Ayat ke-18 dari Surah Ali Imran adalah salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa. Ia tidak hanya menegaskan fondasi utama ajaran Islam, yaitu tauhid (keesaan Allah), tetapi juga mengungkap pengakuan yang datang dari kalangan ahli kitab yang beriman. Ayat ini sering kali menjadi rujukan penting dalam diskusi mengenai kebenaran Islam, toleransi beragama, dan sifat iman yang sejati. Memahami ayat ini secara mendalam akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana ajaran ilahi diterima dan diakui oleh berbagai pihak.
Pokok utama dari ayat ini adalah kesaksian Allah sendiri mengenai keesaan-Nya. Frasa "شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ" menegaskan secara langsung dan tak terbantahkan bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang berhak disembah) selain Allah. Kesaksian ini adalah bukti paling otentik dan tertinggi. Dalam konteks teologi Islam, tauhid adalah pilar fundamental yang membedakan keimanan seorang Muslim. Ini bukan sekadar pengakuan verbal, tetapi sebuah keyakinan mendalam yang membentuk seluruh cara pandang dan tindakan seorang mukmin terhadap kehidupan, alam semesta, dan Penciptanya.
Lebih lanjut, kesaksian ini tidak hanya datang dari Allah semata. Allah melanjutkannya dengan menyebutkan "وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ" (para malaikat dan orang-orang berilmu). Ini menunjukkan adanya keselarasan kesaksian dari makhluk-makhluk yang paling mulia dan mereka yang dianugerahi ilmu pengetahuan. Para malaikat, sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling dekat dengan-Nya, senantiasa bertasbih dan mengagungkan-Nya. Sementara itu, "أُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ" merujuk pada orang-orang berilmu, yang dalam banyak tafsir diartikan sebagai para nabi, rasul, dan orang-orang mukmin yang memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran agama dan realitas penciptaan. Mereka menyaksikan keesaan Allah melalui tanda-tanda di alam semesta, melalui wahyu yang diturunkan, dan melalui fitrah yang Allah tanamkan dalam diri manusia.
Ayat ini juga menekankan peran penting keadilan: "قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ" (yang menegakkan keadilan). Kesaksian mengenai keesaan Allah ini diiringi dengan pengakuan bahwa Dia adalah Dzat yang menegakkan keadilan. Ini menunjukkan bahwa tauhid dan keadilan adalah dua aspek yang tak terpisahkan dalam pandangan Ilahi. Allah tidak hanya Esa, tetapi juga Maha Adil. Keadilan-Nya terwujud dalam setiap aspek penciptaan, pengaturan alam semesta, dan syariat yang Dia tetapkan. Bagi orang-orang berilmu, memahami keadilan Ilahi ini mendorong mereka untuk juga menerapkan prinsip keadilan dalam kehidupan mereka, baik dalam hubungan personal, sosial, maupun dalam menegakkan hukum.
Frasa "وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ" seringkali ditafsirkan secara khusus merujuk pada ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang beriman kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaran yang dibawanya. Ayat ini menjadi bukti bahwa Islam bukanlah ajaran yang asing atau eksklusif, melainkan kelanjutan dari risalah para nabi sebelumnya. Orang-orang berilmu dari kalangan ahli kitab, ketika mereka mencermati tanda-tanda kenabian Muhammad dan kesesuaian ajaran Al-Qur'an dengan kitab-kitab suci sebelumnya, mereka pun mengakui kebenaran Islam dan keesaan Allah.
Pengakuan ini sangat signifikan karena menunjukkan adanya titik temu kebenaran antara ajaran Islam dan ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Ayat ini juga secara implisit memberikan pujian kepada mereka yang mampu melihat kebenaran tanpa terhalang oleh fanatisme golongan atau ketaksuban terhadap warisan nenek moyang semata. Inilah esensi dari orang yang berilmu yang sesungguhnya: kemampuannya untuk menerima kebenaran dari mana pun datangnya, terutama jika itu bersumber dari Pencipta.
Ayat Ali Imran ayat 18 ditutup dengan dua nama indah Allah: "ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ" (Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana). Ini memberikan penekanan lebih lanjut pada sifat-sifat-Nya yang sempurna. Keperkasaan-Nya menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang mampu menandingi-Nya, dan kebijaksanaan-Nya tercermin dalam setiap keputusan dan ketetapan-Nya.
Secara keseluruhan, Al-Imran ayat 18 adalah ayat yang sangat kokoh dalam membangun keyakinan tauhid. Ia menunjukkan bahwa keesaan Allah adalah kebenaran yang diakui oleh Dzat-Nya sendiri, diakui oleh para malaikat-Nya, dan bahkan oleh orang-orang berilmu yang diberikan kemampuan untuk memahami kebenaran, termasuk di antara mereka yang sebelumnya menganut kitab suci lain. Ayat ini mengajarkan pentingnya ilmu dalam memahami agama, pentingnya keadilan sebagai cerminan sifat Ilahi, dan keharusan untuk mengakui kebenaran tanpa prasangka.