Visualisasi metafora luka dan kecantikan dalam narasi.
Novel "Cantik Itu Luka" adalah sebuah karya sastra epik yang kompleks, kaya akan lapisan makna, dan sarat dengan eksplorasi mendalam tentang sejarah, trauma, dan identitas perempuan di Indonesia. Alur ceritanya terentang melintasi beberapa generasi, berakar kuat pada latar belakang pergolakan politik dan sosial di Pulau Jawa.
Inti dari alur cerita ini berpusat pada kisah keluarga Daeng Koneng, seorang mucikari legendaris yang kecantikannya menyimpan banyak rahasia dan kepedihan. Kehidupan Daeng Koneng menjadi titik tolak, dari masa mudanya yang penuh gejolak hingga masa tuanya yang penuh penyesalan. Novel ini tidak bergerak secara linier sempurna; ia melompat antara masa kini (sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an) dan masa lalu yang kelam.
Karakter sentral generasi berikutnya adalah Dewi Ayu, putri Daeng Koneng. Dewi Ayu adalah representasi dari trauma yang diwariskan. Kelahiran Dewi Ayu sendiri merupakan sebuah ironi; ia sangat cantik melebihi ibunya, namun kecantikannya justru menjadi kutukan dan sumber penderitaan. Alur cerita membangun narasi tentang bagaimana Dewi Ayu berjuang mencari jati diri di tengah stigma sosial yang melekat pada statusnya sebagai anak pelacur.
Alur cerita kemudian memperkenalkan anak-anak Dewi Ayu—tiga orang putri yang semuanya memiliki nasib berbeda namun sama-sama terbebani oleh sejarah keluarga. Salah satu bagian paling krusial adalah bagaimana setiap anak merespons atau memberontak terhadap warisan ibu mereka. Salah satu putrinya bahkan memilih untuk menjadi seorang pelacur, sementara yang lain mencoba hidup normal namun tetap dihantui oleh masa lalu.
Novel ini sangat kuat dalam menggambarkan siklus kekerasan dan trauma antargenerasi. Alur bergerak lambat namun padat, membedah setiap momen penting dalam kehidupan para tokoh wanita ini, seringkali melalui sudut pandang yang sureal dan puitis. Pembaca diajak menyelami ruang privat mereka yang penuh dengan ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan upaya mempertahankan martabat dalam kondisi terburuk.
Tidak bisa dilepaskan, alur cerita utama selalu dibingkai oleh konteks sejarah Indonesia, khususnya masa penjajahan hingga periode pasca-kemerdekaan yang penuh gejolak. Tragedi yang menimpa Daeng Koneng dan Dewi Ayu seringkali merupakan cerminan dari ketidakstabilan sosial dan politik pada masanya. Kekerasan yang mereka alami tidak hanya bersifat personal, tetapi juga politis.
Meskipun fokusnya pada keluarga, narasi utama seringkali memberikan jeda untuk merefleksikan kondisi masyarakat, khususnya perlakuan terhadap perempuan yang dianggap 'kotor' atau 'tercemar' oleh sistem patriarki yang berlaku. Alur ini secara cerdik menggunakan latar belakang prostitusi bukan hanya sebagai deskripsi kehidupan, tetapi sebagai alegori atas eksploitasi yang lebih luas.
Puncak emosional novel sering terjadi ketika Dewi Ayu, di usia senjanya, mulai merefleksikan semua pilihan hidupnya dan dampak yang ditimbulkannya pada anak-anaknya. Alur cerita mencapai klimaksnya bukan melalui satu peristiwa tunggal, melainkan melalui akumulasi kesadaran dan penerimaan yang menyakitkan.
Resolusi dalam "Cantik Itu Luka" jarang sekali memberikan akhir yang bahagia dan lugas. Sebaliknya, ia memberikan semacam kedamaian yang diperoleh melalui pemahaman pahit bahwa luka itu mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, tetapi ia bisa diakui dan dihentikan penularannya. Alur cerita berakhir dengan penekanan pada daya tahan dan kemampuan wanita untuk terus hidup meski telah tergores luka yang mendalam, menjadikan kecantikan yang tersisa sebagai simbol dari perlawanan batin yang sunyi.