhan yang hanya di permukaan tanpa penerimaan dari hati bukanlah keimanan yang hakiki. Ketaatan yang sempurna adalah ketika seseorang menyerahkan diri sepenuhnya (tasliman) kepada apa pun yang diputuskan oleh Rasulullah, meyakini bahwa keputusan tersebut adalah yang terbaik dan paling adil, karena bersumber dari wahyu Allah.
Makna mendalam dari Surat An-Nisa ayat 64 dan 65 memiliki relevansi yang sangat besar bagi umat Islam di zaman modern. Dalam menghadapi berbagai isu dan problematika kehidupan, kita sebagai Muslim dituntut untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber utama pedoman. Ini berarti:
Dengan memahami dan mengamalkan kandungan Surat An-Nisa ayat 64 dan 65, diharapkan setiap Muslim dapat memperkuat fondasi keimanannya, menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutan sejati, dan senantiasa mencari solusi serta kebenaran dalam ajaran Islam yang dibawa oleh beliau.