Dalam khazanah keagamaan, terutama dalam tradisi Islam, terdapat ungkapan-ungkapan lisan yang memiliki bobot spiritual mendalam. Salah satu frasa yang sering kita dengar, terutama setelah menyelesaikan sebuah ritual atau mendapatkan kenikmatan, adalah "Alhamdulillahi washola". Frasa ini, meskipun tampak sederhana, merangkum dua pilar utama dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya: rasa syukur (Alhamdulillah) dan penghormatan kepada Rasul (Washola).
Bagian pertama, "Alhamdulillah", secara harfiah berarti "Segala puji hanya milik Allah." Ini adalah bentuk pengakuan tertinggi bahwa segala sesuatu yang baik, yang terjadi dalam kehidupan kita—baik itu nikmat yang tampak jelas maupun hikmah yang tersembunyi—semuanya berasal dari karunia dan izin-Nya. Mengucapkan Alhamdulillah bukan sekadar formalitas; ini adalah latihan mental dan spiritual untuk menggeser fokus dari diri sendiri kepada Sang Pemberi.
Ketika kita mengucapkan Alhamdulillah, kita sedang mengakui bahwa sumber kebahagiaan, kesehatan, kesuksesan, dan bahkan kemampuan kita untuk berusaha, semuanya adalah titipan yang harus disyukuri. Dalam konteks modern yang sering kali mendorong individualisme dan klaim kepemilikan penuh atas hasil kerja keras, pengucapan ini berfungsi sebagai penyeimbang yang mengingatkan kita akan ketergantungan fundamental kita. Rasa syukur yang tulus dapat membuka pintu rezeki dan ketenangan batin, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)-Mu."
Frasa ini dilanjutkan dengan "Washola" (sering diucapkan sebagai 'Wassholatu 'ala Rasul' atau implikasinya), yang secara umum merujuk pada penghormatan dan doa shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Jika Alhamdulillah adalah ungkapan terima kasih kepada Pencipta, maka 'Washola' adalah bentuk penghormatan terhadap utusan yang membawa petunjuk tersebut.
Menggabungkan rasa syukur kepada Allah dengan penghormatan kepada Rasulullah SAW menunjukkan kesempurnaan tata krama spiritual. Ini adalah pengakuan bahwa nikmat yang kita terima telah disampaikan melalui perantara bimbingan ilahi yang dibawa oleh Nabi. Ketika seorang Muslim mengucapkan keduanya, ia sedang menutup rangkaian ibadah atau momen penting dengan kesadaran penuh:
Ini menciptakan siklus spiritual yang utuh: mengakui sumber nikmat, dan menghormati saluran bimbingan yang membuat nikmat tersebut bermakna.
Frasa "Alhamdulillahi washola" seringkali muncul dalam situasi di mana seseorang merasa lega, berhasil menyelesaikan suatu tugas, atau baru saja sadar akan kebaikan yang dia terima. Misalnya, setelah berhasil melewati kemacetan parah, setelah shalat berjamaah yang khusyuk, atau bahkan setelah menyelesaikan pekerjaan rumah yang sulit. Ucapan ini bertindak sebagai semacam ‘penutup’ yang positif.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, melatih lisan untuk mengucapkan frasa ini membantu kita untuk tetap terpusat. Ini mencegah kesombongan yang mungkin muncul saat sukses dan menumbuhkan kerendahan hati. Setiap kali kata-kata itu terucap, terjadi semacam reset emosional, mengembalikan jiwa pada posisi semestinya: sebagai hamba yang bersyukur dan patuh pada ajaran Ilahi.
Penting untuk dicatat bahwa walaupun frasa ini populer dalam konteks lisan sehari-hari, keutamaan utamanya terletak pada niat tulus di baliknya. Bukan hanya pengucapan mekanis, melainkan penyerahan hati yang menyertai setiap suku kata. Rasa syukur yang muncul dari hati jauh lebih berharga daripada sekadar rangkaian kata tanpa penghayatan.
Untuk benar-benar menghayati makna "Alhamdulillahi washola", kita dapat mempraktikkan beberapa hal. Pertama, setelah mengucapkannya, luangkan waktu sejenak untuk merenungkan: nikmat apa yang baru saja saya terima? Kedua, coba refleksikan bagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW telah mempermudah hidup saya. Misalnya, ajaran tentang kebersihan, kejujuran, atau tata krama sosial.
Dengan demikian, frasa ini menjadi lebih dari sekadar ucapan penutup. Ia menjadi pengingat berkelanjutan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan syukur yang dipandu oleh wahyu Ilahi. Dengan terus melatih lidah dan hati untuk mengakui Pemberi nikmat dan menghormati pembawa risalah, kita membangun fondasi spiritual yang kokoh, mampu menghadapi pasang surut kehidupan dengan ketenangan dan penghargaan yang seimbang.
Semoga perenungan singkat mengenai frasa penuh berkah ini dapat meningkatkan kesadaran kita dalam setiap ucapan yang keluar dari lisan kita, menjadikan setiap momen hidup sebagai kesempatan untuk bersyukur dan bershalawat.