Rahmat dan Petunjuk yang Terkandung dalam Ayat Penutup At-Taubah
Surat At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakter yang unik. Dikenal sebagai surah yang tegas, bahkan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah*—melambangkan pernyataan perang dan ketegasan terhadap kaum munafik dan musyrikin yang melanggar perjanjian—ia mengalirkan arus ketegasan yang kuat sepanjang sebagian besar ayatnya. Namun, di penghujung surah, menjelang akhir Al-Qur'an ditutup, Allah SWT menghadiahkan kepada umat manusia dua ayat penutup yang agung, yang menjadi oase rahmat, kasih sayang, dan puncak ketawakkalan. Ayat 128 dan 129 ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ketegasan ilahi dengan kelembutan kasih kenabian.
Kedua ayat ini merupakan intisari dari peran kenabian Muhammad SAW dan ajaran fundamental mengenai ketergantungan mutlak kepada Pencipta semesta alam. Dalam kajian yang mendalam ini, kita akan menelusuri setiap frasa dari Surat At-Taubah 128 dan 129, mengupas makna linguistiknya, implikasi teologisnya, serta memahami bagaimana transkripsi latin membantu kita dalam penghayatan dan pengucapan yang benar.
Ayat 128 secara khusus membahas hakikat dan karakteristik Rasulullah Muhammad SAW, menegaskan bahwa beliau adalah rahmat yang dihadirkan langsung oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Terjemah: Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Pembukaan ayat ini menggunakan sumpah penegasan (*laqad*), menandakan pentingnya pernyataan yang akan disampaikan. Frasa kunci di sini adalah min anfusikum. Secara harfiah berarti "dari jiwa-jiwa kalian" atau "dari jenis kalian sendiri."
Kata 'aziizun memiliki makna 'berat' atau 'menyakitkan'. Ayat ini menunjukkan empati yang luar biasa dari Rasulullah SAW. Beliau merasakan beban kesulitan, dosa, dan kesengsaraan yang dialami umatnya seolah-olah itu adalah penderitaan beliau sendiri.
Kata hariishun (sangat bersemangat, sangat menginginkan) menunjukkan ambisi kenabian. Ambisi ini bukanlah ambisi duniawi, melainkan keinginan yang membara agar seluruh umat manusia mendapatkan petunjuk dan masuk surga. Keinginan ini melampaui batas kewajiban biasa.
Penutup ayat ini menggunakan dua sifat ilahi (Ra'uf dan Rahim) untuk mendeskripsikan sifat Rasulullah SAW, namun secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Ayat ini sering dijadikan landasan utama dalam memahami hakikat kenabian. Ia menegaskan bahwa Rasulullah adalah wujud konkret dari kasih sayang Allah di bumi. Kehadiran beliau adalah anugerah terbesar (*minnah*) bagi umat manusia.
Tafsir klasik seperti Imam al-Qurtubi dan Fakhruddin ar-Razi menekankan bahwa ayat ini memberikan harapan besar bagi umat. Jika Rasulullah SAW saja merasakan penderitaan umatnya, apalagi Allah SWT yang Maha Pengasih. Ayat ini berfungsi sebagai penenang di akhir surah yang keras, mengingatkan bahwa tujuan akhir dari syariat adalah kemudahan dan kasih sayang, bukan kesulitan.
Para ulama tafsir kontemporer melihat ayat ini sebagai seruan untuk mencontoh etika kenabian: kepemimpinan harus diwarnai empati mendalam, pengorbanan, dan keinginan tulus akan kebaikan pengikut. Seorang pemimpin sejati harus merasakan beratnya penderitaan yang dialami oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Setelah menjelaskan sifat Rasulullah SAW sebagai pembawa rahmat, ayat 129 memberikan solusi spiritual dan pedoman aksi ketika rahmat tersebut ditolak atau ketika seorang mukmin menghadapi kesulitan besar. Ayat ini adalah seruan untuk kembali kepada Tauhid murni dan ketawakkalan total.
Terjemah: Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad): "Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana) yang agung."
Bagian ini mengacu pada reaksi negatif dari orang-orang yang menolak risalah kenabian, meskipun Rasul telah menunjukkan kasih sayang dan kepedulian yang luar biasa (sebagaimana dijelaskan di ayat 128). Ini adalah realitas dakwah: penolakan adalah bagian dari perjalanan.
Ini adalah inti dari ayat ini dan merupakan salah satu dzikir terkuat dalam Islam. Hasbiya berarti 'cukup bagiku', 'penjamin bagiku', atau 'pelindung bagiku'. Dalam konteks penolakan, frasa ini menjadi pernyataan ketegasan spiritual. Ketika dukungan manusia hilang, dukungan ilahi tetap teguh.
Menurut Tafsir Thabari, penggunaan frasa ini oleh Rasulullah SAW bukan hanya menunjukkan kepasrahan, tetapi juga peringatan kepada para penolak bahwa Rasul memiliki sandaran yang tak tertandingi.
Ini adalah pengulangan syahadat, penegasan Tauhid. Dalam menghadapi kesulitan atau penolakan, mukmin diperintahkan untuk kembali kepada akar keyakinannya: pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah dan diandalkan. Tauhid adalah benteng terakhir seorang mukmin.
Tawakkal adalah puncak dari iman dan keyakinan kepada Allah. Ini bukan hanya menyerahkan urusan setelah berusaha, melainkan keyakinan penuh bahwa segala ketetapan-Nya adalah yang terbaik.
Penutup ayat ini memberikan deskripsi keagungan Allah dengan menyebutkan 'Arsy (Singgasana) yang Agung. 'Arsy adalah makhluk Allah yang paling besar, melambangkan kekuasaan, keagungan, dan dominion Allah yang tak terbatas.
Ayat 128 dan 129, meskipun memiliki tema yang berbeda (kasih sayang kenabian vs. ketawakkalan ilahi), berfungsi sebagai penutup sempurna untuk Surah At-Taubah dan, secara luas, sebagai penutup risalah Al-Qur'an itu sendiri. Hubungan antara keduanya sangat mendalam:
Ayat 128 menetapkan sebab: Rahmat Allah yang diwujudkan melalui Rasulullah SAW, yang telah berjuang dan berkorban untuk umat. Ayat 129 menetapkan solusi dan respons: Jika pun rahmat sebesar itu ditolak atau jika kesulitan dakwah terasa berat, maka satu-satunya sandaran adalah Allah. Pesan yang disampaikan adalah: Meskipun upaya manusia (dakwah, kasih sayang) dilakukan secara maksimal, hasil akhir dan kecukupan hanya berasal dari Yang Maha Kuasa.
Secara historis, kedua ayat ini dikenal memiliki keistimewaan dalam proses kodifikasi mushaf Al-Qur'an. Diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit, koordinator kodifikasi pada masa Khalifah Abu Bakar, menemukan dua ayat ini hanya pada satu sahabat, Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari (menurut riwayat lain, Abu Khuzaimah). Meskipun demikian, karena isi dan maknanya sesuai dengan keseluruhan semangat dan ajaran Al-Qur'an, serta disepakati sebagai ayat terakhir yang diturunkan, ia ditempatkan sebagai penutup At-Taubah.
Penempatan ini sangat strategis. Setelah serangkaian aturan sosial, hukum jihad, dan pembersihan masyarakat dari kemunafikan, Al-Qur'an menutupnya dengan dua pilar utama: kasih sayang Rasulullah (sebagai teladan) dan ketawakkalan total kepada Allah (sebagai sumber kekuatan). Ini adalah pengingat bahwa di balik ketegasan syariat, terdapat kelembutan rahmat dan kekuatan iman yang tak tergoyahkan.
Makna rahmat dalam ayat 128 tidak hanya terbatas pada kasih sayang pribadi Rasulullah SAW, tetapi juga mencakup universalitas ajaran Islam.
Frasa maa 'anittum (penderitaan yang kamu alami) menunjukkan bahwa setiap keringanan (*rukhshah*) dalam syariat, seperti bolehnya tayammum, mengqashar salat, atau keringanan bagi orang sakit, adalah manifestasi dari sifat Ra'ufur Rahim beliau. Syariat Islam bertujuan untuk menghindari kesulitan yang tidak perlu.
Ayat 128 mengajarkan kepada para da'i dan pemimpin bahwa keberhasilan terletak pada empati. Da'i yang sukses adalah mereka yang merasakan kesedihan atas kegagalan umatnya dalam beribadah. Mereka harus mendekat (*min anfusikum*) dan bersungguh-sungguh (*hariishun 'alaikum*), bukan hanya menghakimi atau memberi perintah dari jauh.
Ayat 129 adalah sumber kekuatan utama bagi setiap mukmin yang menghadapi kesulitan, ketakutan, atau krisis eksistensial. Dzikir Hasbiyallaahu adalah senjata pamungkas.
Kalimat ini dikenal sebagai salah satu yang paling dicintai Allah. Ia tidak hanya digunakan oleh Rasulullah SAW dalam menghadapi penolakan, tetapi juga oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilemparkan ke dalam api. Ketika itu, Ibrahim berkata: "Hasbiyallahu wa ni'mal Wakiil" (Cukuplah Allah sebagai Penolong kami, dan Dia sebaik-baik Pelindung). Ayat 129 ini memperkuat konsep kecukupan Allah.
Pengucapan hasbiyallaahu laa ilaaha illaa Huwa 'alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhiim berfungsi sebagai:
Penting untuk membedakan antara tawakkal dan tawaakul (fatalisme). Tawakkal yang diajarkan dalam ayat 129 adalah ketawakkalan setelah upaya maksimal. Rasulullah SAW tidak hanya diam ketika menghadapi penolakan; beliau tetap berjuang, berdakwah, dan berhijrah. Tawakkal adalah pelepasan beban hati dari hasil yang tidak dapat dikendalikan, setelah semua usaha dilakukan. Itu adalah ketenangan jiwa dalam menghadapi ketidakpastian dunia.
Tawakkal memiliki tiga komponen utama yang tercermin dalam ayat 129:
Pengulangan sifat penyantun (*Ra’uf*) dan penyayang (*Rahim*) dalam mendeskripsikan Rasulullah SAW dalam ayat 128 adalah hal yang luar biasa dan membutuhkan perhatian khusus dalam tafsir. Biasanya, sifat ini disandingkan untuk Allah SWT. Ketika diterapkan pada Rasulullah, ia menunjukkan kedudukan dan peran perantara rahmat yang beliau emban.
Meskipun keduanya berarti kasih sayang, para ahli bahasa Arab dan tafsir membedakan nuansa penggunaannya:
Ra'uf: Berasal dari kata *ra’fah*, yang berarti kasih sayang yang melindungi dari bahaya atau mencegah terjadinya keburukan. Ini bersifat preventif. Dalam konteks Rasulullah SAW, beliau sangat menyayangi sehingga berupaya keras mencegah umatnya jatuh ke dalam dosa dan siksa neraka.
Rahim: Berasal dari kata *rahmah*, yang berarti kasih sayang yang memberikan kebaikan atau manfaat setelah keburukan terjadi, atau memberikan pahala dan ampunan. Ini bersifat kuratif dan distributif. Dalam konteks Rasulullah SAW, beliau memohon ampunan bagi umatnya dan memberikan syafaat, yang merupakan puncak dari sifat *Rahim* ini.
Ayat 128 menyajikan gambaran lengkap: Rasulullah SAW adalah pribadi yang melindungi umat dari malapetaka (*Ra'uf*) dan pada saat yang sama memastikan kebahagiaan mereka di masa depan (*Rahim*). Kombinasi ini menegaskan bahwa setiap aspek ajaran beliau, dari pencegahan hingga pengobatan, dilandasi oleh cinta dan empati yang tulus.
Ayat 129 ditutup dengan deskripsi kemuliaan Allah sebagai Rabbul 'Arsyil 'Azhiim. Pemahaman tentang makna 'Arsy sangat penting untuk memahami kedalaman tawakkal dalam ayat ini.
'Arsy (Singgasana) adalah ciptaan Allah yang paling besar dan merupakan batas tertinggi dari alam semesta. Secara teologis, penyebutan 'Arsy pada akhir kalimat tawakkal memiliki beberapa fungsi:
Kalimat Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa Huwa 'alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhiim memiliki keutamaan khusus yang ditekankan dalam hadis dan diamalkan oleh para ulama salaf.
Dianjurkan untuk membaca ayat 129 ini sebanyak tujuh kali, terutama pada waktu pagi dan petang. Menurut riwayat, siapapun yang membacanya tujuh kali di pagi hari dan tujuh kali di sore hari, maka Allah akan mencukupkan baginya segala urusan dunia dan akhirat yang ia khawatirkan. Ini mencakup perlindungan dari musuh, kekhawatiran rezeki, hingga keselamatan dari malapetaka.
Pengamalan dzikir ini menunjukkan bahwa keyakinan tidak hanya diucapkan, tetapi juga dihidupkan melalui praktik spiritual yang konsisten. Kepercayaan kepada kecukupan Allah harus menjadi respons otomatis terhadap setiap masalah.
Di era modern, di mana kecemasan, ketidakpastian ekonomi, dan tekanan sosial begitu tinggi, ayat 129 ini menjadi penyejuk spiritual. Tawakkal hari ini berarti:
Kembali ke ayat 128, frasa min anfusikum (dari kaummu sendiri) membawa makna yang melampaui ikatan suku atau klan. Meskipun secara *Asbabun Nuzul* merujuk pada Arab Quraisy, para ulama modern memperluas maknanya menjadi kemanusiaan universal.
Rasulullah SAW adalah manusia, yang berarti beliau berbagi fitrah, kebutuhan, dan kelemahan manusia. Ini adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang praktikal dan realistis. Jika syariat datang melalui malaikat yang tidak memiliki nafsu, syariat itu mungkin terasa mustahil bagi manusia. Tetapi karena syariat dibawa oleh *rasuulum min anfusikum*, ia menjadi bukti bahwa kesempurnaan iman dapat dicapai oleh manusia biasa.
Seandainya Rasulullah SAW bukan dari jenis manusia, beliau tidak akan bisa menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik). Beliau beribadah, makan, tidur, menikah, berperang, dan berdamai—semua dilakukan dalam kerangka kemanusiaan. Oleh karena itu, sifat Ra'uufur Rahiim yang beliau miliki adalah sifat yang dapat ditiru dan diupayakan oleh para pengikutnya, menjadikannya standar moral tertinggi bagi seluruh umat.
Surat At-Taubah ayat 128 dan 129 menyajikan esensi ajaran Islam dalam bentuk yang paling ringkas dan mendalam. Ayat 128 mengajarkan tentang sifat Nabi Muhammad SAW yang penuh kasih sayang dan kepedulian yang mendalam, memberikan jaminan bahwa agama ini dibawa dengan tujuan kebaikan, bukan kesulitan. Ini adalah jaminan Rahmat.
Sementara itu, ayat 129 menawarkan solusi dan kekuatan spiritual menghadapi tantangan dunia. Ia mengajarkan bahwa betapapun besar rahmat Nabi, ia tetap harus berlandaskan pada sandaran yang Mutlak, yaitu Allah SWT. Ini adalah fondasi Tawakkal.
Kedua ayat ini, yang sering kita jumpai dalam transkripsi surat at taubah 128 129 latin, adalah warisan spiritual yang abadi, memandu umat untuk menjalani hidup dengan penuh empati (mencontoh Rasulullah) dan penuh keyakinan (bersandar kepada Allah).
Semoga kajian mendalam ini meningkatkan penghayatan kita terhadap makna sesungguhnya dari Rahmat Kenabian dan Kekuatan Tawakkal, menjadikan kalimat Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa Huwa 'alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhiim sebagai nafas kehidupan sehari-hari kita.
Untuk memahami kedalaman ayat 128 (Laqad jaakum rasuulum min anfusikum...), kita perlu menelisik akar kata dan tata bahasa Arabnya (nahwu dan sharf), yang mengungkapkan nuansa makna yang hilang dalam terjemahan sederhana.
Partikel *Laqad* adalah kombinasi dari *lam at-taukid* (lam penegas) dan *qad* (partikel yang menguatkan fi'il madhi/kata kerja lampau). Penggunaan ganda penegasan ini menunjukkan bahwa kedatangan Rasulullah SAW bukanlah peristiwa biasa, melainkan fakta historis dan teologis yang sangat ditekankan dan tidak dapat disangkal. Ini meningkatkan otoritas pernyataan selanjutnya.
Kata *Aziiz* secara bahasa berarti mulia, kuat, atau sulit dicapai. Dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai predikat yang mendahului subjek, sebuah struktur dalam bahasa Arab yang menonjolkan sifat tersebut. 'Aziizun 'alaihi maa 'anittum' berarti "penderitaan kalian itu berat atasnya (Rasulullah)." Ini menunjukkan sensitivitas emosional yang luar biasa, di mana penderitaan sekecil apa pun dari umatnya menjadi beban berat bagi beliau.
Kata *Hariish* adalah isim fa'il (kata benda pelaku) dari akar kata *harasha*, yang mengandung makna ketamakan, gairah, atau keinginan kuat yang hampir obsesif. Namun, dalam konteks kenabian, gairah ini disucikan. Ini adalah keinginan yang paling murni agar umatnya mencapai kebaikan tertinggi. Sifat ini kontras dengan orang-orang yang menginginkan keburukan bagi umat, menegaskan bahwa Rasulullah adalah sumber kebaikan yang aktif dan bersemangat.
Ayat 129 (Fa in tawallaw faqul hasbiyallaahu...) adalah contoh sempurna dari keringkasan dan kedalaman bahasa Al-Qur'an, menggabungkan pengkondisian (jika), perintah (katakanlah), dan pernyataan teologis absolut.
Partikel *Fa* di awal ayat berfungsi sebagai penghubung dan menunjukkan hasil dari penolakan yang dibahas di ayat sebelumnya. *Tawallaw* (mereka berpaling) menunjukkan tindakan membelakangi atau menolak kebenaran. Ayat ini menyiapkan respons spiritual terhadap realitas penolakan. Rasulullah diperintahkan untuk tidak berkecil hati, karena responsnya bukan dengan kemarahan manusiawi, melainkan dengan pernyataan iman ilahi.
Kata *Hasbiya* adalah *hasbu* (kecukupan) yang disambungkan dengan *ya' mutakallim* (kata ganti orang pertama tunggal - ku/bagiku). Kekuatan frasa ini terletak pada klaim personal dan langsung kepada Allah. Kecukupan itu bukan dari manusia, harta, atau kekuasaan, melainkan secara eksklusif dari Allah.
Penyisipan *Laa ilaaha illaa Huwa* di tengah-tengah pernyataan tawakkal berfungsi sebagai fondasi filosofis. Seseorang tidak bisa benar-benar tawakkal kepada Allah kecuali dia telah menegaskan bahwa tidak ada entitas lain yang layak disembah atau dijadikan sandaran selain Dia. Ini mengikat tawakkal dengan Tauhid *Uluhiyyah*.
Penggunaan *Rabbul 'Arsyil 'Azhiim* menggunakan struktur *idhafah* (konstruksi genitif) yang menunjukkan kepemilikan. *'Arsy* (Singgasana) dan *al-'Azhiim* (Yang Agung) menunjukkan bahwa Dzat yang kita sandari bukan hanya penguasa bumi, tetapi penguasa segala sesuatu yang paling agung dan luas dalam penciptaan. Ini adalah penutup yang meluas dan membesarkan hati bagi seorang mukmin yang sedang diuji.
Kedua ayat ini telah menjadi fokus perhatian para mufassir sepanjang sejarah Islam. Pandangan mereka memberikan perspektif yang kaya terhadap penerapan ayat ini.
Imam At-Thabari dalam *Jami’ al-Bayan* sangat menekankan aspek kemanusiaan Rasulullah SAW dalam ayat 128. Beliau menjelaskan bahwa *min anfusikum* memastikan Rasulullah merasakan beban syariat, dan karena beliau merasakan kesulitan itu, maka syariat yang beliau bawa adalah yang paling moderat dan paling mudah bagi manusia. Mengenai ayat 129, At-Thabari fokus pada fungsi *hasbiyallah* sebagai jawaban ketuhanan terhadap kekecewaan dakwah. Jika penolakan terasa pahit, maka pengakuan Tauhid adalah obatnya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya seringkali mengutip hadis-hadis yang menegaskan keutamaan ayat 129. Beliau secara khusus merujuk pada hadis yang menganjurkan pembacaan ayat ini tujuh kali di pagi dan sore hari sebagai penjamin kecukupan dari Allah. Fokus Ibnu Katsir adalah pada aspek praktis dan fadhilah (keutamaan) dari dzikir *Hasbiyallahu*, menjadikannya perlindungan sehari-hari bagi umat Islam.
Al-Qurtubi menyoroti sifat Ra'uf dan Rahim yang dilekatkan pada Rasulullah SAW. Beliau berpendapat bahwa ini adalah kehormatan tertinggi bagi seorang manusia. Al-Qurtubi juga membahas isu linguistik mengenai apakah Ra'uf dan Rahim memiliki makna yang sama. Beliau menyimpulkan bahwa meskipun serupa, keduanya mengandung nuansa kelembutan yang berbeda, menunjukkan kesempurnaan kasih sayang kenabian.
Ayat-ayat ini bukan hanya dogma teologis, tetapi juga pedoman etika bagi masyarakat dan individu.
Ayat 128 memuat perintah implisit bagi umat Islam untuk meniru sifat kenabian dalam interaksi sosial. Jika Rasulullah SAW bersusah hati atas kesulitan umatnya, maka setiap mukmin harus mengembangkan empati terhadap penderitaan orang lain. Hal ini mencakup kepedulian terhadap fakir miskin, orang sakit, dan mereka yang tersesat. Masyarakat yang dipimpin oleh etika At-Taubah 128 akan menjadi masyarakat yang saling mendukung dan memikul beban bersama.
Ayat 129 mengajarkan resiliensi spiritual. Dalam menghadapi tantangan, baik itu fitnah, krisis ekonomi, atau bahkan pandemi, mukmin diajarkan untuk mengambil sikap yang tenang dan bersandar. Kepada mereka yang merasa dunia ini tidak adil atau terlalu menekan, pernyataan Hasbiyallaahu adalah penyelesaian konflik internal. Resiliensi ini adalah buah dari keyakinan penuh kepada *Rabbul 'Arsyil 'Azhiim*.
Ayat 128 sering dibandingkan dengan ayat-ayat lain yang membahas rahmat, namun ia memiliki kekhususan karena rahmat tersebut dinisbatkan secara langsung kepada manusia (Rasulullah SAW), yang kemudian menurunkannya dari Allah SWT. Perbandingan ini menguatkan posisi Rasulullah SAW sebagai pembawa rahmat alam semesta (*Rahmatan Lil 'Alamin*).
Sementara Allah SWT berfirman tentang diri-Nya: *Wa idza jaa-akal ladziina aamanuu bi aayaatinaa faqul salaamun 'alaikum kataba Rabbukum 'alaaa nafsihir rahmah* (Al-An'am: 54 - Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang), rahmat ini bersifat mutlak dan tanpa batas. Rahmat Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam At-Taubah 128, adalah rahmat yang dimanifestasikan melalui tindakan, perjuangan, dan hati yang berempati, menjadikannya model yang bisa disentuh dan diikuti manusia.
Ayat 129 tidak hanya sekadar dzikir, tetapi merupakan pelajaran komprehensif tentang jenis-jenis Tauhid yang harus dimiliki seorang mukmin, terutama dalam menghadapi kesulitan hidup.
Ini diwakili oleh frasa wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhiim. Pengakuan bahwa Allah adalah *Rabb* (Penguasa, Pencipta, Pengatur) dari singgasana yang agung menegaskan bahwa Dia memiliki kendali penuh atas takdir dan peristiwa. Ini adalah fondasi mengapa tawakkal itu logis: hanya Penguasa Mutlak yang layak diandalkan.
Ini diwakili oleh Laa ilaaha illaa Huwa. Kalimat ini memastikan bahwa seluruh ibadah, termasuk ibadah hati seperti tawakkal, diarahkan hanya kepada-Nya. Jika seseorang bertawakkal kepada selain Allah (kepada harta, jabatan, atau koneksi), maka ia telah merusak Tauhid Uluhiyyahnya.
Meskipun tidak eksplisit, Tawakkal menyiratkan pengakuan terhadap sifat-sifat Allah seperti Al-Wakeel (Yang Maha Mewakili/Pelindung), Al-Qadir (Yang Maha Kuasa), dan Al-Hayyul Qayyum (Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri). Keyakinan bahwa Allah cukup (*Hasbiyallahu*) berakar pada pemahaman akan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Ketika seseorang mendekati akhir hidupnya atau menghadapi ujian terbesar, ayat-ayat ini berfungsi sebagai peta jalan menuju kedamaian sejati.
Pertama, mengenali Rahmat Rasulullah SAW (bil-mu'miniina ra'uufur rahiim) memberikan keyakinan bahwa kita memiliki seorang pembela dan perantara yang sangat peduli di akhirat. Rasa optimisme ini menguatkan harapan akan ampunan dan syafaat.
Kedua, mengakhiri hidup dalam keadaan tawakkal penuh kepada Rabbul 'Arsyil 'Azhiim memastikan bahwa transisi dari dunia fana ke alam abadi dilakukan dengan hati yang tenang dan pasrah. Ayat ini mengajarkan bahwa bekal terbaik adalah hati yang murni dan sandaran yang teguh pada Dzat yang menguasai segala singgasana keagungan.
Dua ayat penutup Surah At-Taubah ini, yang tersusun padat dengan makna yang tak terhingga, adalah hadiah terakhir Al-Qur'an dalam konteks hukum dan jihad: sebuah penutup yang mengajarkan bahwa di tengah kerasnya perjuangan dan tantangan dunia, ada jaminan Rahmat Ilahi yang terwakili dalam diri Nabi, dan ada perlindungan mutlak yang hanya bisa ditemukan dalam Tawakkal kepada Allah SWT.
Maka, tidak heran jika umat Islam di seluruh dunia senantiasa menjadikan surat at taubah 128 129 latin sebagai pengingat harian akan dua tiang utama kehidupan beriman: kasih sayang yang tulus dan kepasrahan yang total. Ini adalah warisan yang abadi, melampaui waktu dan tempat, relevan bagi setiap individu yang mencari makna dan ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan.
***