Surat Al-Imran, ayat ke-85, merupakan salah satu ayat dalam Al-Qur'an yang seringkali menjadi pusat perhatian dan diskusi. Ayat ini secara tegas menyatakan, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhir termasuk orang-orang yang rugi." Pernyataan ini terdengar lugas, namun makna yang terkandung di dalamnya memiliki kedalaman filosofis, teologis, dan historis yang patut untuk direnungkan lebih jauh, terutama dalam konteks keragaman keyakinan di dunia.
Pertama-tama, penting untuk memahami definisi "Islam" dalam konteks ayat ini. Dalam bahasa Arab, kata "Islam" berarti "penyerahan diri" atau "ketundukan" kepada kehendak Allah. Ini bukan sekadar nama sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, melainkan sebuah prinsip universal ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para nabi terdahulu, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa, semuanya menganut prinsip ketundukan kepada Allah dan ajarannya. Oleh karena itu, Islam dalam arti luas adalah agama para nabi, yaitu agama tauhid.
Ayat Al-Imran 85 secara spesifik merujuk pada Islam sebagai agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang merupakan penutup para nabi. Penegasan ini penting untuk membedakan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad dari ajaran-ajaran lain yang mungkin telah mengalami perubahan atau penyimpangan seiring berjalannya waktu. Dalam pandangan Islam, Al-Qur'an adalah wahyu terakhir yang membenarkan, melengkapi, dan menyempurnakan ajaran para nabi sebelumnya.
Ayat ini juga menegaskan konsekuensi dari penolakan terhadap Islam, yaitu ketidakterimaan amal perbuatan di hadapan Allah dan kerugian di akhirat. Ini bukanlah ancaman kosong, melainkan sebuah peringatan serius mengenai pentingnya kebenaran keyakinan. Konsep "tidak diterima" berarti bahwa segala upaya ibadah, kebaikan, atau bahkan pencapaian duniawi yang dilakukan di luar kerangka akidah Islam yang murni, tidak akan mendapatkan balasan yang berarti di sisi Allah untuk kehidupan akhirat. Mereka yang tidak beriman kepada risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam pandangan Islam, akan menghadapi konsekuensi di hari perhitungan.
Diskusi mengenai ayat ini seringkali menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Islam memandang agama-agama lain, seperti Yahudi, Kristen, atau agama samawi lainnya. Al-Qur'an sendiri mengakui kenabian para nabi sebelumnya dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, ajaran-ajaran tersebut diyakini oleh umat Islam telah mengalami perubahan dan penambahan yang menyimpang dari ajaran aslinya. Islam hadir sebagai ajaran yang murni, tanpa cacat, dan menjadi penutup dari rangkaian risalah ilahi.
Perlu dipahami bahwa ayat ini bukanlah seruan untuk kebencian atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Sebaliknya, ayat ini adalah penegasan tentang kebenaran tunggal yang dibawa oleh Islam dan pentingnya komitmen terhadap ajaran tersebut. Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah pengingat untuk terus memperdalam pemahaman tentang agamanya, mengamalkan ajarannya dengan tulus, dan menyebarkan pesan damai serta kebaikan Islam kepada seluruh umat manusia.
Dalam menghadapi keragaman keyakinan di era modern, penting bagi umat Islam untuk mengkaji Al-Imran ayat 85 dengan bijak dan berilmu. Ini bukan berarti menutup diri dari dialog antaragama, melainkan memahami posisi Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya. Pemahaman yang mendalam tentang ayat ini akan mendorong seorang Muslim untuk lebih yakin dengan keimanannya, lebih bersemangat dalam berdakwah, dan lebih mampu memberikan argumen yang logis dan santun ketika berinteraksi dengan penganut keyakinan lain. Intinya, Al-Imran ayat 85 mengajak untuk merenungkan kembali hakikat kebenaran, komitmen terhadap ajaran Ilahi, dan konsekuensi yang akan dihadapi di kehidupan abadi. Ini adalah panggilan untuk introspeksi diri dan penegasan kembali terhadap jalan hidup yang diyakini sebagai keridhaan Sang Pencipta.