Representasi visual rasa syukur yang tak terbatas.
Dalam rangkaian ayat-ayat pembuka Al-Qur'an, terdapat kalimat yang bukan sekadar rangkaian huruf, melainkan sebuah deklarasi universal atas eksistensi dan keagungan Sang Pencipta. Kalimat tersebut adalah "Alhamdulillahirabbilalamin". Lafaz ini adalah ayat kedua dari Surah Al-Fatihah, surah yang sering kita baca dalam setiap rakaat shalat. Namun, seberapa dalam kita meresapi makna di baliknya?
Frasa ini secara harfiah berarti "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." Mengucapkannya adalah respons alami jiwa yang tersadarkan akan segala nikmat, kecil maupun besar, yang mengelilingi eksistensinya. Ini adalah penolakan terhadap segala bentuk kesombongan diri dan pengakuan total bahwa segala sesuatu berasal dan kembali kepada-Nya.
Untuk benar-benar memahami kekuatan kalimat ini, kita perlu memecahnya menjadi tiga komponen utama:
Kata 'Al-Hamdu' mencakup pujian, rasa syukur, dan sanjungan. Pujian di sini berbeda dengan sekadar ucapan terima kasih atas satu perbuatan baik. Pujian ini bersifat mutlak dan total, diberikan tanpa syarat. Pujian ini meliputi sifat-sifat kesempurnaan Allah, bukan hanya atas karunia materi, tetapi juga atas ujian dan ketetapan-Nya. Mengucapkan 'Alhamdulillah' adalah mengakui bahwa dalam setiap kondisi, termasuk kesulitan, terdapat hikmah yang patut disyukuri.
Kepemilikan pujian ini diarahkan secara eksklusif hanya kepada Allah SWT. Tidak ada entitas lain yang berhak menerima pujian seutuhnya. Ini menegaskan konsep Tauhid Al-Asma wa Ash-Shifat (mengesakan nama dan sifat Allah). Segala bentuk keindahan, kekuatan, dan kebaikan yang kita saksikan di alam semesta ini adalah refleksi dari sifat-sifat mulia-Nya. Ketika kita memuji matahari yang terbit atau air yang menyegarkan, kita sebenarnya sedang memuji Sang Sumber dari semua itu.
Bagian ini memperluas cakupan pujian dari diri sendiri ke skala kosmik. 'Rabb' berarti Penguasa, Pemelihara, dan Pemberi Pendidikan. 'Alamin' merujuk pada semua ciptaan—dunia manusia, jin, malaikat, tumbuhan, hewan, hingga galaksi yang tak terhitung jumlahnya. Mengucapkan 'Rabbilalamin' berarti kita mengakui bahwa Allah adalah Pengatur tunggal atas setiap sistem yang berjalan di alam raya ini. Keteraturan peredaran planet, siklus musim, hingga detak jantung kita, semuanya berada dalam kendali Pemelihara tunggal ini. Rasa syukur kita pun harus seluas cakupan semesta.
Mengintegrasikan kalimat agung ini dalam rutinitas harian adalah kunci untuk mencapai ketenangan batin. Bagi seorang Muslim, ucapan ini bukan sekadar ritual yang terucap di lidah ketika perut kenyang. Ia adalah filter mental. Ketika kita berhasil dalam pekerjaan, kita berkata, "Alhamdulillahirabbilalamin," bukan untuk membanggakan diri, melainkan untuk mengakui bahwa keberhasilan itu adalah izin dan pertolongan-Nya.
Sebaliknya, ketika kita menghadapi kegagalan atau kehilangan, pengucapan yang sama—"Alhamdulillahirabbilalamin"—memiliki fungsi yang lebih mendalam. Ia berfungsi sebagai penyeimbang emosional. Dengan mengakui bahwa Dia adalah Tuhan bagi seluruh alam, kita menyadari bahwa apa yang kita anggap musibah mungkin merupakan jalan terbaik yang telah Dia tetapkan. Keimanan ini membantu jiwa untuk tidak terpuruk dalam keputusasaan, karena kepemilikan segala sesuatu ada di tangan Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana.
Oleh karena itu, Alhamdulillahirabbilalamin adalah fondasi syukur yang memungkinkan kita hidup dalam kesadaran penuh (mindfulness) bahwa setiap napas yang kita hirup adalah anugerah yang harus dibalas dengan pengakuan dan ibadah. Ini adalah pengakuan bahwa syukur kita tidak pernah sepadan dengan nikmat yang diberikan, namun kita tetap diperintahkan untuk mengungkapkannya.