I. Pengantar: Peran Strategis dalam Kesehatan Pediatri
Dr. Utami Roesli, Sp.A., IBCLC, telah diakui secara luas sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya di bidang pediatri dan nutrisi anak. Dedikasinya yang tidak kenal lelah terhadap promosi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif telah mengubah paradigma perawatan bayi dan praktik klinis di rumah sakit dan fasilitas kesehatan primer di seluruh nusantara. Perjuangannya melampaui batas-batas klinis, merambah ke ranah advokasi kebijakan, pendidikan publik, dan perlawanan terhadap pemasaran susu formula yang agresif.
Pada dekade-dekade awal karirnya, situasi kesehatan bayi di Indonesia menghadapi tantangan besar. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas bayi seringkali dikaitkan dengan praktik pemberian makanan pendamping yang terlalu dini atau penggunaan susu formula yang tidak tepat dan tidak higienis. Dalam konteks ini, Utami Roesli muncul sebagai suara yang kuat, berani menentang arus dominan yang seringkali didorong oleh kepentingan komersial, dan kembali menegaskan keunggulan biologis serta ekonomi dari ASI.
Kontribusi Utami Roesli tidak hanya terfokus pada pemberian makan, melainkan juga pada pendekatan holistik terhadap ikatan ibu dan anak, yang ia yakini sebagai fondasi bagi perkembangan psikososial dan fisik optimal. Pendekatan ini kemudian menjadi tulang punggung dari program nasional ‘Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi’ (RSSIB) yang diadopsi dan diimplementasikan secara luas. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas perjalanan, falsafah, dan warisan abadi dari Utami Roesli dalam upaya meningkatkan kualitas hidup generasi penerus bangsa.
Visualisasi komitmen terhadap kesehatan yang berpusat pada hubungan ibu dan anak.
II. Latar Belakang dan Pembentukan Falsafah Kedokteran
A. Pendidikan dan Pengalaman Awal
Jalan Utami Roesli menuju advokasi kesehatan dimulai dari fondasi pendidikan kedokteran yang kokoh. Sebagai seorang spesialis anak (Sp.A.), ia memiliki pemahaman mendalam tentang patofisiologi penyakit anak. Namun, yang membedakannya adalah kesadaran bahwa banyak penyakit infeksi dan malnutrisi pada anak di negara berkembang, termasuk Indonesia, sebenarnya dapat dicegah melalui intervensi nutrisi yang sederhana, murah, dan alami: ASI.
Pengalaman klinisnya di berbagai fasilitas kesehatan, terutama yang melayani masyarakat menengah ke bawah, membuka matanya terhadap siklus tragis di mana kemiskinan, kurangnya pengetahuan, dan promosi susu formula yang tidak etis saling terkait, menyebabkan peningkatan angka diare, pneumonia, dan gizi buruk. Utami Roesli menyadari bahwa tugasnya bukan hanya mengobati, tetapi juga mengedukasi dan memberdayakan. Realisasi ini membentuk landasan filosofisnya: bahwa pencegahan berbasis komunitas jauh lebih efektif dan berkelanjutan daripada pengobatan berbasis rumah sakit.
B. Pengaruh dan Kajian Internasional
Transformasi pemikiran Utami Roesli diperkuat oleh keterlibatannya dengan gerakan kesehatan global. Ia sangat dipengaruhi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, khususnya dalam konteks ‘Kode Internasional Pemasaran Pengganti ASI’ (International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes) yang disahkan pada tahun 1981. Kajian ilmiah internasional secara konsisten menunjukkan bahwa ASI adalah nutrisi yang sempurna dan tak tergantikan, menawarkan kekebalan pasif, mempromosikan perkembangan kognitif yang optimal, dan mengurangi risiko berbagai penyakit kronis di kemudian hari.
Perolehan sertifikasi Konsultan Laktasi Internasional (IBCLC) memperkuat legitimasi dan keahliannya. Gelar ini menempatkannya pada posisi untuk tidak hanya mengadvokasi, tetapi juga memberikan pelatihan teknis dan solusi praktis untuk kesulitan menyusui yang sering dialami ibu. Utami Roesli mengintegrasikan pengetahuan ilmiah mutakhir ini dengan kearifan lokal, memastikan bahwa rekomendasi yang ia berikan bersifat kontekstual dan dapat diterapkan dalam masyarakat Indonesia yang beragam.
III. Pilar Revolusi ASI Eksklusif Indonesia
Advokasi Utami Roesli dapat dipetakan dalam tiga area utama: perubahan paradigma klinis, penguatan kebijakan nasional, dan pembentukan jaringan dukungan komunitas yang masif. Ketiga pilar ini bekerja secara simultan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung ibu menyusui.
A. Penghancuran Mitos dan Penegasan Keunggulan Kolostrum
Di awal perjuangannya, salah satu hambatan terbesar adalah mitos dan kesalahpahaman budaya seputar ASI. Banyak yang percaya bahwa kolostrum (ASI pertama) adalah ‘susu kotor’ atau tidak layak diberikan. Utami Roesli berperan penting dalam mendidik masyarakat dan tenaga kesehatan mengenai nilai emas kolostrum, yang kaya antibodi (terutama IgA) dan faktor pertumbuhan yang sangat penting untuk memproteksi saluran cerna bayi baru lahir.
Ia menekankan bahwa inisiasi menyusu dini (IMD) bukan sekadar prosedur, tetapi merupakan langkah vital untuk memastikan bayi mendapatkan kekebalan maksimal dalam jam-jam pertama kehidupan. Proses IMD, di mana bayi diletakkan di dada ibu segera setelah lahir, juga berfungsi sebagai inisiator produksi hormon oksitosin pada ibu, membantu kontraksi uterus, dan melancarkan produksi ASI selanjutnya.
B. Kebijakan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB)
Kontribusi paling transformatif Utami Roesli adalah perannya dalam pengembangan dan implementasi program RSSIB, yang merupakan adaptasi dari inisiatif global WHO/UNICEF "Baby-Friendly Hospital Initiative" (BFHI). Program ini menetapkan standar minimum pelayanan yang harus dipenuhi rumah sakit untuk memastikan dukungan maksimal terhadap proses menyusui. RSSIB di Indonesia, yang didorong kuat oleh Utami Roesli, mencakup ‘Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui’.
Sepuluh Langkah ini bukan hanya panduan klinis, tetapi sebuah perubahan filosofis total dalam cara rumah sakit memperlakukan proses kelahiran dan masa nifas. Di antara langkah-langkah krusial tersebut adalah:
- Memiliki kebijakan menyusui tertulis yang dikomunikasikan secara rutin kepada semua staf.
- Melatih semua staf dalam keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan.
- Mendidik semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen menyusui.
- Membantu ibu memulai menyusui dalam waktu setengah jam setelah lahir (IMD).
- Menunjukkan kepada ibu cara menyusui dan cara mempertahankan laktasi, bahkan jika mereka harus terpisah dari bayinya.
- Tidak memberikan makanan atau minuman lain kepada bayi baru lahir, kecuali diindikasikan secara medis.
- Mempraktikkan rawat gabung (rooming-in), memungkinkan ibu dan bayi untuk tinggal bersama 24 jam sehari.
- Mendorong menyusui sesuai permintaan (on demand).
- Tidak memberikan dot atau empeng kepada bayi menyusui.
- Mendorong pembentukan kelompok pendukung ASI dan merujuk ibu kepada mereka saat dipulangkan dari rumah sakit.
Implementasi RSSIB membutuhkan perombakan total budaya kerja di rumah sakit, terutama menantang praktik lama pemberian susu formula gratis atau penggunaan dot di ruang rawat inap. Utami Roesli gigih memastikan bahwa rumah sakit bertindak sebagai benteng pertahanan ASI, bukan sebagai titik masuk bagi produk pengganti ASI.
C. Menghadapi Tekanan Komersial
Perjuangan Utami Roesli tak terlepas dari konflik kepentingan dengan industri susu formula. Ia secara terbuka dan konsisten mengkritik taktik pemasaran yang melanggar Kode Internasional, termasuk pemberian sampel gratis kepada tenaga kesehatan, sponsor seminar, dan iklan yang menyesatkan. Ia berargumen bahwa pelanggaran kode etik ini secara langsung berkontribusi pada penurunan tingkat ASI eksklusif dan peningkatan risiko kesehatan bayi.
Utami Roesli memposisikan dirinya sebagai advokat perlindungan konsumen dan anak. Ia berulang kali menyerukan regulasi yang lebih ketat dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang menyalahgunakan kepercayaan ibu dan fasilitas kesehatan. Kritiknya ini sangat penting dalam mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat regulasi nasional terkait pengganti ASI, menjadikannya salah satu tokoh kunci di balik diterbitkannya berbagai peraturan menteri dan undang-undang yang mendukung ibu menyusui dan hak cuti melahirkan.
Penting untuk dicatat bahwa perlawanan ini bukanlah penolakan total terhadap susu formula, melainkan penegasan bahwa susu formula adalah produk medis yang hanya boleh digunakan atas indikasi medis yang jelas, bukan sebagai pilihan gaya hidup yang dipromosikan secara bebas kepada masyarakat umum yang mampu menyusui. Pandangan ini telah menjadi standar etika global yang diperjuangkan Utami Roesli di Indonesia.
D. Penguatan Kapasitas Tenaga Kesehatan
Menyadari bahwa perubahan kebijakan tanpa perubahan keterampilan adalah sia-sia, Utami Roesli memfokuskan upaya besarnya pada pelatihan. Ia mendirikan dan memimpin berbagai pelatihan laktasi yang mengajarkan teknik menyusui yang benar, cara menangani masalah umum (seperti puting lecet atau mastitis), dan yang paling penting, keterampilan konseling yang empatik.
Model pelatihannya menekankan bahwa Konselor Laktasi harus mampu mendengarkan dan mendukung, bukan menghakimi. Ini adalah pergeseran dari model kedokteran yang paternalistik menjadi model yang berpusat pada ibu. Utami Roesli memastikan bahwa ilmu laktasi disebarluaskan tidak hanya kepada dokter spesialis, tetapi juga kepada bidan, perawat, dan kader kesehatan di tingkat komunitas, menciptakan jaringan pengetahuan yang luas dan berkelanjutan.
Secara khusus, pelatihan tentang manajemen ASI bagi bayi sakit atau prematur menjadi fokus penting. Dalam situasi di mana formula sering dianggap sebagai solusi cepat, Utami Roesli menekankan pentingnya penggunaan ASI perah dan teknik Kangaroo Mother Care (KMC), yang telah terbukti secara ilmiah meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas perkembangan bayi berat lahir rendah.
Komitmennya pada edukasi formal ini menghasilkan ribuan tenaga kesehatan terampil di seluruh Indonesia yang kini menjadi garda terdepan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, mengukuhkan laktasi sebagai standar perawatan, bukan sekadar opsi pelengkap.
IV. Advokasi Kebijakan dan Pembangungan Jaringan Dukungan Komunitas
A. Kontribusi pada Legislasi Nasional
Utami Roesli menyadari bahwa perubahan budaya harus didukung oleh kerangka hukum yang kuat. Ia berperan aktif dalam tim perumus kebijakan yang menghasilkan regulasi penting, seperti Undang-Undang Kesehatan dan berbagai Peraturan Pemerintah yang secara eksplisit melindungi hak ibu untuk menyusui dan mengatur distribusi serta promosi pengganti ASI.
Peraturan ini memberikan mandat hukum bagi semua fasilitas kesehatan untuk menerapkan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui dan memastikan bahwa tempat kerja harus menyediakan fasilitas laktasi yang memadai. Advokasinya meluas hingga isu cuti melahirkan yang memadai, berargumen bahwa durasi cuti yang pendek secara signifikan menggagalkan upaya ASI eksklusif dan bertentangan dengan rekomendasi WHO selama enam bulan penuh.
Peran Utami Roesli dalam meyakinkan pembuat kebijakan didukung oleh data kesehatan yang valid dan analisis ekonomi yang menunjukkan bahwa investasi dalam ASI menghasilkan penghematan besar bagi sistem kesehatan negara, mengurangi biaya pengobatan penyakit anak, dan meningkatkan modal manusia di masa depan.
B. Gerakan Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI)
Salah satu strategi Utami Roesli yang paling efektif adalah desentralisasi dukungan melalui pembentukan Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) di tingkat komunitas. Ia percaya bahwa dukungan sebaya (peer support) adalah kunci untuk keberhasilan laktasi jangka panjang, terutama setelah ibu meninggalkan lingkungan yang terkontrol di rumah sakit.
KP-ASI berfungsi sebagai ruang aman bagi ibu untuk berbagi pengalaman, mengatasi kesulitan menyusui, dan melawan stigma sosial atau tekanan keluarga yang mungkin mendorong penggunaan formula. Utami Roesli mendidik para relawan KP-ASI untuk menjadi fasilitator yang berpengetahuan, menyebarkan informasi yang akurat dan berbasis bukti, serta menciptakan rasa solidaritas di antara para ibu.
Jaringan KP-ASI yang ia bangun menjadi fondasi vital bagi keberlanjutan program ASI nasional. Ini membuktikan filosofi bahwa kesehatan yang efektif harus merupakan gerakan yang didorong dari bawah ke atas (bottom-up), bukan hanya instruksi dari atas ke bawah.
C. Pendidikan Publik yang Berkelanjutan
Utami Roesli secara konsisten menggunakan platform publik—mulai dari media cetak, televisi, hingga seminar skala besar—untuk menyuarakan pesan-pesan kesehatan. Ia dikenal karena kemampuannya menyajikan data ilmiah yang kompleks ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Ia seringkali menjadi penengah dalam diskusi publik yang panas mengenai vaksinasi, nutrisi, dan isu kesehatan anak lainnya, selalu menekankan pendekatan yang rasional dan berbasis ilmu pengetahuan.
Kampanye publiknya tidak hanya berfokus pada ibu, tetapi juga pada ayah, keluarga besar, dan masyarakat umum. Ia menyoroti peran ayah sebagai pendukung utama dalam proses menyusui, karena keberhasilan laktasi sangat dipengaruhi oleh tingkat dukungan emosional dan praktis yang diterima ibu di rumah. Pendidikan ini bertujuan untuk menghancurkan pandangan bahwa menyusui adalah tanggung jawab eksklusif ibu, melainkan tanggung jawab bersama keluarga dan lingkungan sosial.
Aktivitasnya dalam penulisan buku dan materi edukasi juga sangat prolific. Buku-bukunya telah menjadi referensi standar bagi orang tua dan tenaga kesehatan, memberikan panduan praktis dan teoretis yang terperinci mengenai manajemen laktasi, nutrisi bayi, dan perawatan anak secara umum. Kontribusi literatur ini memastikan bahwa warisan pengetahuannya terus menjangkau generasi baru dokter dan keluarga.
D. Pendekatan Komprehensif dalam Nutrisi Anak
Meskipun fokus utamanya adalah ASI eksklusif selama enam bulan pertama, advokasi Utami Roesli selalu melihat nutrisi anak secara komprehensif. Ia sangat menekankan pentingnya Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat waktu, adekuat, aman, dan diberikan secara responsif (TAPR) setelah usia enam bulan.
Ia mengkritik praktik pemberian MPASI instan yang mahal dan kurang nutrisi. Sebaliknya, ia mempromosikan penggunaan bahan-bahan lokal yang murah dan mudah diakses, serta menekankan pembuatan MPASI rumahan yang segar. Pendekatan ini selaras dengan upaya pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga, memastikan bahwa rekomendasi nutrisi dapat diterapkan oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam konteks MPASI, Utami Roesli juga mendalami aspek psikologis pemberian makan. Ia menekankan pentingnya ‘responsive feeding’, yaitu memberi makan dengan memperhatikan sinyal lapar dan kenyang dari anak, menjauhi paksaan, dan menjadikan waktu makan sebagai momen pembelajaran dan ikatan, bukan konflik. Filosofi ini telah menjadi bagian integral dari pedoman nutrisi anak yang berlaku di Indonesia.
V. Falsafah Kedokteran dan Humanisme Utami Roesli
A. Kedokteran yang Berpusat pada Keluarga
Utami Roesli mempraktikkan model kedokteran yang melampaui fokus pada organ atau penyakit semata. Filosofi intinya adalah kedokteran yang berpusat pada keluarga (Family-Centered Care). Ia melihat bayi bukan sebagai pasien yang terisolasi, tetapi sebagai bagian dari unit keluarga yang harus didukung secara utuh.
Dalam konteks menyusui, ini berarti memahami dan menghormati dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi keputusan ibu. Ia berargumen bahwa kegagalan menyusui jarang disebabkan oleh ketidakmampuan biologis ibu, melainkan oleh kurangnya dukungan, informasi yang salah, atau hambatan institusional. Oleh karena itu, solusi medis harus selalu disertai dengan dukungan sosial dan psikologis.
Pendekatan humanis ini juga terlihat dalam penanganannya terhadap bayi sakit. Daripada memisahkan ibu dan bayi yang sakit—praktik standar yang umum pada masa lalu—ia mendorong rawat gabung sebisa mungkin, bahkan di unit perawatan intensif neonatus (NICU), percaya bahwa sentuhan dan kehadiran ibu adalah obat yang esensial. Ini mempromosikan praktik Kangaroo Mother Care (Perawatan Metode Kanguru/PMK) yang kini diakui secara global sebagai intervensi penyelamat bagi bayi prematur.
B. Integrasi Tradisi dan Sains
Salah satu kekuatan Utami Roesli adalah kemampuannya mengintegrasikan kearifan lokal yang positif dengan bukti ilmiah modern. Ia menghargai praktik-praktik budaya yang mendukung laktasi sambil secara tegas menolak tradisi yang terbukti membahayakan (seperti pemberian makanan padat terlalu dini). Ia mengajarkan bahwa sains modern mengkonfirmasi banyak kebijaksanaan tradisional seputar peran ibu, istirahat pascapersalinan, dan nutrisi yang baik.
Dengan cara ini, ia berhasil menghindari polarisasi antara kedokteran Barat dan praktik lokal, menjadikan rekomendasi ASI lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan dan tradisional yang mungkin skeptis terhadap intervensi medis modern. Integrasi ini memberikan legitimasi budaya terhadap program-program kesehatannya.
C. Etika dalam Praktik Kedokteran
Utami Roesli adalah penegak etika yang keras, terutama mengenai konflik kepentingan yang timbul dari interaksi antara dokter dan industri komersial. Ia berulang kali mengingatkan rekan-rekan sejawatnya tentang tanggung jawab moral mereka untuk memprioritaskan kesehatan pasien di atas insentif finansial.
Prinsip etika ini menjadi fundamental dalam usahanya melawan promosi susu formula di fasilitas kesehatan. Ia menekankan bahwa fasilitas kesehatan tidak boleh menjadi perpanjangan tangan pemasaran, melainkan harus tetap menjadi institusi netral yang memberikan informasi berdasarkan bukti terbaik, yang dalam hal nutrisi bayi, secara mutlak menunjuk pada ASI sebagai pilihan utama.
Pandangannya ini telah menginspirasi generasi dokter dan profesional kesehatan di Indonesia untuk mengadopsi standar profesionalisme yang lebih tinggi, menjauhkan praktik klinis dari pengaruh komersial yang merusak kesehatan publik.
D. Dampak Global dan Regional
Meskipun fokusnya adalah Indonesia, advokasi Utami Roesli memiliki resonansi global. Keberhasilannya dalam mengimplementasikan RSSIB dan Kode Internasional di negara yang menghadapi tantangan populasi dan ekonomi yang besar menjadikannya studi kasus yang penting di Asia Tenggara. Ia sering diundang sebagai pembicara internasional untuk berbagi pengalaman Indonesia dalam menghadapi tantangan laktasi.
Peranannya sebagai konsultan laktasi internasional juga membuka jalan bagi para profesional kesehatan Indonesia untuk berpartisipasi dalam jejaring pengetahuan global, memastikan bahwa Indonesia tidak tertinggal dalam praktik klinis terbaik di bidang pediatri dan nutrisi. Kepemimpinannya telah membantu mengangkat profil Indonesia dalam komunitas kesehatan dunia sebagai negara yang berkomitmen kuat pada hak anak dan ibu.
VI. Warisan dan Tantangan Berkelanjutan
A. Warisan Statistik dan Budaya
Dampak langsung dari perjuangan Utami Roesli tercermin dalam peningkatan signifikan tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Meskipun angka ini berfluktuasi, tren jangka panjang menunjukkan peningkatan kesadaran dan praktik laktasi yang jauh lebih baik dibandingkan era pra-advokasinya. Program RSSIB telah menjadi standar operasional yang diterima secara luas, dan IMD serta rawat gabung kini dipandang sebagai praktik kelahiran yang normal dan esensial.
Namun, warisan terbesarnya adalah perubahan budaya. ASI kini tidak lagi dipandang sebagai praktik kuno atau kelas bawah, melainkan sebagai investasi cerdas dalam kesehatan anak, yang didukung oleh sains dan direkomendasikan oleh profesional kesehatan terkemuka. Ia telah berhasil mendefinisikan ulang menyusui sebagai isu hak asasi manusia, bukan sekadar isu kesehatan pribadi.
B. Tantangan Modernisasi dan Perekonomian
Meskipun terjadi kemajuan, Utami Roesli dan para pengikutnya menghadapi tantangan baru seiring modernisasi Indonesia. Tantangan utama saat ini meliputi:
- Isu Ibu Bekerja: Tuntutan karir dan lingkungan kerja yang belum sepenuhnya ramah ASI seringkali memaksa ibu untuk menghentikan ASI eksklusif sebelum waktunya. Perjuangan untuk ruang laktasi yang memadai dan jam kerja yang fleksibel tetap menjadi medan pertempuran penting.
- Misinformasi Digital: Media sosial dan internet telah menjadi sarana baru bagi penyebaran mitos dan promosi terselubung susu formula, membuat ibu muda rentan terhadap informasi yang salah yang disajikan dengan kemasan menarik.
- Kesenjangan Implementasi: Meskipun kebijakan sudah ada (RSSIB), implementasi di daerah terpencil atau di rumah sakit swasta yang kurang diawasi masih menjadi masalah. Konsistensi dalam pelatihan dan audit kepatuhan harus terus ditingkatkan.
- Isu Stunting: Meskipun ASI eksklusif adalah fondasi, Utami Roesli selalu menekankan bahwa stunting (kekerdilan) adalah masalah multisektoral yang juga memerlukan peningkatan sanitasi, air bersih, dan nutrisi ibu hamil. Perjuangan melawan stunting memerlukan integrasi yang lebih dalam dari semua sektor kesehatan dan non-kesehatan.
Menghadapi tantangan ini, Utami Roesli terus menyerukan perlunya pengawasan ketat terhadap implementasi kebijakan dan peningkatan anggaran untuk program edukasi di tingkat desa. Ia juga mendorong penggunaan teknologi untuk menyebarkan informasi yang benar dan menyediakan dukungan jarak jauh bagi ibu yang tidak memiliki akses ke konselor laktasi secara fisik.
C. Peran Lanjutan dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Bagi Utami Roesli, pemberian ASI bukan hanya tentang nutrisi; itu adalah investasi dalam pembangunan karakter. Ia sering mengaitkan manfaat menyusui dengan ikatan emosional yang kuat antara ibu dan anak, yang ia yakini akan menghasilkan generasi yang lebih stabil secara emosional, lebih cerdas, dan memiliki rasa kepedulian yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ASI adalah kontributor bagi ketahanan psikososial bangsa.
Oleh karena itu, warisan Utami Roesli adalah cetak biru untuk sistem kesehatan yang tidak hanya berorientasi pada penyembuhan penyakit, tetapi juga pada penguatan fondasi hubungan manusia dan pencegahan yang berkelanjutan. Kontribusinya telah memastikan bahwa setiap bayi Indonesia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memulai kehidupan dengan cara yang paling alami dan optimal.
D. Mendalami Prinsip Sepuluh Langkah: Kunci Keberlanjutan
Untuk memastikan warisan ini abadi, pemahaman mendalam tentang setiap poin dalam "Sepuluh Langkah" yang ia advokasi sangat penting. Utami Roesli mengajarkan bahwa langkah-langkah ini tidak dapat dipilih-pilih; mereka adalah sebuah sistem holistik yang saling mendukung.
Sebagai contoh, Langkah 7, Rawat Gabung (Rooming-in), bukan hanya kenyamanan. Secara ilmiah, rawat gabung meningkatkan sensitivitas ibu terhadap sinyal awal menyusui (cues) bayi, meningkatkan frekuensi menyusui, dan dengan demikian, meningkatkan produksi ASI. Ini juga secara dramatis mengurangi risiko infeksi nosokomial pada bayi.
Demikian pula, Langkah 9, Larangan Dot dan Empeng, sering disalahpahami. Utami Roesli menjelaskan bahwa ini adalah tentang mencegah kebingungan puting (nipple confusion) yang dapat terjadi karena mekanisme isap yang berbeda antara dot dan payudara, sehingga menjaga efektivitas proses menyusui yang vital untuk stimulasi laktasi yang memadai. Penegasan detail-detail teknis inilah yang menjadikan Utami Roesli seorang pendidik yang ulung.
Penguatan implementasi Sepuluh Langkah di Puskesmas, yang berada di garda terdepan pelayanan kesehatan primer, adalah fokus yang terus ditekankan. Ia melihat Puskesmas sebagai pahlawan yang sebenarnya dalam mencapai target kesehatan masyarakat, karena mereka yang paling dekat dengan realitas hidup sehari-hari ibu dan anak di komunitas.
E. Perjuangan Melawan Kekurangan Gizi Ganda
Utami Roesli sering mengangkat isu “beban ganda malnutrisi” di Indonesia—di mana kekurangan gizi (stunting) dan kelebihan gizi (obesitas) dapat terjadi dalam keluarga yang sama. Ia menunjukkan bahwa ASI eksklusif adalah salah satu intervensi tunggal terbaik yang mengatasi kedua ekstrem ini.
ASI, dengan komposisi nutrisi yang dinamis dan berubah sesuai kebutuhan bayi, membantu mengatur metabolisme bayi dan memprogram risiko penyakit kronis (seperti diabetes dan penyakit jantung) di kemudian hari. Oleh karena itu, advokasinya melampaui kesehatan bayi, menjadi pencegahan penyakit tidak menular (PTM) di masa dewasa. Perspektif jangka panjang ini adalah inti dari visi kesehatan publik Utami Roesli.
F. Mengembangkan Infrastruktur Bank ASI
Dalam beberapa tahun terakhir, Utami Roesli juga terlibat aktif dalam diskusi mengenai kebutuhan akan infrastruktur Bank ASI (Human Milk Bank) di Indonesia. Meskipun ia selalu menekankan bahwa ASI ibu sendiri adalah yang terbaik, ia menyadari bahwa ada situasi medis tertentu (seperti pada bayi prematur yang ibunya meninggal atau sangat sakit) di mana donor ASI dari Bank ASI yang tersaring dan aman dapat menjadi penyelamat nyawa.
Namun, ia juga memastikan bahwa diskusi mengenai Bank ASI di Indonesia harus selaras dengan nilai-nilai agama dan sosial yang berlaku, menyoroti kompleksitas masalah mahram (persaudaraan sesusuan). Keseimbangan antara kebutuhan medis mendesak dan kepatuhan terhadap norma sosial menunjukkan pendekatan Utami Roesli yang selalu komprehensif dan peka terhadap konteks lokal.
G. Peran Ayah dan Keseimbangan Gender
Dalam banyak wawancaranya, Utami Roesli menantang stereotip gender yang membebani ibu dengan semua tanggung jawab pengasuhan. Ia secara tegas menempatkan “dukungan ayah” sebagai komponen kritis dari manajemen laktasi yang sukses.
Dukungan ayah bukan hanya finansial, tetapi meliputi dukungan emosional, membantu pekerjaan rumah tangga agar ibu dapat beristirahat, dan bertindak sebagai “penjaga gerbang” yang melindungi ibu dari tekanan atau kritik dari anggota keluarga besar. Melalui pelatihan dan publikasinya, ia mendefinisikan ulang peran ayah dalam seribu hari pertama kehidupan, mengangkatnya dari peran pasif menjadi mitra aktif dalam kesehatan anak.
Advokasi ini memiliki implikasi sosial yang lebih luas, mempromosikan pembagian tanggung jawab pengasuhan yang lebih setara dan berkontribusi pada keseimbangan gender yang lebih baik dalam rumah tangga Indonesia.
H. Menghidupkan Kembali Praktik Pijat Oksitosin
Di antara banyak teknik laktasi yang ia ajarkan, Utami Roesli secara konsisten mempromosikan teknik non-farmakologis, seperti pijat oksitosin. Ia mengajarkan bahwa stres dan kurangnya dukungan dapat menghambat pelepasan hormon oksitosin, yang esensial untuk refleks let-down (pengeluaran ASI).
Pijat oksitosin, yang dapat dilakukan oleh suami atau keluarga, adalah intervensi sederhana namun kuat yang meningkatkan kenyamanan ibu dan secara langsung mendukung produksi dan pelepasan ASI. Dengan mempromosikan praktik seperti ini, ia menghubungkan kembali perawatan laktasi dengan sentuhan, keintiman, dan dukungan emosional, memperkuat pendekatan humanistiknya terhadap kedokteran.
I. Manajemen Konflik dan Kritik
Sebagai seorang advokat yang vokal, Utami Roesli tentu menghadapi kritik dan penolakan, terutama dari pihak yang menentang Kode Internasional dan industri terkait. Namun, ia dikenal karena kemampuannya mempertahankan argumennya dengan dasar ilmiah yang kuat dan data yang tak terbantahkan, jarang terpancing pada serangan pribadi.
Pendekatan manajemen konflik yang ia gunakan adalah pendidikan yang konsisten. Ketika ia menghadapi skeptisisme dari sesama profesional medis atau masyarakat, responsnya selalu kembali ke bukti ilmiah: "Mengapa ASI adalah yang terbaik? Lihatlah komposisi imunologisnya. Lihatlah angka stunting. Data tidak pernah berbohong." Integritas ilmiahnya menjadi perisai terkuatnya dalam arena debat publik.
J. Pelatihan Konselor Laktasi: Mencetak Agen Perubahan
Warisan terpenting Utami Roesli mungkin terletak pada ribuan Konselor Laktasi dan pendukung ASI yang telah ia latih dan inspirasi. Ia menciptakan sebuah “gerakan profesional” yang kini memiliki kompetensi formal untuk mengatasi masalah laktasi yang kompleks.
Pelatihan yang ia susun menekankan bahwa konseling adalah keterampilan seumur hidup. Itu mencakup aspek teknis (pelekatan, posisi), aspek biologis (endokrinologi laktasi), dan aspek konseling (mendengarkan aktif, mengatasi hambatan psikologis). Dengan demikian, ia memastikan bahwa warisan pengetahuannya terus diwariskan dan beradaptasi dengan tantangan kesehatan generasi baru.
Setiap konselor laktasi yang dibentuk oleh Utami Roesli adalah sebuah ‘replikasi’ dari prinsip-prinsipnya: berbasis bukti, humanis, dan berorientasi pada pemberdayaan ibu.
K. Visi untuk Seribu Hari Pertama Kehidupan
Utami Roesli adalah salah satu pelopor yang paling awal menyuarakan pentingnya “Seribu Hari Pertama Kehidupan” (dari konsepsi hingga ulang tahun kedua anak). Ia secara konsisten berargumen bahwa periode ini adalah jendela kritis di mana nutrisi dan stimulasi menentukan potensi kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas seseorang seumur hidupnya.
Advokasinya tentang ASI eksklusif dan MPASI yang tepat hanya sebagian dari visi yang lebih besar ini. Visi tersebut mencakup pentingnya nutrisi ibu selama kehamilan, pencegahan anemia, dan stimulasi tumbuh kembang. Ia memastikan bahwa program ASI tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi erat dengan program kesehatan ibu hamil dan keluarga berencana.
Dengan menempatkan fokus pada 1000 hari ini, ia membantu menggeser kebijakan kesehatan Indonesia dari sekadar penanganan penyakit menjadi investasi serius dalam potensi masa depan anak-anak, mengukuhkan perannya sebagai visioner kesehatan publik.
L. Memperluas Dukungan pada Ibu yang Bekerja
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja menciptakan dilema antara kewajiban profesional dan keinginan untuk memberikan ASI eksklusif. Utami Roesli memimpin advokasi untuk lingkungan kerja yang mendukung laktasi.
Ini mencakup kampanye untuk “Ruang Menyusui/Perah ASI” yang layak, higienis, dan pribadi di kantor, serta penegasan kembali hak cuti melahirkan yang memadai dan jam kerja yang fleksibel. Ia mengajarkan teknik “memerah ASI” dan penyimpanan yang aman, memberdayakan ibu untuk tetap menyusui meskipun mereka harus berpisah dari bayinya selama jam kerja. Dengan mengatasi tantangan praktis ini, ia menjembatani jurang antara tuntutan ekonomi modern dan kebutuhan biologis bayi.
M. Inovasi dalam Edukasi Massa
Untuk mencapai skala populasi Indonesia yang sangat besar dan tersebar, Utami Roesli telah menjadi pendukung aktif inovasi dalam metode edukasi. Ia mendorong penggunaan teknologi komunikasi (telepon, pesan singkat, aplikasi) untuk menyebarkan informasi laktasi dan dukungan.
Ia menyadari bahwa ceramah tatap muka tradisional tidak cukup menjangkau ibu di daerah terpencil atau yang sibuk. Oleh karena itu, ia mendukung pengembangan konten digital dan pelatihan daring bagi kader kesehatan, memastikan bahwa dukungan laktasi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, terlepas dari lokasi geografis mereka.
N. Peran Dalam Pencegahan Non-Komunikasi Penyakit
Seringkali dibahas manfaat ASI dalam pencegahan penyakit menular (seperti diare dan infeksi pernapasan), tetapi Utami Roesli juga sangat menekankan peran ASI dalam mengurangi risiko penyakit non-komunikasi (Non-Communicable Diseases/NCDs) di masa dewasa, seperti obesitas, hipertensi, dan alergi.
Ia menjelaskan bahwa ASI mengandung hormon dan faktor pertumbuhan yang membantu “memprogram” metabolisme anak untuk kesehatan optimal. Melalui advokasi ini, ia berhasil menempatkan ASI bukan hanya sebagai solusi jangka pendek untuk bayi, tetapi sebagai intervensi kesehatan masyarakat yang strategis untuk mengurangi beban PTM yang sangat besar pada sistem kesehatan nasional di masa depan.
O. Keterlibatan dengan Organisasi Non-Pemerintah (NGO)
Selain bekerja melalui saluran pemerintah dan klinis, Utami Roesli juga sangat efektif dalam bermitra dengan NGO domestik dan internasional. Kolaborasi ini memberinya fleksibilitas untuk meluncurkan program percontohan, melakukan penelitian independen, dan menguji model intervensi baru sebelum diterapkan dalam skala nasional.
Keterlibatannya dengan lembaga-lembaga seperti IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), WHO, UNICEF, dan berbagai yayasan laktasi memastikan bahwa gerakan Pro-ASI di Indonesia tetap dinamis, didanai dengan baik, dan relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terbaru.
P. Pembelaan Hak Asasi Anak
Pada intinya, advokasi Utami Roesli adalah pembelaan terhadap Hak Asasi Anak. Ia berargumen bahwa setiap anak berhak mendapatkan nutrisi terbaik (ASI) dan dukungan emosional yang optimal, dan bahwa negara serta masyarakat memiliki kewajiban untuk memastikan hak tersebut terpenuhi.
Dengan membingkai isu menyusui sebagai hak dan bukan sebagai pilihan semata, ia memberikan bobot moral dan hukum yang signifikan pada perjuangannya. Pandangan ini telah membantu mengarahkan fokus kebijakan publik dari sekadar ‘saran’ menjadi ‘mandat’ dalam upaya peningkatan status kesehatan anak di Indonesia.
Q. Pengembangan Kurikulum Laktasi
Untuk memastikan warisan keilmuannya lestari, Utami Roesli memainkan peran krusial dalam memasukkan ilmu laktasi ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran dan kebidanan di berbagai institusi. Ia menyadari bahwa jika generasi profesional kesehatan mendatang tidak diajarkan secara komprehensif tentang laktasi, kemajuan yang telah dicapai akan terancam.
Melalui upayanya, laktasi diangkat statusnya dari sekadar “pelajaran tambahan” menjadi disiplin ilmu yang terintegrasi, memastikan bahwa setiap lulusan tenaga kesehatan memiliki kompetensi dasar yang kuat dalam mendukung ibu menyusui.
R. Konsep ‘Dukungan Ibu’ sebagai Intervensi Medis
Utami Roesli secara konsisten mengemukakan konsep bahwa dukungan psikologis dan emosional bagi ibu adalah intervensi medis yang sama pentingnya dengan obat atau prosedur. Ia mengajarkan bahwa depresi pascapersalinan, kecemasan, dan kelelahan adalah penghalang utama bagi produksi ASI, dan oleh karena itu, penanganan kesehatan mental ibu harus diintegrasikan ke dalam perawatan pediatri.
Ia mendorong konselor dan dokter untuk bertanya tentang kesejahteraan ibu secara keseluruhan, bukan hanya tentang berapa banyak ASI yang diproduksi. Perspektif yang berorientasi pada ibu ini telah merevolusi cara perawatan pascapersalinan diberikan di Indonesia.
S. Filosofi Pemberdayaan Ibu
Pemberdayaan adalah kata kunci dalam filosofi Utami Roesli. Ia tidak ingin ibu hanya menjadi penerima instruksi, tetapi menjadi agen yang percaya diri dan berpengetahuan dalam mengasuh anak mereka. Ia selalu memberikan informasi yang seimbang, menjelaskan ‘mengapa’ di balik setiap rekomendasi.
Dengan memberikan ibu alat pengetahuan yang kuat, ia mengurangi ketergantungan mereka pada saran-saran yang tidak berdasar dari lingkungan sosial atau iklan. Pemberdayaan ini, pada akhirnya, menghasilkan ibu yang lebih mandiri dan mampu membuat keputusan kesehatan yang tepat untuk keluarga mereka.
T. Kesinambungan Penelitian dan Publikasi
Untuk menjaga momentum advokasi, Utami Roesli terus menekankan pentingnya penelitian lokal. Data-data dari negara maju tidak selalu relevan dengan konteks Indonesia, yang memiliki variasi budaya dan nutrisi yang unik. Ia mendorong penelitian yang berfokus pada efektivitas program RSSIB di Indonesia, dampak ekonomi dari menyusui, dan analisis pola makan MPASI lokal.
Melalui publikasi ilmiah dan populer, ia memastikan bahwa gerakan Pro-ASI Indonesia didasarkan pada bukti yang relevan dan terkini, memperkuat kredibilitasnya di mata komunitas ilmiah dan publik.
VII. Penutup: Utami Roesli, Sang Legenda Kesehatan Publik
Dr. Utami Roesli adalah lebih dari sekadar dokter spesialis anak; ia adalah reformis sosial yang menggunakan ilmu kedokteran sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan nutrisi dan hak-hak anak. Melalui dedikasinya pada ASI eksklusif, ia tidak hanya menyelamatkan nyawa bayi tetapi juga membangun fondasi yang lebih kokoh untuk kesehatan dan potensi ekonomi Indonesia di masa depan.
Warisan perjuangannya adalah sebuah ekosistem dukungan yang terdiri dari kebijakan yang melindungi, fasilitas kesehatan yang ramah ibu dan bayi, dan jaringan komunitas yang peduli. Meskipun tantangan modern terus muncul, prinsip-prinsip yang ia tanamkan—berbasis bukti, humanis, dan berpusat pada keluarga—tetap menjadi kompas yang memandu program kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Kontribusi abadi Utami Roesli memastikan bahwa generasi mendatang akan terus mendapatkan awal kehidupan yang terbaik.
Ia adalah contoh nyata bagaimana semangat satu individu, didukung oleh integritas ilmiah dan kegigihan advokasi, dapat menghasilkan perubahan monumental dalam skala nasional, menetapkan standar emas dalam perawatan pediatri yang diakui dan dihormati hingga hari ini.