Memahami Al-Imran Ayat 61-70: Perjanjian Nabi dan Nubuat Tentang Isa Al-Masih

Ilustrasi abstrak yang merepresentasikan nilai-nilai Islam dan kebenaran

Representasi visual nilai-nilai spiritual.

Surah Al-Imran merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an, yang banyak membahas tentang keimanan, sejarah para nabi, dan bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyimpang. Di antara ayat-ayatnya yang mendalam, rentang ayat 61 hingga 70 memiliki kekhususan tersendiri. Ayat-ayat ini secara spesifik berbicara tentang kisah Nabi Isa Al-Masih, nubuat tentangnya, serta penegasan kebenaran risalah Islam dan posisi umat Islam.

Kisah Nabi Isa dan Perjanjian Ilahi

Ayat 61 dari Surah Al-Imran memulai dengan sebuah peristiwa penting, yaitu perdebatan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan delegasi Nasrani dari Najran. Ketika mereka berselisih pendapat mengenai hakikat Nabi Isa, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak mereka untuk "bermubahalah".

"Maka barangsiapa membantahmu tentangnya sesudah datangnya ilmu (kebenaran) kepadamu, katakanlah (kepada mereka): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah agar kita terhindar dari laknat Allah atas orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Imran: 61)

Mubahalah adalah sebuah metode sumpah atau doa bersama, di mana masing-masing pihak berdoa kepada Allah agar menurunkan laknat-Nya kepada pihak yang berdusta dalam perselisihan mereka. Ini merupakan cara penentuan kebenaran yang sangat serius dan menunjukkan keyakinan penuh akan kebenaran argumen yang disampaikan. Sayangnya, delegasi Nasrani tersebut tidak berani menerima tantangan mubahalah ini, sebuah indikasi kuat akan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Penegasan Hakikat Isa Al-Masih dalam Islam

Selanjutnya, ayat-ayat dalam rentang ini menegaskan kembali posisi Nabi Isa Al-Masih dalam ajaran Islam. Beliau adalah seorang nabi utusan Allah, yang dilahirkan dari seorang ibu yang suci, Maryam, tanpa ayah dalam pengertian biologis manusia. Kelahirannya adalah mukjizat dari Allah.

"Sesungguhnya perumpamaan (menciptakan) Isa di sisi Allah adalah seperti (menciptakan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian berfirman kepadanya: “Jadilah” (maka jadilah dia).” (QS. Al-Imran: 59)

Penegasan ini penting untuk membantah keyakinan kaum Nasrani yang menganggap Isa sebagai anak Tuhan atau bagian dari trinitas. Dalam Islam, Isa adalah hamba Allah yang mulia, seorang nabi besar, dan rasul yang membawa ajaran tauhid (mengesakan Allah). Tidak ada sedikit pun unsur ketuhanan pada dirinya.

Dalam pandangan Islam, Isa Al-Masih adalah salah satu dari lima nabi Ulul Azmi, yaitu para nabi yang memiliki ketabahan luar biasa dalam menyampaikan risalah Allah. Keberadaannya sangat dihormati, namun ia tetaplah makhluk Allah, bukan Tuhan.

Perintah untuk Mengikuti Petunjuk Allah dan Rasul-Nya

Menyusul dari penjelasan mengenai hakikat Isa dan kebenaran risalah Islam, ayat-ayat ini juga berisi perintah tegas bagi umat Islam untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik keyakinan, ibadah, muamalah, maupun akhlak.

"Katakanlah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul; jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajibanmu ialah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul adalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. An-Nur: 54)

Ayat 64-68 secara eksplisit mengajak orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk berdialog dan menemukan titik temu pada kalimatun sawaa' (kalimat yang sama), yaitu keyakinan akan keesaan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Ini menunjukkan bahwa inti ajaran para nabi terdahulu, termasuk Musa dan Isa, adalah tauhid, sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Larangan Mengkafirkan dan Intoleransi

Bagian akhir dari rentang ayat ini, mulai dari ayat 69 hingga 70, memberikan peringatan keras bagi umat Islam agar tidak berlaku zalim kepada Ahli Kitab, terutama dalam hal akidah. Mereka diperingatkan agar tidak menjadi sombong dan berlaku sewenang-wenang setelah mengetahui kebenaran.

"Segolongan dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (umat Islam) di awal siang, dan ingkarilah di akhirnya; supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kekafiran).” (QS. Al-Imran: 72)

Penting untuk dicatat bahwa ayat 70 ini sebenarnya masih terkait dengan konteks perdebatan dan strategi orang-orang yang menolak kebenaran. Namun, poin penting yang bisa diambil dari semangat ayat 69 adalah keharusan berlaku adil dan tidak memusuhi secara membabi buta. Islam mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap agama lain, selama mereka tidak memusuhi umat Islam.

Kesimpulan

Ayat-ayat Al-Imran 61-70 memberikan pelajaran yang sangat berharga. Pertama, penegasan kebenaran risalah Islam melalui peristiwa mubahalah. Kedua, klarifikasi hakikat Nabi Isa Al-Masih sebagai hamba dan nabi Allah, bukan Tuhan. Ketiga, perintah untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai sumber petunjuk hidup. Keempat, ajakan untuk mencari titik temu akidah pada keesaan Allah dan larangan bersikap zalim serta intoleran terhadap sesama.

Memahami ayat-ayat ini secara mendalam membantu kita memperkokoh keimanan, memperluas wawasan tentang sejarah para nabi, dan menumbuhkan sikap bijak dalam berinteraksi dengan penganut agama lain.

🏠 Homepage