Pondasi Keunggulan: Teks Surat At-Taubah Ayat 20
"Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan (fauz)." (QS. At-Taubah: 20)
Ayat yang mulia ini, bagian dari Surat At-Taubah—sebuah surah yang secara mendalam membahas komitmen, kesetiaan, dan pemisahan antara kebenaran dan kepalsuan—menetapkan sebuah hierarki spiritual yang jelas. Ayat ini datang segera setelah perbandingan antara orang-orang yang hanya merasa puas dengan meramaikan Baitullah dan mereka yang benar-benar berjuang di jalan Allah. Allah SWT menegaskan bahwa keunggulan sejati terletak pada tiga tindakan fundamental yang didasari oleh keimanan yang kokoh.
Analisis Tafsir Mendalam Atas Setiap Komponen Ayat
Untuk memahami keagungan derajat yang dijanjikan, kita harus mengurai setiap elemen kunci dalam ayat ini: keimanan yang menjadi dasar, hijrah yang mewakili pemutusan hubungan dengan lingkungan buruk, dan jihad yang mencakup seluruh spektrum perjuangan. Ketiga unsur ini, jika dilaksanakan dengan pengorbanan harta dan jiwa, membentuk profil ideal seorang mukmin yang meraih derajat tertinggi di sisi Ilahi.
1. Pondasi Iman (الَّذِينَ آمَنُوا)
Kata pertama, "Alladzīna Āmanū" (Orang-orang yang beriman), merupakan prasyarat mutlak. Iman di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi keyakinan yang tertanam kuat di hati, yang kemudian memanifestasikan dirinya melalui perilaku. Iman adalah akar tunggal tempat semua tindakan heroik berikutnya tumbuh. Tanpa iman yang tulus kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir, hijrah dan jihad hanyalah tindakan fisik atau militeristik yang kosong dari nilai spiritual. Iman yang dimaksud adalah al-Iman al-Kāmil (Iman yang Sempurna), yang siap diuji dan dibuktikan melalui pengorbanan.
Para ulama tafsir menekankan bahwa iman di sini harus disertai dengan keikhlasan total (tauhid murni). Mengapa? Sebab, jihad atau hijrah yang dilakukan atas dasar kepentingan duniawi, politik, atau kesukuan, akan kehilangan bobotnya di hadapan Allah. Iman membedakan antara perjuangan yang didorong oleh ego manusia dan perjuangan yang sepenuhnya didedikasikan "fī sabīlillāh" (di jalan Allah). Dengan kata lain, iman adalah mesin pendorong spiritual yang memberikan arah dan makna tertinggi pada pengorbanan yang dilakukan.
2. Makna Ganda Hijrah (وَهَاجَرُوا)
Secara harfiah, "Haajarū" berarti berpindah atau beremigrasi. Dalam konteks sejarah pewahyuan Al-Qur'an, ini merujuk pada Hijrah besar dari Mekkah ke Madinah, sebuah titik balik krusial dalam sejarah Islam yang menandai pemisahan definitif antara ketaatan penuh dan penindasan. Namun, para ahli tafsir kontemporer dan klasik telah memperluas cakupan Hijrah menjadi konsep yang lebih universal dan abadi.
Hijrah Historis dan Fisik
Hijrah fisik menuntut pemutusan hubungan dengan tanah air, keluarga, dan kenyamanan demi menjaga akidah. Ini adalah ujian kesetiaan yang mengukur seberapa besar seorang mukmin rela meninggalkan kenikmatan duniawi hanya demi Allah. Para sahabat yang berhijrah meninggalkan segala kekayaan dan status sosial mereka di Mekkah. Inilah esensi pengorbanan fisik yang pertama kali disebutkan setelah iman, menunjukkan bahwa meninggalkan zona nyaman adalah langkah awal menuju perjuangan yang lebih besar.
Hijrah Ruhani (Hijratul Qulub)
Setelah penaklukan Mekkah, Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada hijrah (fisik) setelah Fathu Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat." Ini membuka interpretasi bahwa Hijrah berlanjut sebagai proses spiritual. Hijrah ruhani adalah perpindahan dari maksiat menuju ketaatan, dari kebodohan (jahiliyah) menuju ilmu (ma'rifah), dan dari lingkungan yang penuh fitnah menuju lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan iman. Ini adalah Hijrah internal yang berlaku bagi setiap mukmin di setiap masa. Seseorang yang meninggalkan kebiasaan buruk, meninggalkan lingkaran pergaulan yang merusak, atau beralih dari pekerjaan yang haram, sejatinya sedang melaksanakan Hijrah dalam makna kontemporer yang mendalam dan terus-menerus.
Hijrah, dalam pengertian ini, adalah tindakan proaktif untuk menciptakan lingkungan yang memelihara Iman, sehingga Jihad dapat dilaksanakan dengan efektif. Jika Iman adalah fondasi, maka Hijrah adalah pembersihan lingkungan sekitar dan pembangunan ruang gerak yang suci. Tanpa Hijrah, baik fisik maupun spiritual, Iman seringkali akan layu di bawah tekanan sosial dan budaya yang korup. Oleh karena itu, urutan yang disebutkan—Iman, kemudian Hijrah—adalah urutan logis dalam pembangunan karakter seorang mujahid sejati. Kebutuhan untuk meninggalkan sesuatu yang dicintai demi sesuatu yang lebih tinggi adalah intisari dari pengorbanan dalam Hijrah.
Penting untuk dipahami bahwa keutamaan Hijrah tidak hanya diberikan kepada mereka yang terlibat dalam perpindahan besar, tetapi juga kepada mereka yang secara konsisten meninggalkan dosa dan kezaliman pribadi. Mereka yang berpindah dari kesenangan duniawi yang melalaikan menuju kesungguhan dalam ibadah dan amal saleh juga termasuk dalam kategori pelaksana Hijrah yang dijanjikan derajat tinggi ini. Dengan demikian, Hijrah adalah sebuah proses pemurnian diri yang berkelanjutan, memindahkan hati dari kecintaan pada dunia menuju kecintaan pada akhirat. Ini menuntut disiplin diri yang luar biasa, memisahkan jiwa dari ikatan-ikatan materi yang menghalangi kemajuan spiritual.
3. Puncak Perjuangan: Jihad (وَجَاهَدُوا)
"Jāhadū" (berjihad) berasal dari kata juhd, yang berarti mengerahkan seluruh usaha, upaya, dan kemampuan. Dalam ayat ini, Jihad ditetapkan sebagai tingkatan aksi tertinggi, yang muncul sebagai hasil alami dari Iman yang kuat dan kesiapan ber-Hijrah. Jihad bukan sekadar peperangan, melainkan perjuangan komprehensif yang melibatkan setiap aspek kehidupan seorang mukmin.
A. Jihad dengan Harta (بِأَمْوَالِهِمْ)
Pengorbanan harta ditempatkan sebelum pengorbanan jiwa dalam banyak ayat Al-Qur'an, termasuk ayat ini. Para ulama menafsirkan penempatan ini sebagai penekanan bahwa harta seringkali lebih sulit dilepaskan daripada jiwa bagi sebagian orang. Harta adalah simbol dari kenyamanan, keamanan, dan harapan masa depan. Berjihad dengan harta berarti mendanai upaya-upaya dakwah, membangun kekuatan ekonomi umat, dan menopang keluarga mujahidin atau korban peperangan. Ini mencakup infaq, sedekah, dan zakat yang dilakukan dengan niat murni untuk menguatkan jalan Allah.
Jihad harta juga memiliki dimensi modern. Ini berarti menggunakan sumber daya ekonomi untuk melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan dalam masyarakat Islam, memastikan bahwa umat memiliki pondasi material yang kokoh untuk menjalankan misi ilahiah mereka. Pengorbanan harta menunjukkan kesiapan seorang mukmin untuk tidak terikat oleh kekayaan dunia, melainkan menjadikannya alat (wasilah) untuk mencapai ridha Allah. Mengeluarkan harta di jalan Allah adalah manifestasi nyata bahwa kecintaan kepada Allah dan tujuan-Nya melebihi kecintaan pada kekayaan pribadi.
Dalam konteks pengorbanan harta, ayat ini menggarisbawahi pentingnya keterlibatan finansial dalam setiap upaya kebaikan. Bukan hanya dalam bentuk sumbangan kecil, melainkan dalam bentuk pengeluaran yang signifikan, yang terasa sebagai sebuah "pengorbanan" sejati. Hal ini meliputi investasi waktu dan modal untuk membangun institusi pendidikan, media dakwah, dan sarana kesehatan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, semua itu dikerahkan demi meninggikan kalimat Allah. Kesiapan berkorban finansial menunjukkan tingkat keyakinan yang mendalam terhadap janji akhirat, karena ia menukar nilai-nilai yang tampak (harta) dengan nilai-nilai yang ghaib (pahala dan derajat di sisi Allah).
B. Jihad dengan Jiwa (وَأَنفُسِهِمْ)
Ini adalah puncak pengorbanan. Jihad dengan jiwa (Anfus) mencakup dua spektrum utama:
- Jihad al-Akbar (Perjuangan Besar): Perjuangan melawan hawa nafsu dan bisikan syaitan. Ini adalah jihad internal, yang terus-menerus, untuk menjaga hati tetap suci, memelihara lisan, dan memastikan setiap tindakan sesuai dengan syariat. Imam Al-Ghazali dan ulama tasawuf sangat menekankan bahwa jihad ini adalah yang paling sulit dan mendasar, karena ia melawan musuh yang berada di dalam diri sendiri.
- Jihad al-Ashghar (Perjuangan Kecil/Qital): Perang fisik dalam mempertahankan diri, melindungi umat, atau menghilangkan fitnah dan kezaliman, yang dilakukan di bawah panduan syariat dan otoritas yang sah. Ayat 20 Surat At-Taubah ini secara spesifik muncul dalam konteks peperangan, sehingga mencakup makna ini. Pengorbanan jiwa adalah bukti tertinggi dari totalitas penyerahan diri kepada Allah, di mana nyawa, aset paling berharga manusia, dipertaruhkan demi tujuan Ilahi.
Jihad dengan jiwa menuntut keberanian, ketabahan, dan keteguhan hati yang luar biasa. Ia menuntut kesiapan untuk menghadapi kesulitan, penderitaan, dan bahkan kematian. Dalam setiap manifestasinya, baik melawan hawa nafsu maupun melawan musuh di medan perang, Jihad adalah sebuah proses pemurnian diri. Ia adalah ujian akhir bagi keikhlasan Iman dan keaslian Hijrah. Tanpa kesiapan untuk berjihad dengan diri sendiri, semua klaim keimanan hanyalah ilusi.
Pengorbanan jiwa dalam bentuknya yang paling ekstrem, yaitu syahid (mati syahid), adalah status tertinggi yang dapat dicapai seorang mukmin, karena ia menjamin derajat yang tak tertandingi di sisi Allah. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap usaha yang sungguh-sungguh, setiap penderitaan yang ditanggung demi kebenaran, setiap ucapan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim—semua ini adalah manifestasi dari Jihad Anfus yang mengangkat derajat pelakunya.
Derajat Tertinggi dan Kemenangan Sejati
Ayat 20 kemudian menyatakan konsekuensi dari kombinasi ketiga pilar aksi tersebut: أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللَّهِ (adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah). Ini adalah inti dari janji tersebut. Derajat (Darajah) merujuk pada tingkatan kemuliaan, kehormatan, dan kedekatan dengan Allah di Surga.
Perbandingan Derajat
Ayat ini tidak hanya menyatakan bahwa mereka memiliki derajat, tetapi bahwa derajat mereka adalah A’zham (paling besar/tertinggi) dibandingkan dengan orang-orang yang hanya melakukan ibadah rutin tanpa pengorbanan besar. Dalam konteks ayat sebelumnya (At-Taubah 19), Allah membandingkan mereka yang hanya memakmurkan Masjidil Haram dengan mereka yang beriman dan berjihad. Kualitas keimanan yang dibuktikan dengan aksi nyata (Hijrah dan Jihad) jauh melampaui keimanan pasif.
Menurut penafsiran banyak mufasir, derajat tertinggi yang dimaksud di sini mengacu pada Firdaus al-A’la, tingkatan surga yang paling mulia dan paling dekat dengan ‘Arsy ar-Rahman. Ini adalah imbalan yang proporsional dengan besarnya pengorbanan yang dilakukan. Semakin besar pengorbanan harta dan jiwa, semakin tinggi kedudukan di akhirat. Konsep derajat ini menekankan bahwa Islam adalah agama yang menghargai usaha dan pengorbanan yang dilakukan dengan ikhlas.
Gelar Kemenangan (الفَائِزُونَ)
Ayat ini diakhiri dengan penegasan: وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan). Kata Al-Fāizūn (orang-orang yang memperoleh kemenangan) dalam konteks Al-Qur'an memiliki makna kemenangan yang hakiki, kemenangan abadi di akhirat, yang jauh melampaui kemenangan sementara di dunia. Kemenangan sejati bukanlah sekadar menaklukkan musuh, tetapi mencapai keridhaan Allah dan keselamatan dari api neraka.
Kemenangan ini adalah buah dari kombinasi sempurna: keyakinan spiritual (Iman), pemisahan diri dari keburukan (Hijrah), dan pengerahan seluruh kemampuan (Jihad). Tanpa ketiganya, kemenangan sejati di sisi Allah tidak akan terwujud. Gelar "Al-Faizun" adalah gelar kehormatan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang berhasil melalui ujian kehidupan dengan totalitas pengabdian.
Kemenangan di sini bukanlah kemenangan politik atau militer semata, meskipun itu bisa menjadi bagian darinya. Kemenangan sejati adalah kemenangan moral dan spiritual. Mereka menang karena mereka berhasil menaklukkan musuh terbesar, yaitu hawa nafsu. Mereka menang karena mereka berhasil menjadikan dunia sebagai jembatan, bukan tujuan. Kemenangan ini mencakup keamanan total, kebahagiaan abadi, dan penghormatan dari Allah, Rabb semesta alam. Inilah janji yang menghapus segala kesulitan dan penderitaan yang mungkin mereka alami saat berjuang di dunia.
Implementasi Tiga Pilar Keunggulan dalam Konteks Masa Kini
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan migrasi historis, prinsip-prinsipnya bersifat universal dan aplikatif sepanjang masa. Bagaimana seorang mukmin abad ke-21 dapat meraih derajat tertinggi (A’zham Darajah) yang dijanjikan dalam At-Taubah 20? Ini memerlukan pemahaman ulang terhadap konsep Hijrah dan Jihad.
Hijrah Kontemporer: Perpindahan Ideologis
Di zaman modern, Hijrah sering kali bersifat ideologis dan etis. Hijrah adalah tindakan meninggalkan sistem atau budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Contoh-contoh Hijrah kontemporer meliputi:
- Hijrah dari Riba: Berpindah dari sistem ekonomi berbasis bunga dan praktik-praktik haram lainnya menuju sistem keuangan Islam yang adil, meskipun hal itu mungkin lebih sulit atau kurang menguntungkan secara instan. Ini adalah pengorbanan harta dan kenyamanan.
- Hijrah Digital: Meninggalkan konten-konten media sosial dan hiburan yang merusak moral (fitnah digital) dan beralih menggunakan teknologi untuk tujuan dakwah, pendidikan, dan penyebaran kebaikan.
- Hijrah Komunitas: Memilih untuk tinggal di lingkungan yang mendukung praktik agama dan pendidikan anak-anak yang islami, meskipun hal itu berarti meninggalkan status sosial atau fasilitas yang lebih mewah di lingkungan sekuler.
Setiap bentuk Hijrah kontemporer menuntut pemutusan ikatan kenyamanan duniawi dan memerlukan pengorbanan baik dari segi waktu, harta, maupun energi mental. Para pelaksana Hijrah ini menunjukkan bahwa loyalitas mereka adalah kepada Allah, bukan kepada norma-norma sosial atau keuntungan materi yang berlaku. Hijrah ini adalah benteng yang menjaga Iman dari kehancuran di tengah derasnya arus materialisme dan hedonisme.
Konsep Hijrah kontemporer ini harus terus digali kedalamannya. Seseorang yang secara sadar menolak promosi jabatan yang menuntut kompromi etika, atau seorang pelajar yang meninggalkan lingkungan pertemanan yang toksik demi fokus pada studi agama, semuanya sedang melakukan Hijrah yang substansial. Ini adalah pertarungan melawan gravitasi budaya yang menarik seseorang menjauh dari ketaatan. Oleh karena itu, Hijrah adalah pengujian keberanian moral yang mendahului Jihad yang lebih aktif. Tanpa keberanian untuk "pindah" dari keburukan, mustahil seseorang memiliki kekuatan untuk "berjuang" demi kebenaran.
Jihad al-Akbar sebagai Prioritas Tertinggi
Mengingat kondisi umat Islam yang beragam saat ini, Jihad al-Akbar—perjuangan melawan hawa nafsu—menjadi fokus utama untuk mencapai derajat yang tinggi. Perjuangan ini menuntut konsistensi tak terbatas:
- Jihad Ilmu (Jihad of Knowledge): Perjuangan untuk memperoleh ilmu agama yang sahih dan mendalam, kemudian menyebarkannya (dakwah) di tengah kebodohan. Ini adalah Jihad harta (untuk membiayai pendidikan) dan jiwa (untuk menahan kantuk, lelah, dan kesombongan).
- Jihad Sosial (Jihad of Reform): Perjuangan melawan ketidakadilan, korupsi, dan kezaliman struktural melalui sarana damai, etis, dan legal. Ini memerlukan pengorbanan waktu, reputasi, dan terkadang keselamatan diri.
- Jihad Sabar (Jihad of Perseverance): Ketahanan menghadapi musibah, fitnah, dan tekanan hidup tanpa kehilangan harapan atau meninggalkan ketaatan.
Jihad dalam pengertian At-Taubah 20 adalah tindakan yang dilakukan dengan totalitas, dengan menggunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia. Ketika seseorang mengorbankan waktu tidurnya untuk qiyamul lail, ia berjihad dengan jiwanya. Ketika seorang pengusaha menolak tawaran haram yang menggiurkan demi menjaga integritas usahanya, ia berjihad dengan hartanya dan nafsunya.
Inilah sebabnya mengapa derajat mereka sangat tinggi. Mereka yang berhasil melewati ujian Hijrah dan Jihad, baik secara fisik maupun moral, adalah mereka yang membuktikan bahwa klaim iman mereka adalah riil, bukan sekadar basa-basi lisan. Keterlibatan total dalam perjuangan ini, yang mencakup dimensi intelektual, finansial, dan spiritual, menjadi penentu utama dalam hierarki kemuliaan di sisi Allah.
Pentingnya Jihad dengan harta tidak bisa diremehkan dalam era globalisasi ini. Jihad harta modern mencakup penguatan ekonomi umat secara mandiri, pengembangan teknologi yang etis, dan memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di antara orang kaya. Dengan mengutamakan infaq dan investasi yang memberdayakan, seorang mukmin menunjukkan bahwa tujuan akhir kekayaan adalah untuk mendukung tegaknya syariat Allah di muka bumi, bukan untuk akumulasi semata. Mereka yang berjuang untuk membebaskan diri dari ketergantungan ekonomi yang merusak dan membangun alternatif yang Islami, sesungguhnya sedang berjihad dengan harta mereka sesuai dengan tuntutan ayat ini.
Lebih lanjut, tafsir mengenai 'Jihad dengan jiwa' juga mencakup pengorbanan intelektual dan emosional. Dalam masyarakat yang rentan terhadap keraguan (syubhat) dan godaan syahwat, seorang da'i atau intelektual Muslim yang mendedikasikan hidupnya untuk menangkis serangan ideologis, menjelaskan ajaran Islam secara logis, dan menghadapi oposisi publik, juga sedang berjihad dengan jiwanya. Tekanan mental dan sosial yang dialami oleh para pejuang kebenaran di media massa atau akademik merupakan bentuk pengorbanan jiwa yang setara dengan kesulitan fisik. Mereka menukar kenyamanan sosial dengan perjuangan mempertahankan kebenaran.
Ayat At-Taubah 20 ini berfungsi sebagai peta jalan menuju keutamaan. Ia menghilangkan ilusi bahwa ibadah ritual saja sudah cukup. Allah menginginkan lebih dari sekadar shalat dan puasa; Dia menginginkan transformasi total diri yang diwujudkan dalam pengorbanan nyata. Urutan Iman, Hijrah, dan Jihad menegaskan bahwa keimanan sejati menghasilkan tindakan tegas (Hijrah), yang kemudian mengarah pada pengerahan seluruh upaya (Jihad). Tanpa urutan dan totalitas ini, derajat tertinggi tidak akan tergapai.
Prinsip Kontinuitas Pengorbanan
Ayat ini menggunakan kata kerja lampau (آمنوا, هاجروا, جاهدوا), yang dalam bahasa Arab seringkali menunjukkan kepastian dan kemantapan. Namun, dalam konteks janji Surga, ini juga menyiratkan kontinuitas. Sifat keimanan, hijrah, dan jihad bukanlah peristiwa sekali seumur hidup, melainkan sebuah kondisi berkelanjutan. Derajat yang tinggi di sisi Allah adalah untuk mereka yang mempertahankan komitmen ini hingga akhir hayat mereka.
Pengorbanan harta dan jiwa haruslah menjadi pola hidup, bukan pengecualian. Seseorang yang pernah berhijrah secara fisik di masa mudanya harus melanjutkan hijrah spiritualnya seumur hidup. Seseorang yang pernah mendanai proyek dakwah besar harus terus mencari peluang untuk berjihad dengan hartanya, sekecil apa pun sisa hartanya. Kontinuitas dalam pengorbanan inilah yang membedakan Fa'izun (pemenang) dari yang lain.
Para mufasir menekankan bahwa totalitas yang diminta oleh ayat ini bukanlah totalitas yang menyebabkan keputusasaan, melainkan totalitas yang proporsional dengan kemampuan (Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’aha). Namun, mukmin yang mencari derajat tertinggi akan selalu berusaha memberikan yang terbaik, menganggap upaya yang ia berikan masih kurang, dan terus meningkatkan intensitas perjuangannya demi mendekatkan diri kepada Allah. Totalitas pengorbanan ini mencerminkan tingginya penghargaan mereka terhadap ridha Ilahi.
Derajat yang dijanjikan, A’zham Darajah, adalah sebuah penghargaan yang melampaui segala perhitungan duniawi. Kehidupan di dunia ini hanyalah ladang ujian. Kesulitan dalam berhijrah, rasa sakit dalam berjihad, dan kerugian harta yang diderita semuanya akan dibayar lunas dengan kemuliaan yang abadi. Ayat ini mengajarkan kita untuk menetapkan tujuan tertinggi: bukan kenyamanan di dunia, melainkan kehormatan dan kedekatan di sisi Pencipta.
Perbandingan Tafsir Klasik dan Modern Mengenai At-Taubah 20
Kekuatan ayat ini terletak pada penekanan aksinya. Sejumlah ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang kaya, memperjelas mengapa Allah memberikan derajat tertinggi kepada kelompok ini.
Tafsir Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, sangat fokus pada konteks historis. Baginya, ayat ini jelas memprioritaskan mereka yang melakukan Hijrah dan Jihad fisik. Beliau menempatkan ayat ini sebagai jawaban tegas terhadap klaim kaum musyrikin yang merasa bangga dengan pelayanan mereka terhadap Ka'bah dan memberi minum jamaah haji, menganggapnya sebagai amal tertinggi. Ibnu Katsir menegaskan bahwa keimanan sejati, yang dibuktikan dengan meninggalkan rumah dan berjuang, adalah amal yang tak tertandingi. Keutamaan ini diberikan secara khusus kepada Muhajirin yang juga Mujaahidin, yang menggabungkan dua bentuk pengorbanan tertinggi: pemutusan hubungan dengan dunia (Hijrah) dan pengerahan upaya fisik (Jihad Qital).
Ibnu Katsir juga mengutip hadis-hadis yang menegaskan keutamaan jihad di atas segala amal, menunjukkan bahwa pengorbanan nyawa demi tegaknya agama adalah puncak pengabdian. Ini memberikan landasan kokoh bagi pemahaman bahwa dalam konteks konflik, Jihad dengan harta dan jiwa adalah tiket langsung menuju Darajat yang luar biasa. Derajat ini bukan sekadar bonus, melainkan konsekuensi logis dari pengorbanan yang melebihi batas-batas kebiasaan manusia.
Tafsir Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi lebih memperhatikan aspek hukum dan komparasi. Beliau membahas perdebatan mengenai apakah Hijrah dan Jihad (Qital) adalah fardhu 'ain atau fardhu kifayah dalam situasi tertentu. Al-Qurtubi menekankan bahwa kemuliaan derajat tersebut tidak dapat dicapai hanya dengan ibadah wajib biasa. Ia membutuhkan tindakan supererogatori (tindakan di luar kewajiban minimal) berupa pengorbanan substansial.
Al-Qurtubi juga menyentuh isu niat (ikhlāṣ). Beliau menjelaskan bahwa meskipun tindakan Hijrah dan Jihad itu mulia, yang membuatnya mencapai A’zham Darajah adalah kesempurnaan niat yang hanya mencari keridhaan Allah. Jika niat tercampur dengan keinginan duniawi, derajat tersebut akan berkurang. Ini menggarisbawahi bahwa kombinasi pengorbanan fisik (Harta & Jiwa) dan pengorbanan spiritual (Ikhlas) adalah kunci keberhasilan.
Tafsir Fi Zilalil Qur'an (Sayyid Qutb)
Sayyid Qutb menafsirkan ayat ini dengan penekanan pada hakikat gerakan Islam. Baginya, Iman, Hijrah, dan Jihad adalah tiga fase yang tak terpisahkan dalam pembentukan masyarakat Islam yang ideal. Hijrah adalah pemisahan diri dari sistem jahiliyah untuk membangun masyarakat berdasarkan tauhid. Jihad adalah gerakan proaktif untuk menghilangkan kekuasaan jahiliyah dan menegakkan kekuasaan Allah di muka bumi.
Menurut Qutb, ayat ini adalah dorongan bagi umat Islam di setiap zaman yang menghadapi penindasan atau harus meninggalkan praktik jahiliyah. Derajat tertinggi diberikan kepada mereka yang berani mengambil risiko total (Harta dan Jiwa) untuk merealisasikan tujuan Ilahi, menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang dinamis dan berorientasi pada perubahan sosial radikal. Keimanan yang statis tidak akan pernah mencapai derajat ini; hanya Iman yang menghasilkan gerakan (Hijrah) dan perjuangan (Jihad) yang akan menang.
Peran Harta dan Jiwa dalam mencapai A’zham Darajah
Mengapa Allah menyebutkan pengorbanan harta sebelum jiwa? Mayoritas ulama menafsirkan hal ini karena:
- Ujian Kekuatan: Melepaskan harta seringkali merupakan ujian awal yang lebih sulit bagi mayoritas manusia, karena kecintaan pada harta adalah sifat dasar manusia yang sangat kuat.
- Dukungan Operasional: Jihad fisik tidak mungkin terjadi tanpa dukungan finansial yang masif. Harta adalah tulang punggung operasionalitas perjuangan.
Inilah yang membuat At-Taubah 20 menjadi salah satu ayat yang paling kuat dalam Al-Qur'an tentang meritokrasi spiritual. Derajat di sisi Allah ditentukan oleh besarnya pengorbanan yang tulus dan totalitas aksi yang berbasis keyakinan. Derajat ini tidak diberikan berdasarkan keturunan, kekayaan, atau jabatan duniawi, melainkan berdasarkan intensitas Iman, keberanian dalam Hijrah, dan totalitas dalam Jihad.
Analisis Linguistik dan Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam ayat ini sangat retoris dan kuat. Penggunaan kata "A'zhamu Darajatan" (paling agung derajatnya) menggunakan pola kata sifat superlatif (Af'alut Tafdhil), menunjukkan bahwa tidak ada tingkatan amal lain, bahkan ibadah ritual yang intens sekalipun, yang dapat melampaui gabungan Iman, Hijrah, dan Jihad.
Pola penegasan "Wa ūlāika humul fāizūn" (dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan) menggunakan struktur penegasan dengan dhamir pemisah (humu), yang menunjukkan eksklusivitas. Artinya, hanya kelompok inilah, yang menggabungkan tiga pilar tersebut, yang berhak menyandang gelar "Al-Faizun" secara hakiki. Hal ini menghilangkan keraguan bahwa kemenangan sejati dapat diraih dengan jalan pintas atau dengan meninggalkan salah satu pilar utama yang telah ditetapkan.
Kombinasi kata "Bi Amwaalihim wa Anfusihim" (dengan harta mereka dan diri mereka) adalah penekanan yang berulang di banyak ayat Al-Qur'an mengenai Jihad. Pengulangan ini bukan sekadar pengisi kalimat, melainkan penegasan bahwa Islam menuntut partisipasi dalam segala lini kehidupan. Jihad bukan sekadar kewajiban militer; ia adalah kewajiban pengorbanan yang mencakup dimensi ekonomi dan eksistensial pribadi. Pengerahan harta seringkali merupakan barometer keikhlasan hati; jika seseorang enggan mengeluarkan harta untuk perjuangan, bagaimana ia bisa diharapkan mengorbankan nyawanya?
Oleh karena itu, setiap kata dalam At-Taubah 20 diletakkan dengan penuh hikmah, membentuk sebuah rumus spiritual yang tidak bisa diubah atau dikurangi: Iman sebagai sumber energi, Hijrah sebagai pembersihan dan perpindahan posisi, dan Jihad sebagai pengerahan total sumber daya. Inilah jalan menuju Darajat Al-A'zham.
Ruhul Ijtihad: Spirit Perjuangan yang Abadi
Ayat At-Taubah 20 secara fundamental menanamkan "Ruhul Ijtihad" atau spirit perjuangan dalam jiwa setiap mukmin. Spirit ini menolak kemalasan, kepuasan diri, dan ketaatan yang bersifat minimalis. Ia mendorong seorang mukmin untuk selalu berada dalam kondisi bergerak (Hijrah) dan berusaha keras (Jihad), mencontoh para Sahabat Nabi yang merupakan perwujudan sempurna dari ayat ini.
Antitesis Ketaatan Pasif
Ayat ini berfungsi sebagai antitesis terhadap ketaatan yang pasif atau formalistik. Banyak orang yang menjalankan ritual Islam (shalat, puasa) dengan baik, tetapi mereka gagal dalam ujian pengorbanan harta dan jiwa. Mereka puas dengan menjalankan rukun Islam tetapi menghindari tuntutan Hijrah dan Jihad. At-Taubah 20 secara jelas menyatakan bahwa derajat tertinggi tidak dapat dicapai hanya dengan ritual belaka; ia menuntut pengorbanan yang menyentuh inti kepemilikan dan eksistensi manusia.
Ketaatan pasif cenderung mencari kenyamanan dan keamanan di dunia. Sebaliknya, ketaatan aktif yang digambarkan dalam ayat 20 bersedia melepaskan kenyamanan dan mengambil risiko. Ini adalah perbedaan antara iman yang teruji dan iman yang tidak pernah diuji. Para ahli tafsir menekankan bahwa ujian terbesar Iman adalah ketika ia harus memilih antara apa yang dicintai (harta, rumah, nyawa) dan apa yang diperintahkan Allah (Hijrah, Jihad). Mereka yang memilih Allah dalam situasi ekstrem inilah yang dijanjikan Darajat Al-A'zham.
Ketaatan pasif juga seringkali berakar pada penundaan amal. Ayat ini mengajarkan urgensi. Hijrah dan Jihad adalah tindakan yang menuntut segera dilakukan (al-mubadarah). Penundaan berarti kehilangan peluang untuk meraih derajat yang tinggi. Dalam konteks modern, ini berarti memanfaatkan setiap peluang untuk berdakwah, berinfaq, atau melakukan reformasi sosial tanpa menunggu kondisi ideal, karena hidup itu singkat dan peluang untuk berkorban tidak selalu datang.
Oleh karena itu, ruhul ijtihad yang terkandung dalam At-Taubah 20 adalah motivasi untuk selalu berbuat yang terbaik, selalu mendahulukan kepentingan agama di atas kepentingan pribadi, dan selalu mencari cara untuk meningkatkan level pengorbanan, baik itu melalui harta, waktu, tenaga, maupun nyawa. Ini adalah peta jalan bagi para pencari kesempurnaan spiritual dan kemenangan abadi.
Memahami Jihad dan Hijrah sebagai Ibadah Total
Hijrah dan Jihad, ketika dilakukan atas dasar Iman yang tulus, melampaui batas-batas amal kebaikan biasa. Mereka menjadi ibadah total, di mana seluruh diri dan sumber daya dikerahkan untuk tujuan tunggal. Ini adalah ibadah yang merangkul dimensi horizontal (berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan) dan dimensi vertikal (berhubungan dengan Allah).
Dalam Hijrah dan Jihad, seorang mukmin tidak hanya membersihkan dirinya (tazkiyatun nafs) tetapi juga membersihkan lingkungannya (ishlahul mujtama'). Keduanya adalah ibadah yang tidak hanya memberikan manfaat pribadi, tetapi juga manfaat kolektif yang luas bagi umat. Inilah mengapa derajatnya menjadi yang tertinggi: karena ia menggabungkan pengorbanan diri dengan pelayanan kepada tujuan Ilahi di bumi.
Bagi mereka yang telah berhijrah, komitmen ini harus terus menerus dipelihara. Konsistensi dalam menjaga lingkungan spiritual yang telah dibangun melalui hijrah adalah bagian dari jihad al-akbar. Jika seseorang kembali kepada kebiasaan lama atau lingkungan yang merusak setelah berhasil berhijrah, maka upaya tersebut menjadi sia-sia. Dengan demikian, Hijrah dan Jihad tidak pernah berakhir selama nyawa masih dikandung badan.
Dalam penutupannya, ayat ini memberikan jaminan kebahagiaan abadi. Kata Al-Faizun mengikat janji derajat tertinggi di akhirat. Janji ini adalah hadiah teragung yang menghilangkan semua kerugian yang dialami di dunia. Kehilangan harta dibalas dengan kekayaan abadi, dan pengorbanan nyawa dibalas dengan kehidupan yang mulia di Surga. Inilah yang memotivasi para pejuang sejati untuk tidak pernah gentar dalam menghadapi kesulitan di jalan Allah, karena mereka tahu bahwa nilai pertukaran (trade-off) ini jauh menguntungkan mereka.
Pemahaman yang mendalam tentang At-Taubah 20 mengharuskan setiap Muslim untuk secara rutin mengevaluasi diri: Sejauh mana Iman saya telah menghasilkan gerakan Hijrah? Seberapa banyak harta dan jiwa saya telah dikorbankan untuk Jihad? Jika jawabannya adalah minimal, maka derajat yang diharapkan pun akan minimal. Ayat ini adalah seruan untuk beraksi, untuk bergerak melampaui batas-batas kenyamanan, dan untuk membuktikan keimanan melalui pengorbanan yang nyata dan terasa.
Pengorbanan ini juga mencakup pengorbanan waktu dan tenaga, yang seringkali lebih berharga daripada harta. Dalam kehidupan modern yang padat, mendedikasikan waktu yang signifikan untuk mempelajari agama, mendidik keluarga, atau melayani masyarakat adalah bentuk Jihad Anfus yang menuntut disiplin dan penolakan terhadap kesenangan instan. Mereka yang mengalokasikan sumber daya waktu mereka untuk pekerjaan yang bernilai akhirat, meskipun hal itu berarti mengorbankan waktu istirahat atau rekreasi, sesungguhnya sedang mengikuti jejak para Fa'izun.
Ayat 20 dari Surah At-Taubah ini adalah manifestasi paling jelas dari ajaran Islam yang memuliakan perjuangan. Islam adalah agama pergerakan dan perjuangan. Ia menolak statisme dan pasivitas. Keimanan yang terdiam dan terisolasi tidak akan pernah mampu mengubah dunia atau mengangkat derajat pemiliknya ke tingkat yang mulia. Hanya melalui aksi yang radikal—pemindahan keyakinan (Iman) menjadi perpindahan fisik/spiritual (Hijrah) dan pengerahan seluruh sumber daya (Jihad)—maka janji Allah akan derajat tertinggi dapat terealisasi sepenuhnya.
Dalam konteks sosial politik, ayat ini memberikan dorongan moral yang tak terbatas kepada mereka yang berjuang melawan tirani dan ketidakadilan. Meskipun perjuangan mereka mungkin menghadapi kesulitan yang luar biasa, ayat ini menjamin bahwa pengorbanan mereka dihargai secara tak terbatas di sisi Allah. Pengetahuan akan janji "A’zham Darajah" ini adalah sumber kekuatan spiritual yang memungkinkan para mujahid untuk bertahan di tengah cobaan terberat. Mereka tahu bahwa hasil akhir mereka bukanlah kemenangan sementara di dunia, melainkan kehormatan abadi di Surga Firdaus. Inilah esensi dari ketaatan total yang diajarkan oleh At-Taubah 20.
Maka, marilah kita jadikan ayat ini sebagai kompas kehidupan. Jika kita ingin menjadi bagian dari Al-Faizun, kita harus siap berkorban. Kita harus siap untuk meninggalkan apa yang kita cintai demi Dia yang kita cintai. Kita harus siap untuk berjihad dengan setiap sumber daya yang telah diberikan Allah kepada kita: akal kita, harta kita, waktu kita, dan pada akhirnya, jiwa kita. Inilah harga dari derajat tertinggi, dan sungguh, harga ini sangat pantas untuk kemenangan yang abadi.
Kesempurnaan pelaksanaan dari ayat ini tidak hanya terletak pada besarnya kuantitas pengorbanan, tetapi pada kualitasnya, yang diukur oleh keikhlasan niat. Pengorbanan yang sedikit namun tulus jauh lebih bernilai daripada pengorbanan yang besar namun ternoda oleh riya atau ambisi duniawi. Iman yang menjadi dasar, yang disucikan oleh Hijrah, dan dimanifestasikan melalui Jihad, adalah formula yang menjamin bahwa amal akan diterima dan ditingkatkan derajatnya. Derajat ini adalah mahkota kemuliaan bagi mereka yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup mereka.
Pengulangan tema pengorbanan dalam ayat ini berfungsi sebagai penekanan ilahiah bahwa Islam bukanlah agama kemudahan, melainkan agama perjuangan. Kemuliaan tidak datang dengan kemudahan; ia datang dengan penarikan diri dari kesenangan duniawi dan penyerahan total kepada kehendak Ilahi. At-Taubah 20 adalah panggilan untuk menjadi elit spiritual, untuk menjadi barisan terdepan yang tidak hanya percaya, tetapi juga bergerak dan berjuang dengan segala yang dimiliki. Keunggulan Darajat ini adalah cerminan langsung dari keunggulan aksi yang telah dilakukan oleh hamba tersebut di dunia fana ini.
Kesadaran akan janji ini harus menjadi pendorong bagi umat Islam di seluruh dunia untuk tidak berpuas diri dengan ibadah-ibadah minimalis. Kita harus selalu mencari peluang untuk meningkatkan kadar pengorbanan, baik dalam bentuk infaq yang lebih besar, waktu yang lebih banyak didedikasikan untuk dakwah, atau keberanian yang lebih besar dalam menegakkan kebenaran di tengah tantangan. Setiap langkah, setiap tetes keringat, setiap uang yang dikeluarkan, dan setiap tarikan napas yang diniatkan untuk Jihad fi Sabilillah akan dihitung dan menjadi penyebab naiknya derajat di sisi Yang Maha Tinggi.
Ayat ini juga memberikan penghiburan yang mendalam bagi mereka yang berjuang sendirian atau minoritas di tengah masyarakat yang apatis. Meskipun perjuangan mereka mungkin tidak diakui oleh manusia, Allah mengetahui setiap usaha dan pengorbanan mereka. Mereka tidak berjuang untuk tepuk tangan manusia, tetapi untuk janji "A’zham Darajah" dan gelar "Al-Faizun" yang hanya diberikan oleh Allah SWT. Inilah kemenangan yang sesungguhnya: keberhasilan dalam memenuhi kriteria Ilahi untuk menjadi hamba yang paling mulia.
Menutup pembahasan mengenai Surat At-Taubah Ayat 20, kita kembali pada tiga komponen esensial yang tak terpisahkan: Iman, Hijrah, dan Jihad. Ketiganya harus hadir dalam satu kesatuan aksi. Iman tanpa aksi adalah mati. Aksi tanpa pengorbanan total adalah lemah. Pengorbanan tanpa niat yang benar adalah sia-sia. Hanya dengan menggabungkan ketiganya secara total, dengan harta dan jiwa, seorang mukmin berhak menerima derajat tertinggi dan gelar kemenangan abadi di sisi Allah SWT. Inilah janji yang harus kita perjuangkan seumur hidup.
Ayat mulia ini memberikan kerangka kerja teologis yang kuat mengenai prioritas amal. Ketika terjadi pertentangan antara tinggal di zona nyaman dengan berkorban untuk agama, ayat ini memerintahkan kita untuk memilih yang kedua. Pilihan ini adalah manifestasi Hijrah dan Jihad yang secara langsung akan mengangkat derajat kita. Mereka yang memahami dan mengamalkan ruh ayat ini tidak akan pernah khawatir akan kerugian duniawi, sebab mata mereka telah tertuju pada kekayaan dan kemuliaan di akhirat.
Oleh karena itu, setiap mukmin harus menjadikan pengorbanan sebagai ciri khas hidupnya, bukan sebagai pengecualian. Konsistensi dalam infaq yang berat, ketabahan dalam menghadapi ujian dakwah, dan kesiapan untuk meninggalkan segala yang haram (Hijrah spiritual) adalah indikator bahwa seseorang sedang berjalan di jalur para Fa’izun. Derajat tertinggi menunggu mereka yang memiliki keberanian moral untuk berpisah dari dunia dan keberanian fisik untuk berjuang bagi-Nya.
Kesimpulannya, Surah At-Taubah Ayat 20 adalah sebuah seruan agung untuk totalitas pengabdian. Ia adalah penentu standar keunggulan spiritual. Keutamaan dan kemuliaan di hadapan Allah tidak didapatkan dengan mudah, melainkan dengan pengorbanan yang menyeluruh, melibatkan harta dan nyawa, didorong oleh Iman yang kokoh, dan diwujudkan melalui aksi Hijrah dan Jihad yang berkesinambungan. Semoga kita semua termasuk golongan yang meraih derajat tertinggi dan menjadi Al-Faizun.