Pendahuluan: Permata di Penghujung Surah
Surat At-Taubah (Pengampunan) menempati posisi yang unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang dibuka tanpa Basmalah, menandakan ketegasan, peringatan keras, dan pernyataan perang terhadap kemunafikan dan perjanjian yang dilanggar. Namun, di antara nada-nada ketegasan dan keadilan ilahi yang dominan, tersembunyi sebuah permata, dua ayat penutup—ayat 128 dan 129—yang berfungsi sebagai penyejuk, memberikan pemahaman hakiki tentang tujuan di balik semua hukum dan peringatan tersebut.
Ayat 128, khususnya, adalah cerminan paling jelas dan mendalam mengenai karakter kenabian (Syama’il An-Nubuwwah) dari Rasulullah Muhammad ﷺ. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah penegasan ilahi tentang kedudukan, peran, dan yang paling penting, kedalaman empati Rasulullah ﷺ terhadap umat manusia. Ayat ini adalah kesimpulan manis dari sebuah surah yang keras, menegaskan bahwa landasan syariat dan risalah adalah *rahmah* (kasih sayang).
"Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Untuk memahami sepenuhnya kekayaan ayat ini, kita harus menyelam jauh ke dalam makna setiap kata, menelusuri konteks sejarahnya (Asbabun Nuzul), dan merenungkan implikasi teologis serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari (Akhlak).
Analisis Mufradat (Kajian Leksikal dan Sintaksis)
Ayat ini terdiri dari lima frasa utama yang secara kumulatif melukiskan potret sempurna dari seorang utusan ilahi yang memiliki ikatan kemanusiaan yang mendalam.
1. لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ (Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul)
Penegasan dan Kepastian
Penggunaan partikel penegas *Lam* (لَ) dan *Qad* (قَدْ) bersama-sama memberikan makna penekanan yang luar biasa (tawkid). Ini bukan sekadar pengakuan, tetapi deklarasi yang pasti dari Allah SWT. Ia menghilangkan keraguan apa pun mengenai kedatangan Rasul dan relevansinya yang abadi. Allah tidak hanya mengatakan 'Rasul telah datang', tetapi 'Sungguh, benar-benar telah datang'. Penekanan ini penting karena ayat ini berfungsi sebagai penutup surat yang berbicara tentang ujian keimanan dan tantangan jihad.
2. مِّنْ أَنفُسِكُمْ (Dari Kaummu Sendiri)
Ikatan Kemanusiaan dan Keakraban
Frasa ini merupakan pondasi bagi empati Rasulullah ﷺ. Dalam tafsir, frasa ini memiliki dua makna utama yang saling melengkapi:
A. Makna Keturunan (Nasab)
Dia berasal dari garis keturunan Arab Quraisy yang paling mulia dan suci. Imam Al-Qurthubi dan Al-Tabari meriwayatkan bahwa makna *'min anfusikum'* merujuk pada kejelasan nasab Rasulullah ﷺ yang terbebas dari noda. Ini memberikan jaminan bahwa ia memahami adat, bahasa, dan geografi mereka, sehingga risalahnya mudah diterima.
B. Makna Kemanusiaan (Basyariyyah)
Rasulullah ﷺ adalah manusia biasa, sebagaimana mereka. Ia makan, minum, menikah, merasakan sakit, dan menghadapi tantangan hidup. Statusnya sebagai manusia memungkinkannya menjadi contoh yang dapat ditiru. Jika ia berasal dari kalangan malaikat, alasan 'kami tidak mampu' mungkin muncul. Namun, karena ia *'min anfusikum'*, ia memahami psikologi, keterbatasan, dan kapasitas manusia sepenuhnya.
Keterikatan ini menumbuhkan rasa percaya. Umat tidak melihatnya sebagai entitas asing, melainkan sebagai saudara yang ditinggikan, yang telah melewati jalan kehidupan yang sama.
3. عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Berat Terasa Olehnya Penderitaanmu)
Puncak Empati (Al-'Aziz)
Kata kunci di sini adalah *'Aziz'* (عَزِيزٌ) yang berasal dari akar kata yang berarti kuat, langka, atau sulit ditanggung. *'Ma 'anittum'* (مَا عَنِتُّمْ) berarti segala sesuatu yang menyulitkan, menyakitkan, atau mendatangkan kesusahan bagi umat. Ayat ini menegaskan bahwa setiap kesulitan, kesengsaraan, atau dosa yang menimpa umatnya, terasa sangat berat dan menyakitkan di hati Rasulullah ﷺ.
Ini bukan sekadar simpati pasif, tetapi empati aktif dan mendalam. Penderitaan umatnya tidak hanya diketahui, tetapi *dirasakan* secara internal oleh beliau. Beliau merasakan sakit karena:
- Kesulitan yang dihadapi umat dalam menjalankan perintah agama.
- Dosa-dosa yang mereka lakukan yang menjauhkan mereka dari rahmat Allah.
- Bencana dan musibah duniawi yang menimpa mereka.
Tafsir Ibn Kathir menekankan bahwa *'Azizun 'alaihi'* menunjukkan betapa beliau sangat ingin melihat umatnya terhindar dari siksa dan kesulitan, baik di dunia maupun di akhirat.
4. حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Sangat Menginginkan (Keselamatan) Bagimu)
Semangat Tinggi dan Keinginan Mendesak (Al-Haris)
Kata *'Haris'* (حَرِيصٌ) menunjukkan keinginan yang kuat, bahkan cenderung mendesak atau bersemangat untuk mendapatkan sesuatu. Dalam konteks ayat ini, keinginan beliau tertuju pada dua hal fundamental bagi umatnya:
- Hidayah (Keimanan): Beliau sangat ingin setiap orang mendapatkan petunjuk dan memeluk Islam.
- Keselamatan Akhirat (Al-Falah): Beliau ingin setiap mukmin mencapai surga dan terhindar dari api neraka.
Keinginan ini begitu kuat sehingga terkadang membuat beliau kelelahan dan sedih melihat penolakan dari kaumnya. Ayat lain dalam Al-Qur'an (Asy-Syu'ara: 3) menggambarkan betapa beliau hampir mencelakakan diri karena kesedihan melihat orang-orang tidak beriman.
Frasa *'Harisun 'alaikum'* menunjukkan dedikasi total sang Rasul. Keinginannya melampaui tugas kenabian; itu adalah ekspresi cinta dan tanggung jawab pribadi yang tak terbatas.
5. بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Amat Belas Kasihan Lagi Penyayang Terhadap Orang-Orang Mukmin)
Dua Sifat Ilahi yang Melekat pada Rasul
Ini adalah klimaks dari ayat ini, penutup yang menggunakan dua Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Mulia)—*Ar-Ra'uf* dan *Ar-Rahim*—yang disematkan secara khusus kepada Rasulullah ﷺ dalam kaitannya dengan orang-orang mukmin.
A. Ar-Ra'uf (Belas Kasihan yang Mendalam)
*Ra’uf* (رَءُوفٌ) berasal dari kata *Ra'fah*, yang berarti kasih sayang tertinggi yang disertai dengan penghindaran terhadap kesulitan dan kemarahan. Para ulama tafsir sepakat bahwa *Ra’uf* mengandung makna belas kasih yang lebih intens dan spesifik daripada *Rahim*. Ini adalah belas kasih yang muncul akibat melihat penderitaan dan berusaha keras menghilangkannya.
B. Ar-Rahim (Penyayang yang Abadi)
*Rahim* (رَّحِيمٌ) berasal dari *Rahmah*, kasih sayang yang luas dan berkelanjutan. *Rahim* biasanya berkaitan dengan pemberian nikmat dan pahala di masa depan (Akhirat), sedangkan *Ra'uf* lebih berfokus pada pencegahan kesulitan di masa kini (Duniawi). Ketika kedua sifat ini digabungkan, ia menunjukkan kasih sayang yang paripurna: penghapusan kesulitan saat ini (Ra’uf) dan jaminan kebaikan abadi di masa depan (Rahim).
Penting untuk dicatat bahwa sifat *Ra'uf* dan *Rahim* ini dikhususkan penggunaannya *'Bil Mu'minina'* (terhadap orang-orang mukmin). Meskipun Rasulullah ﷺ adalah *Rahmatan lil 'Alamin* (rahmat bagi seluruh alam), kasih sayang yang mendalam, khusus, dan timbal balik ini hanya diberikan secara penuh kepada mereka yang telah menerima risalahnya dan beriman.
Asbabun Nuzul dan Kontroversi Penempatan Ayat
Surat At-Taubah secara keseluruhan diwahyukan di Madinah. Namun, terdapat pandangan signifikan di kalangan ulama Tafsir, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, yang menyatakan bahwa ayat 128 dan 129 ini adalah ayat Makkiyah (diturunkan di Makkah), meskipun ditempatkan di akhir surah Madaniyah.
Perdebatan Makkiyah vs Madaniyah
Para ulama yang berpendapat ayat ini Makkiyah berargumen bahwa bahasa, nada, dan fokus ayat—yang menekankan karakter dasar Rasulullah ﷺ, kehangatan empati, dan pengenalan akan status kenabian—lebih cocok untuk periode awal dakwah di Makkah, di mana penegasan status beliau sangat dibutuhkan untuk menghadapi penolakan kaum musyrikin.
Namun, mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit, menetapkan seluruh At-Taubah sebagai Madaniyah. Alasan penempatan ayat ini di akhir surah yang tegas adalah untuk memberikan perspektif yang seimbang:
- Penutup Rahmat: Setelah serangkaian perintah jihad, pemutusan perjanjian, dan peringatan keras kepada kaum munafik, ayat ini mengingatkan para mukminin bahwa semua tindakan tersebut berlandaskan kasih sayang. Keadilan ilahi dan ketegasan syariat bersumber dari rahmat ilahi, yang direfleksikan oleh Rasul-Nya.
- Penghargaan untuk Anshar: Beberapa riwayat Asbabun Nuzul lain (meskipun lemah) mengaitkan ayat ini dengan kekhawatiran para Anshar setelah peristiwa Fathu Makkah, di mana mereka takut Rasulullah ﷺ akan meninggalkan Madinah. Ayat ini meyakinkan mereka bahwa beliau datang dari diri mereka (manusia) dan sangat peduli terhadap penderitaan mereka.
Terlepas dari konteks turunnya, penempatannya di ujung Surah At-Taubah berfungsi sebagai ‘tanda air’ (watermark) kenabian: kepemimpinan yang tegas dalam perang dan hukum, selalu didasari oleh hati yang penuh belas kasihan. Ini adalah karakteristik unik dari kepemimpinan Islam.
Implikasi Teologis dan Syariah dari At-Taubah 128
Ayat ini memiliki dampak mendalam tidak hanya pada pemahaman kita tentang pribadi Nabi, tetapi juga pada cara kita memandang Syariat Islam secara keseluruhan.
1. Penafsiran Sifat Musytarakah (Sifat yang Sama)
Penggunaan sifat *Ra’uf* dan *Rahim* yang biasanya dikhususkan bagi Allah SWT, untuk disematkan kepada makhluk-Nya, Rasulullah ﷺ, adalah poin teologis yang signifikan.
Ini tidak berarti Rasulullah ﷺ berbagi esensi ketuhanan, melainkan menunjukkan bahwa beliau adalah cerminan paling sempurna dari Rahmat Ilahi di bumi. Sifat-sifat ini pada diri Rasul adalah manifestasi dari kasih sayang Allah. Jika Allah bersifat *Ra’ufun Rahim*, maka utusan-Nya juga harus menjadi saluran utama dari kasih sayang tersebut agar manusia dapat memahami dan mendekatinya. Rasulullah ﷺ menjadi jembatan Rahmat.
2. Prinsip Takhfif (Keringanan) dalam Syariat
Karena Rasulullah ﷺ merasakan beratnya kesulitan (*Azizun 'alaihi ma 'anittum*), beliau senantiasa mencari cara untuk meringankan beban umatnya dalam menjalankan Syariat. Banyak hadis menunjukkan bahwa jika Rasulullah ﷺ dihadapkan pada dua pilihan, beliau akan memilih yang paling mudah selama itu bukan dosa.
Prinsip kemudahan (*Taysir*) dan penghilangan kesulitan (*Raf'ul Haraj*) dalam Fiqh Islam berakar langsung dari sifat kenabian yang dijelaskan dalam ayat 128 ini. Ini menafikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang semata-mata memberatkan, melainkan agama yang dibangun atas dasar kemudahan bagi orang-orang mukmin.
3. Pilar Utama Dakwah (Tabligh)
Ayat ini menetapkan bahwa metode dakwah yang efektif harus didasarkan pada empati (merasakan penderitaan orang lain) dan semangat yang tulus (*Harisun 'alaikum*). Pendakwah modern wajib meneladani sifat ini: dakwah bukan tentang menghakimi atau menghukum, tetapi tentang keinginan mendesak agar orang lain selamat. Jika seorang da’i tidak merasakan kesedihan atas kegagalan orang lain dalam beriman, maka ia belum menjiwai ayat ini.
4. Bukti Kemanusiaan Nabi
Sementara ayat-ayat lain menekankan keilahian risalah, ayat ini menekankan kemanusiaan Nabi. Allah sengaja memilih Rasul dari kalangan manusia agar ia dapat merasakan kesulitan, yang pada gilirannya memicu belas kasih yang murni. Ini menegaskan bahwa Nabi bukanlah figur mistis yang jauh, melainkan panutan yang sangat dekat dan peduli.
Kedalaman 'Harisun ‘Alaikum': Visi Keselamatan Jangka Panjang
Frasa *Harisun ‘alaikum* (sangat menginginkan bagimu) memerlukan penelusuran lebih jauh karena inilah yang mendorong seluruh pengorbanan Nabi.
Kerinduan untuk Setiap Jiwa
Keinginan Rasulullah ﷺ bukan hanya terbatas pada keselamatan fisik dari musuh, melainkan keselamatan jiwa abadi. Beliau berjuang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk nasib umatnya setelah kematian. Kehausan beliau agar umatnya beriman adalah manifestasi dari kecintaan beliau kepada Allah dan kepada makhluk-Nya. Ini berarti setiap keberhasilan dan kebahagiaan umat adalah kebahagiaan beliau; dan setiap kegagalan atau kesulitan umat adalah kesedihan beliau.
Hadis sebagai Penjelas Tafsir
Sifat *Haris* ini dijelaskan dengan indah dalam beberapa hadis, di antaranya adalah perumpamaan Nabi:
"Perumpamaanku dengan kalian adalah seperti seorang laki-laki yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekelilingnya, serangga dan kupu-kupu mulai berjatuhan ke dalamnya. Aku memegang pinggang kalian (menahan kalian dari api), tetapi kalian melepaskan diri dariku." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan intensitas *al-Hirsh* (keinginan kuat) beliau. Beliau berusaha keras menarik umatnya keluar dari api neraka, bahkan ketika mereka sendiri tidak menyadari bahayanya atau menolak uluran tangan beliau. Beliau rela lelah dan terluka demi menarik mereka ke dalam cahaya petunjuk.
Peran Syafaat dalam Konteks 'Harisun'
Keinginan kuat Nabi untuk keselamatan umatnya mencapai puncaknya pada hari Kiamat melalui mekanisme Syafa'at Al-Uzhma (Syafaat Agung). Ketika semua nabi lainnya mengkhawatirkan diri mereka sendiri, Rasulullah ﷺ akan berkata, "Ummati, Ummati!" (Umatku, Umatku!). Ini adalah pengejawantahan terakhir dari sifat *Harisun ‘alaikum* dan *Ra’ufun Rahim*. Beliau menunda permohonan pribadinya di dunia agar dapat menggunakan hak syafa’atnya secara penuh di Akhirat demi mereka yang beriman kepada risalahnya.
Perspektif Ulama Salaf dan Khalaf tentang At-Taubah 128
Tafsir Imam Al-Qurtubi
Al-Qurtubi dalam tafsirnya, *Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an*, memberikan penekanan besar pada aspek kemuliaan nasab dari frasa *‘min anfusikum’*. Beliau mengutip riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini adalah bukti bahwa Rasulullah ﷺ adalah yang termulia dari sisi keturunan, terhindar dari kotoran jahiliyah. Beliau juga memandang bahwa *Ra’ufun Rahim* di akhir ayat adalah penyeimbang dari ketegasan Surah At-Taubah, menunjukkan bahwa hukuman yang keras (seperti terhadap kaum munafik) dilakukan demi kebaikan dan keselamatan bagi mayoritas mukmin.
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menyoroti bahwa ayat ini adalah pujian Allah SWT yang paling tinggi kepada Nabi-Nya. Beliau fokus pada sifat *Azizun 'alaihi ma 'anittum*, menafsirkan *'anittum'* (kesulitanmu) sebagai hal-hal yang menyulitkan dalam urusan agama dan dunia. Menurut Ibnu Katsir, karena beratnya penderitaan umat ini bagi Nabi, beliau berusaha menghapus kesulitan tersebut. Ini adalah akar dari keringanan (rukhshah) dalam hukum Islam.
Tafsir Al-Razi (Mafatih al-Ghaib)
Fakhruddin Al-Razi melakukan analisis linguistik yang sangat mendalam. Ia menjelaskan mengapa *Ra’uf* didahulukan dari *Rahim*. Menurutnya, *Ra’fah* adalah penghapusan keburukan atau kesulitan (menarik mudarat), sedangkan *Rahmah* adalah pemberian kebaikan (mendatangkan manfaat). Logika Al-Razi adalah bahwa secara naluriah, manusia lebih mendahulukan penghapusan bahaya daripada perolehan manfaat, sehingga urutan dalam ayat tersebut mencerminkan prioritas logis dalam penyelamatan umat.
Tafsir Modern: Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur'an)
Dalam tafsir kontemporer, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai penegasan bahwa kepemimpinan Islam harus berakar pada kemanusiaan sejati dan empati. Bagi Qutb, ayat ini adalah seruan bagi pemimpin dan da’i Muslim untuk menjauhkan diri dari kesombongan dan birokrasi, sebaliknya, mereka harus merasa tersakiti oleh penderitaan umat dan bersemangat mencari solusi atas kesulitan mereka.
Penerapan Akhlak: Meneladani Sifat Raufun Rahim
Ayat 128 Surat At-Taubah bukan hanya informasi teologis, melainkan cetak biru etika dan moral (Akhlak) bagi setiap Muslim. Bagaimana kita menginternalisasi sifat-sifat yang dipuji Allah ini?
1. Empati dalam Hubungan Sosial
Jika Rasulullah ﷺ merasa berat dengan kesulitan kita, maka sebagai umatnya, kita harus merasa berat dengan kesulitan sesama. Ayat ini menolak individualisme dan mempromosikan tanggung jawab sosial. Seorang mukmin sejati tidak bisa tidur nyenyak jika tetangganya kelaparan atau saudaranya dalam kesusahan.
Menghindari Fanatisme dan Kekerasan
Sifat *Ra'ufun Rahim* menjadi filter dalam berinteraksi dengan perbedaan. Meskipun Surah At-Taubah berisi perintah peperangan, sifat penutup ini menegaskan bahwa bahkan dalam kondisi perang, rahmat dan belas kasihan harus tetap mendasari tindakan. Kekerasan tanpa empati bertentangan dengan ruh kenabian yang dipuji dalam ayat ini.
2. Sikap Terhadap Dosa dan Kesalahan
Sifat *Harisun ‘alaikum* mengajarkan kita untuk tidak mencela atau mempermalukan orang yang berbuat dosa, melainkan bersedih atas kondisi mereka dan berusaha menarik mereka kembali ke jalan yang benar dengan penuh kasih sayang. Sikap mendesak yang dimiliki Nabi adalah keinginan untuk menyelamatkan, bukan keinginan untuk menghakimi.
3. Peran Pemimpin dan Pendidik
Bagi siapa pun yang berada di posisi kepemimpinan (orang tua, guru, manajer, atau ulama), ayat ini menjadi pedoman kepemimpinan transformasional. Pemimpin sejati adalah mereka yang merasakan beban kesulitan orang yang dipimpinnya. Keputusan harus diambil dengan pertimbangan kasih sayang (Ra’fah) dan janji manfaat jangka panjang (Rahmah), bukan semata-mata kekuasaan atau keuntungan pribadi.
4. Mengingat Hak Rasulullah ﷺ
Mengingat deskripsi yang begitu mendalam dan indah ini, kewajiban kita adalah membalasnya dengan cinta dan ketaatan. Mencintai Rasulullah ﷺ bukan hanya emosi, melainkan mengikuti Sunnah beliau dengan pemahaman bahwa setiap ajarannya bertujuan untuk mengurangi kesulitan kita (*Azizun ‘alaihi ma ‘anittum*) dan memastikan keselamatan kita (*Harisun ‘alaikum*).
Cinta kepada Nabi yang dipuji dalam ayat ini termanifestasi dalam:
- Mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau.
- Memahami Syariat dengan penuh kemudahan dan keringanan (Taysir).
- Mengedepankan Akhlak (etika) dalam setiap aspek kehidupan.
Keistimewaan Nabi Muhammad ﷺ di Hadapan Para Nabi Terdahulu
Meskipun semua nabi diutus dengan membawa kasih sayang, Al-Qur'an memilih At-Taubah 128 sebagai deskripsi eksplisit dan terperinci mengenai tingkat empati Rasulullah ﷺ, yang membedakannya dari nabi-nabi terdahulu dalam beberapa aspek:
Kasih Sayang yang Universal Namun Spesifik
Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai *Rahmatan lil 'Alamin* (rahmat bagi seluruh alam). Ayat 128 memfokuskan rahmat ini: *Ra’ufun Rahim* (amat belas kasihan lagi penyayang) hanya tertuju *'Bil Mu'minina'* (kepada orang-orang mukmin). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rahmat beliau meliputi semua makhluk, intensitas dan kekhususan kasih sayang tersebut dicadangkan bagi mereka yang mengikuti risalahnya.
Nabi Nuh, Musa, dan nabi lainnya, pada titik tertentu, pernah memanjatkan doa yang berisi permohonan agar kaum yang mendustakan dihancurkan. Namun, Rasulullah ﷺ, bahkan di masa-masa sulit (seperti di Thaif atau Uhud), sering kali menolak untuk mendoakan kehancuran kaumnya, dengan harapan bahwa dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang beriman.
Perhatikanlah kontrasnya: Penderitaan kaumnya yang berat terasa baginya, mendesaknya untuk mencari jalan keselamatan, bukan jalan pembalasan.
Kepedulian Terhadap Keseimbangan Hukum
Fokus pada *Azizun ‘alaihi ma ‘anittum* adalah fondasi untuk pembaruan dan penyempurnaan Syariat. Syariat yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ bersifat final, global, dan mencakup semua kebutuhan manusia hingga akhir zaman, sehingga ia harus dibangun di atas prinsip kemudahan dan rahmat yang maksimal. Ayat ini meyakinkan umat bahwa sistem hukum mereka lahir dari kasih sayang yang dalam, bukan dari tirani atau kesewenang-wenangan ilahi.
Posisi Ayat sebagai Penutup Wahyu
Sebagai salah satu ayat yang diturunkan menjelang akhir periode kenabian, ia berfungsi sebagai konklusi dan pemersatu seluruh ajaran. Seolah-olah Allah SWT ingin menegaskan, setelah semua hukum dan peraturan diturunkan, bahwa inti dari semua itu adalah Kasih Sayang, yang diwujudkan oleh pribadi Rasulullah ﷺ.
Kontemplasi Ayat 128: Sumber Ketenangan Hati
Bagi orang-orang mukmin yang hidup di tengah zaman penuh fitnah dan kesulitan, ayat ini adalah sumber ketenangan dan harapan yang tak terbatas. Ketika kita merasa kesulitan dalam beribadah atau merasa terbebani oleh dosa-dosa kita, ayat ini menjadi pengingat abadi:
1. Telah Datang Rasul dari Kalangan Kita: Kita memiliki panutan yang memahami kita sepenuhnya. Beliau bukanlah dewa atau makhluk asing, melainkan manusia yang sempurna. Hal ini menghilangkan perasaan terasing dari petunjuk ilahi.
2. Beliau Merasakan Beratnya Beban Kita: Kesulitan kita dalam mengikuti Syariat telah dipertimbangkan. Jika kita merasa berat, ketahuilah bahwa beban itu juga telah dirasakan oleh Rasulullah ﷺ, dan itulah mengapa Allah menurunkan keringanan (rukhshah) melalui lisan beliau.
3. Beliau Menginginkan Kita Selamat: Keyakinan bahwa ada pribadi yang paling dicintai Allah, yang sangat menginginkan keselamatan kita, memberikan motivasi luar biasa untuk beramal. Setiap langkah menuju kebaikan adalah pemenuhan keinginan luhur Nabi ﷺ.
4. Beliau Penyayang dan Belas Kasihan: Dalam menghadapi ketakutan akan perhitungan hari akhir, ayat ini menjadi pelipur lara. Kita memiliki juru syafaat yang bersenjatakan *Ra’uf* dan *Rahim*.
Rahmat yang Abadi
Sifat *Ra’ufun Rahim* yang tersemat pada Nabi Muhammad ﷺ tidak berakhir dengan wafatnya beliau. Rahmat ini terus mengalir melalui Sunnahnya, ajaran-ajarannya, dan melalui syafa’atnya di hari Kiamat. Ayat 128 adalah janji ilahi bahwa kita, sebagai umatnya, berada di bawah perlindungan kasih sayang yang tiada tara.
Merenungkan ayat ini secara mendalam menghasilkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT atas anugerah risalah, dan rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah ﷺ. Cinta ini memotivasi kita untuk terus memperbaiki diri, bukan karena takut semata, melainkan karena keinginan untuk tidak mengecewakan pribadi yang begitu peduli terhadap keselamatan abadi kita.
Ayat penutup Surah At-Taubah, ayat 128, berfungsi sebagai penegasan bahwa inti agama ini, terlepas dari segala perintah dan larangannya, adalah tentang pengabdian yang tulus, yang berakar pada kasih sayang ilahi, dan diwujudkan secara sempurna oleh utusan terakhir-Nya, Muhammad ﷺ. Ini adalah ajakan untuk melihat Islam bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan kemudahan menuju rahmat abadi, dipimpin oleh seorang Rasul yang hatinya terikat erat pada penderitaan dan harapan keselamatan umatnya.
Setiap huruf dan kata dalam ayat ini membuka tabir kemuliaan dan keindahan akhlak kenabian. Dari penegasan 'Sungguh telah datang', hingga penutup 'Amat belas kasihan lagi penyayang', seluruhnya merupakan deklarasi yang menenangkan bagi hati setiap mukmin, menegaskan bahwa mereka tidak pernah sendiri dalam perjuangan hidup dan mati, karena seorang Rasul yang mulia selalu memikul penderitaan mereka dengan penuh cinta.
Kajian mendalam tentang struktur sintaksis, linguistik Arab klasik, dan perbandingan tafsir dari berbagai mazhab menunjukkan bahwa Al-Qur'an memilih kata-kata dengan presisi yang mutlak. Pilihan *Azizun 'alaihi* menggambungkan kekuatan (kehormatan) dengan beban, menunjukkan bahwa meskipun beliau adalah pemimpin yang dihormati, penderitaan umat membebani kehormatan tersebut hingga terasa sangat berat.
Penyandingan *Ra'uf* dan *Rahim* pada penghujung ayat, setelah serangkaian sifat yang menekankan keakraban (*min anfusikum*) dan semangat (*harisun 'alaikum*), memberikan kesimpulan logis: hasil dari kedekatan dan semangat tersebut adalah limpahan belas kasih dan rahmat yang hanya dicurahkan kepada orang-orang yang beriman. Rahmat ini bukan hanya teori, melainkan praktik nyata yang terlihat dari setiap keputusan, setiap rukhshah, dan setiap doa yang dipanjatkan oleh beliau.
Oleh karena itu, ketika membaca ayat ini, seorang mukmin seharusnya merasakan gelombang kedamaian. Ini adalah validasi dari Allah bahwa cinta yang mereka miliki untuk Nabi ﷺ adalah respons alami terhadap cinta dan perhatian yang jauh lebih besar yang telah ditunjukkan Nabi ﷺ kepada mereka sejak zaman permulaan risalah hingga hari kebangkitan. Ayat ini adalah dasar spiritual bagi setiap Muslim untuk menghadapi kesulitan dunia dengan ketenangan, mengetahui bahwa ada teladan sempurna yang merasakan kesulitan mereka dan memimpin mereka menuju keselamatan abadi. Ayat ini adalah jaminan, motivasi, dan sumber inspirasi akhlak yang tak pernah kering.
Sejatinya, At-Taubah 128 adalah undangan abadi untuk menelusuri Sunnah Nabi, karena di setiap ajarannya tersembunyi bukti-bukti konkret dari *Ra’ufun Rahim*. Ketika kita memahami ajaran tentang kebersihan, kesederhanaan, dan keadilan, kita sedang menyaksikan bagaimana beliau berusaha mempermudah hidup kita (*taysir*) dan menghilangkan kesusahan (*raf'ul haraj*). Ayat ini memastikan bahwa Syariat Islam bukan perangkat hukum yang kaku, melainkan sistem kehidupan yang dinamis dan penuh kasih sayang, yang berpusat pada kesejahteraan manusia, dipimpin oleh Rasul yang paling manusiawi dan paling mulia.