Kisah Nabi Yunus adalah salah satu narasi paling dramatis dan penuh pelajaran dalam Alkitab, khususnya tercatat dalam Kitab Yunus. Ia dikenal sebagai seorang nabi yang diperintahkan oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan peringatan kepada kota Niniwe, ibu kota Asyur yang terkenal dengan kekejaman dan kejahatannya. Namun, alih-alih menjalankan tugas kenabiannya, Yunus justru memilih untuk memberontak dan melarikan diri dari hadirat Tuhan.
Perintah Tuhan kepada Yunus jelas: "Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan serukanlah khotbah terhadapnya, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku" (Yunus 1:2). Alih-alih mematuhi, Yunus memilih untuk "melarikan diri ke Tarsis dari hadirat TUHAN" (Yunus 1:3). Keputusan ini bukanlah sekadar penolakan perintah, tetapi sebuah tindakan pemberontakan yang didasari oleh beberapa kemungkinan tafsir. Ada kemungkinan Yunus memiliki prasangka terhadap bangsa Asyur, musuh bebuyutan Israel, dan tidak ingin mereka mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Atau, mungkin ia khawatir jika Niniwe bertobat, mereka akan menjadi lebih kuat dan menjadi ancaman yang lebih besar bagi bangsanya.
Dalam pelariannya, Yunus turun ke Yopa dan menemukan kapal yang berlayar ke Tarsis. Ia membayar ongkosnya dan naik ke kapal, berharap dapat menjauh sejauh mungkin dari panggilan Tuhan. Namun, Tuhan tidak pernah melepaskan umat-Nya, bahkan dalam pemberontakan mereka. Tuhan mengirimkan angin badai yang dahsyat ke laut, sehingga kapal itu terancam karam. Para pelaut, yang ketakutan, berseru kepada dewa-dewa mereka. Sementara itu, Yunus tertidur pulas di bagian bawah kapal, seolah-olah tak terpengaruh oleh malapetaka yang sedang terjadi.
Nakhoda kapal menemukan Yunus dan mendesaknya untuk berdoa kepada dewanya. Dalam situasi genting itu, para pelaut sepakat untuk membuang undi untuk mengetahui siapa penyebab malapetaka tersebut. Undi jatuh kepada Yunus. Setelah diinterogasi, Yunus mengakui bahwa ia adalah orang Ibrani yang takut akan TUHAN, Allah semesta langit, yang telah menjadikan laut dan daratan, dan bahwa ia sedang melarikan diri dari hadirat-Nya. Menyadari kebesaran Tuhan yang disembah Yunus, para pelaut menjadi sangat ketakutan.
Atas permintaan Yunus sendiri, ia pun dilemparkan ke laut agar badai mereda. Dan ajaibnya, ketika Yunus ditenggelamkan, badai pun reda. Tuhan, dalam kuasa-Nya yang tak terbatas, telah menyediakan seekor ikan besar untuk menelan Yunus. Yunus berada di dalam perut ikan itu selama tiga hari tiga malam. Ini adalah momen krusial dalam kisah Yunus, sebuah periode perenungan dan pertobatan yang mendalam.
Di dalam kegelapan dan keterasingan, Yunus akhirnya menyadari kesalahannya. Dari dalam perut ikan, ia berdoa kepada Tuhan, mengakui dosanya dan ketidaktaatannya. Doanya adalah ungkapan penyesalan dan penyerahan diri: "Dalam kesesakan aku berseru-seru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak; Engkau mendengar suaraku. Engkau telah melemparkan aku ke tempat yang dalam, ke jantung lautan, dan arus mengelilingi aku; segala arus-Mu dan gelombang-Mu melanda aku... Tetapi aku, dengan suara syukur akan kupersembahkan korban kepada-Mu; apa yang telah kuikrarkan akan kubayar. Keselamatan adalah dari TUHAN!" (Yunus 2:3-10).
Tuhan mendengar doa Yunus dan memerintahkan ikan itu untuk memuntahkannya ke darat. Setelah peristiwa dramatis ini, perintah Tuhan datang kepada Yunus untuk kedua kalinya: "Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan sampaikanlah pesan yang akan Kukatakan kepadamu" (Yunus 3:2). Kali ini, Yunus taat.
Ia pergi ke Niniwe dan mulai memberitakan, "Empat puluh hari lagi, dan Niniwe akan dibalikkan!" (Yunus 3:4). Pesan ini, meskipun singkat dan tanpa penjelasan lebih lanjut, memiliki dampak yang luar biasa. Seluruh kota Niniwe, dari yang terbesar hingga yang terkecil, percaya kepada perkataan Yunus. Mereka mengenakan kain kabung, duduk di atas abu, dan berpuasa sebagai tanda pertobatan. Raja Niniwe sendiri turun dari takhtanya, menanggalkan jubah kebesarannya, dan ikut bertobat.
Melihat pertobatan yang tulus dari seluruh penduduk Niniwe, Tuhan mengasihani mereka dan membatalkan hukuman yang telah dijanjikan. Ini adalah momen krusial yang seharusnya membawa sukacita bagi Yunus, namun sebaliknya, hal ini justru membuat Yunus "sangat tidak senang dan menjadi marah" (Yunus 4:1). Yunus menyatakan ketidakpuasannya kepada Tuhan, mengatakan bahwa ia tahu Tuhan adalah Allah yang pengasih dan penyayang, yang lambat marah dan berlimpah kasih setia, dan yang menyesali malapetaka (Yunus 4:2).
Tuhan kemudian memberikan pelajaran terakhir kepada Yunus melalui sebuah tanaman jarak yang tumbuh dengan cepat dan memberikan naungan kepadanya, lalu layu seketika keesokan harinya. Tuhan menggunakan kejadian ini untuk menunjukkan kepada Yunus betapa ia peduli pada tanaman tersebut, yang tidak ia kerjakan atau tumbuhkan. "Masakan Aku tidak akan menyayangkan Niniwe, kota yang besar itu, yang tidak dapat membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan begitu banyak manusia di dalamnya, dan juga banyak hewan?" (Yunus 4:11). Pelajaran ini menekankan kasih Tuhan yang universal, yang mencakup semua makhluk, bahkan musuh Israel.
Kisah Yunus dalam Alkitab menawarkan banyak pelajaran penting. Pertama, ini adalah peringatan tentang bahaya kesombongan rohani dan kecenderungan untuk menghakimi orang lain. Kedua, kisah ini menyoroti anugerah dan kasih karunia Tuhan yang tak terbatas, yang bahkan kepada mereka yang dianggap layak dihukum, masih diberikan kesempatan untuk bertobat. Ketiga, Yunus menjadi simbol dari sifat Tuhan yang universal dan inklusif. Penolakannya untuk mengasihi musuh-musuhnya akhirnya mengajarkannya tentang betapa pentingnya belas kasihan ilahi.
Bagi umat Kristen, kisah Yunus juga memiliki makna profetik. Yesus sendiri merujuk pada "tanda Yunus" ketika orang-orang Farisi meminta tanda. Ia berkata, "Sebab seperti Yunus berada tiga hari tiga malam di perut ikan besar, demikian juga Anak Manusia akan berada tiga hari tiga malam di dalam hati bumi" (Matius 12:40). Ini menjadi gambaran bagi kematian dan kebangkitan Kristus, yang melalui-Nya keselamatan ditawarkan kepada semua bangsa, bukan hanya kepada satu kelompok tertentu. Kisah Yunus tetap relevan hingga kini, mengajarkan tentang pentingnya ketaatan, kerendahan hati, dan kasih yang melampaui batas.