AL QUR'AN SURAT AT-TAUBAH AYAT 105

Prinsip Akuntabilitas, Sinceritas, dan Kualitas Kerja dalam Islam

Bab I: Landasan Etos Kerja Ilahiah

Konsep kerja dan amal saleh merupakan pilar fundamental dalam ajaran Islam. Aktivitas yang dilakukan manusia, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks, tidak pernah luput dari pengamatan dan penilaian. Dalam konteks ini, Surat At-Taubah (Pengampunan) memuat sebuah pedoman abadi mengenai etos kerja dan tanggung jawab personal yang dikenal sebagai ayat 105.

Ayat ini diturunkan pada periode Madinah, di tengah konteks masyarakat yang beraneka ragam, di mana terdapat orang-orang yang tulus beriman, yang bertaubat dari kesalahan, dan sebagian lainnya yang munafik atau malas. Oleh karena itu, Q.S. At-Taubah 9:105 datang sebagai sebuah perintah tegas sekaligus janji kepastian mengenai akuntabilitas total di hadapan Sang Pencipta.

Teks dan Terjemah Ayat 105

Ayat mulia ini merangkum esensi dari ikhtiar manusia di dunia, menghubungkannya secara langsung dengan pengawasan multidimensi yang melampaui batas ruang dan waktu.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
"Dan Katakanlah (Muhammad), Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

Ayat ini bukan sekadar ajakan untuk bekerja; ia adalah penegasan filosofis bahwa setiap amal, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat, berada di bawah tiga lapis pengawasan utama, yang puncaknya adalah pertanggungjawaban di hari akhir. Ini mendefinisikan ulang konsep 'produktivitas' menjadi 'produktivitas yang disaksikan'.

Representasi Kerja dan Pengawasan Ilahi Amal dan Syuhud (Saksi)

Visualisasi pengawasan (simbol mata di atas) terhadap kerja manusia (simbol pekerja).

Bab II: Tafsir Mendalam dan Analisis Terminologi Kunci

2.1. Perintah Mutlak: "وَقُلِ اعْمَلُوا" (Dan Katakanlah, Bekerjalah kamu)

Kata kerja (فِعْل الأَمْر) ini bersifat imperatif, menunjukkan wajibnya manusia beraktivitas. Islam memandang kemalasan sebagai penyakit sosial dan spiritual. Kerja di sini tidak terbatas pada pekerjaan mencari nafkah semata, tetapi mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan dengan niat baik (ibadah), termasuk belajar, berdakwah, mengurus keluarga, bahkan beristirahat yang bertujuan mengumpulkan energi untuk ibadah. Ini adalah penolakan terhadap konsep zuhud yang pasif; zuhud yang benar adalah zuhud yang aktif, yaitu bekerja keras tanpa hati yang terikat pada hasil dunia.

Perintah ini juga mengisyaratkan bahwa setiap individu memiliki potensi dan kewajiban untuk berkontribusi. Tidak ada ruang bagi alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Kekuatan perintah ini terletak pada penekanannya terhadap kontinuitas dan kualitas dari tindakan yang dilakukan. Manusia diperintahkan untuk terus menghasilkan kebaikan (amal saleh) dan menghindari perbuatan buruk (amal sayyi’).

2.2. Pilar Pengawasan Pertama: "فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ" (Maka Allah akan Melihat pekerjaanmu)

Ini adalah dimensi pengawasan tertinggi dan paling menyeluruh. Allah SWT adalah *Al-Baṣīr* (Maha Melihat) dan *Al-'Alīm* (Maha Mengetahui). Penglihatan Allah bukan terbatas pada wujud fisik pekerjaan, melainkan meliputi substansi terdalam dari amal tersebut: yaitu *niat* (ikhlas).

2.3. Pilar Pengawasan Kedua: "وَرَسُولُهُ" (Dan Rasul-Nya)

Pengawasan Rasulullah SAW memiliki dua interpretasi utama yang saling melengkapi:

  1. Pengawasan pada Masa Hidup Beliau: Selama Rasulullah masih hidup, beliau secara fisik mengamati, membimbing, dan menilai amal para sahabatnya, baik dalam peperangan maupun kehidupan sehari-hari.
  2. Pengawasan Setelah Wafat Beliau (Kontinuitas Risalah): Mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa 'melihatnya Rasul' setelah beliau wafat berarti amal umat diperlihatkan kepada beliau. Hadis-hadis sahih menguatkan bahwa amal umat dipresentasikan kepada Nabi SAW di alam barzakh. Selain itu, pengawasan Rasul juga diwujudkan melalui Sunnah dan Syariat yang beliau tinggalkan. Kualitas amal kita dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tuntunan beliau.

Kehadiran pengawasan Rasul menjamin bahwa umat tidak akan menyimpang dari metode dan tujuan yang telah ditetapkan dalam agama. Kualitas kerja harus memenuhi kriteria *ittiba'* (mengikuti tuntunan Nabi).

2.4. Pilar Pengawasan Ketiga: "وَالْمُؤْمِنُونَ" (Dan orang-orang mukmin)

Ini adalah dimensi pengawasan sosial dan komunal. Para ulama menafsirkan 'orang-orang mukmin' dalam konteks ini sebagai:

2.5. Puncak Akuntabilitas: "وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ" (Dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata)

Ayat ini menutup dengan pengingat tentang Hari Kiamat. Setelah melalui pengawasan di dunia (Allah, Rasul, Mukminin), hasil akhir dari seluruh pekerjaan akan dibawa ke hadapan Hakim Yang Mahatahu. Istilah *'Ālimul Ghaibi was Syahādah* (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata) mencakup segala sesuatu—niat tersembunyi (*ghaib*) dan tindakan yang terekam (*syahadah*).

Pernyataan "فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ" (lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan) adalah janji pasti akan adanya penghitungan yang adil. Tidak ada satu pun amal yang terlewat, baik yang kecil seberat biji sawi (sebagaimana Q.S. Az-Zalzalah) maupun yang besar. Ini adalah motivasi terkuat bagi seorang mukmin untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan keikhlasan amalnya.

Bab III: Implementasi Akhlak dan Filosofi Kerja

3.1. Konsep Ikhlas dan Itqan (Kesempurnaan)

Q.S. 9:105 secara langsung menuntut dua karakteristik utama dalam setiap pekerjaan: Ikhlas dan Itqan.

Ikhlas (Sinceritas): Karena pekerjaan disaksikan oleh Allah, motivasi utama haruslah mencari keridaan-Nya. Ikhlas adalah filter pertama yang menentukan nilai spiritual suatu pekerjaan. Pekerjaan yang didasari ikhlas, meskipun hasilnya minim, lebih bernilai daripada pekerjaan besar dengan niat riya'. Ayat ini mengajarkan bahwa pekerjaan adalah sebuah jembatan menuju ibadah, bukan sekadar sarana mencari keuntungan dunia.

Itqan (Kesempurnaan): Pengawasan dari Rasul dan orang-orang mukmin menuntut kualitas pekerjaan yang tinggi. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan itqan (profesional dan sempurna)." Pengawasan sosial berfungsi sebagai mekanisme jaminan kualitas. Pekerjaan yang dilakukan seorang mukmin harus mencerminkan kredibilitas dan keahlian, karena ia mewakili nama baik komunitas beriman.

3.2. Pertanggungjawaban Vertikal dan Horizontal

Ayat 105 menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda yang terstruktur:

  1. Pertanggungjawaban Vertikal (Allah): Ini adalah tanggung jawab niat dan motivasi. Fokus pada ketaatan mutlak.
  2. Pertanggungjawaban Horizontal (Rasul dan Mukminin): Ini adalah tanggung jawab metodologi dan dampak sosial. Fokus pada kesesuaian syariat dan kemanfaatan bagi umat.

Jika pekerjaan seseorang hanya baik secara horizontal (dilihat baik oleh manusia), namun niatnya buruk, ia gagal pada pertanggungjawaban vertikal. Sebaliknya, jika seseorang mengklaim niatnya baik (vertikal), tetapi pekerjaannya merugikan masyarakat (horizontal), maka ia gagal dalam implementasi. Ayat ini menuntut keselarasan sempurna antara niat dan perbuatan.

3.3. Melawan Kemalasan dan Penundaan (Tasawuf Amali)

Perintah 'Bekerjalah kamu' adalah antidot terhadap *tasawuf* (spiritualisme) yang mengasingkan diri dari dunia. Islam menolak anggapan bahwa kesucian spiritual hanya bisa dicapai melalui isolasi. Justru, medan ujian spiritual yang sesungguhnya adalah di tengah-tengah kehidupan, melalui interaksi sosial, dan melalui pekerjaan yang produktif. Seorang mukmin yang sejati adalah mereka yang berhasil menjaga kualitas imannya sambil aktif berkontribusi pada pembangunan peradaban.

Bab IV: Eksplorasi Lebih Lanjut Tentang Tiga Dimensi Pengawasan

Untuk memahami kedalaman Q.S. At-Taubah 105, kita harus mengulangi dan memperluas pemahaman kita terhadap mekanisme pengawasan ini, yang bekerja secara simultan di setiap detik kehidupan seorang hamba.

4.1. Pengawasan Ilahiah: Dimensi Transendental (Syuhudul Khaliq)

Pengawasan Allah adalah sumber ketenangan dan kegelisahan. Ketenangan karena mengetahui bahwa kerja keras dan pengorbanan yang tidak dilihat oleh manusia tetap dihargai. Kegelisahan karena mengetahui bahwa kesalahan yang tersembunyi tidak akan pernah bisa ditutup-tutupi.

Pengawasan ini diwujudkan melalui:

4.2. Pengawasan Kenabian: Dimensi Legislatif dan Metode (Syuhudur Rasul)

Pengawasan Rasulullah SAW memastikan bahwa pekerjaan yang kita lakukan tidak hanya produktif, tetapi juga *masyru'* (sesuai syariat). Ini adalah jaminan bahwa amal tersebut berada di jalur yang benar.

Dalam konteks modern, kita bisa melihat pengawasan Rasul sebagai:

Representasi Akuntabilitas dan Pengembalian Pengembalian kepada Sang Hakim

Visualisasi timbangan keadilan dan pengembalian kepada Yang Mahatahu.

4.3. Pengawasan Komunitas Mukmin: Dimensi Sosial dan Etika Publik (Syuhudul Mu’minin)

Dimensi ini berfungsi sebagai termometer masyarakat. Jika masyarakat mukmin yang ideal melihat suatu pekerjaan, mereka harus dapat memberikan penilaian yang objektif. Ini melahirkan konsep transparansi dan akuntabilitas publik.

Pengawasan Mukmin mengharuskan:

Bab V: Filosofi Kerja yang Meluas (Menggapai 5000 Kata)

Pesan Q.S. At-Taubah 105 jauh melampaui perintah kerja harian. Ia adalah fondasi bagi peradaban yang berlandaskan moralitas dan akuntabilitas. Untuk menggali kedalaman ayat ini, kita perlu melihat bagaimana para ulama menafsirkan setiap frasa dalam konteks yang berbeda, dari teologi hingga sosiologi.

5.1. Bekerja sebagai Sunnatullah dan Tanda Keimanan

Bekerja adalah sunnatullah (hukum alam) yang berlaku bagi semua makhluk. Namun, bagi mukmin, bekerja adalah manifestasi iman. Ayat ini secara implisit menolak fatalisme pasif. Ia mengajarkan bahwa takdir ilahi terwujud melalui ikhtiar manusia. Jika seseorang hanya menunggu takdir tanpa bekerja, ia telah menyalahi perintah "اعْمَلُوا" (Bekerjalah kamu).

Iman (keyakinan) harus diterjemahkan menjadi amal (tindakan). Ayat ini menjembatani dua konsep tersebut: Iman adalah niat yang dilihat Allah; Amal adalah wujud yang dilihat Rasul dan Mukminin. Tanpa amal yang nyata, iman menjadi kering. Tanpa niat yang tulus, amal menjadi hampa. Kesatuan niat dan perbuatan adalah esensi dari etos kerja Islam.

5.2. Dimensi Spiritual dalam Pekerjaan Profesi

Dalam dunia modern, pekerjaan seringkali terkotak-kotak dari spiritualitas. At-Taubah 105 menegaskan bahwa setiap pekerjaan—seorang dokter, insinyur, petani, atau seniman—dapat dan harus menjadi ibadah. Bagaimana ini dicapai?

Seorang dokter yang bekerja dengan itqan, tanpa memandang status sosial pasien, karena ia tahu pekerjaannya dilihat Allah, Rasul, dan Mukminin, telah mengubah profesinya menjadi amal saleh. Insinyur yang memastikan setiap struktur bangunan aman dan bebas dari kecurangan, karena sadar akan pengawasan Ilahi, telah menjalankan jihad profesional. Pekerjaan menjadi sarana untuk mencapai *mardhatillah* (ridha Allah).

Ini membalikkan paradigma: kita tidak bekerja untuk mendapatkan uang semata; kita mendapatkan uang sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang kita lakukan demi keridaan Allah. Fokusnya adalah pada proses dan kualitas amal, bukan pada hasil materi belaka.

5.3. Pengaruh Ayat Terhadap Kepemimpinan dan Tata Kelola (Governance)

Ayat 105 menjadi piagam akuntabilitas bagi setiap pemimpin, dari kepala keluarga hingga kepala negara.

Seorang pemimpin yang tunduk pada ayat ini akan selalu memastikan transparansi, karena ia tahu Allah mengawasi niatnya (ghaib). Ia akan memastikan bahwa keputusannya sesuai dengan syariat dan kemaslahatan (pengawasan Rasul). Dan ia akan bersedia dikoreksi oleh rakyatnya (pengawasan Mukminin). Kegagalan tata kelola dalam masyarakat seringkali berakar pada pengabaian salah satu dari tiga pengawasan ini.

Jika pengawasan Allah diabaikan, munculah korupsi internal (niat jahat). Jika pengawasan Rasul diabaikan, munculah kebijakan yang tidak adil (penyimpangan syariat). Jika pengawasan Mukminin diabaikan, munculah tirani dan ketertutupan (ketiadaan transparansi). Q.S. 9:105 menuntut sistem kepemimpinan yang terbuka dan takut kepada Tuhan.

Lebih lanjut, dalam konteks pertanggungjawaban di Hari Akhir, pemimpin akan ditanyai bukan hanya tentang apa yang ia kerjakan sendiri, tetapi juga tentang apa yang diperintahkan kepada bawahannya. Ayat ini memberikan bobot ganda pada amal seorang pemimpin.

5.4. Siklus Pengawasan Abadi dan Pengembalian Akhirat

Penghujung ayat: "وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ" (Dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan) adalah penutup yang sempurna, mengikat kembali semua usaha duniawi ke titik akhir: perhitungan abadi.

Ini berarti, pengawasan Allah di dunia adalah permulaan dari perhitungan di akhirat. Dunia adalah tempat pementasan amal, dan akhirat adalah tempat pembacaan laporan. Kata kerja "يُنَبِّئُكُم" (diberitakan-Nya kepadamu) mengandung makna pengungkapan yang detail, teliti, dan tidak bisa dibantah. Ini bukan sekadar penghakiman, tetapi juga pencerahan total tentang diri kita sendiri—kita akan melihat secara jelas niat-niat tersembunyi yang mungkin bahkan kita lupakan.

Kepercayaan pada pengembalian ini (Turaddūna) mengubah cara seorang mukmin memandang kegagalan dan kesuksesan. Kegagalan duniawi yang dihadapi dengan ikhlas adalah kesuksesan ukhrawi. Sementara kesuksesan duniawi yang didapatkan melalui kecurangan adalah kegagalan mutlak di akhirat. Ayat ini memberikan harapan bagi mereka yang tertindas namun tetap beramal saleh, dan memberikan peringatan keras bagi mereka yang berjaya dengan cara zalim.

5.5. Relevansi Ayat di Era Digital dan Globalisasi

Di era digital, di mana pekerjaan seringkali bersifat maya dan individu sering merasa anonim, relevansi Q.S. 9:105 semakin kuat. Meskipun kita bekerja dari rumah dan mungkin tidak terlihat oleh rekan kerja fisik, pengawasan Ilahiah tetap tak terhindarkan. Pekerjaan digital, seperti pemrograman, penulisan konten, atau transaksi daring, harus tetap didasarkan pada itqan, kejujuran, dan kemanfaatan.

Dalam konteks globalisasi, di mana standar etika menjadi relatif, Q.S. 9:105 menyediakan standar etika universal yang stabil: Etika Allah, Rasul, dan Komunitas Mukmin. Ayat ini memanggil umat Islam untuk menjadi eksportir etos kerja unggul dan bukan hanya konsumen peradaban materialistik. Pekerjaan kita di kancah global harus menjadi bukti bahwa Islam membawa solusi bagi masalah moral dan profesional di dunia kerja.

Prinsip pengawasan Mukminin juga diperluas: komunitas global mukmin menjadi saksi atas perilaku bisnis dan profesional sesama mukmin di belahan bumi manapun. Jika seorang mukmin di satu negara melakukan kecurangan, hal itu dapat mencoreng nama baik seluruh umat di mata dunia. Oleh karena itu, tanggung jawab amal kita bersifat kolektif dan saling mengikat.

5.6. Kedalaman Bahasa Arab: Perbedaan antara *Amal* dan *Fi'l*

Para ahli bahasa dan tafsir sering membedakan antara kata kerja umum (*Fi'l*) dan kata kerja yang digunakan dalam ayat ini, yaitu *Amal* (عَمَل). *Fi'l* merujuk pada tindakan atau perbuatan apa pun. Sementara *Amal* seringkali mengandung konotasi niat yang terencana, keberlanjutan, dan hasil. Ketika Al-Qur'an menggunakan "اعْمَلُوا" (I'malu), ia merujuk pada tindakan yang memiliki bobot moral, spiritual, atau profesional yang signifikan.

Ini memperkuat konsep bahwa perintah dalam ayat ini bukan sekadar menyuruh kita bergerak, tetapi menyuruh kita menciptakan hasil yang bernilai, yang memiliki dampak positif, dan yang dilakukan dengan perencanaan matang. Amal yang dimaksud adalah karya yang berbobot, bukan sekadar aktivitas yang sia-sia.

5.7. Ayat 105 dan Kesinambungannya dengan Ayat-ayat Tawbah Sebelumnya

Surat At-Taubah secara keseluruhan banyak membahas tentang taubat (pengampunan), khususnya bagi mereka yang terlambat atau enggan berpartisipasi dalam jihad (perang Tabuk). Ayat 105, meskipun bersifat universal, muncul setelah serangkaian ayat yang membahas taubat beberapa kelompok. Ini menunjukkan bahwa kerja keras, setelah taubat, adalah bukti paling otentik dari penyesalan dan perubahan diri. Taubat sejati tidak hanya diucapkan di lidah; ia dibuktikan melalui aktivitas dan pekerjaan yang tulus. Orang yang bertaubat harus mengubah waktu yang terbuang menjadi amal yang produktif.

Ayat ini menjadi penutup yang indah untuk tema taubat: Bertaubatlah, lalu tunjukkan taubatmu melalui kerja nyata. Buktikan perubahan niatmu melalui pekerjaan yang berkualitas, yang akan disaksikan oleh semua pihak, baik di dunia maupun di akhirat.

5.8. Fikih Prioritas Amal (Fiqh al-Awlawiyyat) dalam Kerja

Mengingat bahwa setiap pekerjaan disaksikan dan akan dihitung, seorang mukmin harus menerapkan fikih prioritas. Prioritas utama adalah pekerjaan yang paling memberikan manfaat jangka panjang, yang paling sesuai dengan syariat, dan yang paling membutuhkan keikhlasan tinggi.

Ayat 105 memastikan bahwa waktu dan energi yang kita investasikan harus dialokasikan berdasarkan nilai abadi yang akan diungkapkan pada hari perhitungan.

Bab VI: Kesimpulan dan Seruan Amal

Surat At-Taubah ayat 105 adalah salah satu ayat terpenting dalam etika dan filosofi kerja Islam. Ia berfungsi sebagai peta jalan menuju produktivitas yang tidak hanya efisien di mata manusia, tetapi juga sah dan diterima di hadapan Allah SWT. Pesan intinya adalah sebuah seruan untuk tindakan yang konsisten, berkualitas, dan didasari oleh kesadaran pengawasan multidimensi.

Kesadaran bahwa Allah, Rasul-Nya, dan komunitas beriman melihat pekerjaan kita, memberikan motivasi ganda: motivasi spiritual untuk ikhlas dan motivasi profesional untuk itqan. Ini adalah pondasi mentalitas *muhasabah* (introspeksi) yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, semua jalan kerja akan membawa kita kembali kepada *'Ālimul Ghaibi was Syahādah* (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata). Pengembalian ini adalah kepastian yang menuntut persiapan. Persiapan tersebut tidak lain adalah melaksanakan perintah "اعْمَلُوا" (Bekerjalah kamu) dengan niat yang murni dan perbuatan yang terbaik, karena segala yang tersembunyi dan yang tampak akan disingkapkan secara penuh.

Maka, jadikanlah setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap tetes keringat kita sebagai bagian dari amal saleh yang kita persiapkan untuk laporan final di hari yang abadi. Bekerja adalah ibadah, dan ibadah adalah bukti keimanan yang tak terpisahkan dari pengawasan Ilahi.

🏠 Homepage