Menggali Inti Filsafat Moral: Teori Keadilan Menurut Aristoteles

Keadilan, bagi filsuf besar Yunani, Aristoteles, bukanlah sekadar konsep hukum yang dangkal atau kepatuhan pada peraturan. Keadilan adalah fondasi etika dan politik, manifestasi dari kebajikan tertinggi yang memungkinkan individu mencapai Eudaimonia—kehidupan yang layak dijalani atau ‘kebahagiaan sejati’.

Melalui karya monumentalnya, terutama dalam Etika Nikomakea (Buku V), Aristoteles merumuskan kerangka yang membedakan keadilan menjadi dimensi universal (hukum dan kebajikan total) dan dimensi partikular (keadilan spesifik yang mengatur distribusi dan perbaikan kerugian). Kerangka ini menjadi cetak biru bagi hampir semua teori keadilan Barat sesudahnya.

Konteks Historis dan Tujuan Keadilan

Untuk memahami teori keadilan Aristoteles, kita harus menempatkannya dalam konteks polis (negara-kota) Athena. Bagi Aristoteles, manusia adalah zoon politikon (makhluk politik), dan keberadaan serta tujuan utamanya hanya dapat dicapai di dalam komunitas politik. Oleh karena itu, keadilan tidak hanya relevan untuk individu, tetapi juga esensial untuk menjaga keteraturan dan mencapai kebaikan bersama di dalam komunitas tersebut. Keadilan adalah kebajikan yang berorientasi pada orang lain, sebuah kebajikan sosial.

Aristoteles memulai diskusinya dengan mengidentifikasi keadilan sebagai suatu kondisi atau disposisi batin yang mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang adil, bertindak secara adil, dan menginginkan apa yang adil. Ini adalah kontras mendasar dengan pemahaman modern yang sering melihat keadilan hanya sebagai hasil akhir atau sistem hukum. Bagi Aristoteles, keadilan adalah kebajikan karakter (arete).

Aristoteles menekankan bahwa keadilan terletak pada keseimbangan. Seperti halnya kebajikan moral lainnya yang ia definisikan sebagai 'jalan tengah emas' (golden mean) antara dua ekstrem, keadilan juga mencari jalan tengah. Namun, keadilan memiliki struktur yang lebih kompleks karena harus memperhitungkan hubungan antar individu dan struktur politik yang lebih luas. Konsep utama yang mendasari seluruh teori ini adalah proporsionalitas—bahwa perlakuan harus sebanding dengan status, kontribusi, atau kerugian yang dialami.

Dalam telaah yang mendalam terhadap pemikiran Aristoteles, kita menemukan bahwa ia memisahkan konsep keadilan menjadi dua kategori besar yang saling melengkapi: Keadilan Umum (Universal) dan Keadilan Khusus (Partikular). Pemisahan ini memungkinkan analisis yang sangat rinci mengenai bagaimana keadilan harus diwujudkan, baik sebagai prinsip moral yang luas maupun sebagai alat praktis dalam administrasi hukum dan ekonomi.

Keadilan Umum: Kebajikan yang Paripurna

Keadilan dalam arti umum (atau universal) adalah keadilan yang paling luas ruang lingkupnya. Aristoteles mendefinisikannya sebagai kepatuhan pada hukum dan norma-norma yang ditetapkan oleh polis. Ini adalah keadilan sebagai kebajikan total (complete virtue) yang diterapkan dalam hubungan kita dengan orang lain. Seseorang yang adil dalam arti umum adalah seseorang yang melakukan semua kebajikan (kesabaran, keberanian, kemurahan hati) dalam konteks sosial. Ia adalah individu yang mematuhi hukum karena hukum yang baik akan merumuskan standar moral yang tertinggi.

Dalam pandangan ini, hukum berfungsi sebagai guru etika dan panduan praktis untuk kehidupan yang baik. Jika hukum di suatu polis dibuat dengan baik—bertujuan untuk kebaikan umum dan kemakmuran warga negara—maka mematuhinya identik dengan bertindak secara etis. Oleh karena itu, Keadilan Umum sering disamakan dengan moralitas atau kebajikan secara keseluruhan. Intinya, ia mencakup seluruh spektrum perilaku yang pantas yang diwajibkan oleh tatanan politik yang sehat. Keadilan universal adalah kondisi ideal ketika tindakan individu selaras sepenuhnya dengan persyaratan etika komunitas.

Namun, Aristoteles menyadari bahwa menyamakan keadilan dengan seluruh kebajikan terlalu luas untuk analisis politik praktis. Oleh karena itu, ia beralih ke konsep yang lebih spesifik, yaitu Keadilan Khusus.

Keadilan Khusus: Fondasi Pengaturan Sosial

Keadilan Khusus (Particular Justice) adalah fokus utama dalam filsafat Aristoteles. Berbeda dengan keadilan umum yang mencakup semua aspek moral, keadilan khusus hanya berkaitan dengan distribusi kehormatan, kekayaan, dan sumber daya, atau dengan perbaikan ketidakseimbangan yang muncul dari transaksi dan kejahatan. Aristoteles membagi Keadilan Khusus ini menjadi dua bentuk utama, dan kemudian menambahkan satu bentuk pelengkap.

1. Keadilan Distributif (Justice in Distribution)

Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian barang, kekayaan, jabatan publik, kehormatan, dan penghargaan lainnya yang dapat dibagi di antara anggota komunitas politik. Prinsip inti dari keadilan distributif adalah proporsionalitas geometris. Ini adalah prinsip yang paling sering disalahpahami, tetapi merupakan jantung dari pandangan Aristoteles tentang bagaimana sumber daya publik harus dialokasikan.

Aristoteles menolak gagasan kesetaraan absolut di mana setiap orang menerima bagian yang sama. Sebaliknya, ia berargumen bahwa orang-orang harus menerima bagian yang sebanding dengan nilai (axia) atau "jasa" (merit) mereka bagi komunitas. Keadilan distributif memastikan bahwa jika A lebih unggul dari B dalam hal kontribusi atau kebajikan yang relevan, maka A harus menerima lebih banyak atau yang lebih baik daripada B.

Proporsionalitas Geometris: Formula Pembagian

Konsep kunci di sini adalah kesamaan perbandingan (rasio). Keadilan terjadi ketika rasio bagian yang diterima oleh A terhadap jasa A adalah sama dengan rasio bagian yang diterima oleh B terhadap jasa B. Jika kita memiliki empat elemen—dua orang (A dan B) dan dua bagian yang diterima (X dan Y)—maka keadilan terpenuhi jika: A/B = X/Y.

Formula ini menunjukkan bahwa kesetaraan di sini berarti kesetaraan dalam rasio, bukan kesetaraan dalam jumlah. Jika A berkontribusi dua kali lipat dari B, maka A berhak menerima bagian dua kali lipat dari B. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai proporsi geometris: perbandingan yang menjaga keseimbangan relatif berdasarkan kriteria yang disepakati oleh polis.

Diagram Keadilan Distributif (Proporsi Geometris) Keadilan Distributif (A/B = X/Y) A (Merit 2x) X (Bagian 2x) B (Merit 1x) Y (Bagian 1x)

Visualisasi Keadilan Distributif: Proporsionalitas Geometris. Jika Merit A dua kali Merit B, maka Bagian X harus dua kali Bagian Y.

Hal yang paling penting dalam keadilan distributif bukanlah formula matematika itu sendiri, melainkan pertanyaan: Apa yang menjadi kriteria 'jasa' atau 'merit' (axia)? Aristoteles mengakui bahwa kriteria ini bervariasi tergantung pada jenis konstitusi (pemerintahan) yang berlaku:

Aristoteles sendiri berpendapat bahwa keadilan sejati akan dicapai ketika distribusi didasarkan pada kebajikan, karena tujuan utama polis yang baik adalah membantu warga negara mencapai kebajikan. Namun, ia menyadari realitas politik di mana kriteria ini selalu diperdebatkan.

Pendalaman Konsep Axia (Worth)

Konsep *axia* atau nilai merupakan elemen paling kontroversial dan paling fundamental dalam keadilan distributif. *Axia* bukan hanya merujuk pada kontribusi ekonomi, melainkan juga pada kualitas moral, kemampuan intelektual, dan potensi seseorang untuk memberikan kepemimpinan yang bijak. Bagi Aristoteles, distribusi kekayaan atau kehormatan kepada individu yang tidak memiliki kebajikan yang memadai adalah bentuk ketidakadilan, karena hal itu merusak tujuan politik komunal. Jika posisi kepemimpinan (yang merupakan bagian yang didistribusikan) diberikan kepada yang tidak cakap, seluruh *polis* akan menderita, yang bertentangan dengan tujuan keadilan umum.

Penolakan Aristoteles terhadap kesetaraan numerik (setiap orang sama) dalam distribusi mencerminkan pandangannya yang hierarkis tentang alam dan masyarakat. Manusia tidak setara dalam hal kemampuan atau kebajikan; oleh karena itu, memperlakukan yang tidak setara secara setara adalah bentuk ketidakadilan. Ini adalah prinsip kesetaraan proporsional yang mengagumkan sekaligus menantang—karena memerlukan konsensus dalam komunitas politik mengenai kriteria moral apa yang paling berharga untuk dihormati dan diberi imbalan.

Keadilan distributif, dengan demikian, berfungsi sebagai mekanisme politik untuk memastikan stabilitas dan rasa keadilan. Ketika warga merasa bahwa distribusi kekuasaan dan sumber daya dilakukan secara proporsional berdasarkan kriteria yang dihormati, kepuasan politik cenderung tinggi. Ketidakadilan distributif, yang terjadi ketika orang-orang setara menerima bagian yang tidak setara (atau sebaliknya), adalah penyebab utama pemberontakan politik (revolusi) menurut analisisnya dalam *Politik*.

2. Keadilan Korektif (Rectificatory Justice)

Sementara keadilan distributif berurusan dengan pembagian sumber daya publik, Keadilan Korektif (juga disebut Keadilan Rektifikatoris) berurusan dengan perbaikan kerugian dan pemulihan keseimbangan setelah terjadi transaksi atau interaksi yang tidak adil antara dua pihak tertentu. Ini adalah domain hukum perdata dan pidana.

Prinsip inti dari keadilan korektif adalah proporsionalitas aritmetika. Di sini, Aristoteles mengabaikan status sosial atau merit individu. Dalam ranah korektif, semua pihak diperlakukan setara di mata hukum—sebagai 'penghasil kerugian' dan 'penerima kerugian' atau 'pelaku' dan 'korban'. Keadilan korektif bertujuan untuk mengembalikan situasi ke titik tengah, seolah-olah ketidakadilan tidak pernah terjadi.

Proporsionalitas Aritmetika: Menyeimbangkan Kerugian

Keadilan korektif menerapkan konsep rata-rata aritmetika. Jika seseorang telah mengambil keuntungan (keuntungan tidak adil) dan yang lain menderita kerugian (kerugian tidak adil), hakim bertindak sebagai penengah yang mengukur selisih antara keuntungan dan kerugian. Tugas hakim adalah mengambil keuntungan yang berlebihan dari pihak yang untung dan mengembalikannya kepada pihak yang rugi, sehingga kedua pihak kembali ke garis tengah kesetaraan awal.

Misalnya, jika A mencuri 10 unit dari B, maka A memiliki +10 dan B memiliki -10. Hakim harus mengambil 10 unit dari A dan memberikannya kepada B. Ini menghasilkan kembali keseimbangan nol (0). Keadilan di sini bukanlah soal menghukum berdasarkan merit, tetapi semata-mata soal mengoreksi ketidakseimbangan kuantitatif yang disebabkan oleh tindakan yang tidak adil.

Diagram Keadilan Korektif (Timbangan) Keadilan Korektif (Mean Aritmetika) Gain (+) Loss (-)

Keadilan Korektif: Timbangan yang tidak seimbang (red = gain, blue = loss). Tugas hakim adalah mengembalikan keseimbangan.

Keadilan korektif dibagi lagi menjadi dua subkategori berdasarkan sifat interaksi yang menghasilkan ketidakseimbangan:

  1. Transaksi Sukarela (Voluntary Transactions): Ini adalah hubungan kontrak seperti jual beli, sewa, pinjaman. Ketidakadilan muncul jika salah satu pihak tidak mematuhi kontrak.
  2. Transaksi Tidak Sukarela (Involuntary Transactions): Ini melibatkan tindakan merugikan tanpa persetujuan korban. Ini dibagi lagi menjadi:
    • Tindakan Rahasia (misalnya, pencurian, perzinahan, keracunan).
    • Tindakan Kekerasan (misalnya, penyerangan, perampokan, pembunuhan).

Penting untuk dicatat bahwa dalam keadilan korektif, fokusnya murni pada tindakan dan kerugian, bukan pada karakter pelakunya (berbeda dengan keadilan distributif). Hal ini menempatkan keadilan korektif sebagai dasar sistem peradilan objektif: status sosial tidak boleh memengaruhi keputusan hakim dalam menentukan kompensasi atau hukuman yang diperlukan untuk mengembalikan kesetaraan aritmetika.

3. Keadilan Timbal Balik (Reciprocal Justice)

Selain dua bentuk utama tersebut, Aristoteles juga membahas Keadilan Timbal Balik (sering diterjemahkan sebagai *Justice in Exchange*) terutama dalam konteks ekonomi dan pertukaran antar produsen dalam komunitas. Ini berlaku untuk transaksi non-politik, di mana pertukaran barang atau jasa terjadi untuk menjaga komunitas tetap berfungsi.

Keadilan timbal balik memerlukan proporsi, tetapi proporsi yang berbeda. Ia menekankan bahwa masyarakat harus bertahan melalui balasan yang sebanding (bukan sama). Jika seorang tukang sepatu membuat sepatu untuk seorang petani, dan petani menyediakan makanan untuk tukang sepatu, nilai yang dipertukarkan harus setara secara proporsional untuk menjaga kesinambungan pertukaran. Jika pertukaran tidak proporsional, masyarakat ekonomi akan runtuh.

Peran Uang sebagai Pengukur

Aristoteles menyadari tantangan dalam membandingkan barang yang secara kualitatif berbeda (sepatu versus makanan). Di sinilah ia memperkenalkan konsep uang (mata uang). Uang berfungsi sebagai 'median' yang memungkinkan perbandingan kuantitatif antara barang dan jasa yang berbeda. Uang menyamakan segala sesuatu, sehingga keadilan timbal balik dapat diukur dan pertukaran dapat dipertahankan. Keadilan timbal balik, oleh karena itu, merupakan prasyarat ekonomi bagi stabilitas polis, memungkinkan setiap orang menerima imbalan yang sesuai dengan kontribusi pekerjaan mereka, yang selanjutnya mendukung keadilan distributif yang lebih luas.

Keadilan timbal balik ini menjaga jaringan ekonomi agar tidak terdistorsi. Jika tukang bangunan dan pembuat sepatu bertukar barang, nilai yang ditukar harus proporsional dengan kualitas kerja mereka. Jika mereka tidak berhati-hati, mereka akan merusak komunitas, yang pada akhirnya merusak tujuan politik komunal. Keadilan, dalam semua bentuknya, kembali ke ide menjaga *polis* yang stabil dan berbudi luhur.

Tanpa mekanisme timbal balik yang adil dan terukur, ketergantungan antar warga akan terputus. Aristoteles melihat *polis* sebagai jaringan spesialisasi, dan keadilan timbal balik memastikan bahwa spesialisasi ini dihargai dengan pantas. Jika satu profesi merasa imbalannya tidak proporsional dengan usahanya, motivasi untuk berkontribusi pada kebaikan bersama akan hilang, dan stabilitas politik terancam.

Hukum, Keadilan, dan Konsep Epikeia (Equity)

Aristoteles adalah filsuf yang sangat realistis mengenai keterbatasan hukum manusia. Ia menyadari bahwa meskipun keadilan umum didasarkan pada kepatuhan terhadap hukum, hukum pada dasarnya bersifat universal dan umum (bersifat umum). Karena hukum harus diterapkan pada semua kasus, hukum tidak dapat sepenuhnya menangani kekhasan dan kerumitan setiap kasus individu.

Di sinilah konsep Epikeia, atau Equity (Kewajaran/Keluwesan), muncul sebagai elemen penting dalam teori keadilannya. *Epikeia* adalah koreksi terhadap hukum di mana hukum itu gagal karena sifatnya yang universal.

Kewajaran sebagai Keadilan yang Lebih Tinggi

Menurut Aristoteles, kewajaran bukanlah melanggar hukum, melainkan memperbaiki ketidaksempurnaan yang tak terhindarkan dalam perumusan hukum. Ketika hukum, jika diterapkan secara harfiah pada situasi tertentu, menghasilkan ketidakadilan yang jelas (hasil yang tidak diinginkan oleh pembuat undang-undang), maka kewajaran harus diterapkan.

Kewajaran meminta kita untuk mempertimbangkan niat pembuat hukum—apa yang mereka inginkan *seandainya* mereka tahu tentang kasus spesifik ini—daripada hanya menerapkan kata-kata hukum secara kaku. *Epikeia* adalah keadilan yang melampaui keadilan hukum; itu adalah keadilan dalam arti sebenarnya, disesuaikan dengan fakta kasus spesifik.

Penerapan *Epikeia* membutuhkan kebajikan yang disebut *phronesis* (kebijaksanaan praktis) pada pihak hakim atau penguasa. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk menilai situasi yang unik dan membuat keputusan yang adil, bahkan jika keputusan tersebut menyimpang dari penerapan tekstual hukum. Kewajaran adalah jembatan antara keadilan umum (kepatuhan pada hukum) dan keadilan khusus (perlakuan yang proporsional dan adil dalam kasus tertentu).

Kebutuhan akan *Epikeia* muncul karena semua hukum manusia adalah produk dari generalisasi. Hukum berkata, "Semua pencurian harus dihukum dengan X." Tetapi ada perbedaan moral yang besar antara pencurian yang didorong oleh kemiskinan ekstrem dan pencurian yang didorong oleh keserakahan. Jika hukum tidak menyediakan pengecualian, hakim yang adil (yaitu, hakim yang bijaksana dan beretika) harus menerapkan *Epikeia* untuk mencapai keadilan substantif.

Kewajaran adalah pengakuan Aristoteles bahwa keadilan sejati membutuhkan fleksibilitas, belas kasih, dan pemahaman yang mendalam tentang konteks manusia. Tanpa *Epikeia*, masyarakat berisiko menjadi tirani legalistik yang memaksakan keseragaman tanpa mempertimbangkan perbedaan yang relevan.

Keadilan Alamiah dan Keadilan Hukum

Aristoteles juga membedakan antara Keadilan Alamiah (*physikon dikaion*) dan Keadilan Hukum atau Konvensional (*nomikon dikaion*).

Keadilan Alamiah adalah prinsip-prinsip keadilan yang memiliki kekuatan yang sama di mana pun dan tidak tergantung pada penerimaan atau penolakan manusia. Ini adalah keadilan yang inheren dalam tatanan alam. Contohnya, larangan pembunuhan yang tidak adil (meski hukumannya berbeda) adalah keadilan alamiah.

Keadilan Hukum adalah aturan yang awalnya mungkin ditetapkan dengan satu cara atau cara lain, tetapi setelah ditetapkan, memiliki kekuatan penuh. Contohnya adalah penetapan denda tertentu untuk pelanggaran tertentu, atau tata cara ritual. Keadilan ini bervariasi dari satu *polis* ke *polis* lainnya. Aristoteles percaya bahwa sebagian besar keadilan yang kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah campuran dari kedua jenis ini.

Namun, dalam pandangan modern, perbedaan ini menjadi sangat penting karena memengaruhi debat tentang hak asasi manusia dan universalitas nilai. Meskipun Aristoteles tidak mengembangkan teori hak individu modern, konsep keadilan alamiahnya memberikan dasar filosofis bagi gagasan bahwa ada standar moral yang melampaui keputusan legislatif.

Keadilan, Kebajikan, dan Hidup yang Baik (Eudaimonia)

Seluruh diskusi Aristoteles mengenai keadilan harus dipahami dalam kerangka etika teleologisnya (berorientasi pada tujuan). Tujuan tertinggi manusia adalah Eudaimonia, sering diterjemahkan sebagai 'berkembang' atau 'kebahagiaan'. Eudaimonia dicapai melalui kehidupan yang didominasi oleh kebajikan, terutama kebajikan intelektual (*phronesis*) dan kebajikan moral (seperti keadilan).

Keadilan adalah kebajikan moral yang paling penting karena keadilan adalah satu-satunya kebajikan yang sepenuhnya berorientasi pada orang lain. Sementara keberanian membantu individu menghadapi ketakutan demi kebaikannya sendiri, keadilan secara inheren melibatkan hubungan dan kepedulian terhadap kebaikan komunitas.

Jika seseorang tidak adil, ia mengganggu keseimbangan komunitas, sehingga menghalangi orang lain untuk mencapai *Eudaimonia* mereka sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial, dan *Eudaimonia* hanya mungkin dicapai dalam komunitas yang sehat (polis), maka bertindak adil adalah prasyarat fundamental untuk mencapai tujuan hidup manusia. Keadilan memungkinkan kohesi sosial yang diperlukan untuk *polis* berfungsi sebagai institusi moral.

Kebijaksanaan Praktis (Phronesis)

Untuk bertindak adil secara konsisten, seseorang membutuhkan phronesis. *Phronesis* adalah kemampuan untuk bernalar secara benar mengenai apa yang baik atau buruk dalam situasi tertentu, dan bagaimana mencapai tujuan yang baik tersebut. Keadilan bukanlah sekadar mengikuti aturan; ia membutuhkan penilaian yang cermat mengenai apa yang proporsional dalam distribusi (distributif) dan apa yang seimbang dalam perbaikan (korektif). Tanpa kebijaksanaan praktis, seseorang mungkin mencoba adil tetapi gagal karena kurangnya pemahaman kontekstual.

Misalnya, dalam keadilan distributif, *phronesis* diperlukan untuk menentukan kriteria 'merit' yang paling relevan. Apakah merit harus diukur dari kekayaan, garis keturunan, atau kualitas karakter? *Phronesis* membantu pemimpin politik membuat pilihan yang benar yang paling sesuai dengan tujuan konstitusi *polis* tersebut.

Begitu pula dalam keadilan korektif, *phronesis* dibutuhkan untuk menerapkan *Epikeia*—untuk mengetahui kapan hukum yang kaku harus dilunakkan demi keadilan yang lebih substantif. Dalam hal ini, *phronesis* berfungsi sebagai kompas moral bagi hakim, memastikan bahwa prinsip-prinsip Aristoteles tentang proporsionalitas aritmetika diterapkan tidak hanya secara mekanis, tetapi juga secara manusiawi dan bijaksana.

Keadilan dan Persahabatan (Philia)

Aristoteles mengaitkan erat keadilan dengan *Philia* (persahabatan atau kasih sayang sipil). Dalam *Etika Nikomakea*, ia berpendapat bahwa di mana ada persahabatan sejati, kebutuhan akan keadilan formal (seperti yang diatur oleh hukum) menjadi berkurang. Komunitas politik yang adil adalah komunitas di mana terdapat tingkat *philia* yang tinggi di antara warga negara.

Ketika warga negara memiliki ikatan kasih sayang dan saling menghormati (persahabatan sipil), mereka secara alami cenderung bertindak adil satu sama lain, mengurangi kebutuhan akan intervensi korektif yang ketat. Keadilan menyediakan kerangka kerja dasar, tetapi *philia* adalah semen yang merekatkan komunitas, memastikan bahwa orang-orang bersedia mempraktikkan keadilan distributif tanpa paksaan dan meminimalkan kebutuhan akan keadilan korektif.

Dalam komunitas yang ideal, persahabatan sipil memastikan bahwa warga negara melihat kebaikan orang lain sebagai bagian dari kebaikan mereka sendiri. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, tujuan akhir dari *polis* yang adil bukanlah sekadar sistem hukum yang efisien, melainkan penciptaan komunitas yang didorong oleh moralitas yang saling menguntungkan dan kasih sayang sipil.

Elaborasi Mendalam Proporsionalitas Aristoteles

Untuk mencapai kedalaman yang memadai dalam memahami kerangka Aristoteles, penting untuk kembali menekankan perbedaan struktural antara kedua jenis proporsionalitasnya, yang membentuk tulang punggung sistem keadilannya.

Proporsionalitas Geometris (Distribusi)

Proporsi geometris bersifat hierarkis dan kualitatif. Ia mengakui bahwa nilai individu (atau kontribusi mereka) terhadap polis tidak sama. Keadilan distributif menuntut agar perbandingan antara individu (misalnya, A dan B) dalam hal *axia* mereka harus sejajar dengan perbandingan bagian yang mereka terima (X dan Y). Ini adalah keadilan yang mengakui dan menghargai perbedaan. Jika polis menghargai kebajikan di atas segalanya, maka warga negara yang paling berbudi luhur harus menerima kehormatan dan posisi paling tinggi—bahkan jika mereka miskin atau tidak populer.

Kegagalan menerapkan proporsi geometris adalah salah satu penyebab ketidakstabilan terbesar. Jika oligarki membagi kekuasaan hanya berdasarkan kekayaan, warga miskin merasa diperlakukan tidak adil. Jika demokrasi membagi kekuasaan secara numerik (satu orang, satu suara) tanpa mengakui keunggulan, warga yang berbudi luhur (kaum Aristokrat) merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan sejati menuntut konsensus mengenai definisi *axia* dan penerapannya yang konsisten.

Proporsionalitas geometris ini berbeda tajam dengan prinsip kesetaraan numerik yang lazim dalam pemikiran liberal modern. Aristoteles tidak tertarik pada kesetaraan peluang atau kesetaraan hasil; ia tertarik pada kesetaraan *rasio*. Artinya, jika seseorang berhak atas 10 unit berdasarkan jasanya, dan orang lain berhak atas 5 unit, maka pembagian 10:5 adalah adil. Pembagian 7:7, meskipun setara secara numerik, adalah ketidakadilan distributif bagi individu yang jasanya bernilai 10.

Proporsionalitas Aritmetika (Koreksi)

Proporsi aritmetika bersifat netral dan kuantitatif. Ia digunakan untuk mengukur dan memulihkan. Begitu ketidakadilan (kerugian atau keuntungan) terjadi, hakim tidak perlu mempertimbangkan apakah korban lebih kaya atau pelaku lebih berbudi luhur. Mereka hanya melihat seberapa jauh penyimpangan dari garis tengah (kesetaraan). Tujuan adalah menghilangkan keuntungan tidak sah dan mengisi kerugian tidak sah.

Konsep ini sangat penting karena menetapkan prinsip universalitas hukum pidana: semua orang sama di hadapan hukum ketika mereka menjadi pihak dalam kerugian atau keuntungan yang tidak adil. Hal ini memastikan bahwa sistem korektif beroperasi tanpa bias sosial, menjaga integritas transaksi dan hubungan antar warga negara.

Jika dalam konteks distributif, warga negara A mungkin dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi daripada warga negara B, dalam konteks korektif, jika A mencuri dari B, A dan B hanyalah Pihak 1 (pelaku) dan Pihak 2 (korban). Status sosial mereka menjadi *irrelevan* bagi perhitungan aritmetika kerugian.

Kekuatan Teori Aristoteles terletak pada kemampuannya untuk membedakan dua fungsi keadilan ini. Ia mengakui bahwa sementara masyarakat memerlukan hierarki berbasis merit untuk distribusi kekuasaan dan kehormatan (geometris), masyarakat juga memerlukan kesetaraan absolut di mata hukum untuk memulihkan kerugian (aritmetika).

Relevansi Abadi dan Batasan Teori Keadilan Aristoteles

Meskipun Teori Keadilan Aristoteles berusia lebih dari dua milenium, pengaruhnya terasa hingga hari ini, khususnya dalam filsafat hukum, etika politik, dan teori ekonomi.

Pengaruh pada Teori Hukum dan Politik

Pembedaan yang jelas antara keadilan distributif dan korektif tetap menjadi dasar kerangka berpikir hukum Barat. Keadilan korektif Aristoteles adalah prekursor langsung dari hukum perdata (gugatan ganti rugi) dan banyak aspek hukum pidana yang berfokus pada restorasi dan retribusi. Sementara itu, keadilan distributifnya terus memengaruhi debat tentang perpajakan, alokasi anggaran, dan kriteria untuk jabatan publik.

Dalam filsafat politik modern, Aristoteles menjadi titik tolak bagi para teoretikus Komunitarian, yang menekankan bahwa keadilan harus dilihat dalam konteks tujuan bersama komunitas, bukan sekadar sebagai perlindungan hak-hak individu (seperti pandangan Liberal). Ketika filsuf kontemporer seperti Michael Sandel membahas keadilan, mereka sering kembali ke pertanyaan Aristoteles: Apa tujuan (teleologi) dari institusi yang bersangkutan, dan bagaimana kita harus mendistribusikan barang sesuai dengan tujuan tersebut?

Misalnya, debat mengenai gaji eksekutif dan bonus perbankan adalah debat Aristotelian di intinya: Apakah imbalan (distribusi) yang diterima sebanding dengan *axia* atau kontribusi nyata yang diberikan kepada masyarakat?

Kritik Terhadap Batasan Sosial

Penting untuk mengakui bahwa teori Aristoteles dibangun di atas premis sosial dan politik Athena yang sekarang dianggap tidak adil secara universal. Kritik utama meliputi:

1. Eksklusi Kewarganegaraan: Aristoteles membatasi status kewarganegaraan dan partisipasi politik hanya pada pria pemilik properti yang bebas. Ia secara eksplisit mengecualikan budak, wanita, dan orang asing (*metics*) dari hak-hak politik penuh. Oleh karena itu, keadilan distributif hanya berlaku di antara kelompok elit warga negara. Konsep proporsionalitas geometrisnya secara inheren membenarkan hierarki sosial yang eksklusif.

2. Definisi *Axia* yang Sulit: Keadilan distributif memerlukan kesepakatan mengenai apa yang merupakan 'merit' yang sah. Dalam masyarakat pluralistik modern, mencapai konsensus mengenai kriteria *axia* yang universal (kebajikan, kekayaan, keturunan) hampir mustahil. Jika kita tidak setuju tentang tujuan hidup yang baik (teleologi), kita tidak bisa sepakat tentang siapa yang pantas menerima apa.

3. Keadilan Sebagai Kebajikan, Bukan Hak: Aristoteles melihat keadilan sebagai kebajikan karakter (sesuatu yang kita lakukan), bukan sebagai serangkaian hak bawaan (sesuatu yang kita miliki). Pandangan modern, yang sangat dipengaruhi oleh Pencerahan, cenderung memprioritaskan hak-hak individu yang mendahului dan membatasi kekuasaan negara. Dalam pandangan Aristoteles, *polis* adalah tempat keadilan diwujudkan, bukan ancaman terhadapnya.

Warisan Epikeia

Terlepas dari batasan sosialnya, konsep *Epikeia* adalah warisan yang paling tahan lama dan relevan secara universal. Kewajaran ini telah diserap ke dalam banyak sistem hukum, dikenal sebagai 'equity' atau 'keadilan hati nurani', yang memungkinkan hakim untuk melunakkan penerapan hukum yang kaku demi hasil yang adil. Ini adalah pengakuan abadi bahwa hukum tertulis hanya bersifat umum dan bahwa kebijaksanaan praktis selalu diperlukan untuk mencapai keadilan sejati dalam kasus spesifik.

Perbandingan dengan Rawls dan Utilitarianisme

Teori keadilan Aristoteles memberikan kontras yang tajam dengan teori-teori modern:

Utilitarianisme: Utilitarianisme berfokus pada hasil: tindakan atau sistem yang menghasilkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak adalah adil. Aristoteles akan menolak ini karena Utilitarianisme dapat membenarkan ketidakadilan yang parah terhadap minoritas selama mayoritas diuntungkan. Bagi Aristoteles, keadilan adalah kebajikan intrinsik yang harus dijaga, terlepas dari konsekuensi agregat.

John Rawls (Justice as Fairness): Rawls berfokus pada kesetaraan peluang dasar dan perlindungan bagi yang paling tidak beruntung. Ia menggunakan kesetaraan numerik yang sangat ketat di garis start. Aristoteles akan menghargai penekanan Rawls pada struktur sosial, tetapi akan berpendapat bahwa Rawls terlalu mengabaikan peran *axia* dan kebajikan dalam distribusi. Bagi Aristoteles, jika orang berbudi luhur dan orang biasa diperlakukan sama dalam hal kehormatan dan kekuasaan, hal itu sendiri sudah merupakan bentuk ketidakadilan.

Meskipun demikian, ada kesamaan filosofis yang mendalam. Baik Aristoteles maupun Rawls melihat keadilan sebagai kebajikan utama dari institusi sosial, dan keduanya berjuang untuk menciptakan sistem di mana distribusi dilakukan secara rasional, bukan secara acak atau berdasarkan kekuasaan semata.

Dalam mengakhiri analisis mendalam ini, jelas bahwa warisan Aristoteles terletak pada kerangka analitisnya yang memisahkan keadilan menjadi fungsi-fungsi yang dapat diatur secara berbeda (geometris untuk distribusi, aritmetika untuk koreksi). Ini memberikan alat yang tak ternilai untuk memahami struktur internal setiap sistem hukum atau politik, terlepas dari nilai-nilai spesifik yang diterapkan dalam kriteria *axia*-nya.

Keberlanjutan Diskusi tentang Axia

Diskusi mengenai kriteria *axia* (merit) tidak pernah usai. Dalam konteks modern, debat distributif berkisar pada apakah *axia* harus didasarkan pada kontribusi ekonomi (kapitalisme pasar bebas), kebutuhan (sosialisme), atau status kewarganegaraan yang setara (demokrasi liberal). Aristoteles mengingatkan kita bahwa setiap masyarakat, secara implisit atau eksplisit, memilih kriteria *axia* tertentu sebagai fundamental, dan kriteria tersebut mendefinisikan sifat dasar keadilan distributif mereka.

Jika kita berfokus pada pendidikan, misalnya, apakah *axia* siswa diukur berdasarkan usaha, potensi, atau hasil ujian? Aristoteles memaksa kita untuk jujur tentang nilai-nilai yang kita agungkan. Masyarakat yang mengklaim menghargai kesetaraan peluang, tetapi mendistribusikan sumber daya terbaik hanya kepada yang terkaya, adalah masyarakat yang tidak adil dalam pandangan Aristoteles, karena kriteria yang mereka gunakan (kekayaan) tidak selaras dengan klaim *axia* yang mereka proklamirkan (merit sejati).

Inti dari keadilan distributif Aristoteles adalah tuntutan akan koherensi: sebuah sistem harus konsisten dalam menentukan mengapa satu kelompok menerima lebih banyak bagian dibandingkan kelompok lain. Keadilan terdistorsi bukan hanya karena pembagian yang tidak setara, tetapi karena pembagian yang tidak setara didasarkan pada kriteria yang tidak relevan atau bertentangan dengan tujuan polis itu sendiri.

Oleh karena itu, teori keadilan menurut Aristoteles tetap menjadi undangan abadi bagi kita untuk merenungkan, secara mendalam dan kritis, tujuan sejati dari kehidupan komunitas kita, dan bagaimana kita mendistribusikan kebaikan demi mencapai tujuan tertinggi—yaitu, kehidupan yang baik atau *Eudaimonia*—bagi semua warga negara yang berpartisipasi penuh.

🏠 Homepage