Surah Ali Imran, ayat 130 hingga 140, merupakan bagian penting dalam Al-Qur'an yang memberikan petunjuk ilahi mendalam terkait bagaimana seorang mukmin seharusnya menghadapi kehidupan, terutama dalam situasi yang penuh tantangan dan cobaan. Ayat-ayat ini secara spesifik berbicara tentang larangan memakan riba, anjuran untuk bertakwa kepada Allah, bersabar, dan bertawakal. Pesan-pesan ini bukan sekadar larangan dan anjuran biasa, melainkan fondasi spiritual dan praktis yang berujung pada kemenangan hakiki di dunia maupun akhirat.
Ayat 130 dari Surah Ali Imran secara tegas melarang umat Islam memakan harta riba. Riba, dalam konteks ekonomi Islam, adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara tidak sah. Larangan ini memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya pada ranah ekonomi, tetapi juga pada tatanan sosial dan spiritual. Dengan melarang riba, Islam berupaya membangun sistem ekonomi yang adil, yang menghindari penumpukan kekayaan pada segelintir orang melalui eksploitasi, serta mendorong adanya distribusi kekayaan yang lebih merata.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Terjemahan: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda [144] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imran: 130)
Ayat ini mengaitkan larangan riba dengan dua hal mendasar: ketakwaan kepada Allah dan harapan untuk meraih keberuntungan (falah). Keberuntungan di sini mencakup kesuksesan dan kebahagiaan duniawi serta keselamatan di akhirat. Sistem ekonomi yang bebas riba akan menciptakan stabilitas, mengurangi kesenjangan sosial, dan mendorong jiwa beramal untuk saling membantu, bukan hanya mengeruk keuntungan pribadi.
Selanjutnya, ayat-ayat berikutnya dalam rentang Al Imran 130-140 menekankan pentingnya takwa dan kesabaran. Ketaqwaan adalah kesadaran mendalam akan keberadaan Allah, selalu merasa diawasi oleh-Nya, dan berusaha menjalankan segala perintah serta menjauhi segala larangan-Nya. Kesabaran, di sisi lain, adalah kemampuan untuk menahan diri dari keluh kesah, kemarahan, atau keputusasaan ketika menghadapi musibah, kesulitan, atau godaan.
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Terjemahan: "Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (QS. Ali Imran: 131)
Ayat 131 mengingatkan tentang adanya neraka sebagai balasan bagi orang-orang kafir, sebuah peringatan yang seharusnya mendorong setiap mukmin untuk senantiasa meningkatkan ketakwaannya. Kemudian, ayat-ayat selanjutnya berbicara tentang balasan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Terjemahan: "Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat." (QS. Ali Imran: 132)
Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah manifestasi nyata dari ketakwaan. Buah dari ketaatan ini adalah rahmat Allah yang luas, yang akan menuntun hamba-Nya menuju kebahagiaan sejati.
Takwa dan sabar merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam perjalanan seorang mukmin. Ketika dihadapkan pada cobaan, kesabaran menjadi benteng pertahanan, sementara takwa menjadi kompas yang mengarahkan untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip Ilahi. Keduanya adalah syarat utama untuk meraih kemenangan, baik dalam menghadapi ujian pribadi, tantangan sosial, maupun dalam perjuangan menegakkan kebenaran.
Surah Ali Imran ayat 133-136 menggambarkan betapa besar balasan yang disiapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertakwa dan bersabar. Mereka dijanjikan ampunan dosa, surga yang luasnya seluas langit dan bumi, serta disediakan untuk mereka yang bertakwa. Ini adalah janji yang sangat menggembirakan, menunjukkan bahwa segala kesulitan dan perjuangan di dunia akan terbayar lunas di hadapan Sang Pencipta.
سَابِقُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Terjemahan: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan (mendapatkan) surga, yang luasnya (seperti) luasnya langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 133)
Ayat ini juga menekankan pentingnya "bersegera" dalam meraih ampunan dan surga. Ini bukan tentang menunda-nunda amal kebaikan, melainkan tentang kesigapan dalam menjalankan perintah Allah. Nikmat yang dijanjikan ini adalah anugerah dari Allah, yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, menunjukkan kebesaran dan kemurahan hati-Nya.
Ayat 134-136 melukiskan profil orang-orang yang bertakwa, yang menjadi pewaris surga tersebut. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berinfak, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Mereka juga mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan, ketika mereka terjerumus ke dalam perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, memohon ampunan, dan tidak meneruskan perbuatannya.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Terjemahan: "(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Ali Imran: 134)
Sifat murah hati, pengendalian diri, dan pemaaf adalah pilar-pilar penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Sifat-sifat inilah yang mencerminkan kedalaman ketakwaan seseorang.
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Terjemahan: "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan apa yang telah mereka kerjakan, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran: 135)
Introspeksi diri, penyesalan yang tulus, dan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan adalah bukti kematangan spiritual. Ini menunjukkan bahwa taubat nasuha adalah jalan yang selalu terbuka bagi siapa pun yang kembali kepada Allah.
Terakhir, ayat 137-140 mengajak kita untuk merenungkan nasib umat-umat terdahulu yang mendustakan ayat-ayat Allah. Allah telah menetapkan sunnah (hukum alam) yang pasti: barangsiapa yang mengingkari kebenaran, maka akan ada konsekuensinya. Namun, bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, Allah akan senantiasa memberikan pertolongan dan kemenangan. Hal ini mengajarkan pentingnya tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin.
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Terjemahan: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah Allah; maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. Ali Imran: 137)
Ayat-ayat ini mengajak kita untuk belajar dari sejarah. Pengalaman umat-umat terdahulu menjadi pelajaran berharga. Kekalahan dan kehancuran mereka adalah akibat dari kekufuran dan kedustaan. Sebaliknya, kemenangan selalu menyertai orang-orang yang beriman dan bertakwa.
Oleh karena itu, Al Imran 130-140 adalah sebuah paket panduan komprehensif. Dimulai dari larangan praktik ekonomi yang merusak, dilanjutkan dengan penekanan pada nilai-nilai spiritual fundamental seperti takwa, kesabaran, kedermawanan, pengendalian diri, dan pemaafan. Puncaknya adalah janji kemenangan dan surga bagi mereka yang menjalankan nilai-nilai tersebut, serta ajakan untuk terus berjuang di jalan Allah dengan penuh tawakal. Pesan-pesan ini relevan sepanjang masa, menjadi cahaya penuntun bagi setiap mukmin dalam mengarungi kehidupan demi meraih keberuntungan sejati.