Kisah Teuku Nyak Arif adalah kisah tentang transisi, loyalitas ganda, dan tragedi. Sebagai seorang bangsawan berpendidikan modern yang diangkat menjadi Residen (Gubernur) pertama Aceh pada masa kemerdekaan Indonesia, ia berdiri di persimpangan sejarah yang paling krusial—titik di mana kekuasaan feodal Uleebalang harus berhadapan dengan gelombang revolusioner yang didorong oleh semangat agama dan nasionalisme radikal. Warisannya tidak hanya mencerminkan perjuangan melawan penjajahan, tetapi juga konflik internal yang mendalam yang melanda Aceh segera setelah Proklamasi kemerdekaan.
Aceh, sejak lama, dikenal sebagai wilayah yang memiliki otonomi kultural dan politik yang kuat, bahkan di bawah tekanan kolonial Belanda. Struktur kekuasaan lokal terbagi secara halus namun tegas antara kelompok aristokrat tradisional yang disebut Uleebalang (penguasa wilayah atau *Nanggroe*) dan para ulama (pemimpin agama) yang memiliki pengaruh besar di tingkat akar rumput melalui jaringan pesantren dan Dayah. Teuku Nyak Arif lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Uleebalang, sebuah kasta yang, meskipun awalnya memimpin perlawanan, kemudian seringkali dipaksa berkolaborasi dengan pemerintah kolonial untuk mempertahankan struktur administrasi dan kekuasaan lokal mereka. Pemahaman terhadap latar belakang dualisme ini adalah kunci untuk memahami nasibnya di tahun-tahun genting Revolusi Nasional Indonesia.
Ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus, 1945, Teuku Nyak Arif adalah figur paling siap dari segi administrasi untuk memimpin wilayah tersebut. Ia memiliki pengalaman yang luas dalam birokrasi, baik di bawah Belanda maupun Jepang. Namun, kesiapan administratif ini ironisnya menjadi kelemahannya di mata faksi-faksi revolusioner baru. Bagi mereka, Nyak Arif mewakili tatanan lama, simbol dari kolaborasi feodal yang harus dienyahkan demi mewujudkan Indonesia merdeka seutuhnya. Perjalanan hidupnya, dari seorang pejabat kolonial yang dihormati menjadi pemimpin revolusioner yang diakui, dan kemudian korban revolusi itu sendiri, merupakan cerminan nyata dari kekejaman dan kompleksitas perjuangan kemerdekaan di daerah.
Masa Muda dan Latar Belakang Aristokratik
Teuku Nyak Arif dilahirkan dalam lingkungan aristokrasi Aceh yang mapan. Ia berasal dari keluarga Uleebalang yang berkuasa di wilayah Lhee Sagoe (Tiga Sagi), sebuah pembagian administratif tradisional yang sangat penting di Kesultanan Aceh Darussalam. Sistem Uleebalang ini, yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan Sultan dalam mengelola wilayah dan sumber daya, menjadi semakin sentral pasca-Perang Aceh yang berlarut-larut. Keturunan Uleebalang seperti Nyak Arif dihadapkan pada pilihan sulit: melanjutkan perlawanan yang berarti kehancuran total, atau bekerja sama dengan Belanda untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas rakyat dengan imbalan pengakuan dari pemerintahan kolonial. Keluarga Nyak Arif memilih jalur terakhir, yang merupakan pilihan pragmatis bagi banyak elite lokal yang ingin mempertahankan tatanan sosial yang sudah ada.
Pendidikan yang diterima Nyak Arif sangat mencerminkan ambivalensi statusnya. Ia tidak hanya mendapatkan pendidikan tradisional Acehnese yang diturunkan dalam keluarganya, tetapi juga mengenyam pendidikan modern ala Barat yang disediakan oleh Belanda, seperti sekolah untuk anak-anak bangsawan (OSVIA atau setaranya). Pendidikan Barat ini memberikan dua keuntungan signifikan: pertama, memberinya pemahaman mendalam tentang struktur birokrasi modern yang dikuasai Belanda; kedua, menjadikannya 'orang dalam' yang bisa bernegosiasi dan berkomunikasi langsung dengan otoritas kolonial. Keterampilan ini memungkinkannya menanjak dalam hierarki administratif kolonial, memegang berbagai posisi penting yang melibatkan pengelolaan keuangan dan urusan publik.
Pada periode ini, ia seringkali harus menyeimbangkan loyalitasnya. Di satu sisi, ia adalah aparat kolonial yang di gaji. Di sisi lain, sebagai seorang Uleebalang, ia memiliki tanggung jawab adat yang mendalam terhadap rakyatnya, dan ia menyaksikan langsung penderitaan yang diakibatkan oleh eksploitasi kolonial. Pengalaman ini membentuk pandangan politiknya yang unik: ia adalah seorang nasionalis yang pragmatis, yang percaya bahwa perubahan harus dicapai melalui reformasi struktural, bukan hanya perlawanan bersenjata. Pandangan ini, yang sangat berbeda dari pandangan kelompok Ulama yang radikal dan anti-Belanda secara total, akan menjadi jurang pemisah yang fatal di kemudian hari.
Peran dalam Pemerintahan Kolonial dan Pra-Kemerdekaan
Sebelum invasi Jepang, Nyak Arif telah menempati posisi-posisi penting dalam administrasi Aceh, yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Sumatera. Perannya tidak hanya bersifat simbolis. Ia terlibat dalam pengambilan keputusan nyata yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Keberadaannya di lingkaran birokrasi memastikan bahwa suara elite lokal, meskipun melalui saluran kolonial, masih didengar. Namun, perannya ini selalu berada di bawah pengawasan ketat Belanda, yang menggunakan Uleebalang untuk meredam gerakan perlawanan berbasis agama yang dipimpin oleh Ulama.
Ketegangan tradisional antara Uleebalang dan Ulama (atau kelompok agama) merupakan ciri khas politik Aceh sejak abad ke-19. Belanda dengan cerdik memanfaatkan perpecahan ini. Mereka mendukung kekuasaan administratif dan kekayaan para Uleebalang melalui perjanjian-perjanjian politik (Korte Verklaring atau Perjanjian Pendek), sementara pada saat yang sama mereka berusaha melemahkan pengaruh Ulama yang dianggap sebagai sumber utama perlawanan bersenjata dan ideologi anti-penjajah. Teuku Nyak Arif, sebagai Uleebalang yang berpendidikan Belanda, secara inheren menjadi bagian dari struktur yang dilegitimasi oleh kolonialisme, meskipun ia secara personal mungkin memendam aspirasi kemerdekaan.
Ketika Jepang datang pada tahun 1942, Nyak Arif adalah salah satu dari sedikit pemimpin yang berhasil mentransisikan posisinya tanpa kerugian besar. Jepang, yang sangat membutuhkan stabilitas administrasi lokal, umumnya mempertahankan struktur birokrasi yang sudah ada. Bagi Jepang, Nyak Arif adalah jembatan yang efektif untuk mengontrol masyarakat Aceh. Di bawah pemerintahan militer Jepang, yang dikenal dengan nama *Gunseibu*, Nyak Arif tetap memegang peranan penting, memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan informasi dan secara diam-diam mendukung gerakan-gerakan nasionalis yang mulai tumbuh subur di bawah naungan janji kemerdekaan dari Tokyo.
Struktur pemerintahan Aceh saat itu sangat kompleks. Aceh dibagi menjadi tiga wilayah utama atau Sagoe: Aceh Besar (tempat kekuasaan Sultan historis), Pidië, dan Aceh Utara/Timur. Setiap Sagoe dipimpin oleh seorang Panglima Sagoe, di bawahnya terdapat puluhan Uleebalang yang menguasai wilayah-wilayah kecil (Nanggroe). Sistem ini menciptakan jaringan kekuasaan yang terdistribusi namun saling terkait. Nyak Arif, yang berasal dari lingkaran inti kekuasaan tradisional di Aceh Besar, memiliki legitimasi adat yang tak tertandingi di mata para bangsawan lainnya, menjadikannya pilihan alami bagi Jakarta untuk mewakili Aceh pasca-kemerdekaan.
Saat Proklamasi dan Penunjukan Residen Pertama
Pada bulan Agustus 1945, saat kabar mengenai kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar, Aceh berada dalam kondisi kekosongan kekuasaan yang berbahaya. Jepang telah kehilangan otoritas tetapi belum sepenuhnya dilucuti, dan otoritas Republik yang baru lahir di Jawa masih lemah. Dalam situasi ini, Jakarta harus segera menunjuk pemimpin yang kuat, berintegritas, dan mampu mengamankan wilayah yang dikenal sangat sulit diatur. Pilihan jatuh kepada Teuku Nyak Arif, yang diangkat sebagai Residen (jabatan setara Gubernur pada tingkat provinsi/Keresidenan saat itu) Aceh. Penunjukan ini adalah pengakuan atas kapabilitas administratif dan pengaruh politiknya yang luas.
Mandat yang diemban Nyak Arif sangat berat: pertama, mengambil alih kendali dari militer Jepang tanpa menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu; kedua, menyebarkan berita proklamasi dan menegakkan bendera Republik di seluruh pelosok Aceh; dan ketiga, menyatukan berbagai faksi lokal, terutama antara Uleebalang dan kelompok Ulama, di bawah panji nasionalisme Indonesia.
Tantangan Awal: Menegakkan Kedaulatan Republik
Tantangan terbesar Nyak Arif segera muncul. Meskipun Uleebalang secara umum mendukung Republik karena mereka melihatnya sebagai kesempatan untuk menggantikan kekuasaan asing, kelompok Ulama, yang bernaung di bawah payung organisasi PUSA (didirikan pada tahun 1939), memiliki agenda yang lebih radikal. PUSA memandang kemerdekaan bukan hanya sebagai pembebasan dari Belanda atau Jepang, tetapi juga sebagai pembebasan dari struktur feodal Uleebalang yang mereka anggap telah bekerjasama dengan penjajah dan menghalangi penegakan syariat Islam yang murni.
Nyak Arif berusaha keras untuk merangkul semua pihak. Ia memobilisasi dukungan di seluruh Aceh, mengorganisir rapat-rapat umum dan membentuk komite-komite lokal untuk memastikan transisi kekuasaan berjalan mulus. Di bawah kepemimpinannya, simbol-simbol Republik mulai diperkenalkan, dan upaya untuk melucuti senjata Jepang dilakukan dengan hati-hati. Keberhasilannya di bulan-bulan awal ini menunjukkan kemampuan diplomasinya yang luar biasa. Ia berhasil meyakinkan banyak Uleebalang untuk menyerahkan kekuasaan mereka kepada otoritas Republik, meskipun secara efektif, kekuasaan tersebut tetap berada di tangan mereka sendiri sebagai administrator daerah.
Namun, ketidakpercayaan Ulama terhadapnya semakin mendalam. Bagi pemimpin PUSA, seperti Teungku Daud Beureueh, Nyak Arif adalah representasi dari masa lalu yang harus dikubur. Mereka melihat Uleebalang sebagai musuh internal yang sama berbahayanya dengan penjajah asing. Para Ulama memiliki legitimasi moral dan agama di mata rakyat jelata dan petani, yang telah lama menderita di bawah sistem pajak dan kerja paksa yang dijalankan, meskipun tidak langsung, oleh para Uleebalang.
Konflik dan Revolusi Sosial Aceh
Periode antara akhir 1945 hingga awal 1946 adalah masa yang paling menentukan dan tragis dalam sejarah Aceh modern, yang dikenal sebagai Revolusi Sosial Aceh (atau sering juga disebut "Peristiwa Cumbok," meskipun Cumbok hanyalah salah satu puncaknya). Peristiwa ini adalah puncak dari akumulasi ketegangan historis yang telah berabad-abad antara dua pilar kekuasaan di Aceh: Uleebalang (penguasa tanah/aristokrasi) dan Ulama (otoritas agama).
Ketegangan yang Memuncak: PUSA Melawan Uleebalang
PUSA, yang dimotori oleh Ulama yang berideologi kuat, memanfaatkan momentum kemerdekaan untuk mencapai dua tujuan: kemerdekaan dari penjajah asing, dan pembersihan kekuasaan feodal yang mereka anggap korup dan tidak Islami. PUSA dengan cepat membangun struktur militer dan politiknya sendiri, yang dikenal sebagai TKR (Tentara Keamanan Rakyat) lokal yang dipengaruhi oleh Ulama, menantang otoritas resmi yang masih dipimpin oleh Teuku Nyak Arif sebagai Residen.
Isu utama yang digunakan PUSA untuk memobilisasi massa adalah isu kolaborasi masa lalu dan penindasan ekonomi. Mereka menuduh Nyak Arif dan seluruh kasta Uleebalang sebagai pengkhianat bangsa yang menikmati kemewahan dari penderitaan rakyat selama masa kolonial. Tuduhan ini beresonansi kuat di kalangan petani yang miskin dan kelompok pemuda radikal.
Teuku Nyak Arif menyadari bahaya yang mengancam, tetapi ia terbatas oleh mandatnya dari Jakarta: menjaga stabilitas dan kesatuan Republik. Ia berusaha meredam ketegangan melalui negosiasi dan konsolidasi birokrasi, tetapi upaya ini disalahartikan oleh PUSA sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan aristokratik. Para Uleebalang yang merasa terancam juga mulai mempersenjatai diri, menciptakan suasana perang saudara yang tak terhindarkan.
Peristiwa Cumbok dan Penangkapan Nyak Arif
Puncak tragedi terjadi di sekitar Desember 1945 dan Januari 1946. Konflik terbuka meletus di berbagai Nanggroe. Peristiwa paling terkenal terjadi di daerah Cumbok, Pidie, di mana seorang Uleebalang bernama Teuku Keumangan Umar mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan kekerasan. Perlawanan ini dengan cepat dipatahkan oleh kekuatan PUSA dan kelompok pemuda revolusioner. Kemenangan ini memberikan dorongan moral yang besar bagi gerakan anti-feodal.
Gelombang revolusi sosial menyapu Aceh Besar. Rumah-rumah Uleebalang diserbu, harta benda mereka disita, dan banyak yang dieksekusi atau dipenjara. Revolusi ini bukan hanya perubahan politik, melainkan juga pembalikan sosial ekonomi yang dramatis. Teuku Nyak Arif, sebagai figur tertinggi dari kasta Uleebalang dan Residen yang baru diangkat, menjadi target utama.
Nyak Arif ditangkap oleh kelompok revolusioner pada awal Januari 1946. Penangkapannya menandai akhir dari dominasi politik Uleebalang di Aceh. Meskipun ia adalah Residen yang diakui oleh Republik, Ulama dan pemuda revolusioner di Aceh menempatkan loyalitas mereka pada ideologi revolusi sosial yang lebih murni, yang menuntut pembersihan total terhadap elemen-elemen feodal yang bersekutu dengan penjajah. Penangkapan ini, meskipun terjadi atas nama revolusi, menimbulkan dilema besar bagi pemerintah pusat di Yogyakarta. Mereka telah kehilangan pemimpin resmi mereka di Aceh.
Nasib Tragis dan Akhir Hayat
Setelah ditangkap, nasib Teuku Nyak Arif tidak jelas selama beberapa waktu. Ia ditahan di berbagai lokasi, diintrogasi, dan dipermalukan. Dokumen sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin PUSA melihatnya sebagai hambatan serius terhadap konsolidasi kekuasaan Ulama di wilayah tersebut. Meskipun ada upaya dari Jakarta untuk membebaskannya atau setidaknya menjamin keselamatannya, otoritas lokal yang kini dipegang oleh PUSA memiliki kendali penuh.
Teuku Nyak Arif dilaporkan meninggal dunia dalam penahanan. Meskipun tanggal dan tempat pasti kematiannya masih menjadi subjek perdebatan historis, konsensus umum menunjukkan bahwa ia dieksekusi oleh kelompok yang menahannya sebagai bagian dari pembersihan total terhadap kasta Uleebalang. Kematiannya bukan hanya kehilangan seorang administrator ulung, tetapi juga simbol dari betapa berbahayanya menjadi jembatan antara dua era kekuasaan yang saling bertentangan. Ia adalah seorang nasionalis yang tewas di tangan nasionalis lain.
Analisis Sejarah: Dilema Seorang Uleebalang Modern
Untuk memahami Teuku Nyak Arif, perlu dianalisis secara mendalam peran Uleebalang dalam konteks Revolusi Nasional. Mereka mewakili "kelas yang mati," sebuah elite tradisional yang tidak mampu bertransformasi cukup cepat untuk memenuhi tuntutan ideologi revolusi modern.
Beban Kolaborasi dan Pendidikan Barat
Pendidikan Barat yang dimiliki Nyak Arif, yang membuatnya mumpuni di mata Jakarta, justru menjadi stigma di mata revolusioner Aceh. Dalam narasi Ulama, pengetahuan Barat identik dengan sekularisme dan kompromi terhadap nilai-nilai Islam. Ini kontras tajam dengan legitimasi Ulama yang didasarkan pada pengetahuan agama murni dan perlawanan tanpa kompromi selama Perang Aceh.
Uleebalang, termasuk Nyak Arif, berada dalam posisi paradoks. Mereka ingin Aceh merdeka, tetapi mereka ingin struktur sosial dan administratif yang mereka kuasai tetap utuh. Mereka membayangkan kemerdekaan sebagai transisi kekuasaan dari Belanda ke Uleebalang yang telah diakui oleh Republik. Sebaliknya, PUSA menginginkan kemerdekaan total yang mencakup pemusnahan sisa-sisa feodalisme kolonial.
Peran PUSA dalam Konsolidasi Kekuasaan
PUSA tidak hanya termotivasi oleh ideologi agama; mereka juga sangat termotivasi oleh konsolidasi kekuasaan politik. Melenyapkan Uleebalang adalah cara tercepat bagi Ulama untuk mengambil alih kontrol administrasi, ekonomi, dan militer di Aceh. Teuku Nyak Arif, sebagai pemimpin resmi Republik di Aceh, merupakan target simbolis dan praktis. Keberadaannya mengancam klaim PUSA bahwa mereka adalah satu-satunya perwakilan sah dari rakyat Aceh yang berjuang.
Revolusi Sosial Aceh adalah salah satu contoh paling ekstrem dari bagaimana Revolusi Nasional Indonesia berubah menjadi konflik internal, di mana musuh bukan lagi sekadar Belanda, tetapi juga faksi-faksi domestik yang berebut definisi dan implementasi kemerdekaan. Di Aceh, pertempuran ini dipertajam oleh sejarah konflik agama dan adat yang berabad-abad lamanya. Nyak Arif adalah korban dari momentum sejarah yang menuntut simplifikasi: di saat revolusi, tidak ada ruang untuk figur yang berkompromi atau kompleks.
Kekejaman dan kecepatan Revolusi Sosial di Aceh sangat efektif. Setelah Uleebalang disingkirkan, PUSA berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan membentuk basis pertahanan Republik yang sangat kuat di Sumatera. Ironisnya, PUSA, yang menyingkirkan Nyak Arif atas nama kemerdekaan, kemudian menjadi garis pertahanan terdepan bagi Republik saat Belanda melancarkan Agresi Militer. Dalam hal ini, kematian Nyak Arif secara tidak langsung memuluskan jalan bagi kepemimpinan Ulama yang bersatu untuk membela Republik.
Konteks Revolusi Sosial di Sumatera Lain
Peristiwa yang menimpa Teuku Nyak Arif dan Uleebalang Aceh bukanlah fenomena terisolasi. Revolusi Sosial di Aceh memiliki kesamaan pola dengan revolusi sosial yang terjadi di wilayah Sumatera Timur (seperti Deli dan Langkat) pada tahun yang sama. Di Sumatera Timur, para Sultan dan kaum bangsawan Melayu yang berkolaborasi dengan Belanda dalam perkebunan besar (seperti tembakau) juga menjadi sasaran amuk massa revolusioner yang dipimpin oleh kelompok komunis dan nasionalis radikal.
Perbandingan dengan Sumatera Timur
Meskipun pelaku utama di Aceh adalah Ulama yang didorong oleh ideologi Islam (PUSA), sementara di Sumatera Timur adalah kelompok kiri dan nasionalis (seperti Pesindo), motif dasarnya serupa: membersihkan negara dari elemen-elemen feodal yang dicap sebagai kaki tangan kolonial dan merebut sumber daya ekonomi yang selama ini dikuasai oleh bangsawan.
Di Aceh, perpecahan sosial diperburuk oleh masalah agraria dan hak atas tanah, yang secara tradisional dipegang kuat oleh Uleebalang. Ulama, yang lebih dekat dengan rakyat jelata dan petani, menjadi representasi aspirasi pembebasan ekonomi dan sosial. Teuku Nyak Arif, sebagai pemimpin yang mewakili kelas penguasa tanah dan birokrasi, secara otomatis berada di sisi yang salah dalam pertarungan kelas ini.
Keputusan Nyak Arif untuk menerima jabatan Residen dari Jakarta, meskipun niatnya adalah untuk mengamankan Aceh bagi Republik, justru mempercepat nasib tragisnya. Hal itu memberinya cap resmi sebagai perwakilan tatanan yang disahkan oleh Jakarta, yang di mata PUSA tidak lebih dari tatanan kolonial yang diganti kulitnya. Seandainya ia mundur dan bergabung dengan gerakan bawah tanah Ulama, ia mungkin akan selamat, tetapi ia memilih jalan birokrasi dan legalitas, jalan yang gagal di tengah gelombang revolusi.
Implikasi Jangka Panjang Kematian Nyak Arif
Kematian Teuku Nyak Arif memiliki implikasi jangka panjang terhadap struktur politik Aceh.
- Setelah Nyak Arif, kekuasaan administratif di Aceh beralih sepenuhnya ke tangan Ulama dan pemimpin PUSA. Teungku Daud Beureueh, sebagai pemimpin karismatik PUSA, secara efektif menjadi penguasa de facto Aceh selama masa revolusi fisik.
- Pemusnahan Uleebalang menghilangkan kelas menengah yang terdidik dan sekuler, memperkuat dominasi Ulama dalam segala aspek kehidupan, dari politik hingga pendidikan. Hal ini membentuk karakter politik Aceh yang sangat kental dengan ideologi keagamaan pasca-kemerdekaan.
- Meskipun Jakarta kehilangan Residen pertamanya, mereka mendapatkan wilayah yang bersatu dan sangat militan di bawah kepemimpinan Ulama. Aceh menjadi salah satu provinsi yang paling teguh mempertahankan Republik, bahkan dijuluki 'Daerah Modal' karena sumbangan emas dan dukungan militernya yang besar. Ironi sejarah ini menunjukkan bahwa Revolusi Sosial, meskipun brutal, berhasil menyatukan Aceh melawan musuh luar.
Di kemudian hari, struktur kekuasaan yang diciptakan pasca-1946 ini juga yang memicu konflik baru, yaitu pemberontakan DI/TII di Aceh pada tahun 1950-an, dipimpin oleh Daud Beureueh sendiri, yang merasa bahwa janji-janji Jakarta kepada Aceh pasca-revolusi, terutama mengenai pelaksanaan syariat, tidak dipenuhi. Dengan demikian, Revolusi Sosial yang menyingkirkan Teuku Nyak Arif adalah akar dari semua konflik politik internal Aceh di era pasca-kemerdekaan.
Warisan dan Rekognisi Historis
Meskipun meninggal dalam tragedi, Teuku Nyak Arif tetap diakui sebagai salah satu pahlawan perintis kemerdekaan. Statusnya sebagai Residen pertama Aceh di bawah bendera Republik Indonesia menjamin tempatnya dalam sejarah nasional, terlepas dari nasibnya yang tragis di tangan faksi domestik. Pengakuan ini melintasi batas-batas ideologis, mengakui bahwa ia adalah tokoh yang menjalankan tugas negara pada masa paling kritis.
Rekonsiliasi Sejarah
Kisah Nyak Arif berfungsi sebagai pengingat akan kompleksitas perjuangan kemerdekaan. Sejarah Indonesia seringkali cenderung menyederhanakan narasi menjadi perjuangan tunggal melawan kolonialisme, namun kisah Teuku Nyak Arif menyingkap lapisan konflik internal yang berputar pada isu kelas, agama, dan cara terbaik mencapai kemerdekaan. Dalam konteks rekonsiliasi sejarah, ia mewakili suara para elite progresif yang ingin bergabung dengan Republik tetapi dihancurkan oleh revolusi sosial yang lebih brutal.
Pemerintah Indonesia kemudian memberikan penghargaan anumerta kepada Teuku Nyak Arif, memastikan bahwa pengorbanannya diakui sebagai bagian dari perjuangan nasional. Namanya diabadikan di berbagai institusi dan jalan di Aceh, simbol pengakuan bahwa ia adalah seorang pahlawan nasional, bukan sekadar Uleebalang kolaborator, seperti yang dituduhkan oleh musuh-musuhnya pada tahun 1946. Pengabadian namanya bertujuan untuk menjahit kembali robekan sejarah yang diciptakan oleh Revolusi Sosial.
Dalam perspektif modern, Teuku Nyak Arif dilihat sebagai sosok Uleebalang yang visioner. Ia memahami bahwa masa depan Aceh dan Indonesia ada pada birokrasi yang terorganisir dan terdidik, yang siap menggantikan Belanda secara administrasi. Kegagalannya bukanlah karena kurangnya nasionalisme, melainkan karena ia memilih metode evolusioner dan administratif di tengah kondisi sosial yang menuntut pembalasan dan pembersihan revolusioner yang cepat. Ia adalah korban yang tidak beruntung dari sebuah revolusi yang melahap anak-anaknya sendiri, tetapi yang warisannya tetap penting dalam memahami fondasi politik dan sosial Aceh.
Aceh hari ini, dengan segala kompleksitasnya, adalah hasil langsung dari kemenangan Ulama atas Uleebalang pada tahun 1946. Jika Teuku Nyak Arif dan kasta Uleebalang berhasil mempertahankan kekuasaan, mungkin Aceh akan memiliki karakter politik yang lebih sekuler atau setidaknya, lebih terbagi dalam pengaruh tradisional dan agama. Kematian Nyak Arif menutup pintu bagi jalur perkembangan politik tersebut, dan mengukuhkan Aceh sebagai benteng pertahanan berbasis Ulama yang dominan dalam sejarah selanjutnya.
Sebagai penutup, kisah Teuku Nyak Arif adalah sebuah peringatan historis. Ia adalah simbol dari harga mahal yang harus dibayar oleh para pemimpin yang mencoba menavigasi batas-batas yang rapuh antara tatanan lama yang sekarat dan gelombang revolusi yang tak terhindarkan. Kematiannya bukan akhir dari sebuah bab, melainkan titik balik yang mendefinisikan seluruh lintasan sejarah modern Aceh.