Menganalisis secara komprehensif peran sentral Sudharmono SH dalam membentuk dan mempertahankan struktur kekuasaan serta birokrasi yang efektif selama masa Orde Baru, mulai dari Sekretaris Negara hingga mencapai posisi Wakil Presiden.
Membicarakan masa kepemimpinan (tantyo) Orde Baru takkan lengkap tanpa meninjau kontribusi signifikan Jenderal (Purn.) Sudharmono, S.H. Beliau adalah sosok yang, meskipun tidak selalu berada di garis depan militer, memegang kendali atas struktur administratif, hukum, dan politik yang menopang stabilitas kekuasaan yang dibangun. Perannya bukan sekadar sebagai pelaksana, melainkan arsitek utama yang merancang detail-detail birokrasi, memastikan bahwa mesin negara berjalan mulus sesuai visi kepemimpinan puncak. Sudharmono berhasil mengintegrasikan elemen hukum dan militer dalam tubuh birokrasi sipil, menciptakan sebuah sistem yang resisten terhadap guncangan politik internal maupun eksternal. Inilah yang menjadi fondasi bagi dominasi panjang Orde Baru di panggung nasional.
Periode krusial yang diwakili oleh Sudharmono, khususnya selama menjabat sebagai Sekretaris Negara (Sekneg) dan kemudian sebagai Wakil Presiden, adalah masa di mana Indonesia mengalami transisi besar dalam pembangunan ekonomi, modernisasi birokrasi, dan sekaligus puncak dari konsolidasi politik. Tugasnya di Sekneg melibatkan penyusunan kerangka hukum dan koordinasi antarlembaga negara yang sangat kompleks. Ia bertanggung jawab memastikan semua kebijakan presiden memiliki landasan hukum yang kuat dan dapat dieksekusi secara efisien oleh aparatur di bawahnya. Efisiensi birokrasi ini, meski sering dikritik karena sifatnya yang sentralistik, diakui menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program-program pembangunan jangka panjang yang dilancarkan pemerintah saat itu. Tanpa kepiawaian Sudharmono dalam mengelola sistem ini, desentralisasi kekuasaan akan terjadi lebih cepat, yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan stabilisasi politik era tersebut.
Lebih jauh, perannya meluas dari ranah teknokratis administratif ke ranah politik praktis. Sebagai Ketua Umum Golongan Karya (Golkar), Sudharmono menjadi jembatan vital antara birokrasi sipil, militer, dan kendaraan politik utama Orde Baru. Ia mampu mengartikulasikan kepentingan politik rezim dan menerjemahkannya menjadi strategi pemenangan Pemilihan Umum yang konsisten. Keterlibatannya dalam Golkar adalah manifestasi nyata dari upaya rezim untuk mengontrol ruang politik secara total, memastikan bahwa oposisi tidak memiliki celah signifikan untuk menantang status quo. Pengaruhnya dalam rekrutmen politik, penyusunan daftar calon legislatif, dan mobilisasi massa pemilih adalah studi kasus yang penting dalam ilmu politik Indonesia kontemporer. Ia memainkan peran ganda: sebagai birokrat ulung di hari kerja, dan sebagai operator politik efektif di akhir pekan.
Visualisasi Struktur Birokrasi dan Hukum yang Menjadi Fokus Utama J. Sudharmono SH.
Masa jabatan Sudharmono sebagai Sekretaris Negara (1973–1988) sering disebut sebagai masa keemasan birokrasi Sekneg. Dalam periode ini, Sekneg bertransformasi dari lembaga administratif biasa menjadi pusat pengendali kebijakan dan filter utama informasi serta regulasi yang masuk ke meja Presiden. Sudharmono tidak hanya mengurus surat-menyurat; ia memastikan bahwa setiap Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), dan peraturan lainnya disusun dengan presisi hukum yang tinggi dan selaras dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam merumuskan kerangka hukum yang kokoh untuk Orde Baru. Ini mencakup penataan undang-undang, memformalkan prosedur pembuatan kebijakan, dan standardisasi administrasi publik. Sudharmono, dengan latar belakang militernya namun memiliki keahlian hukum yang mendalam, berhasil menjembatani gap antara kebutuhan stabilitas militeristik dan tuntutan legitimasi sipil-hukum. Ia memastikan bahwa Dwifungsi ABRI, misalnya, memiliki justifikasi operasional dalam struktur sipil melalui regulasi-regulasi teknis. Ini merupakan langkah strategis yang mengunci dominasi rezim dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Peran Sekneg di bawah Sudharmono juga meluas hingga ke urusan proyek-proyek strategis nasional. Tidak ada proyek besar yang dapat berjalan tanpa persetujuan administratif dan legal dari Sekneg. Ini memberikan Sudharmono kekuasaan yang luar biasa dalam memfilter dan mengarahkan aliran sumber daya dan investasi, baik domestik maupun asing. Kontrol ketat ini bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan—setidaknya di tingkat permukaan—dan menjamin bahwa proyek-proyek tersebut benar-benar mendukung sasaran Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Birokratisasi yang terpusat ini, meskipun lambat, dianggap efektif dalam memastikan keselarasan program lintas kementerian yang sangat beragam.
Dalam konteks internal pemerintahan, Sekneg berfungsi sebagai 'penjaga gerbang' informasi. Sudharmono mengendalikan siapa yang bertemu Presiden, dokumen apa yang sampai ke Presiden, dan bagaimana informasi kebijakan dikomunikasikan ke publik. Kontrol informasi ini penting untuk menjaga citra kepemimpinan tunggal yang kuat dan menghindari tumpang tindih interpretasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan sensitif, terutama yang berkaitan dengan keamanan dan ekonomi, melalui proses verifikasi berlapis di Sekneg sebelum dipublikasikan. Kedekatan personalnya dengan Presiden Soeharto memperkuat otoritasnya, menjadikannya salah satu orang paling berpengaruh, jauh melebihi banyak menteri kabinet saat itu.
Di samping tugas administratif, Sudharmono juga memainkan peran sentral dalam pelembagaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). P-4 bukan sekadar mata pelajaran, melainkan instrumen ideologis yang digunakan untuk menyatukan interpretasi tunggal tentang Pancasila. Sudharmono, melalui koordinasinya di Sekneg, memastikan bahwa penataran P-4 diimplementasikan secara masif dan wajib bagi semua aparatur negara, pelajar, hingga organisasi masyarakat. Ini adalah upaya sistematis untuk membumikan ideologi negara yang terpusat dan mematikan potensi ideologi alternatif.
Penguatan ideologi ini sangat penting bagi legitimasi Orde Baru. Dengan memosisikan diri sebagai satu-satunya penafsir Pancasila yang benar, rezim secara efektif mendeklarasikan bahwa setiap kritik atau oposisi terhadap kebijakan pemerintah adalah kritik terhadap dasar negara itu sendiri. Sudharmono memfasilitasi struktur kelembagaan yang diperlukan, seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7), yang memastikan bahwa pesan ideologis ini mencapai setiap pelosok negeri. Efeknya adalah terciptanya konsensus politik semu di mana semua elemen masyarakat, secara formal, tunduk pada interpretasi ideologi negara yang seragam.
Kepala biro Sekneg harus memiliki pemahaman mendalam tentang setiap detail hukum dan politik. Sudharmono dikenal karena ketelitiannya yang sangat tinggi dan gaya kerjanya yang sistematis. Ia membangun Sekneg menjadi sebuah organisasi yang didominasi oleh para profesional hukum dan administrasi yang loyal. Sistem kaderisasi yang ia terapkan memastikan bahwa generasi birokrat berikutnya juga menguasai teknik-teknik manajemen ala Orde Baru. Keseluruhan proses ini menjamin kontinuitas dan prediktabilitas dalam pemerintahan, elemen yang sangat dihargai oleh para investor asing dan lembaga keuangan internasional pada masa itu. Pengelolaan birokrasi yang rapi ini adalah fondasi yang memungkinkan Indonesia melakukan lompatan pembangunan ekonomi di periode 1970-an hingga awal 1980-an.
Periode 1983 hingga 1988 adalah masa di mana Sudharmono memimpin Golongan Karya (Golkar) sebagai Ketua Umum. Ini bukan hanya jabatan seremonial; ini adalah upaya untuk menancapkan kuku birokrasi dan militer secara lebih permanen ke dalam struktur partai politik. Sudharmono mewakili faksi yang ingin Golkar menjadi kendaraan politik modern yang efisien, bukan sekadar kumpulan organisasi fungsional yang longgar. Transformasi ini sangat krusial karena Golkar adalah alat utama untuk mempertahankan mayoritas mutlak di parlemen dan MPR.
Di bawah kepemimpinannya, Sudharmono semakin memperkuat integrasi antara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dan Golkar. Korpri, sebagai organisasi induk seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS), secara de facto diwajibkan mendukung Golkar dalam setiap pemilihan umum. Sudharmono, yang sudah menguasai birokrasi melalui Sekneg, menggunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa mekanisme politik bergerak selaras dengan mekanisme administratif. Konsekuensinya, Golkar memenangkan Pemilu dengan angka yang fantastis, seringkali melebihi 70% suara nasional. Kemenangan elektoral ini memberikan legitimasi demokratis bagi rezim yang esensinya sangat otoriter.
Peran Sudharmono dalam Golkar juga ditandai dengan upaya sistematis untuk membersihkan elemen-elemen yang dianggap tidak sejalan atau terlalu independen. Ia fokus pada kaderisasi yang loyal kepada pusat kekuasaan, memastikan bahwa kepemimpinan Golkar di daerah-daerah didominasi oleh birokrat atau pensiunan militer yang teruji kesetiaannya. Program-program pelatihan politik yang ketat diberlakukan, menekankan doktrin monoloyalitas, yakni PNS hanya loyal kepada pemerintah, dan melalui Golkar, pemerintah memastikan loyalitas tersebut terwujud dalam dukungan politik elektoral. Upaya ini memastikan bahwa Golkar tidak akan pernah menjadi partai dengan otonomi politik sejati, melainkan perpanjangan tangan efektif dari Istana Negara.
Meskipun Golkar tampak monolitik dari luar, di internal terdapat gesekan kuat, terutama antara faksi yang didominasi birokrat (sering diwakili Sudharmono) dan faksi yang didominasi unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sudharmono mewakili pendekatan yang lebih terorganisir dan terstruktur secara sipil-administratif dalam mengelola kekuasaan, sementara beberapa jenderal di ABRI khawatir bahwa pengaruh sipil/birokrat ini akan mengurangi peran strategis militer dalam politik nasional (Dwifungsi). Kontestasi ini mencapai puncaknya menjelang Sidang Umum MPR yang memilih Wakil Presiden.
Dalam memimpin Golkar, Sudharmono harus mahir bermain di tengah ketegangan ini. Ia memanfaatkan posisinya sebagai Sekretaris Negara untuk mengendalikan arus dokumen dan agenda politik, memberinya keunggulan informasi. Ia juga berhasil memobilisasi kekuatan Korpri, yang merupakan basis suara terbesar Golkar. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar, strategi politiknya selalu berorientasi pada hasil akhir: stabilitas kekuasaan dan dukungan tak terbatas kepada Presiden. Keterampilan Sudharmono dalam negosiasi dan manajemen konflik internal memastikan bahwa faksi-faksi yang bertikai, pada akhirnya, tunduk pada kehendak kepemimpinan tertinggi. Kekuatan Golkar di bawah Sudharmono bukan hanya pada jumlah kursi, tetapi pada disiplin politiknya yang nyaris sempurna.
Upaya Sudharmono ini menandai era penting dalam sejarah politik Golkar. Ia mengubahnya dari sebuah federasi fungsional menjadi sebuah partai politik modern yang masif, lengkap dengan infrastruktur kaderisasi yang efektif, program kerja yang terintegrasi dengan pemerintah, dan mesin pemenangan pemilu yang tidak tertandingi. Keberhasilan ini tidak dapat dipisahkan dari kemampuannya mengikat Golkar secara hukum dan administratif kepada negara melalui posisinya di Sekneg, menciptakan siklus kekuasaan yang mandiri dan berkelanjutan.
Jaringan Kontrol Politik Sudharmono yang Menghubungkan Pusat Kekuatan, Birokrasi, dan Golkar.
Pemilihan Sudharmono sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada tahun 1988 merupakan puncak dari karier panjangnya dalam bidang administrasi dan politik. Namun, proses pemilihan ini juga menjadi salah satu episode paling dramatis dan kontroversial dalam sejarah politik Orde Baru, mengekspos retakan yang dalam antara faksi birokrat-sipil dan faksi militer di tubuh rezim.
Pencalonan Sudharmono mendapat resistensi signifikan dari beberapa elemen kunci di ABRI. Militer merasa bahwa Sudharmono, meskipun berlatar belakang militer, terlalu mewakili faksi birokrat sipil yang loyal langsung kepada Presiden Soeharto, berpotensi mengurangi peran politik ABRI. Friksi ini terekspos secara terbuka ketika Panglima ABRI saat itu menunjukkan ketidaksetujuan atau setidaknya keragu-raguan terhadap pencalonan Sudharmono, sebuah peristiwa yang sangat jarang terjadi dalam sistem politik yang diatur ketat Orde Baru. Walaupun pada akhirnya Sudharmono terpilih, episode ini menandai dimulainya polarisasi politik yang lebih jelas di tingkat elit, yang kemudian berlanjut hingga akhir dekade. Konflik ini adalah ujian sesungguhnya bagi sistem yang dibangun oleh Sudharmono sendiri: apakah sistem tersebut cukup kuat untuk mengatasi perpecahan internal di antara para pendirinya?
Selama menjabat sebagai Wakil Presiden, peran Sudharmono lebih banyak berfokus pada tugas-tugas koordinasi pembangunan daerah, penegasan implementasi kebijakan, dan diplomasi internal. Ia bertindak sebagai stabilizer, memastikan bahwa roda pemerintahan di tingkat menteri dan gubernur berjalan sesuai rencana, terutama dalam program-program Repelita V yang berfokus pada pemerataan hasil pembangunan. Sudharmono dikenal sebagai Wapres yang bekerja keras di belakang layar, menghindari sorotan publik yang berlebihan, dan selalu menekankan pada kepatuhan struktural terhadap hierarki kekuasaan. Filosofi kerjanya adalah memastikan mekanisme birokrasi yang telah ia rancang di Sekneg terus berfungsi tanpa hambatan politik.
Masa jabatannya sebagai Wapres bertepatan dengan tantangan ekonomi yang beragam. Indonesia harus terus menyeimbangkan antara penerimaan dari sektor migas yang mulai menurun dan perlunya diversifikasi ekonomi ke sektor non-migas, terutama manufaktur dan komoditas. Sudharmono, dengan latar belakangnya yang kental dengan perencanaan dan hukum, mendukung penuh deregulasi yang bertujuan menarik investasi asing dan meningkatkan daya saing ekspor. Namun, ia juga memastikan bahwa proses deregulasi ini tidak menciptakan kekacauan administratif; ia menekankan bahwa setiap langkah liberalisasi ekonomi harus diimbangi dengan perangkat hukum dan pengawasan birokrasi yang memadai.
Ia sering ditugaskan oleh Presiden untuk melakukan peninjauan lapangan atas pelaksanaan proyek infrastruktur dan program pengentasan kemiskinan. Dalam kunjungan-kunjungan ini, ia secara konsisten menegaskan pentingnya akuntabilitas dan pencegahan penyimpangan, sebuah sikap yang kontras dengan kritik umum terhadap praktik korupsi di masa Orde Baru. Sudharmono mencoba menanamkan etos kerja birokrat yang bersih dan efisien, meskipun lingkup kewenangannya terbatas oleh dominasi politik faksi-faksi lain yang memiliki akses langsung ke sumber daya negara.
Secara politik, Sudharmono menghabiskan masa Wapresnya dengan mempertahankan garis kebijakan politik lama, yaitu sentralisme kekuasaan dan ideologi P-4. Ia adalah simbol kontinuitas bagi Orde Baru. Namun, di akhir masa jabatannya, mulai muncul suara-suara kritis yang lebih berani dari kalangan intelektual dan mahasiswa. Sudharmono berada di antara dua generasi politik: generasi pendiri yang menginginkan stabilitas absolut, dan generasi baru yang mulai menuntut keterbukaan dan reformasi politik. Meskipun ia sendiri adalah produk dan arsitek sistem yang kuat, ia harus menghadapi kenyataan bahwa sistem tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan internal. Ini mencakup isu-isu suksesi, yang mulai memanas seiring mendekatnya tahun 1993, dan isu transparansi yang semakin diangkat ke permukaan oleh media yang perlahan mulai lebih berani.
Masa tantyo Sudharmono, baik sebagai Sekneg maupun Wapres, mewariskan sebuah birokrasi yang sangat terstruktur, dengan garis komando yang jelas, dan memiliki kapasitas yang tinggi untuk melaksanakan program-program pembangunan skala besar. Namun, warisan ini juga datang dengan harga mahal, yaitu hilangnya otonomi politik bagi institusi sipil dan terciptanya kultur 'ABS' (Asal Bapak Senang) di kalangan PNS. Model administrasi ini menjadi acuan bagaimana stabilitas dipertahankan selama beberapa dekade, namun pada akhirnya, kekakuan struktur ini juga yang menghambat kemampuan rezim untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan tuntutan demokratisasi yang muncul di akhir era tersebut.
Salah satu inti dari tantyo Sudharmono adalah fokus yang tak tergoyahkan pada sentralisasi kekuasaan melalui mekanisme hukum. Semua peraturan, dari yang kecil hingga yang besar, diarahkan untuk memperkuat posisi pemerintah pusat dan khususnya Istana. Sudharmono memimpin tim yang memastikan bahwa otonomi daerah, meskipun secara nominal diakui, secara praktis sangat dibatasi oleh regulasi teknis di tingkat pusat. Pendekatan ini memastikan bahwa pembangunan dapat dikoordinasikan secara nasional tanpa intervensi lokal yang signifikan, namun juga mematikan inisiatif dan inovasi di tingkat daerah. Model sentralisasi ini, di satu sisi, berhasil dalam pemerataan pembangunan infrastruktur dasar—seperti sekolah (Inpres SD) dan Puskesmas—tetapi di sisi lain, menciptakan kesenjangan politik antara pusat yang kaya kekuasaan dan daerah yang hanya berfungsi sebagai pelaksana.
Penerapan kebijakan pembangunan di masa Sudharmono selalu menekankan pada aspek legalitas formil. Ia memastikan bahwa program pembangunan memiliki payung hukum yang kuat, menciptakan rasa keteraturan dan prediktabilitas yang menarik bagi investor. Misalnya, dalam penataan regulasi penanaman modal asing, Sekneg memainkan peran kunci dalam menyederhanakan prosedur, namun tetap memastikan bahwa kepatuhan terhadap hukum Indonesia ditegakkan. Pendekatan ini, yang menggabungkan efisiensi militer dengan ketelitian hukum, adalah ciri khas administrasi Sudharmono.
Meskipun Sudharmono dikenal karena kemampuannya mempertahankan stabilitas administratif, masa kepemimpinannya tidak luput dari kontroversi politik. Gesekan dengan faksi ABRI yang disebutkan sebelumnya adalah indikasi bahwa struktur kekuasaan internal tidak seharmonis yang ditampilkan ke publik. Ada kekhawatiran yang disuarakan oleh beberapa tokoh militer bahwa Sudharmono terlalu mendominasi ruang politik sipil dan birokrat, yang berpotensi melemahkan 'penjaga' ideologi negara, yaitu ABRI.
Kontroversi lain muncul dari perannya dalam Golkar. Sudharmono dituduh menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan politik partai. Integrasi Korpri ke dalam mesin Golkar dilihat oleh banyak pihak sebagai pelanggaran fundamental terhadap netralitas birokrasi. Meskipun ia berargumen bahwa hal itu dilakukan demi stabilitas nasional, praktik ini secara efektif melenyapkan persaingan politik yang sehat, memastikan bahwa sistem politik Indonesia menjadi sistem satu partai yang dominan selama dua dekade berikutnya. Hal ini menciptakan generasi birokrat yang terbiasa dengan budaya politik yang tidak menoleransi perbedaan pandangan atau oposisi yang substansial.
Selain itu, pengelolaan aset negara dan lembaga-lembaga yayasan yang berada di bawah kontrol Sekneg pada masa itu juga menjadi subyek perhatian publik. Meskipun Sudharmono secara pribadi dikenal memiliki reputasi yang relatif bersih dari tuduhan korupsi besar, sistem yang ia kelola sangat sentralistik, menciptakan peluang besar bagi praktik kronisme dan nepotisme di lingkaran dalam kekuasaan. Peran Sudharmono adalah memastikan sistem berjalan, tetapi kontrol absolut terhadap informasi dan proses tender oleh Sekneg juga yang pada akhirnya memfasilitasi konsentrasi kekayaan di tangan kelompok tertentu.
Di akhir masa jabatannya sebagai Wakil Presiden, Sudharmono memainkan peran krusial dalam mempersiapkan transisi kekuasaan ke Wakil Presiden berikutnya. Meskipun ia tidak lagi memegang jabatan politik struktural tertinggi setelah 1993, pengaruhnya terhadap mantan anak buahnya di birokrasi dan dalam Golkar tetap terasa. Ia meninggalkan warisan berupa cetak biru administrasi publik yang terpusat dan berdisiplin tinggi, sebuah warisan yang coba dibongkar dan direformasi total setelah transisi politik 1998, namun banyak elemen efisiensi birokrasinya yang masih dipelajari hingga kini.
Untuk memahami sepenuhnya tantyo Sudharmono, perlu dilakukan telaah mendalam mengenai bagaimana ia mengelola operasional sehari-hari birokrasi Indonesia. Sudharmono bukanlah seorang pemimpin yang hanya memberi perintah dari atas; ia terlibat dalam detail teknis dan tata kelola internal Sekneg yang berdampak luas. Struktur Sekneg di bawah kendalinya diorganisasi menjadi beberapa deputi dan biro yang memiliki spesialisasi tinggi, mulai dari urusan hukum dan perundang-undangan hingga urusan protokoler dan rumah tangga kepresidenan. Setiap deputi beroperasi dengan tingkat efisiensi yang meniru struktur komando militer, memastikan bahwa kebijakan berjalan dengan kecepatan yang diperlukan oleh seorang Presiden yang berkuasa mutlak.
Salah satu inovasi administratif Sudharmono adalah mekanisme “satu pintu” untuk semua regulasi yang memerlukan tanda tangan Presiden. Mekanisme ini memastikan bahwa tidak ada Kementerian atau Lembaga yang dapat menerbitkan kebijakan tanpa verifikasi hukum dan politik yang ketat dari Sekneg. Proses verifikasi ini mencakup pengecekan: 1) Konsistensi dengan GBHN, 2) Kepatuhan terhadap UU yang lebih tinggi, dan 3) Dampak politik dan ekonomi. Sudharmono secara pribadi meneliti dokumen-dokumen penting atau mendelegasikannya kepada staf yang paling ia percayai, menanamkan rasa takut dan hormat di kalangan kementerian lain. Kontrol ini mencegah terjadinya "kebocoran" kebijakan atau inisiatif yang dapat mengganggu stabilitas politik atau ekonomi yang sedang dijaga oleh rezim.
Di bawah rezim Sudharmono, draft undang-undang dan peraturan pemerintah sering kali berasal dari Sekneg, bukan dari kementerian teknis. Ini menunjukkan pergeseran kekuasaan legislatif dari lembaga formal (DPR dan Kementerian) ke lembaga administratif yang sangat dekat dengan Presiden. Dengan mengendalikan proses drafting, Sudharmono memastikan bahwa bahasa hukum yang digunakan selalu mendukung sentralisasi dan kekuasaan eksekutif yang kuat. Efeknya adalah terciptanya kerangka hukum yang sangat adaptif terhadap kepentingan rezim, memungkinkan pemerintah untuk bertindak cepat dalam menghadapi krisis ekonomi atau ancaman politik, namun juga rawan penyalahgunaan kekuasaan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
Selain regulasi, Sekneg juga memainkan peran utama dalam manajemen citra publik dan komunikasi negara. Sekneg di bawah Sudharmono mengontrol siaran pers resmi kepresidenan dan seringkali menjadi juru bicara informal yang menyampaikan garis keras kebijakan. Dalam konteks Orde Baru yang media massa dikontrol ketat melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), peran Sudharmono adalah memastikan bahwa narasi tunggal tentang keberhasilan pembangunan dan stabilitas terus dipertahankan. Ketika terjadi isu sensitif, seperti demonstrasi mahasiswa atau krisis ekonomi regional, Sekneg bertindak sebagai pusat krisis informasi, merumuskan respons yang terkoordinasi dan terukur, selalu menekankan pada pentingnya keamanan dan ketertiban. Kontrol terhadap informasi ini adalah komponen penting dari strategi stabilitas politik yang diterapkan oleh Sudharmono.
Pengaruh ini meluas hingga ke sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang baru berkembang. Sudharmono memahami bahwa di masa depan, teknologi akan menjadi kunci bagi kontrol sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, regulasi awal mengenai penyiaran, telekomunikasi, dan kemudian internet, dipantau ketat oleh Sekneg untuk memastikan bahwa teknologi tersebut tidak menjadi alat yang digunakan oleh oposisi atau elemen yang mengancam stabilitas. Ini adalah pandangan jauh ke depan yang menunjukkan pemahaman Sudharmono terhadap potensi ancaman dari modernitas, yang harus diimbangi dengan kontrol birokrasi yang canggih.
Tidak dapat dipungkiri, Sekneg di masa Sudharmono memiliki hubungan yang sangat erat dengan para pengusaha besar (konglomerat) yang menjadi pilar ekonomi Orde Baru. Karena Sekneg adalah "pintu gerbang" proyek-proyek besar, banyak pengusaha memerlukan akses ke lembaga ini untuk mendapatkan izin, konsesi, atau dukungan regulasi. Sudharmono, meskipun menjaga jarak personal yang profesional, memastikan bahwa sistem birokrasi melayani kepentingan pembangunan ekonomi yang digariskan Presiden. Praktik-praktik perizinan yang cepat untuk proyek-proyek prioritas, yang seringkali melibatkan kelompok usaha tertentu, merupakan bagian dari komitmennya untuk memastikan target Repelita tercapai. Meskipun ini menumbuhkan kronisme, ia dianggap sebagai "pelumas" yang diperlukan untuk menjalankan mesin ekonomi yang sangat besar dan kompleks di masa itu.
Pada akhirnya, masa tantyo Sudharmono adalah pelajaran tentang bagaimana kekuasaan diorganisir melalui administrasi dan hukum, bukan hanya melalui kekuatan militer semata. Ia membangun sebuah 'negara birokrasi' yang kuat, yang mampu bertahan dari gejolak politik, namun ia juga meninggalkan masalah struktural berupa birokrasi yang kaku, sentralistik, dan kurang akuntabel kepada rakyat, yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi era reformasi berikutnya. Kekuatan Sudharmono terletak pada kemampuannya mengoperasionalkan visi politik Soeharto menjadi ribuan pasal, ayat, dan prosedur yang mengikat seluruh bangsa.
Mengevaluasi masa kepemimpinan Sudharmono memerlukan perspektif yang seimbang, mengakui pencapaiannya dalam stabilisasi negara dan modernisasi birokrasi, sambil juga menyoroti kelemahan sistem yang ia ciptakan. Warisan terpenting dari Sudharmono adalah model administrasi publik yang terpusat dan berorientasi pada hasil. Sebelum Sudharmono, birokrasi Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh warisan kolonial dan kekacauan politik awal kemerdekaan. Sudharmono berhasil memberikannya struktur, disiplin, dan efisiensi, yang menjadi prasyarat untuk pembangunan ekonomi yang berhasil pada periode tersebut.
Keberhasilan Sudharmono yang paling mencolok adalah dalam menciptakan aparat negara yang sangat disiplin dan loyal. Disiplin ini didorong oleh kombinasi antara mekanisme kontrol Korpri, tekanan ideologis P-4, dan sistem pengawasan Sekneg yang cermat. Ini memungkinkan Indonesia untuk menjalankan program wajib belajar, kampanye KB, dan proyek infrastruktur besar-besaran yang mengubah wajah negara. Tanpa birokrasi yang tertib, program-program ini akan sulit mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi. Sudharmono adalah simbol dari “pemerintahan yang bekerja” (governance that works), setidaknya dalam terminologi Orde Baru.
Namun, disiplin ini dibayar mahal dengan pengorbanan partisipasi publik dan pluralisme politik. Kepatuhan mutlak yang dituntutnya menghilangkan ruang bagi kritik konstruktif dan inovasi independen di luar jalur resmi pemerintah. Birokrat belajar bahwa jalan terbaik untuk promosi adalah melalui kepatuhan total dan bukan melalui inisiatif kritis. Warisan ini menjadi salah satu hambatan terbesar Indonesia pasca-Reformasi, di mana upaya untuk menanamkan budaya transparansi dan akuntabilitas independen harus berjuang melawan mentalitas birokrasi yang terbentuk selama puluhan tahun di bawah struktur yang diciptakan atau diperkuat oleh Sudharmono.
Setelah melepaskan jabatan Wakil Presiden, Sudharmono menjauh dari panggung politik praktis. Meskipun demikian, dinamika politik yang ia ciptakan di tahun 1988 terus bergema hingga pemilu berikutnya. Ketegangan antara faksi birokrat dan militer, yang terekspos dalam proses pemilihan Wapresnya, menjadi semakin tajam setelah ia pensiun, berkontribusi pada fragmentasi internal elit Orde Baru yang semakin parah. Perannya sebagai Ketua Umum Golkar yang berhasil mengonsolidasi partai juga menjadi preseden: Golkar tetap menjadi kekuatan dominan yang sulit ditandingi, meskipun tanpa dirinya di pucuk pimpinan. Strukturnya yang kuat memungkinkan Golkar untuk bertahan bahkan setelah jatuhnya rezim Orde Baru.
Secara retrospektif, tantyo Sudharmono harus dilihat sebagai figur yang memiliki dua sisi: seorang administrator yang brilian dan efisien, tetapi juga pilar kunci dari sistem politik otoriter. Ia adalah lambang dari modernisasi teknokratis yang dilakukan di bawah kerangka kekuasaan yang tidak demokratis. Ia berhasil membawa stabilitas, namun dengan mengorbankan kebebasan dan partisipasi politik. Analisis mendalam mengenai masa Sudharmono menawarkan pelajaran berharga tentang hubungan yang kompleks antara hukum, birokrasi, dan kekuasaan absolut dalam sejarah Indonesia modern.
Keseluruhan jejak Sudharmono menunjukkan bahwa ia adalah seorang manajer kekuasaan yang ulung. Ia mampu bertransformasi dari seorang perwira tinggi militer menjadi seorang pengacara dan birokrat yang mengendalikan detail terkecil administrasi negara, dan kemudian menjadi operator politik yang memenangkan pertarungan kursi RI-2 melawan resistensi internal yang kuat. Kapasitasnya untuk mengintegrasikan berbagai peran ini—hukum, administrasi, militer, dan politik—menjadikannya salah satu tokoh non-presiden paling berpengaruh sepanjang sejarah Orde Baru. Tanpa arsitektur birokrasi yang ia bangun dan pertahankan, struktur politik sentralistik yang didukung oleh Golkar tidak akan mungkin bertahan begitu lama. Oleh karena itu, periode ini tidak hanya menjadi masa sejarah politik, tetapi juga studi kasus tentang bagaimana sebuah negara modern diatur dan dikendalikan dari pusat melalui sistem administratif yang diciptakan dengan tangan dingin.
Upaya reformasi birokrasi yang dilakukan setelah 1998, yang menuntut transparansi, desentralisasi, dan akuntabilitas, secara langsung merupakan reaksi terhadap sistem yang diintensifkan oleh Sudharmono. Meskipun semangat reformasi menuntut pemutusan total dengan masa lalu, banyak institusi negara menghadapi kesulitan besar untuk melepaskan diri dari pola pikir sentralistik dan hierarkis yang sudah mendarah daging. Ini menunjukkan seberapa efektif dan mendalamnya integrasi birokrasi dengan kekuasaan politik yang telah dibangun selama tantyo Sudharmono. Bahkan hari ini, perdebatan tentang efisiensi versus demokrasi dalam administrasi publik di Indonesia seringkali secara implisit merujuk pada model administrasi yang disempurnakan di bawah Sekneg era Sudharmono.
Melihat kembali masa kepemimpinan Sudharmono memberikan pemahaman yang jelas bahwa kekuasaan Orde Baru tidak hanya bergantung pada militer dan figure karismatik, tetapi juga pada kemampuan menciptakan sebuah struktur administrasi yang tahan uji. Sudharmono adalah mekanik utama yang memastikan bahwa setiap roda gigi pemerintahan berputar sesuai fungsinya. Dari kantor Sekneg yang tadinya kecil, ia membangun sebuah menara pengontrol yang mengawasi segala aspek kehidupan bernegara. Kontrol ini bersifat menyeluruh: dari rekrutmen politik di desa-desa melalui Golkar, hingga penulisan pasal-pasal dalam UU di Jakarta.
Kini, struktur pemerintahan yang diwariskan Sudharmono telah mengalami banyak modifikasi, terutama dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah yang masif. Namun, fondasi ketertiban birokrasi, penekanan pada perencanaan lima tahunan, dan tata cara pembuatan regulasi masih mencerminkan jejak tangan dingin Sudharmono. Ia berhasil mengukirkan filosofi stabilitas melalui administrasi, yang menjadi ciri khas tata kelola negara Indonesia modern. Tantyo AP Sudharmono adalah sebuah periode yang menandai puncak dari birokratisasi politik di Indonesia, sebuah era yang meninggalkan warisan efisiensi sekaligus sentralisme yang mendalam.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa untuk memahami dinamika Orde Baru, kita tidak bisa hanya berfokus pada sosok tunggal di puncak, melainkan harus menganalisis bagaimana sistem dan arsitektur kekuasaan dikelola oleh figur-figur kunci seperti Sudharmono. Pengaruhnya terhadap lembaga negara, partai politik, dan bahkan etos kerja birokrasi adalah sebuah pelajaran sejarah yang terus relevan, menjelaskan mengapa perubahan struktural dan budaya membutuhkan waktu yang sangat panjang di Indonesia.
Sudharmono membuktikan bahwa kekuatan sejati dalam politik yang terpusat seringkali berada di tangan mereka yang menguasai mesin administrasi, mengatur aliran dana, dan mengendalikan narasi hukum. Masa kepemimpinannya adalah cerminan dari kekuatan struktur yang berhasil mengikat sebuah negara kepulauan yang sangat beragam di bawah satu payung administratif yang terpusat dan berdisiplin tinggi.
Analisis ini juga menyoroti pentingnya peran non-militer dalam rezim yang didominasi militer. Sudharmono, dengan keahliannya di bidang hukum dan manajemen, mampu mengintegrasikan kekuatan sipil ke dalam sistem militeristik, menciptakan hibrida kekuasaan yang unik dan sangat stabil. Kontribusinya dalam melembagakan Golkar sebagai partai penguasa yang abadi dan mengikat Korpri sebagai basis massanya adalah manuver politik yang cerdas, memastikan bahwa kekuasaan tidak hanya dimenangkan melalui ancaman, tetapi juga melalui dukungan terorganisir dari jutaan pegawai negara. Hal ini menjadi kunci mengapa Orde Baru mampu mempertahankan legitimasi elektoral yang tinggi meskipun merupakan rezim otoriter.
Penguatan ideologi P-4 yang didukung penuh oleh Sudharmono melalui birokrasi menjadi lapisan pelindung tambahan bagi kekuasaan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, semua perdebatan politik dipaksa berada dalam kerangka interpretasi pemerintah. Sudharmono, sebagai kepala Sekneg yang bertanggung jawab atas implementasi kebijakan ideologis ini, memainkan peran vital dalam memelihara keseragaman pandangan di tengah masyarakat dan aparatur negara. Kekakuan ideologis ini, meskipun efektif dalam mencegah perpecahan, pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang memicu tuntutan reformasi kebebasan berekspresi menjelang akhir dekade 1990-an.
Proyek-proyek pembangunan besar yang seringkali menjadi penentu citra sukses Orde Baru, seperti program industrialisasi dan pembangunan infrastruktur skala nasional, selalu melibatkan campur tangan langsung dari Sekneg. Sudharmono memastikan bahwa semua dokumen perencanaan dan implementasi berjalan secara paralel, menghindari hambatan birokrasi yang dapat menunda proyek strategis. Koordinasi antar-departemen, yang terkenal sulit di negara sebesar Indonesia, dipermudah melalui otoritas sentral Sekneg. Inilah yang membuat rezim Orde Baru sering dipuji karena kecepatan pembangunan fisiknya, sebuah efisiensi yang dibangun di atas fondasi sentralisme ketat yang dikelola oleh Sudharmono.
Dalam konteks hubungan internasional, Sudharmono juga memainkan peran penting dalam memastikan bahwa perjanjian dan kesepakatan luar negeri yang ditandatangani oleh Presiden memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional jangka panjang yang telah digariskan. Ia adalah filter akhir untuk semua dokumen kenegaraan, menjamin konsistensi dan profesionalisme dalam diplomasi administratif. Hal ini membantu Indonesia memproyeksikan citra stabilitas dan kepastian hukum di mata komunitas internasional, yang sangat penting untuk mendapatkan bantuan pembangunan dan investasi asing yang diperlukan.
Secara keseluruhan, tantyo Sudharmono adalah masa di mana Indonesia menyaksikan puncak dari konsolidasi kekuasaan melalui aparatur negara. Ia bukan hanya seorang pembantu Presiden; ia adalah seorang arsitek sistem yang karyanya terus mempengaruhi tata kelola negara hingga hari ini. Pemahamannya yang mendalam tentang hukum dan administrasi memberinya alat untuk menciptakan sebuah kekuasaan yang berbasis regulasi, sebuah kekuatan yang jauh lebih halus namun lebih meresap daripada sekadar kekuatan fisik. Warisannya adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah negara otoriter dapat melegitimasi dan mempertahankan diri melalui manajemen birokrasi yang sangat terstruktur dan terkontrol.