Surat At-Taubah, yang merupakan salah satu surat Madaniyyah dalam Al-Qur'an, dikenal dengan ketegasan dan kejelasannya dalam memisahkan antara keimanan yang otentik dan kemunafikan. Ayat-ayat dalam surat ini seringkali berfungsi sebagai litmus test, membedakan siapa yang benar-benar berdiri teguh di jalan Allah dan siapa yang hanya berpura-pura. Di antara ayat-ayat yang memegang peran sentral dalam mendefinisikan kriteria keimanan sejati adalah Ayat ke-18. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang ritual atau bangunan fisik semata, melainkan merangkum seluruh spektrum tanggung jawab spiritual, sosial, dan tauhidiah seorang Muslim.
Konteks turunnya Surat At-Taubah, terutama pada periode setelah peristiwa Fathu Makkah dan menjelang Perang Tabuk, menekankan pentingnya kejujuran niat dan kesiapan berkorban. Dalam suasana inilah, Allah SWT menurunkan petunjuk yang sangat spesifik mengenai siapa yang berhak mengurus, membangun, dan memakmurkan rumah-rumah-Nya, yaitu masjid. Pemakmuran masjid, dalam pandangan Al-Qur'an, bukanlah sekadar pekerjaan tukang atau arsitek, melainkan sebuah manifestasi komprehensif dari hati yang bertauhid.
Ayat 18 dari Surat At-Taubah menyajikan lima prasyarat fundamental yang harus dimiliki oleh mereka yang layak disebut ‘pemakmur’ masjid. Kelima prasyarat ini—keimanan kepada Allah, keimanan kepada Hari Akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah—membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hilangnya satu elemen saja dapat meruntuhkan validitas klaim seseorang sebagai pewaris sejati dalam tugas mulia memelihara rumah Allah. Kajian ini bertujuan untuk menelusuri makna mendalam dari setiap elemen tersebut, memahami implikasinya, dan merenungkan relevansinya dalam kehidupan kontemporer umat Islam.
Terjemahan Makna: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah. Maka, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)
Kata kunci pertama yang harus kita pahami secara mendalam adalah يَعْمُرُ (Ya'muru), yang berasal dari akar kata 'amara. Dalam bahasa Arab, 'amara memiliki spektrum makna yang luas, jauh melampaui sekadar 'membangun'. Ia mencakup aspek fisik dan spiritual. Secara fisik, 'amara berarti mendirikan, merenovasi, atau memelihara bangunan. Namun, secara spiritual dan sosiologis, ia berarti menghidupkan, meramaikan, dan menjadikannya pusat aktivitas yang bermanfaat.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa pemakmuran masjid mencakup dua dimensi utama. Dimensi pertama adalah Al-'Imarah Al-Hissiyah (Pemakmuran Fisik). Ini adalah tanggung jawab material untuk memastikan masjid dalam kondisi yang layak, bersih, aman, dan memadai untuk ibadah. Ini melibatkan pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas, dan pemeliharaan rutin. Dimensi kedua, yang lebih penting, adalah Al-'Imarah Al-Ma'nawiyyah (Pemakmuran Spiritual). Ini berarti mengisi masjid dengan ibadah, dzikir, pengajian, dan kegiatan sosial yang relevan. Masjid yang bangunannya megah tetapi sepi dari shalat berjamaah dan ilmu adalah masjid yang secara spiritual tidak makmur.
Kontras ini sangat penting, terutama dalam konteks At-Taubah yang sering menyinggung kaum munafik yang mungkin saja berkontribusi pada pembangunan fisik tetapi hatinya kosong dari iman. Allah SWT seolah memberikan standar bahwa kontribusi fisik hanyalah hasil sampingan dari keimanan yang terpatri kuat di dalam dada. Tanpa pemakmuran spiritual, pemakmuran fisik hanyalah pameran kemegahan yang hampa.
Fondasi dari segala aktivitas keagamaan, termasuk pemakmuran masjid, adalah iman yang murni kepada Allah SWT. Ini bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi keyakinan yang mengakar kuat pada keesaan-Nya (Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah) dan pengakuan terhadap seluruh Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya. Keimanan ini harus bersifat inklusif, mencakup penerimaan penuh terhadap segala yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Ketika ayat ini mendahulukan iman kepada Allah, ia menetapkan niat. Pemakmur masjid harus melakukannya semata-mata karena Allah, bukan karena mencari pujian manusia, jabatan, atau kepentingan duniawi lainnya. Jika motivasi dasarnya bukan Tauhid, maka seluruh amal perbuatan memakmurkan masjid, betapapun besarnya, akan gugur nilai spiritualnya. Iman ini harus menjadi sumber energi utama yang mendorong seseorang untuk berkorban waktu, harta, dan tenaga demi rumah Allah.
Keimanan ini juga mencakup keyakinan bahwa masjid adalah milik Allah, bukan milik individu, kelompok, atau yayasan tertentu. Kesadaran kepemilikan Ilahi ini mendorong rasa hormat dan tanggung jawab yang mendalam terhadap adab dan fungsi masjid yang seharusnya.
Pilar kedua, iman kepada Hari Akhir, memberikan dimensi akuntabilitas dan motivasi jangka panjang. Tanpa keyakinan akan adanya hari perhitungan, hari pembalasan (Yaumul Hisab), dan adanya Surga serta Neraka, dorongan untuk melakukan amal kebaikan secara konsisten akan mudah padam. Keimanan kepada Hari Akhir memastikan bahwa setiap usaha yang dilakukan dalam memakmurkan masjid, sekecil apa pun, akan tercatat dan mendapatkan balasan sempurna.
Sebagaimana dijelaskan oleh banyak mufassir, amal kebaikan yang dilakukan di dunia ini—termasuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memelihara masjid—adalah investasi abadi yang hasilnya akan dipetik di akhirat. Keyakinan ini berfungsi sebagai rem spiritual yang mencegah riya (pamer) dan sebagai gas spiritual yang mendorong kesabaran dalam menghadapi kesulitan. Seseorang yang yakin pada Hari Akhir tidak akan pernah merasa rugi mendonasikan hartanya atau menghabiskan waktunya untuk kemaslahatan masjid, sebab ia tahu ia sedang berdagang dengan Dzat Yang tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Setelah fondasi keimanan diletakkan, ayat ini berpindah ke implementasi amal yang paling penting: mendirikan shalat (Aqamas Salaata). Pemilihan kata 'aqama' (mendirikan/menegakkan) jauh lebih dalam maknanya daripada sekadar 'adza' (melaksanakan). Mendirikan shalat berarti melakukannya secara sempurna, dengan memenuhi syarat, rukun, dan khusyuknya, serta menjadikannya sebagai tiang kehidupan.
Mendirikan shalat juga secara implisit bermakna mendirikan shalat berjamaah di masjid. Bagaimana mungkin seseorang mengklaim memakmurkan masjid jika ia tidak menjadikannya sebagai tempat utama untuk menunaikan kewajiban pribadinya? Shalat adalah bukti nyata hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya. Masjid menjadi arena saksi atas konsistensi dan kualitas ibadah individual sang pemakmur. Jika ibadah ritualnya rapuh, klaim pemakmurannya terhadap rumah Allah juga akan dipertanyakan.
Jika shalat mewakili hubungan vertikal, menunaikan zakat (Wa Ataz Zakaata) mewakili hubungan horizontal, yakni tanggung jawab sosial dan ekonomi. Zakat adalah pilar Islam yang memastikan distribusi kekayaan dan keadilan sosial. Kewajiban membayar zakat menjadi bukti bahwa iman tidak hanya berhenti pada ritual pribadi, tetapi harus berbuah dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Keterkaitan antara zakat dan pemakmuran masjid menunjukkan bahwa masjid bukanlah entitas yang terisolasi dari masalah sosial ekonomi umat. Pemakmur masjid adalah mereka yang memiliki kepekaan sosial, yang menyadari bahwa keberkahan harta terletak pada penunaian hak orang lain. Zakat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan harta dari hak yang tidak semestinya, menjadikan pribadi tersebut layak untuk mengurus tempat suci. Masjid yang makmur harus pula menjadi sentra kesadaran zakat dan distribusi keadilan.
Puncak dari kriteria ini adalah tidak takut kecuali kepada Allah (Wa Lam Yakhsya Illallah). Ini adalah manifestasi sempurna dari tauhid yang telah menguasai hati. Rasa takut (khauf) yang dimaksud di sini adalah rasa takut yang menghalangi seseorang dari berbuat kebenaran atau rasa takut yang menyebabkan seseorang melakukan kesyirikan. Pemakmur masjid yang sejati harus memiliki keberanian spiritual yang teguh.
Dalam konteks historis, ini sangat relevan. Di masa Rasulullah, memakmurkan masjid (terutama yang baru didirikan) seringkali berarti menghadapi ancaman dari musuh-musuh Islam, baik dari luar maupun dari kaum munafik di dalam. Seseorang yang takut pada manusia, kehilangan jabatan, atau ancaman fisik tidak akan mampu berdiri teguh membela masjid dan kebenaran yang diajarkan di dalamnya. Keberanian ini memastikan bahwa masjid akan selalu menjadi mercusuar kebenaran, bebas dari pengaruh politis yang merusak atau kompromi yang melemahkan ajaran agama. Fiqh dan Tauhid mengajarkan bahwa rasa takut kepada Allah adalah satu-satunya rasa takut yang terpuji, karena rasa takut inilah yang mendorong ketaatan.
Ilustrasi simbolis pemakmuran, menggabungkan aspek fisik dan spiritual.
Pemakmuran masjid yang diamanatkan dalam At-Taubah 18 telah melahirkan tradisi fiqh dan arsitektur yang kaya dalam peradaban Islam. Para fuqaha (ahli fiqh) telah merinci batasan-batasan dan jenis-jenis pemakmuran. Secara umum, pemakmuran dibagi menjadi dua kategori yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan untuk mencapai kesempurnaan makna ayat ini.
Ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan fisik bangunan dan lingkungannya. Dalam pandangan fiqh, tanggung jawab ini bersifat fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Jika sebuah komunitas tidak memiliki masjid atau masjidnya rusak, seluruh komunitas berdosa jika tidak ada yang mengambil inisiatif untuk memperbaikinya. Pemakmuran material mencakup:
Para ulama menekankan bahwa meskipun kemegahan arsitektur diperbolehkan, tujuannya tidak boleh melenceng dari fungsi utama masjid. Kemegahan yang berlebihan hingga menyita harta umat sementara masih banyak kebutuhan sosial lainnya dapat dianggap melanggar etika pemakmuran. Esensi pemakmuran material adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibadah, bukan sekadar pamer kekayaan.
Ini adalah inti dari ayat 18, yang dihubungkan dengan pilar-pilar keimanan. Tanpa pemakmuran spiritual, bangunan hanyalah benda mati. Pemakmuran spiritual mencakup:
Dalam pandangan tafsir, seseorang yang beriman sejati akan secara otomatis terdorong untuk hadir di masjid, bukan karena paksaan, melainkan karena panggilan spiritual. Kehadiran ini, ditambah dengan amal shalat dan zakat, menghasilkan suasana spiritual yang menghidupkan masjid.
Sejarah mencatat bahwa kemunduran peradaban Islam seringkali dimulai ketika masjid-masjid kehilangan fungsi spiritual dan sosialnya, berubah hanya menjadi tempat shalat lima waktu yang sepi dari kegiatan ilmiah dan musyawarah umat. Oleh karena itu, tugas memakmurkan masjid adalah tugas untuk menjaga denyut nadi peradaban Islam itu sendiri.
Ayat ini memiliki implikasi hukum yang ketat. Para ulama bersepakat bahwa non-Muslim tidak boleh ditunjuk sebagai pengurus atau pemelihara utama masjid, karena syarat pertama (iman kepada Allah dan Hari Akhir) tidak terpenuhi. Lebih jauh lagi, ayat ini menjadi peringatan keras bagi Muslim yang fasik (sering melanggar syariat), karena keimanan mereka dianggap lemah. Meskipun mereka sah melakukan shalat di masjid, peran kepemimpinan dalam *i'marah* seharusnya dipegang oleh mereka yang menunjukkan komitmen tertinggi terhadap seluruh pilar keimanan yang disebutkan, termasuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan yang paling krusial, ketidak gentaran kecuali kepada Allah.
Aspek Tauhid murni, yang disimbolkan dalam frase "tidak takut kecuali kepada Allah", harus menjadi ciri khas para pemimpin masjid. Mereka tidak boleh tunduk pada tekanan politik, kekuasaan, atau kepentingan duniawi mana pun dalam menjalankan amanah masjid. Jika pengurus masjid takut kehilangan dana dari donatur atau jabatan dari otoritas sekuler sehingga mereka mengkompromikan pengajaran atau fungsi sosial masjid, maka mereka telah gagal dalam memenuhi pilar kelima yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Integritas tauhidiah adalah prasyarat mutlak bagi kepengurusan masjid.
Keindahan Surat At-Taubah ayat 18 terletak pada integrasi lima elemen yang tampak terpisah namun sesungguhnya membentuk satu kesatuan yang kohesif. Ayat ini menyajikan sebuah manifesto kehidupan Muslim yang ideal, di mana keyakinan batin harus selalu termanifestasi dalam tindakan nyata. Tidak ada ruang untuk iman yang pasif atau amal yang tidak didasari tauhid.
Ayat ini memulai dengan ranah keyakinan (iman kepada Allah dan Hari Akhir) dan segera beralih ke ranah tindakan (shalat dan zakat). Ini menunjukkan bahwa iman adalah akar; shalat dan zakat adalah buahnya. Masjid, sebagai institusi, adalah tempat di mana akar dan buah ini bertemu. Seseorang yang hatinya penuh iman namun enggan berbuat, atau sebaliknya, seseorang yang banyak berbuat baik namun hatinya kosong, tidak akan mampu memakmurkan masjid secara hakiki.
Shalat dan Zakat adalah dua ibadah yang paling sering digandengkan dalam Al-Qur'an (disebutkan lebih dari 80 kali), menunjukkan status mereka sebagai ibadah ritual dan sosial yang paling fundamental. Pemakmur masjid adalah orang yang berhasil menyinergikan kedua ibadah ini, menjadikannya model bagi jemaah lainnya. Mereka yang memakmurkan masjid dengan ibadah ritual yang khusyuk (shalat) sekaligus dengan kedermawanan sosial (zakat) adalah teladan yang dicari oleh Allah SWT.
Penyebutan Hari Akhir berfungsi sebagai motivator utama. Setiap upaya pemakmuran yang dilakukan saat ini adalah penanaman benih untuk kehidupan abadi. Para sahabat Nabi, ketika mereka membangun dan merawat masjid, melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah 'jariah' (amal yang pahalanya terus mengalir) yang akan menjadi bekal terpenting mereka di hadapan Allah.
Rasa tanggung jawab eskatologis ini juga mencegah penggunaan dana masjid secara sembarangan atau mementingkan diri sendiri. Ketika seseorang yakin akan adanya Hari Perhitungan yang sangat detail, ia akan sangat hati-hati dalam mengelola waqaf dan amanah umat. Keyakinan ini melahirkan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, yang merupakan ciri mutlak dari kepengurusan masjid yang sehat.
Pilar terakhir, Wa Lam Yakhsya Illallah, adalah penjaga konsistensi moral dan spiritual. Dalam dunia yang penuh tekanan dan kompromi, ketakutan hanya kepada Allah memastikan bahwa pemakmur masjid akan tetap berada di jalur syariat, meskipun harus menghadapi kerugian duniawi.
Ketidak gentaran ini diperlukan ketika masjid harus mengambil peran profetik, yaitu menyuarakan kebenaran di tengah kezaliman atau ketidakadilan. Jika pengurus masjid takut pada penguasa atau kekuatan ekonomi, masjid akan bisu. Sebaliknya, jika mereka hanya takut kepada Allah, masjid akan menjadi benteng moral yang kuat. Inilah yang menjadikan masjid bukan sekadar tempat ibadah pasif, tetapi juga pusat perjuangan (jihad) dalam arti luas, yaitu perjuangan menegakkan kebenadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, Ayat 18 Surat At-Taubah berfungsi sebagai pedoman holistik. Ia menetapkan bahwa untuk dapat mengemban tugas suci pemakmuran masjid, seorang Muslim harus memiliki hati yang tunduk (iman), tubuh yang taat (shalat), harta yang bersih (zakat), dan jiwa yang berani (tauhid). Kombinasi kelima aspek ini melahirkan pribadi yang utuh, yang mampu membawa keberkahan bagi rumah Allah dan komunitas di sekitarnya.
Penggandengan Shalat dan Zakat sebagai prasyarat bagi pemakmur masjid memiliki makna sosiologis yang sangat dalam. Masjid, dalam pandangan Islam, tidak didirikan untuk menjadi monumen agama yang terpisah dari realitas masyarakat. Sebaliknya, masjid didirikan sebagai inti yang menggerakkan seluruh kehidupan sosial, ekonomi, dan politik umat. Jika pemakmur masjid adalah mereka yang konsisten menunaikan zakat, berarti mereka adalah tokoh yang peduli terhadap kemiskinan dan ketimpangan.
Oleh karena itu, pemakmuran spiritual masjid harus diukur pula dari sejauh mana masjid berperan dalam mengatasi masalah umat. Apakah masjid memiliki program pelatihan keterampilan? Apakah masjid memiliki layanan konsultasi keluarga? Apakah dana infaq dan sedekah dikelola secara profesional untuk membantu mereka yang membutuhkan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah masjid tersebut benar-benar mencerminkan semangat Ayat 18, di mana ketaatan ritual berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial.
Di banyak negara Muslim, ketika fungsi sosial masjid melemah, umat cenderung mencari solusi masalah mereka di luar institusi agama, yang seringkali menyebabkan sekularisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pemakmuran yang efektif, sesuai petunjuk Al-Qur’an, memastikan bahwa masjid tetap menjadi tempat rujukan utama bagi setiap persoalan kehidupan.
Aspek ‘Lam Yakhsya Illallah’ (Tidak takut kecuali kepada Allah) menjadi semakin krusial di era modern yang penuh dengan godaan materialisme, tekanan politik, dan infiltrasi ideologi asing. Pemakmur masjid hari ini ditantang untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam tanpa terjerumus pada ekstremisme atau liberalisme yang melampaui batas syariat.
Kekuatan tauhid yang membebaskan dari rasa takut pada selain Allah memberikan keberanian untuk:
Jika pilar ini rapuh, masjid akan berubah menjadi institusi yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan duniawi, kehilangan independensi moralnya, dan gagal menjalankan misi profetiknya. Ayat 18 ini, oleh karenanya, adalah seruan untuk jihad melawan rasa takut yang menghalangi ketaatan.
Pemakmuran masjid, baik secara fisik maupun spiritual, dikategorikan sebagai amal jariah, sebuah investasi yang pahalanya tidak terputus meskipun seseorang telah meninggal dunia. Kesadaran akan keabadian pahala inilah yang mendorong para Muslim sejati untuk berkorban tanpa batas. Mereka memahami bahwa masjid adalah warisan abadi bagi generasi mendatang, dan setiap batu bata yang diletakkan, setiap pengajian yang diadakan, akan terus menghasilkan pahala selama masjid itu berfungsi sesuai syariat.
Konsep ini mendorong perencanaan jangka panjang dalam manajemen masjid. Pengurus tidak hanya memikirkan kebutuhan saat ini, tetapi juga keberlanjutan fungsi masjid hingga puluhan atau ratusan tahun ke depan. Ini mencakup perencanaan keuangan (waqaf produktif), kaderisasi ulama dan pengurus, serta pembangunan fasilitas pendukung seperti klinik atau sekolah yang terintegrasi dengan fungsi dakwah masjid. Kesinambungan amal jariah adalah indikator kematangan sebuah komunitas dalam memaknai tugas pemakmuran.
Kualitas amal jariah ini sangat bergantung pada pilar keimanan yang pertama, yaitu niat murni karena Allah. Niat yang bersih menjamin bahwa pengorbanan yang dilakukan tidak akan sia-sia. Hal ini membedakan seorang Muslim sejati dengan mereka yang hanya beramal untuk pamer atau untuk mencari keuntungan sesaat di dunia.
Masjid Nabawi di Madinah adalah studi kasus sempurna dari implementasi Ayat 18. Ketika didirikan, ia menjadi pusat dari semua lima pilar:
Di tengah arus globalisasi, Muslim menghadapi tantangan baru dalam memakmurkan masjid. Masjid tidak hanya bersaing dengan rumah ibadah lain, tetapi juga dengan pusat-pusat hiburan, perbelanjaan, dan media digital yang menarik perhatian umat. Pemakmuran kontemporer menuntut kreativitas dalam menggunakan teknologi untuk dakwah, tetapi dengan tetap menjaga kemurnian fungsi utama.
Relevansi Ayat 18 terletak pada pengembalian fungsi masjid ke akarnya:
Dengan mengintegrasikan kelima pilar ini secara utuh, masjid dapat kembali menjadi sumber kekuatan spiritual dan sosial bagi umat Islam di seluruh dunia, mewujudkan janji Allah bahwa mereka yang memakmurkan rumah-Nya adalah mereka yang berada di atas petunjuk yang benar (min al-muhtadin).
Ayat 18 dari Surat At-Taubah bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah pernyataan definisional tentang siapa sebenarnya pemilik dan pengurus rumah Allah yang sah. Dengan dikaitkannya pemakmuran masjid dengan iman yang mendalam, ketaatan ritual (shalat), tanggung jawab sosial (zakat), dan kekuatan tauhid (tidak takut kecuali kepada Allah), Al-Qur'an memberikan kerangka kerja yang menyeluruh bagi keimanan.
Penting untuk menggarisbawahi bagian akhir ayat: فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (Maka, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk). Penggunaan kata 'asā (mudah-mudahan/semoga) dalam konteks ini, ketika digunakan oleh Allah, sering diinterpretasikan oleh para mufassir sebagai janji yang pasti. Artinya, siapapun yang memenuhi kelima kriteria yang telah disebutkan, ia benar-benar berhak dan berpotensi besar untuk mendapatkan hidayah dan petunjuk Ilahi.
Petunjuk (hidayah) yang dimaksud di sini adalah bimbingan yang paripurna, tidak hanya dalam urusan dunia tetapi juga dalam meraih keselamatan di akhirat. Janji hidayah ini adalah mahkota bagi seluruh upaya dan pengorbanan yang dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka memakmurkan masjid-masjid Allah. Ayat ini menjadi penutup yang indah dan menjanjikan, menegaskan bahwa jalan menuju keselamatan akhirat terjalin erat dengan komitmen kita terhadap rumah-rumah-Nya di dunia. Oleh karena itu, tugas memakmurkan masjid adalah tugas seumur hidup yang memerlukan konsistensi, keikhlasan, dan keberanian tauhidiah.
Umat Islam wajib merenungkan ayat ini secara mendalam, menjadikannya standar baku bagi semua inisiatif keagamaan dan manajemen institusi Islam. Dengan kembali kepada ruh At-Taubah 18, umat dapat memastikan bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai jantung yang memompa keimanan, ilmu, keadilan, dan keberanian di tengah-tengah masyarakat.