Surah Al Imran, ayat 50 hingga 100, merupakan bagian penting dari Al-Qur'an yang sarat dengan makna mendalam, ajaran, dan peringatan bagi umat manusia. Ayat-ayat ini tidak hanya menegaskan keesaan dan kekuasaan Allah SWT semata, tetapi juga memberikan gambaran jelas mengenai interaksi antara kebenaran Ilahi dan penolakan kaum yang mengingkarinya. Memahami kandungan ayat-ayat ini adalah kunci untuk memperkuat keimanan dan meningkatkan kesadaran spiritual kita.
Sebagian besar dari rentang ayat ini, khususnya yang berkaitan dengan Al Imran 50-64, mengisahkan tentang kelahiran, kehidupan, dan mukjizat Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus dalam tradisi Kristen). Allah SWT menegaskan bahwa Nabi Isa adalah hamba dan rasul-Nya, dilahirkan dari seorang wanita suci, Maryam (Maria), tanpa bapak melalui kekuasaan ilahi. Kejadian ini menjadi salah satu tanda kebesaran Allah yang luar biasa, membuktikan bahwa bagi-Nya tidak ada yang mustahil.
"Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian berfirman kepadanya: 'Jadilah!' maka jadilah dia." (QS. Al Imran: 59)
Ayat ini secara gamblang menyiratkan bahwa kelahiran Nabi Isa, meskipun tanpa ayah, bukanlah sesuatu yang unik atau memerlukan pemahaman di luar kekuasaan Allah. Cara penciptaan Adam dari tanah juga merupakan mukjizat, dan kelahiran Isa melalui tiupan ruh ilahi adalah penegasan lain dari kekuasaan tersebut. Namun, justru di sinilah seringkali terjadi kesalahpahaman dan penolakan dari sebagian kaum.
Ayat-ayat selanjutnya dalam rentang ini menyoroti berbagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Isa, seperti menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit sopak dan buta sejak lahir, bahkan berbicara dari dalam buaian, yang semuanya atas izin Allah. Mukjizat-mukjizat ini seharusnya menjadi bukti nyata kebenaran risalah yang dibawanya.
Al Imran 50-100 juga membahas dialog dan perdebatan antara Nabi Isa dan kaumnya, terutama dengan para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Allah SWT memerintahkan Nabi Isa untuk menyeru kaumnya untuk menyembah hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain. Namun, sebagian dari mereka justru menyimpang, bahkan ada yang mengangkat Nabi Isa dan ibunya sebagai tuhan selain Allah, suatu perbuatan syirik yang sangat dilarang dalam Islam.
Ayat 64 secara khusus menjadi seruan kepada Ahli Kitab:
"Katakanlah: 'Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama antara kami dan kamu, yaitu kita tidak menyembah selain Allah, dan kita tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia, dan tidaklah (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.' Jika mereka berpaling maka katakanlah: 'Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)'." (QS. Al Imran: 64)
Seruan ini menunjukkan inti ajaran tauhid yang dibawa oleh semua nabi, termasuk Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Namun, penolakan dan kesesatan yang terjadi menjadi pengingat akan betapa sulitnya menjaga kemurnian tauhid di hadapan godaan hawa nafsu dan pemahaman yang menyimpang.
Memasuki bagian akhir dari rentang ayat ini, fokus beralih pada penegasan kembali keesaan Allah, kekuasaan-Nya yang mutlak, dan peringatan keras bagi mereka yang mengingkarinya. Ayat-ayat ini menekankan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Kuasa atas segala urusan, dan hanya kepada-Nya kita harus kembali.
Bagian Al Imran 71-100 juga membahas tentang bagaimana kaum Yahudi dan Nasrani menyimpang dari ajaran asli mereka, bahkan ada yang memutarbalikkan kitab suci mereka sendiri. Ini menjadi peringatan bagi umat Islam agar senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta waspada terhadap interpretasi yang menyimpang atau upaya penyesatan.
Perintah untuk berpegang teguh pada tali Allah (Al-Qur'an dan Islam) dan tidak berpecah belah menjadi pesan penting lainnya. Perselisihan dan perpecahan adalah jalan menuju kelemahan dan kekalahan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat tersebut.
Surah Al Imran 50-100 memberikan pelajaran yang sangat relevan bagi umat Islam saat ini. Pertama, penegasan tentang keesaan Allah dan pentingnya tauhid murni. Kedua, kisah Nabi Isa menunjukkan bahwa mukjizat adalah kehendak Allah, dan pemahaman yang benar tentangnya adalah dengan mengakui kenabiannya, bukan ketuhanannya. Ketiga, ayat-ayat ini menjadi pengingat akan bahaya penyimpangan akidah, kesombongan intelektual, dan pentingnya menjaga persatuan di antara umat beriman.
Dengan merenungkan ayat-ayat ini, kita diajak untuk terus memperbaiki diri, memperdalam pemahaman agama, serta senantiasa memohon perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT. Kebenaran Ilahi selalu hadir, namun penerimaan dan pemahaman yang tulus adalah kunci untuk meraih keberkahan-Nya.