Ancaman Keras Surat At-Taubah Ayat 34: Bahaya Kanz dan Harta yang Ditimbun

Surat At-Taubah, sebuah surat yang diturunkan pada masa-masa akhir kenabian dan sering disebut sebagai "pembebasan" (Bara'ah), mengandung banyak sekali hukum dan peringatan keras, terutama terkait dengan keimanan sejati dan komitmen finansial seorang Muslim. Di antara ayat-ayatnya yang paling tajam dalam mengkritik materialisme dan penyalahgunaan otoritas keagamaan adalah Ayat 34. Ayat ini merupakan sebuah pedoman abadi yang tidak hanya ditujukan kepada golongan pendahulu, tetapi juga menjadi cermin bagi setiap individu dan institusi keagamaan di sepanjang zaman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim mereka (Ahbar) dan rahib-rahib mereka (Ruhban) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (yakni) dengan azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)

I. Konteks Historis dan Dua Peringatan Utama

Ayat 34 Surat At-Taubah diturunkan dalam konteks perluasan dakwah Islam dan perseteruan ideologis, terutama pasca Perang Tabuk. Meskipun ayat ini secara spesifik menyebut 'Ahbar' (para rabi Yahudi) dan 'Ruhban' (para biarawan Nasrani), penafsiran ulama sepakat bahwa peringatan ini bersifat universal, mencakup siapa pun yang menggunakan kedudukan agama untuk mengeksploitasi umat dan menimbun harta.

Ayat ini secara jelas memuat dua peringatan kritis yang saling terkait erat, membentuk dasar etika ekonomi dan spiritual dalam Islam:

Peringatan pertama menyoroti korupsi dan eksploitasi yang dilakukan oleh para pemimpin agama. Para Ahbar dan Ruhban, yang seharusnya menjadi teladan spiritual dan moral, justru menggunakan pengaruh mereka untuk memakan harta umat dengan cara yang batil (tidak benar). Bentuk batil ini bisa berupa suap, menjual fatwa, manipulasi sumbangan, atau menetapkan pajak keagamaan yang tidak sah.

Peringatan kedua beralih secara langsung kepada umat Islam sendiri, membahas isu 'Kanz' (penimbunan harta). Meskipun konteks awalnya adalah kritik terhadap praktik keagamaan yang sesat, bagian kedua ayat ini berfungsi sebagai peringatan internal: seorang Muslim, meskipun saleh dalam ibadah ritualnya, akan mendapat azab pedih jika menimbun emas dan perak (kekayaan) dan enggan menafkahkannya di jalan Allah.

Ahbar dan Ruhban: Cermin untuk Ulama Masa Kini

Istilah Ahbar (jamak dari Habr) merujuk pada para sarjana dan rabi Yahudi yang dihormati karena pengetahuan mereka, sementara Ruhban (jamak dari Rahib) merujuk pada biarawan dan pendeta Nasrani. Meskipun mereka memiliki pengetahuan agama, banyak dari mereka pada masa itu menyimpang dari ajaran murni. Mereka mengubah hukum Allah demi keuntungan material, memanipulasi interpretasi, dan akhirnya menjadi penghalang (Yashudduna) bagi manusia dari jalan Allah.

Para mufassirin kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Quran, menekankan bahwa peringatan ini berlaku untuk setiap 'ulama su'' (ulama jahat) atau pemimpin spiritual yang menjual agamanya untuk kepentingan duniawi. Jika seorang ulama Muslim menyalahgunakan kedudukan agamanya untuk mendapatkan harta kekayaan secara tidak sah, mereka jatuh ke dalam kategori yang sama dengan Ahbar dan Ruhban yang dicela dalam ayat ini.

II. Analisis Mendalam Kanz (Penimbunan Harta)

Pusat dari ancaman keras di bagian kedua ayat 34 adalah larangan terhadap *Kanz*. Secara bahasa, *Kanz* berarti menyimpan harta di bawah tanah atau menimbun. Dalam terminologi syariat, definisi *kanz* menjadi subjek perdebatan yang intens di kalangan ulama salaf dan khalaf, meskipun hasil akhirnya mengarah pada satu kesimpulan etis dan hukum yang kuat.

Definisi Fiqh tentang Kanz

Ayat tersebut menyebut: وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ (Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah).

Debat Hukum: Kanz dan Zakat

Definisi kanz yang paling krusial adalah hubungannya dengan Zakat. Apakah harta yang sudah dibayar zakatnya masih dianggap kanz?

  1. Pendapat Mayoritas (Jumhur Ulama): Mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW, termasuk Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Aisyah, serta diikuti oleh Imam Malik, Asy-Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa harta yang telah dikeluarkan zakatnya tidak lagi dianggap sebagai kanz yang diancam dalam ayat ini. Ancaman azab pedih hanya berlaku bagi mereka yang menimbun harta (emas dan perak) dan enggan menunaikan kewajiban Zakat yang merupakan hak Allah dan hak fakir miskin di dalamnya.
  2. Pendapat Minoritas (Sebagian Sahabat Awal): Sebagian sahabat awal, seperti Abu Dzar Al-Ghifari, mengambil pandangan yang lebih ketat. Mereka menafsirkan ayat ini sebagai larangan total menimbun kekayaan melebihi kebutuhan sehari-hari, bahkan setelah zakat dibayar. Mereka berpegang pada perintah umum untuk 'menafkahkannya di jalan Allah,' yang diartikan sebagai kewajiban infak secara umum, bukan hanya zakat wajib. Meskipun pandangan ini sangat mempromosikan kezuhudan dan sedekah, pandangan Jumhur Ulama akhirnya mendominasi dalam hukum fiqh.

Meskipun demikian, pandangan Jumhur tetap menegaskan bahwa menafkahkan harta di jalan Allah (infak fi sabilillah) adalah perintah etis yang sangat ditekankan, melampaui batas minimal zakat. Kekayaan yang disimpan, meskipun sudah dizakati, dapat menjadi ujian besar jika pemiliknya tidak memiliki kepedulian sosial dan enggan membantu kebutuhan masyarakat.

Mengapa Emas dan Perak Disebutkan?

Emas (Dzahab) dan Perak (Fiddah) disebutkan secara spesifik karena pada masa itu, keduanya adalah mata uang utama dan representasi kekayaan yang paling stabil. Dalam konteks modern, ancaman ini meluas kepada segala bentuk kekayaan yang berfungsi sebagai alat tukar dan penyimpanan nilai, seperti mata uang fiat yang disimpan dalam jumlah besar, properti, atau saham yang ditimbun tanpa tujuan produktif dan tanpa menunaikan kewajiban zakat atau infak sosial.

Larangan kanz adalah inti dari etika ekonomi Islam: harta harus berputar, bergerak, dan memberikan manfaat bagi umat. Menahan harta berarti menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesenjangan sosial, dan merusak keseimbangan masyarakat.

Simbol Emas dan Api Kanz Ilustrasi tumpukan emas yang dipanaskan oleh api, melambangkan azab bagi penimbun harta (Kanz).

Visualisasi simbolis azab bagi penimbun emas dan perak (Kanz).

III. Tafsir dan Implikasi Hukuman Keras

Ancaman azab pedih ('adzabun alim) yang diberikan kepada penimbun harta dijelaskan lebih lanjut pada ayat berikutnya (QS. At-Taubah: 35). Kedua ayat ini harus dibaca bersama-sama untuk memahami kedalaman peringatan tersebut.

Azab Kanz: Emas dan Perak yang Dilebur

“Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan kepada mereka): ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (QS. At-Taubah: 35)

Hukuman yang digambarkan bersifat sangat literal dan simbolis. Harta yang sangat dicintai di dunia, yang disimpan dengan penuh ketamakan, diubah menjadi alat penyiksaan di akhirat. Emas dan perak dilebur (dipanaskan hingga sangat panas) dan digunakan untuk mencap (branding) tubuh sang penimbun.

Pencapan di Tiga Bagian Tubuh

Azab ini secara spesifik menyebut tiga area tubuh yang dicap atau dibakar: dahi (jabahihum), lambung/sisi (junubuhum), dan punggung (zuhuruhum). Para mufassir memberikan interpretasi yang mendalam mengenai pemilihan tiga area ini:

  1. Dahi: Mencerminkan keangkuhan dan penolakan untuk beramal. Ketika orang miskin meminta-minta, sang penimbun akan mengerutkan dahinya, menunjukkan penolakan dan ketidakpedulian. Dahi juga merupakan simbol wajah dan kehormatan.
  2. Lambung/Sisi: Mencerminkan sikap berpaling dan tidak mau melihat kebutuhan orang lain. Sang penimbun akan memalingkan badannya ke samping ketika berpapasan dengan orang miskin agar tidak perlu mengeluarkan infak.
  3. Punggung: Mencerminkan tindakan membelakangi dan lari dari tanggung jawab sosial. Ia seolah-olah membuang kewajiban menolong dan berinfak ke belakangnya.

Ayat ini mengajarkan bahwa azab tersebut adalah kebalikan langsung (kontra-aksi) dari perilaku si pelaku di dunia. Siksaan tersebut bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga penistaan moral, karena harta yang menjadi sumber kesenangan di dunia kini menjadi sumber siksaan abadi.

Pandangan Imam Al-Qurtubi dan At-Tabari

Imam At-Tabari dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini memberikan peringatan yang sangat jelas, tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk berdalih tidak mengetahui kewajiban zakat. Sementara itu, Imam Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, membahas secara rinci perdebatan mengenai batasan harta yang wajib dizakati. Al-Qurtubi memperkuat pandangan jumhur, bahwa kunci untuk menghindari status kanz adalah dengan menunaikan Zakat. Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika harta itu tetap ditimbun dan tidak diinfakkan padahal ada kebutuhan mendesak di masyarakat, maka ia telah gagal dalam esensi ajaran Islam.

IV. Filsafat Ekonomi Islam dan Larangan Kanz

Larangan terhadap kanz dalam Surat At-Taubah bukan sekadar aturan ibadah, melainkan pondasi dari sistem ekonomi Islam yang adil. Islam memandang harta sebagai karunia (amanah) dari Allah, bukan kepemilikan mutlak. Pemilik harta bertanggung jawab untuk mengelolanya sesuai dengan kehendak Ilahi, yang meliputi sirkulasi, produksi, dan distribusi kekayaan.

Keseimbangan antara Kepemilikan dan Kewajiban

Islam mengakui hak kepemilikan pribadi, namun hak ini dibatasi oleh kewajiban sosial. Zakat adalah pilar utama yang menjamin distribusi minimum. Ketika seseorang menimbun (kanz) emas dan perak—atau aset yang sangat likuid—dan tidak menggerakkannya, ia secara efektif mengambil sumber daya dari perputaran produktif.

Dampak Makroekonomi Kanz

Jika kekayaan disimpan, dampaknya sangat negatif terhadap ekonomi masyarakat:

Ayat 34 dan 35 Surat At-Taubah berfungsi sebagai peringatan keras bahwa membiarkan harta mengendap tanpa manfaat sosial, apalagi tanpa Zakat, adalah dosa besar yang melanggar tujuan syariat (Maqasid Syariah) dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan umat.

Infaq Fi Sabilillah: Lebih dari Sekedar Zakat

Frasa ‘wa la yunfiqunaha fi sabilillah’ (dan tidak menafkahkannya di jalan Allah) tidak hanya merujuk pada Zakat. Ia mencakup semua bentuk pengeluaran wajib dan sunnah yang bertujuan menegakkan agama Allah, termasuk bantuan perang (jihad), pendidikan, dakwah, kesehatan, dan infrastruktur sosial. Dalam kacamata ini, bahkan harta yang sudah dizakati pun masih memiliki potensi untuk diinfakkan secara sukarela, dan enggan berinfak ketika masyarakat membutuhkan dapat mengurangi keberkahan harta tersebut.

Beberapa ulama, seperti Imam Nawawi, menegaskan bahwa dalam keadaan darurat atau bencana, kewajiban infak bahkan bisa melampaui batas Zakat jika pemerintah (Ulil Amri) memerintahkan pengeluaran harta untuk kemaslahatan umum yang mendesak. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya konsep 'menafkahkan di jalan Allah' yang menuntut kepedulian yang aktif dan berkelanjutan dari pemilik harta.

Keterkaitan Antara Korupsi Agama dan Kanz

Sangat penting untuk melihat keterkaitan antara dua bagian ayat 34. Ketika para pemimpin agama (Ahbar dan Ruhban) memakan harta secara batil, mereka menciptakan sistem di mana kekayaan ditarik dari tangan rakyat miskin ke tangan elit. Praktik kanz oleh individu, ditambah dengan korupsi institusional, menciptakan spiral kemiskinan dan ketidakadilan, yang pada akhirnya 'menghalangi manusia dari jalan Allah' karena agama tampak menindas, bukan membebaskan.

V. Relevansi Kontemporer Ayat 34

Meskipun ayat ini diturunkan 14 abad lalu, relevansinya tetap tajam dalam dunia modern yang didominasi oleh kapitalisme dan kesenjangan ekonomi yang ekstrem.

1. Kritik Terhadap Lembaga Keagamaan

Ayat 34 berfungsi sebagai uji lakmus bagi institusi keagamaan dan pemimpin spiritual masa kini. Di banyak belahan dunia, terdapat fenomena "ulama su'" yang memanfaatkan popularitas, ceramah, atau yayasan amal untuk mengumpulkan kekayaan pribadi yang melimpah. Mereka mungkin secara formal membayar zakat, tetapi jika sumber kekayaan mereka diperoleh dari manipulasi sumbangan umat, menjual pengaruh politik, atau membenarkan kezaliman penguasa demi imbalan materi, maka mereka telah jatuh ke dalam perangkap "memakan harta dengan jalan yang batil."

Peringatan keras ini mengingatkan bahwa ketaatan ritual tidak cukup jika integritas finansial telah runtuh. Seorang ulama, dai, atau aktivis yayasan harus sangat transparan dan memastikan bahwa harta yang dikelola untuk kepentingan umat benar-benar disalurkan, bukan ditimbun atau digunakan untuk gaya hidup mewah pribadi.

Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam konteks modern, institusi keagamaan yang mengelola dana besar (wakaf, zakat, infak) memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk akuntabilitas. Tidak adanya transparansi dana yang dikumpulkan dapat menimbulkan kecurigaan bahwa dana tersebut di-kanz atau digunakan untuk tujuan pribadi, yang secara moral dan spiritual menempatkan mereka dalam bahaya ancaman ayat 34.

2. Kanz di Era Digital dan Global

Konsep kanz hari ini tidak terbatas pada kotak berisi koin emas yang dikubur. Kanz telah berevolusi menjadi berbagai bentuk penimbunan pasif yang tidak produktif dan tidak memenuhi kewajiban sosial:

Ayat 34 mengajarkan bahwa kekayaan harus berfungsi sebagai katalisator keadilan sosial. Jika kekayaan hanya berfungsi untuk memuaskan ego pemiliknya dan tidak memenuhi hak Allah (Zakat) dan hak manusia (Infak), maka kekayaan tersebut akan menjadi bumerang yang menyiksa di hari akhir.

VI. Membangun Masyarakat yang Produktif dan Bersirkulasi

Filosofi anti-kanz Islam adalah seruan untuk ekonomi yang dinamis dan berkeadilan. Ajaran ini mendorong umat Islam untuk menjadi investor, wirausahawan, dan filantropis aktif, bukan penimbun pasif. Jalan keluar dari ancaman azab pedih adalah melalui tiga pilar utama: Zakat, Infak, dan Produktivitas.

Pilar Pertama: Penegakan Zakat yang Benar

Zakat adalah benteng pertama melawan kanz. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mengeluarkan zakat hartamu, maka hilanglah darimu keburukan (dosa)nya.” (HR. Muslim). Zakat adalah pembersih harta. Dengan menunaikan Zakat 2,5% secara rutin, seorang Muslim tidak hanya memenuhi kewajiban agama, tetapi juga secara otomatis menyalurkan kembali sebagian kekayaannya kepada sektor yang membutuhkan, mengurangi potensi penimbunan.

Zakat Mal pada Harta yang Tidak Produktif

Jika harta (emas, perak, uang) mencapai nisab dan haul, ia wajib dizakati. Kewajiban ini berfungsi sebagai insentif untuk menginvestasikan uang. Jika uang disimpan tanpa investasi, setiap tahunnya akan berkurang 2,5% karena Zakat, yang secara bertahap "memakan" simpanan tersebut. Hal ini mendorong pemilik modal untuk mengalihkan uang dari brankas ke proyek produktif (pertanian, industri, perdagangan), di mana potensi pertumbuhan modal lebih besar daripada kerugian Zakat.

Pilar Kedua: Budaya Infak dan Sedekah Jariyah

Ayat 34 menggunakan frasa 'menafkahkannya di jalan Allah' (yunfiqunaha fi sabilillah) yang menuntut pengeluaran yang lebih luas dari sekadar Zakat. Ini menekankan pentingnya Infak Sunnah (sedekah), Wakaf, dan bantuan sukarela. Kekayaan harus digunakan untuk mendanai kemajuan umat, baik itu dalam bentuk beasiswa, pendirian rumah sakit, pembangunan masjid, atau penelitian ilmiah. Infak adalah investasi akhirat, di mana harta yang dikeluarkan tidak hilang, melainkan berlipat ganda pahalanya.

Pilar Ketiga: Mendorong Produksi dan Sirkulasi

Islam memuji perdagangan dan investasi yang membawa kemaslahatan (maslahah). Harta yang diinvestasikan, meskipun menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya, secara simultan memberikan manfaat sosial (pekerjaan, produk, layanan). Ketika seorang Muslim menggunakan kekayaannya untuk menjalankan bisnis yang jujur, ia telah menafkahkan hartanya di jalan Allah melalui aktivitas produktif yang menopang masyarakat.

Larangan kanz adalah penolakan terhadap mentalitas stagnan; ia adalah ajakan untuk bergerak, berinvestasi, dan memastikan bahwa setiap keping kekayaan ikut serta dalam membangun peradaban yang adil.

VII. Kedalaman Makna Spiritual dan Azab Harta

Ancaman azab pedih yang diturunkan dalam Surat At-Taubah ayat 34-35 tidak hanya mengenai sanksi hukuman, tetapi juga mencerminkan kerusakan spiritual yang ditimbulkan oleh penimbunan. Harta yang ditimbun tanpa pembersihan spiritual (Zakat) dan tanpa manfaat sosial (Infak) menjadi benda mati yang mengikat hati pemiliknya.

Harta Sebagai Fitnah (Ujian)

Al-Qur'an sering menyebut harta (amwal) sebagai fitnah (ujian). Ujian ini terletak pada bagaimana seseorang memperlakukan harta tersebut: apakah ia menguasai harta, ataukah harta yang menguasainya. Orang yang menimbun harta (kanz) adalah orang yang gagal dalam ujian tersebut; ia telah membiarkan kecintaannya pada materi mengalahkan ketaatannya kepada Allah dan kewajiban sosialnya.

Dalam pandangan spiritual, siksaan di Hari Kiamat (Ayat 35) adalah perwujudan eksternal dari kerusakan internal yang telah terjadi. Emas dan perak, yang mereka cintai secara buta di dunia, berubah menjadi siksaan karena kecintaan tersebut mengeras dan membakar hati mereka. Harta tersebut tidak bisa menolong, dan justru menjadi saksi bisu atas keengganan mereka untuk berderma.

Peran Pemimpin Agama sebagai Penjaga Etika

Hubungan antara bagian pertama (Ahbar dan Ruhban) dan bagian kedua (penimbun Kanz) sangat erat. Jika pemimpin agama telah jatuh ke dalam keserakahan (memakan harta batil), mereka tidak akan mampu lagi menasihati umat mereka tentang bahaya kanz. Mereka menjadi pengeksploitasi sekaligus teladan buruk. Oleh karena itu, integritas finansial para pemimpin agama adalah prasyarat utama untuk menegakkan keadilan ekonomi dan spiritual dalam masyarakat.

Seorang ulama harus menjadi yang terdepan dalam mencontohkan kezuhudan finansial yang sesuai syariat—yaitu kaya secara materi tapi dermawan, berinvestasi tapi tidak menimbun, dan menggunakan kekayaan sebagai sarana berkhidmat, bukan sebagai tujuan akhir.

VIII. Penutup: Seruan untuk Aksi Sosial

Surat At-Taubah ayat 34 merupakan salah satu seruan terkuat dalam Al-Qur'an yang menolak kapitalisme yang tidak bermoral dan praktik keagamaan yang korup. Ayat ini menuntut aksi nyata dari setiap Muslim, terutama mereka yang diberkahi dengan kekayaan. Ajaran ini bukan hanya tentang menghindari hukuman, tetapi tentang mencapai kemuliaan sejati melalui pengorbanan dan pelayanan sosial.

Untuk menghindari status kanz dan azab pedih, umat Islam diperintahkan untuk memastikan bahwa:

  1. Zakat Dikeluarkan Secara Penuh: Hitunglah harta (emas, perak, aset, penghasilan) dengan cermat dan tunaikan Zakatnya tanpa penundaan.
  2. Harta Diproduktifkan: Jangan biarkan kekayaan mengendap. Investasikan dalam proyek yang bermanfaat bagi umat dan negara.
  3. Infak Dijadikan Budaya: Jadikan pengeluaran sukarela (Infak) sebagai bagian integral dari pengelolaan keuangan untuk membantu mereka yang membutuhkan dan menopang dakwah serta kemaslahatan umum.
  4. Integritas Spiritual Ditegakkan: Para pemimpin agama harus menjauhi segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan material, sehingga mereka dapat menjadi teladan sejati dalam mengarahkan umat menuju keadilan ekonomi.

Kekayaan sejati dalam Islam bukanlah diukur dari berapa banyak yang bisa ditimbun, melainkan dari seberapa besar manfaat yang dapat disalurkan ke masyarakat dan seberapa bersih sumber serta pengeluarannya. Dengan menjadikan harta sebagai alat untuk mencapai keridaan Allah (fi sabilillah), seorang mukmin mengubah potensi azab menjadi jaminan pahala abadi.

Ancaman Surat At-Taubah ayat 34 adalah pengingat abadi bahwa di hadapan Allah, tidak ada tempat bagi keserakahan, baik yang bersembunyi di balik jubah agama maupun yang tersimpan dalam brankas besi.

IX. Diskursus Tambahan: Zakat Harta Terpendam (Rikaz) dan Perbandingannya dengan Kanz

Dalam fiqh Islam, terdapat pembahasan khusus mengenai harta terpendam yang berbeda dari kanz yang diancam dalam Surat At-Taubah. Harta ini dikenal sebagai Rikaz, yaitu harta karun atau peninggalan zaman lampau yang ditemukan oleh seseorang.

Perbedaan Mendasar antara Rikaz dan Kanz

  1. Rikaz: Adalah harta yang ditemukan, bukan harta yang ditimbun oleh pemiliknya secara sengaja. Hukumnya sangat berbeda: Zakat Rikaz adalah khumus (seperlima atau 20%) dan wajib dikeluarkan segera setelah ditemukan, tanpa syarat haul (masa satu tahun).
  2. Kanz: Adalah harta yang secara sengaja ditimbun oleh pemiliknya (emas, perak, atau mata uang) dan ia menolak untuk menunaikan Zakatnya. Ini adalah kejahatan finansial yang membawa azab pedih, karena melibatkan pengabaian kewajiban sosial yang disengaja.

Perbedaan ini menegaskan bahwa fokus ancaman ayat 34 adalah pada kesadaran dan keengganan untuk menunaikan hak Allah dan hak fakir miskin. Harta terpendam yang diwariskan dari orang masa lalu mungkin mengandung kewajiban (jika itu adalah kanz dari pemilik terdahulu), tetapi bagi penemunya, kewajibannya adalah mengeluarkan khumus, bukan menghadapi ancaman kanz karena ia tidak secara sengaja menimbunnya.

Kanz dalam Konteks Kewajiban Zakat Profesi dan Investasi Modern

Dalam ekonomi modern, sumber kekayaan utama sering kali berasal dari pendapatan (gaji) dan investasi (saham, obligasi, reksadana). Para ulama kontemporer berupaya mengintegrasikan peringatan kanz ke dalam kategori harta ini:

Seorang profesional atau pebisnis yang mendapatkan penghasilan besar namun menimbun kelebihan dananya di rekening pasif, dan menolak membayar Zakat atas simpanan tersebut (setelah mencapai nisab dan haul), secara efektif sedang melakukan kanz modern. Meskipun Zakat penghasilan/profesi (jika diambil pandangan yang mewajibkannya segera) telah ditunaikan, Zakat atas sisa simpanan yang tidak berputar dan tidak menghasilkan nilai tambah tetap wajib dibayar.

Oleh karena itu, semangat anti-kanz mendorong umat Islam untuk menginvestasikan kelebihan harta mereka. Investasi yang halal dan produktif dipandang sebagai cara "menafkahkan di jalan Allah" karena ia berkontribusi pada pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat, yang jauh lebih baik daripada membiarkannya mati (idle) dalam bentuk simpanan yang hanya dikenai Zakat tanpa manfaat sosial yang lebih luas.

X. Sifat Korupsi Ruhban dan Ahbar: Memakan Harta Batil

Ayat 34 memulai dengan menyoroti bagaimana Ahbar dan Ruhban 'memakan harta orang dengan jalan yang batil'. Penting untuk memahami apa saja yang termasuk 'jalan yang batil' ini, karena hal ini mencerminkan penyimpangan etika yang parah dan relevan bagi setiap pemimpin agama.

Bentuk-bentuk Memakan Harta Batil

Para mufassir menyebutkan beberapa contoh praktik haram yang dilakukan oleh para pemimpin agama di masa lalu, yang kini dapat dikategorikan dalam konteks modern:

1. Suap dan Penjualan Fatwa (Ar-Risywah)

Ini adalah praktik di mana pemimpin agama menerima uang atau hadiah agar mengeluarkan keputusan, fatwa, atau interpretasi yang sesuai dengan keinginan pihak yang membayar, meskipun bertentangan dengan kebenaran hakiki dari ajaran agama. Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.

2. Eksploitasi Donasi dan Persembahan

Mengambil sumbangan yang ditujukan untuk amal atau pelayanan keagamaan dan menggunakannya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka menipu umat yang ikhlas beramal dengan menggunakan nama agama untuk mendapatkan keuntungan finansial pribadi yang tidak sah.

3. Pengenaan Pajak Keagamaan yang Berlebihan atau Tidak Sah

Mengeluarkan aturan atau sistem pemungutan dana dari umat yang tidak memiliki dasar dalam syariat yang benar, melainkan hanya untuk memperbesar kas pribadi atau institusi mereka secara tidak wajar, membebani masyarakat. Ini mencakup eksploitasi janji keselamatan rohani dengan imbalan materi.

4. Menggunakan Pengaruh Sosial untuk Bisnis Pribadi yang Meragukan

Memanfaatkan otoritas keagamaan untuk mempromosikan skema bisnis pribadi yang meragukan (misalnya, investasi bodong atau MLM yang tidak etis) kepada jamaah yang percaya penuh pada integritas spiritual mereka. Ini adalah bentuk penipuan yang memanfaatkan kepercayaan suci.

Ketika praktik-praktik ini terjadi, agama tidak lagi menjadi jalan petunjuk, melainkan alat penindasan dan penghalang dari jalan Allah (yashudduna 'an sabilillah). Umat yang melihat korupsi ini akan kehilangan kepercayaan pada agama itu sendiri, sehingga mereka 'terhalang' untuk menempuh jalan keimanan yang lurus.

XI. Telaah Tafsir Historis: Peran Abu Dzar Al-Ghifari dalam Penafsiran Kanz

Salah satu narasi paling terkenal terkait penafsiran Surat At-Taubah ayat 34 adalah kisah Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari RA. Beliau dikenal sebagai tokoh yang sangat asketis dan gigih dalam memerangi penimbunan harta, sampai-sampai ia sering berselisih paham dengan para sahabat lain, bahkan dengan Khalifah Muawiyah.

Pandangan Keras Abu Dzar

Abu Dzar menafsirkan ayat 34 secara literal dan ketat: siapa pun yang memiliki harta (emas atau perak) lebih dari yang dibutuhkan untuk menafkahi dirinya dan keluarganya selama satu hari, maka sisanya adalah kanz yang wajib diinfakkan. Beliau berargumen bahwa bahkan setelah Zakat dibayar, jika seseorang tetap menimbun harta dalam jumlah besar, ia masih terancam oleh ayat 34, karena ia tidak menafkahkannya di jalan Allah secara maksimal.

Beliau sering mengutip ayat ini dan ayat 35 sebagai peringatan bagi para hartawan di Damaskus pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, yang saat itu hidup dalam kemewahan. Beliau berpendapat bahwa kekayaan yang berlebihan secara inheren berbahaya bagi spiritualitas dan keadilan sosial.

Konsensus Ulama dan Mediasi Sahabat

Meskipun Abu Dzar memiliki niat yang murni dan luhur, penafsiran ini tidak dijadikan hukum fiqh umum oleh mayoritas ulama (Jumhur). Para sahabat besar lainnya, seperti Abdullah bin Abbas dan Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa pandangan Abu Dzar terlalu ekstrem dan dapat menghambat perdagangan serta investasi yang sah.

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Islam tidak melarang kekayaan selama kewajiban Zakat telah dipenuhi. Beliau berargumen bahwa ayat ini turun untuk mengutuk mereka yang menahan Zakat. Kekayaan yang sudah dikeluarkan Zakatnya adalah kekayaan yang suci dan boleh dimiliki. Pandangan Jumhur ini menyeimbangkan antara kebutuhan spiritual untuk menghindari keserakahan dan kebutuhan praktis untuk membangun ekonomi yang stabil.

Namun, penting untuk dicatat bahwa semangat Abu Dzar tetap relevan: meskipun secara hukum Zakat adalah batas minimum, etika Islam menuntut seorang Muslim untuk selalu siap berinfak dan menghindari keterikatan hati yang berlebihan pada kekayaan. Kontribusi Abu Dzar adalah mengingatkan umat bahwa bahaya kanz tidak hanya terletak pada pengabaian hukum, tetapi pada penyakit hati (hubb ad-dunya).

XII. Epilog: Warisan Ayat 34 dalam Peradaban Islam

Surat At-Taubah ayat 34 dan 35 telah menjadi mercusuar moral bagi peradaban Islam selama berabad-abad. Ayat ini memastikan bahwa sistem ekonomi Islam tidak pernah boleh menyimpang ke arah akumulasi kekayaan tanpa batas yang mengabaikan hak-hak sosial. Dari masa Khulafaur Rasyidin hingga era modern, ayat ini terus menjadi rujukan utama dalam pembahasan tentang etika keuangan, peranan pemerintah dalam distribusi kekayaan, dan integritas kepemimpinan agama.

Pada akhirnya, ancaman yang ada dalam ayat ini adalah seruan untuk kembali kepada kemanusiaan dan keimanan sejati. Kekayaan (emas, perak, atau bentuk modern lainnya) harus dilihat sebagai alat untuk mencapai keadilan (qist), bukan sebagai tujuan akhir. Siapa pun yang menjadikan harta sebagai tuhan dan menimbunnya, menolak berbagi di jalan Allah, maka harta itu sendiri yang akan menjadi azab dan penyesalan terpedih bagi dirinya.

Kewajiban untuk tidak menimbun adalah sebuah janji sosial yang mengikat setiap Muslim: kekayaan yang Anda miliki bukan sepenuhnya milik Anda, ada bagian di dalamnya yang merupakan hak orang lain, yang wajib disalurkan untuk memastikan keseimbangan dan keberlangsungan umat manusia.

Maka, berjuanglah untuk mencari harta yang halal, namun pastikan setiap harta itu bergerak, berputar, dan memberikan manfaat luas, sehingga ia menjadi bekal kemuliaan, bukan bara api yang membakar dahi, lambung, dan punggung di hari perhitungan kelak.

🏠 Homepage