Novel Laskar Pelangi, sebuah karya monumental Andrea Hirata, mengisahkan tentang perjuangan sekelompok anak-anak dari keluarga penambang timah di Belitong (sekarang Belitung) untuk mendapatkan pendidikan di tengah keterbatasan ekonomi dan diskriminasi sosial yang mengakar kuat. Cerita ini berpusat pada semangat pantang menyerah dan persahabatan mereka yang tak lekang oleh keadaan.
Kisah dibuka dengan suasana desa Gantong yang didominasi oleh perusahaan tambang timah raksasa, PN Timah. Meskipun hidup dalam kemiskinan, mimpi untuk sekolah tetap menyala. Pemerintah kolonial saat itu menerapkan aturan diskriminatif: PN Timah hanya diizinkan mendirikan sekolah jika jumlah siswanya mencapai minimal 20 orang. Jika tidak, sekolah akan ditutup.
Pada titik genting ini, Pak Harfan Efendi Guru dan Ibu Mus (Muslimah Hafsari), dua guru yang berdedikasi, bersama dengan kepala sekolahnya, Pak K.R.T Faizah, berjuang keras mengumpulkan siswa. Mereka berhasil mencapai angka 10 siswa yang merupakan anak-anak dari keluarga miskin, termasuk sang narator, Ikal, dan sahabat-sahabatnya: Lintang, Mahar, Syahdan, Kucai, dan lain-lain. Sepuluh anak inilah yang kemudian dijuluki "Laskar Pelangi".
Alur cerita kemudian berkembang mengikuti kehidupan sehari-hari Laskar Pelangi di sekolah kayu reot mereka. Meskipun fasilitas minim, semangat belajar mereka sangat tinggi, dipicu oleh metode mengajar guru-guru yang inovatif dan penuh kasih sayang. Lintang, sang jenius dari keluarga nelayan miskin, menjadi bintang di kelas. Kecerdasannya melampaui batas, sering kali menjadi tumpuan harapan sekolah.
Hubungan antara Laskar Pelangi dan lingkungan di sekitar mereka sangat kompleks. Mereka sering berhadapan dengan intimidasi dari anak-anak pejabat PN Timah. Salah satu konflik terbesar muncul ketika mereka harus bersaing dengan anak-anak pegawai tambang dalam sebuah kontes akademik, yang mana Lintang menunjukkan kehebatannya secara spektakuler, mematahkan dominasi "orang kaya" yang sombong.
Seiring berjalannya waktu, tantangan hidup kian nyata. Beberapa anggota Laskar Pelangi harus meninggalkan sekolah untuk membantu orang tua mereka bekerja di tambang demi menyambung hidup. Ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa sistem ekonomi saat itu lebih mengutamakan tenaga kerja kasar daripada pendidikan.
Lintang, meskipun paling brilian, menghadapi dilema terbesar. Ia sangat mencintai lautan dan ingin menjadi ahli kelautan. Namun, demi menafkahi adik-adiknya setelah ayahnya meninggal, Lintang terpaksa harus bekerja di laut, mengorbankan impiannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Perpisahan dengan Lintang menjadi momen paling menyentuh, menunjukkan harga mahal yang harus dibayar demi keluarga.
Narator, Ikal, adalah salah satu yang berhasil bertahan dan melanjutkan studinya hingga ke luar daerah. Kisah ini juga menyoroti peran penting tokoh-tokoh pendukung seperti Sholeha (si gadis rajin) dan Mahar (si seniman eksentrik yang selalu membuat kekacauan namun kreatif). Mahar, misalnya, adalah representasi dari bakat seni yang terpinggirkan oleh sistem.
Secara keseluruhan, alur cerita Laskar Pelangi adalah narasi tentang optimisme di tengah penindasan. Meskipun banyak mimpi yang terpaksa dipendam atau diubah bentuknya karena tuntutan ekonomi—seperti yang dialami Lintang—semangat persahabatan dan pembelajaran yang ditanamkan oleh guru-guru mereka tidak pernah padam. Kisah ini berakhir dengan penekanan bahwa pendidikan, meskipun sulit dijangkau, adalah kunci utama untuk membuka cakrawala baru, jauh melampaui batas pulau Belitong yang mereka tinggali.
Andrea Hirata berhasil meramu kisah perjuangan ini dengan humor, kehangatan, dan kritik sosial yang tajam mengenai ketidakadilan struktural yang dihadapi oleh masyarakat kecil di era tersebut. Laskar Pelangi bukan sekadar cerita sekolah, melainkan ode untuk harapan.