Perintah Universal: Bekerja, Pengawasan Ilahi, dan Pertanggungjawaban Abadi
Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah, menduduki posisi unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah surat yang secara dominan membahas prinsip-prinsip peperangan, perjanjian, dan terutama, pertobatan (taubah). Di tengah ketegasan perintah dan narasi historis yang terjadi pasca-Perang Tabuk, terselip sebuah ayat fundamental yang merangkum etika kerja, konsep pengawasan (Raqabah), dan landasan pertanggungjawaban di hari akhir. Ayat tersebut adalah Surat At-Taubah ayat 105.
Ayat ini bukan hanya sekadar perintah untuk bekerja; ia adalah fondasi filosofis bagi seluruh aktivitas seorang mukmin, mengikat amal duniawi dengan balasan ukhrawi melalui tiga lapis pengawasan: Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Kajian ini akan menggali terjemahan harfiah, konteks nuzul, tafsir mendalam dari berbagai ulama klasik dan kontemporer, serta implikasi praktis ayat ini dalam kehidupan modern, mencapai pemahaman yang komprehensif tentang pesan universal yang terkandung di dalamnya.
Terjemahan Standar (Kementerian Agama RI):
"Dan katakanlah (Muhammad): Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah makna setiap kata kunci:
Kata perintah ini (fi’il amr) mengindikasikan bahwa pesan ini adalah instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan secara publik dan tegas. "Qul" memberikan penekanan otoritas dan universalitas perintah yang akan menyusul. Ini bukan sekadar saran, melainkan sebuah deklarasi prinsip hidup.
Kata ini berasal dari akar kata *‘Amila* yang berarti melakukan, mengerjakan, atau berbuat. Dalam konteks Islam, *‘amal* (pekerjaan) memiliki makna yang sangat luas, meliputi tidak hanya pekerjaan fisik atau profesional, tetapi juga ibadah, niat, ucapan, dan segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Perintah ini mencakup:
Penggunaan bentuk jamak (*i'malu*) menunjukkan bahwa perintah ini ditujukan kepada seluruh komunitas mukmin, menegaskan bahwa bekerja adalah kewajiban kolektif dan individu.
Huruf *Fa* (maka/sehingga) menunjukkan hubungan sebab-akibat atau konsekuensi langsung dari perintah bekerja. Kata *Siyarā* (akan melihat) adalah bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan masa kini atau masa depan) yang didahului oleh *sin* (س), yang menegaskan kepastian di masa depan. Ini adalah penekanan pada prinsip Raqabah (pengawasan). Penglihatan Allah bukan hanya bersifat optik, melainkan pengetahuan-Nya yang menyeluruh, mencakup esensi dan niat di balik amal tersebut, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat.
Ini adalah deskripsi tentang Allah SWT, yang kepadanya manusia akan dikembalikan (*wa saturaddūna*). Ini adalah inti dari pertanggungjawaban. * Al-Ghaib: Hal-hal yang tersembunyi, yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia (niat hati, amal rahasia, masa depan, hakikat alam semesta). * Asy-Syahadah: Hal-hal yang nyata, terlihat, dan disaksikan (amal fisik, ucapan, perbuatan yang terekam oleh manusia dan malaikat).
Penggunaan kedua istilah ini secara bersamaan menegaskan bahwa tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apa pun, yang luput dari pengetahuan dan perhitungan-Nya.
Ayat 105 ini muncul setelah serangkaian ayat dalam At-Taubah (ayat 102-104) yang membahas status kelompok orang-orang yang menyesal atas kelalaian mereka dalam Perang Tabuk. Mereka adalah kelompok yang mengakui dosa-dosa mereka dan membawa harta mereka sebagai sedekah untuk membersihkan diri.
Ayat 102 menyebutkan kelompok lain yang 'mengakui dosa-dosa mereka; mereka mencampuradukkan amal yang baik dengan amal yang buruk.' Allah menerima taubat mereka. Ayat 103 berisi perintah kepada Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari harta mereka sebagai pembersih jiwa. Ayat 104 menegaskan bahwa Allah-lah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya.
Ayat 105 datang sebagai kesimpulan dan arahan universal setelah proses taubat. Intinya adalah: Taubat di masa lalu diterima, tetapi itu tidak berarti berhenti berjuang. Justru sebaliknya, taubat harus diikuti dengan pembuktian konkret melalui amal saleh yang berkelanjutan. Pesan ini mengalihkan fokus dari penyesalan masa lalu menuju aksi yang proaktif di masa depan. Ayat ini menjadi jembatan antara taubat (pembersihan diri) dan amal (pembinaan diri), memastikan bahwa keimanan selalu diwujudkan melalui kerja keras yang bertanggung jawab.
Para mufasir memberikan penekanan yang berbeda pada tiga aspek utama ayat ini: Perintah Bekerja, Tiga Lapisan Pengawasan, dan Kepastian Balasan.
Imam Al-Tabari fokus pada aspek konsistensi amal setelah taubat. Beliau menafsirkan bahwa perintah "Bekerjalah" adalah perintah umum yang berlaku bagi semua mukmin, bukan hanya mereka yang bertaubat. Pesan utamanya adalah bahwa taubat sejati harus dibuktikan dengan perubahan perilaku (amal) yang berkesinambungan. Al-Tabari menjelaskan bahwa penglihatan Allah (*siyarā*) mencakup niat dan kualitas amal, sementara penglihatan Rasul dan mukminin berfungsi sebagai motivasi sosial dan penegakan kebenaran (amar ma'ruf nahi munkar).
Ibn Kathir menghubungkan ayat ini erat dengan hadis-hadis mengenai amalan yang dilihat. Beliau menekankan bahwa amal yang dimaksud adalah amal ketaatan kepada Allah. Mengenai frasa "Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu," Ibn Kathir menjelaskan bahwa laporan amal manusia akan diangkat ke hadapan Allah, dan juga ditunjukkan kepada Rasulullah SAW—yang dapat melihat amal umatnya—serta kepada orang-orang mukmin di dunia, melalui buah-buah kebaikan yang mereka saksikan.
Ibn Kathir menyoroti bahwa pengetahuan Allah adalah pengetahuan yang mutlak dan abadi, sedangkan penglihatan Rasul dan mukminin adalah mekanisme *syahadah* (kesaksian) yang memberikan dorongan etik di tingkat komunitas. Ini menciptakan rasa malu (hawa’/haya’) jika berbuat buruk dan rasa bangga jika berbuat baik, sehingga amal yang tersembunyi pun harus sebaik amal yang terlihat.
Al-Qurtubi memberikan perhatian khusus pada aspek hukum (*ahkam*) dari perintah bekerja. Beliau menegaskan bahwa ayat ini membatalkan pandangan sufistik ekstrem yang menganggap bahwa seseorang boleh meninggalkan usaha duniawi dan hanya bersandar pada doa (tawakkal tanpa usaha). Al-Qurtubi berpendapat bahwa bekerja untuk mencari rezeki adalah kewajiban yang diatur oleh syariat. Ayat ini menempatkan kerja sebagai bentuk ibadah, selama niatnya lurus.
Mengenai penglihatan Rasulullah SAW terhadap amal, Al-Qurtubi menyajikan riwayat yang menyatakan bahwa amal umat diperlihatkan kepada Nabi, baik setelah beliau wafat maupun saat beliau hidup. Jika amal itu baik, beliau memuji Allah; jika buruk, beliau memohon ampunan untuk umatnya. Ini menunjukkan kesinambungan hubungan spiritual antara Rasulullah dan umatnya.
Mufasir kontemporer seperti M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menafsirkan ayat ini dalam konteks etos kerja modern. Beliau menekankan bahwa perintah bekerja harus diterjemahkan menjadi profesionalisme dan kualitas (itqan). Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi juga dilihat (disaksikan) manfaatnya oleh masyarakat (mukminin). Pengawasan komunitas (mukminin) menjadi mekanisme kontrol sosial (social accountability) yang mendorong kejujuran dan menghindari korupsi.
Shihab juga menggarisbawahi bahwa Allah melihat niat di hati, Rasulullah melihat manifestasi ketaatan, dan mukminin melihat dampak sosial dari pekerjaan tersebut. Tiga tingkat pengawasan ini memastikan bahwa kerja seorang mukmin sempurna secara vertikal (ikhlas kepada Allah) dan horizontal (bermanfaat bagi sesama).
Ayat 105 menyajikan model pertanggungjawaban multi-level yang unik, melibatkan tiga entitas yang mengamati pekerjaan manusia. Pemahaman tentang mengapa ada tiga lapis pengawasan ini sangat penting untuk memahami motivasi etik dalam Islam.
Ini adalah pengawasan yang paling fundamental dan mutlak. Allah melihat segala sesuatu:
Penglihatan Rasulullah terhadap amal umatnya, sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat, adalah sebuah karunia ilahi. Ini memiliki dua dimensi utama:
Pengawasan oleh orang-orang mukmin adalah aspek sosial dari ayat ini. Ia menempatkan amal saleh dalam ranah publik dan pertanggungjawaban sosial.
Ketiga lapisan pengawasan ini membentuk sebuah sistem komprehensif yang mengikat individu pada pertanggungjawaban total: spiritual, nubuwwah, dan sosial.
Ayat 105 telah menjadi sumber utama dalam merumuskan etos kerja dalam Islam, yang berbeda dari sekadar mencari nafkah. Ayat ini mengintegrasikan *Dunia* (pekerjaan) dan *Din* (agama) secara sempurna.
Ayat ini menetapkan bahwa bekerja adalah perintah ilahi (*fi’il amr*). Dalam hukum Islam, bekerja untuk mencari rezeki yang halal (kasb al-halal) bisa menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) jika ia memiliki tanggungan keluarga, atau fardhu kifayah (kewajiban komunal) jika menyangkut kebutuhan masyarakat (seperti menjadi dokter, insinyur, atau ulama).
Perintah "I'malu" menolak fatalisme atau sikap pasrah yang pasif. Tawakkal (berserah diri) dalam Islam selalu diiringi dengan usaha (*asbab*). Ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan aktif.
Karena Allah yang pertama kali melihat pekerjaan tersebut, maka amal harus didasarkan pada niat yang murni (ikhlas). Ikhlas membedakan kerja duniawi biasa dengan amal saleh yang bernilai ibadah. Jika pekerjaan dilakukan semata-mata karena dilihat manusia (*riya'*), maka nilainya di hadapan Allah akan gugur.
Selain ikhlas, adanya pengawasan totalitas Allah mendorong pada prinsip *itqan* (kualitas sempurna). Jika kita tahu bahwa pengawas utama kita adalah Dzat Yang Maha Sempurna, maka hasil kerja kita harus mendekati kesempurnaan sebisa mungkin. Kecurangan, korupsi, dan kelalaian dalam pekerjaan adalah bentuk pengabaian terhadap pengawasan ilahi ini.
Pengawasan oleh "orang-orang mukmin" menunjukkan bahwa pekerjaan seorang Muslim tidak boleh terbatas pada kepentingan pribadinya. Pekerjaan harus membawa kemanfaatan (maslahat) bagi publik.
Paruh kedua dari ayat 105 adalah titik kulminasi dari seluruh proses pengawasan: "dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Ini adalah pengingat abadi tentang akhir perjalanan manusia (Al-Ma'ad). Fungsi dari pengawasan selama hidup di dunia adalah untuk mengumpulkan data yang akan digunakan pada Hari Perhitungan (Yaumul Hisab).
Pengembalian ini bersifat pasti dan final. Manusia akan kembali kepada Pencipta mereka dalam keadaan telanjang, tidak membawa apa-apa kecuali amal perbuatan mereka. Frasa ini menghilangkan ilusi bahwa manusia memiliki otonomi mutlak di dunia. Otonomi beramal ada, tetapi pertanggungjawaban tetap berada di bawah kekuasaan Allah.
Penyebutan Allah sebagai Yang Mengetahui yang Ghaib dan yang Nyata pada saat pengembalian sangat signifikan. Pada Hari Kiamat, tidak ada argumentasi atau penyangkalan yang akan diterima, karena Allah akan mengungkap bukan hanya apa yang dilakukan secara fisik (*Asy-Syahadah*), tetapi juga apa yang tersembunyi di dalam hati (*Al-Ghaib*).
Pengetahuan yang meliputi Ghaib dan Nyata ini menjamin bahwa perhitungan yang diberikan Allah adalah perhitungan yang paling adil dan sempurna, bebas dari bias, kesalahan, atau kesaksian palsu.
Frasa *fa yunabbi’ukum* (lalu diberitakan-Nya kepada kamu) menunjukkan bahwa proses perhitungan bukanlah proses yang pasif. Allah akan memberitakan, secara rinci dan spesifik, semua yang telah dilakukan manusia. Pemberitaan ini memiliki dua fungsi:
Meskipun diturunkan dalam konteks pertobatan dan peperangan di masa Rasulullah, makna universal ayat 105 sangat relevan dalam menghadapi tantangan etika dan moral di era modern yang kompleks.
Dalam dunia profesional, perintah "I'malu" menjadi landasan bagi etika kerja yang didasarkan pada integritas. Prinsip bahwa Allah melihat pekerjaan kita harus menjadi benteng utama melawan korupsi, penipuan, dan ketidakjujuran, terutama dalam pekerjaan yang bersifat birokrasi atau publik yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Seorang pegawai negeri, seorang kontraktor, atau seorang pemimpin perusahaan, harus menyadari bahwa pekerjaannya tidak hanya dievaluasi oleh atasannya atau auditor, tetapi dihadapkan pada pengawasan mutlak Sang Pencipta. Kesadaran ini menuntut pelaksanaan tugas dengan kualitas terbaik (*itqan*) dan kejujuran tertinggi.
Ayat 105 mengajarkan bahwa kerja bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana ibadah dan pembuktian keimanan. Hal ini membantu seorang mukmin menjaga keseimbangan antara tuntutan duniawi dan spiritual. Kerja keras di kantor atau di pasar dianggap sebagai amal saleh, asalkan tidak melalaikan kewajiban utama (shalat, zakat) dan dilakukan dengan niat mencari ridha Allah.
Ayat ini memberikan makna pada setiap aktivitas rutin. Mencari nafkah yang halal bukan sekadar kewajiban ekonomi, tetapi juga investasi akhirat, mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi misi spiritual.
Aspek pengawasan oleh "orang-orang mukmin" sangat relevan dalam konteks transparansi modern. Dalam era informasi, ketika amal buruk seorang pemimpin atau publik figur mudah terungkap, ayat ini mengingatkan bahwa pertanggungjawaban sosial (akuntabilitas) adalah bagian integral dari iman.
Organisasi Islam, lembaga amal, atau pemerintah yang dipimpin oleh Muslim, harus menjunjung tinggi transparansi finansial dan operasional. Karena jika mereka lalai atau curang, mereka tidak hanya berdosa di hadapan Allah, tetapi juga mengecewakan dan menipu komunitas mukminin yang menyaksikan amal mereka.
Penyebutan *‘Alimul Ghaib wa Asy-Syahadah* pada penutup ayat 105 bukan sekadar atribut pujian, melainkan penegasan ontologis tentang sifat ilmu Allah yang mengelilingi segala sesuatu yang dikerjakan manusia.
Sangat sering, amal manusia dinilai hanya berdasarkan hasil yang terlihat. Ilmu Al-Ghaib memastikan bahwa Allah tidak terbatasi oleh manifestasi fisik. Dalam konteks amal, Al-Ghaib meliputi:
Karena Allah mengetahui Ghaib, seorang mukmin didorong untuk selalu memperbaiki niatnya, bahkan ketika tidak ada satu pun manusia yang mengawasinya.
Asy-Syahadah (yang disaksikan/nyata) adalah domain yang juga dicakup oleh penglihatan Allah, Rasul, dan mukminin. Ini mencakup segala sesuatu yang dapat diukur, dilihat, dan dirasakan. Dalam amal, Asy-Syahadah adalah:
Dengan menguasai Asy-Syahadah, Allah menjamin bahwa aspek-aspek lahiriah dari amal pun akan dipertimbangkan secara akurat, didukung oleh kesaksian para malaikat pencatat (Raqib dan Atid) serta kesaksian anggota tubuh itu sendiri pada Hari Kiamat.
Kesatuan *Al-Ghaib* dan *Asy-Syahadah* dalam ilmu Allah menegaskan bahwa tidak ada tempat bersembunyi. Ayat 105 adalah peringatan bahwa seluruh hidup adalah sebuah audit yang sempurna, yang hasilnya akan diumumkan pada hari akhir.
Kehadiran Rasulullah SAW sebagai salah satu pengawas amal (*wa Rasuluhū*) adalah poin teologis yang mendalam dan memberikan dimensi kehangatan dalam hubungan antara hamba dan Allah.
Dalam konteks ayat lain, Rasulullah SAW disebut sebagai *Syahid* (saksi) atas umatnya. Para ulama menafsirkan bahwa kesaksian ini berkaitan erat dengan penglihatan amal yang disebutkan dalam At-Taubah 105. Rasulullah bukan hanya menyaksikan, tetapi juga memberikan kesaksian positif atas mereka yang beramal baik di hadapan Allah pada Hari Kiamat.
Mengetahui bahwa amal kita diperhatikan dan dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki efek psikologis yang kuat. Hal ini mendorong umat untuk beramal dengan cara yang akan membanggakan Rasulullah SAW (sesuai sunnah), dan menjauhi perbuatan yang akan membuat beliau bersedih.
Dalam tradisi sufi dan etika Islam, ada dorongan untuk menghubungkan setiap amal dengan tuntunan Rasulullah. Jika pekerjaan kita sesuai dengan etika kenabian (jujur, adil, profesional), maka penglihatan Rasulullah terhadap amal itu akan membawa keberkahan dan syafa'at.
Penting untuk membedakan. Penglihatan Allah adalah ilmu mutlak. Penglihatan mukminin adalah kesaksian sosial yang terbatas dan kadang keliru. Sementara penglihatan Rasulullah SAW adalah penglihatan yang diberikan secara khusus oleh Allah, yang bersifat *maqam* (kedudukan) khusus, yang dengannya beliau dapat mengetahui kualitas amal dan niat secara lebih akurat daripada mukminin biasa.
Surat At-Taubah ayat 105 merupakan salah satu pilar utama dalam membangun pandangan hidup seorang mukmin. Ia mengubah cara pandang terhadap kerja, dari sekadar keharusan ekonomi menjadi ibadah yang teruji dan termonitor.
Pesan utamanya jelas: Hidup adalah sebuah masa beramal (periode *I’malu*), yang selalu berada di bawah pengawasan multi-lapis (periode *Fasayarā*), yang hasilnya pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Mengetahui (periode *Saturaddūna*).
Ayat ini menuntut umat Islam untuk menjadi pribadi yang proaktif, produktif, dan berintegritas tinggi. Setiap tindakan, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa ia sedang dicatat, disaksikan, dan pada akhirnya, dinilai oleh Allah SWT. Dengan menghayati pesan ini, seorang mukmin berhasil menyelaraskan amal dunianya dengan tujuan akhiratnya, mengubah bumi menjadi ladang amal yang subur dan menjamin kebahagiaan abadi.
Perintah *I'malu* (bekerjalah) dalam ayat 105 adalah perintah yang inklusif. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu memilah spektrum amal yang dimaksud, karena dalam Islam, amal terbagi menjadi beberapa kategori yang semuanya harus dilakukan dengan kesadaran pengawasan ilahi.
Ini adalah amal yang telah ditetapkan tata caranya oleh syariat (shalat, puasa, haji, zakat). Dalam kategori ini, pengawasan ilahi (Allah) sangat dominan. Mukmin harus memastikan amal ini dilakukan dengan *khusyuk* dan sesuai sunnah. Pengawasan mukminin di sini berperan sebagai dorongan untuk menjaga syiar agama, misalnya melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Namun, niat sejati (Al-Ghaib) shalat hanya diketahui oleh Allah.
Ini adalah pekerjaan yang berkaitan dengan interaksi antarmanusia, seperti perdagangan, hukum, kedokteran, pendidikan, dan pemerintahan. Dalam muamalah, ketiga lapisan pengawasan berperan krusial:
Kualitas pekerjaan seorang profesional Muslim dalam bidang muamalah adalah cerminan langsung dari pemahamannya terhadap ayat 105.
Amal hati adalah fondasi semua amal, yang hanya terjangkau oleh *‘Alimul Ghaib*. Amal hati meliputi syukur, sabar, tawakal, ikhlas, dan rasa takut kepada Allah (*khauf*). Ayat 105 secara implisit memerintahkan kita untuk bekerja keras memperbaiki amal hati. Jika seseorang bekerja keras secara fisik tetapi hatinya penuh kesombongan atau ingin dipuji, maka nilai amalnya rusak di hadapan Yang Maha Mengetahui Al-Ghaib.
Frasa "dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu" membentuk konsep pertanggungjawaban sosial yang kuat. Dalam Islam, pertanggungjawaban tidak hanya bersifat vertikal (kepada Tuhan) tetapi juga horizontal (kepada masyarakat).
Ayat ini menunjukkan bahwa komunitas mukmin adalah saksi dan penjamin moral bagi anggotanya. Ketika seseorang beramal baik, mukmin lain bersyukur dan terinspirasi. Ketika ada kesalahan, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menasihati (nashihah) dengan cara yang baik. Ini memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah).
Dalam masyarakat modern, media sosial dan komunikasi publik sangat berpengaruh. Ayat 105 mengajarkan bahwa penilaian publik (dari komunitas yang beriman) terhadap pekerjaan seseorang adalah bagian dari catatan amal. Ini mendorong individu untuk berbuat kebaikan yang nyata dan terlihat, bukan sekadar basa-basi, agar mendapatkan kesaksian positif yang tulus dari komunitas, yang dalam banyak hadis, disebutkan bahwa pujian tulus dari orang-orang saleh adalah pertanda kebaikan bagi pelakunya.
Namun, perlu ditekankan bahwa pengawasan mukminin harus dicari sebagai sarana untuk validasi amal, bukan tujuan akhir (yang merupakan riya'). Tujuan akhirnya tetaplah ridha Allah.
Perintah bekerja dalam ayat 105 tidak dapat dipisahkan dari konsep rezeki (rizki) dalam Islam. Rezeki datang dari Allah, tetapi manusia diperintahkan untuk menjemputnya melalui amal.
Ketika mukmin bekerja sesuai tuntutan ayat 105 (jujur, profesional, ikhlas), rezeki yang didapatkan bukan hanya halal secara zat, tetapi juga berkah. Keberkahan (*barakah*) adalah peningkatan nilai dan manfaat rezeki, meskipun secara kuantitas mungkin tidak banyak. Ini adalah hasil langsung dari pengawasan ilahi terhadap niat dan kualitas amal.
Ayat 105 secara tegas melawan pandangan bahwa rezeki akan datang tanpa usaha. Ia menuntut tindakan proaktif: *I'malu*. Bahkan para nabi terdahulu seperti Nabi Daud (pembuat baju besi) dan Nabi Zakariya (tukang kayu) adalah pekerja keras. Ayat ini membimbing umat agar menggantungkan rezeki kepada Allah, tetapi menyandarkan usaha kepada diri sendiri melalui kerja keras.
Analisis linguistik mendalam pada ayat ini memberikan penegasan tentang urgensi amal dan kepastian balasan.
Penggunaan *Qul* dan *I'malu* yang berbentuk perintah menunjukkan kewajiban yang harus segera dipenuhi tanpa penundaan. Ini menciptakan rasa urgensi dan tanggung jawab langsung.
Dalam bahasa Arab, huruf *sīn* (س) yang diletakkan di awal kata kerja masa depan (*mudhari’*) menunjukkan kepastian terjadinya peristiwa dalam waktu dekat, meskipun waktu relatif di mata manusia.
Sebagai penutup dari kajian yang luas ini, ayat 105 memberikan beberapa hikmah filosofis mendasar tentang keberadaan manusia.
Karena Allah mengetahui *Al-Ghaib* (niat dan usaha), Islam menghargai proses (usaha, kesabaran, keikhlasan) sama atau lebih dari hasil yang terlihat. Seseorang yang bekerja keras dengan niat murni namun hasilnya sedikit mungkin mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah daripada seseorang yang mendapatkan hasil besar tetapi dengan niat yang buruk atau usaha yang curang. Ayat ini mengajarkan fokus pada integritas dalam perjalanan amal.
Ayat 105 adalah pembentuk karakter (tarbiyah). Ia menciptakan individu yang memiliki pengawasan internal yang kuat (taqwa) karena ia percaya pada pengawasan eksternal ilahi yang sempurna. Individu ini tidak memerlukan kamera pengawas atau atasan yang selalu mengawasi, karena ia membawa pengawasan Allah di dalam dirinya.
Pengembalian kepada *‘Alimul Ghaib wa Asy-Syahadah* adalah realitas tunggal yang memberikan makna pada seluruh kehidupan. Jika seseorang hidup dengan keyakinan penuh pada ayat 105, ia akan selalu berupaya memastikan bahwa "pemberitaan" (yunabbi’ukum) pada Hari Kiamat adalah pemberitaan yang membawa kabar gembira (kebaikan yang diakui dan diterima), bukan penyesalan atas amal yang disia-siakan.
Dengan demikian, Surat At-Taubah ayat 105 adalah cetak biru abadi bagi etika kehidupan Muslim, menuntut aksi, integritas, dan kesadaran penuh akan kehadiran dan pengetahuan Allah dalam setiap detik pekerjaan dan kehidupan.