Maag kronis, atau dalam istilah medis disebut gastritis kronis, adalah kondisi peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa lambung yang berlangsung secara persisten dan berulang dalam jangka waktu yang sangat lama, seringkali berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Berbeda dengan gastritis akut yang muncul mendadak dan bersifat sementara, gastritis kronis melibatkan perubahan struktural yang signifikan pada mukosa lambung, menyebabkan atrofi (penyusutan) kelenjar, metaplasia (perubahan jenis sel), dan bahkan displasia, yang berpotensi menjadi prekursor kanker lambung.
Kondisi ini merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan perhatian serius, bukan hanya karena dampak nyeri dan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya, tetapi juga karena risiko komplikasi jangka panjang yang sangat berbahaya. Gastritis kronis sering kali berjalan tanpa gejala yang jelas di awal, membuat diagnosis tertunda hingga perubahan patologis di lambung sudah lanjut.
Memahami perbedaan antara bentuk akut dan kronis sangat krusial. Gastritis akut biasanya disebabkan oleh iritan kuat tunggal, seperti dosis besar obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau konsumsi alkohol berlebihan, dan bersifat sementara. Kerusakan selnya ringan dan penyembuhan biasanya cepat setelah agen iritan dihilangkan. Sebaliknya, gastritis kronis adalah hasil dari interaksi kompleks agen pemicu yang bertahan lama, yang secara progresif menghancurkan kelenjar lambung dan memicu respons imun yang berkelanjutan, menyebabkan infiltrasi sel inflamasi kronis seperti limfosit dan sel plasma.
Gastritis kronis diklasifikasikan berdasarkan etiologi (penyebab) dan lokasi peradangan di lambung, yang sangat memengaruhi prognosis dan strategi pengobatan. Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan didasarkan pada klasifikasi Sydney dan Houston yang membagi gastritis kronis menjadi beberapa tipe utama:
Tipe ini relatif jarang, biasanya terbatas pada korpus (badan) dan fundus lambung. Disebabkan oleh reaksi autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel parietal lambung. Sel parietal bertanggung jawab memproduksi asam lambung (HCl) dan faktor intrinsik (IF). Kerusakan pada sel parietal mengakibatkan dua konsekuensi utama: hipoklorhidria (penurunan produksi asam) dan defisiensi Faktor Intrinsik. Defisiensi IF mengarah langsung pada gangguan penyerapan vitamin B12, yang pada akhirnya menyebabkan anemia pernisiosa. Tipe A adalah gastritis atrofi yang paling sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit autoimun lain, seperti penyakit tiroid atau vitiligo.
Ini adalah bentuk gastritis kronis yang paling umum, diperkirakan mencakup lebih dari 80% kasus di seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori. Bakteri ini memiliki kemampuan unik untuk bertahan hidup dalam lingkungan asam lambung dengan menghasilkan urease, yang menetralkan asam di sekitarnya. Peradangan awal biasanya terfokus pada antrum lambung (bagian bawah), tetapi seiring waktu dapat menyebar ke seluruh lambung (pan-gastritis). Infeksi H. pylori merupakan risiko utama untuk tukak peptik dan kanker lambung.
Tipe C disebabkan oleh kerusakan kimiawi, bukan infeksi. Penyebab paling umum adalah refluks empedu kronis ke dalam lambung (terutama setelah operasi lambung seperti gastrektomi parsial), atau penggunaan OAINS jangka panjang. Kerusakan yang ditimbulkan bersifat non-inflamasi primer, tetapi melibatkan edema, regenerasi sel epitel, dan minimnya sel inflamasi kronis yang khas.
Kondisi ini sering dianggap sebagai stadium lanjut dari gastritis Tipe B yang tidak diobati. Ditandai dengan hilangnya kelenjar lambung secara bertahap dan luas, digantikan oleh jaringan ikat dan sel-sel yang menyerupai sel usus (metaplasia intestinal). MAP adalah kondisi prekanker yang paling diwaspadai, karena metaplasia intestinal yang diikuti oleh displasia adalah tahapan kritis dalam jalur perkembangan karsinoma lambung.
Gastritis kronis bukanlah penyakit tunggal; ia adalah spektrum kondisi yang dipicu oleh berbagai faktor yang semuanya memiliki satu kesamaan: kegagalan jangka panjang mekanisme pertahanan mukosa lambung. Memahami bagaimana agen pemicu merusak sel-sel pelapis lambung adalah kunci untuk penanganan yang efektif.
H. pylori adalah agen etiologi dominan. Bakteri gram-negatif berbentuk spiral ini berhasil menghindari penghancuran oleh asam lambung melalui beberapa strategi virulensi. Pertama, enzim urease yang dihasilkan mengubah urea menjadi amonia dan karbon dioksida, menciptakan zona netral yang melindungi bakteri. Kedua, H. pylori memiliki flagela yang memungkinkannya bergerak melintasi lapisan lendir dan menempel pada sel epitel lambung.
Kerusakan yang disebabkan oleh H. pylori bersifat multifaktorial:
Gambar 1: Ilustrasi mekanisme kerusakan mukosa lambung oleh bakteri H. pylori, yang mengikis lapisan pelindung.
Penggunaan OAINS (seperti aspirin, ibuprofen, naproxen) secara teratur adalah penyebab kedua terbesar gastritis kronis Tipe C. Obat-obatan ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Enzim COX-1 bertanggung jawab memproduksi prostaglandin, yang merupakan zat vital dalam menjaga integritas mukosa lambung (meningkatkan aliran darah mukosa, sekresi bikarbonat, dan produksi lendir).
Penghambatan COX-1 oleh OAINS mengurangi produksi prostaglandin pelindung, membuat lambung rentan terhadap serangan asam lambung sendiri. Jika penggunaan ini berlanjut, kerusakan akan menjadi kronis, menyebabkan erosi, tukak, dan peradangan berkepanjangan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, gastritis autoimun melibatkan serangan sel T yang diarahkan pada sel parietal atau faktor intrinsik. Proses peradangan ini bersifat perlahan namun merusak secara permanen. Ketika sel parietal hancur, produksi asam lambung (HCl) terhenti, yang paradoxically meningkatkan risiko infeksi bakteri usus. Lebih penting lagi, hilangnya faktor intrinsik menyebabkan tubuh tidak dapat menyerap vitamin B12, yang penting untuk pembentukan sel darah merah dan fungsi saraf. Anemia pernisiosa adalah manifestasi klinis utama dari gastritis atrofi autoimun.
Beberapa faktor lain turut berkontribusi dalam memperburuk atau menyebabkan gastritis kronis:
Salah satu tantangan terbesar dalam mendiagnosis gastritis kronis adalah sifatnya yang sering kali asimtomatik atau hanya menimbulkan gejala ringan yang tumpang tindih dengan dispepsia fungsional. Gejala baru menjadi jelas ketika kerusakan mukosa sudah mencapai tahap lanjut atau telah terjadi komplikasi seperti tukak atau anemia.
Gejala umum yang dialami penderita gastritis kronis meliputi:
Diagnosis gastritis kronis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis; ia memerlukan konfirmasi histopatologi. Proses diagnosis melibatkan beberapa tahapan:
Dokter akan menggali riwayat mendalam mengenai penggunaan OAINS, kebiasaan diet, konsumsi alkohol, riwayat infeksi H. pylori, dan riwayat keluarga terkait penyakit autoimun atau kanker lambung. Pemeriksaan fisik mungkin normal, atau menunjukkan nyeri tekan ringan di epigastrium. Tanda-tanda anemia (pucat) mungkin ada pada kasus lanjut.
Endoskopi adalah prosedur standar emas. Prosedur ini memungkinkan visualisasi langsung mukosa lambung. Pada gastritis kronis, temuan endoskopi mungkin bervariasi dari pembengkakan ringan (edema), kemerahan (eritema), hingga hilangnya lipatan lambung dan pembuluh darah yang terlihat jelas (tanda atrofi). Endoskopi sangat penting karena memungkinkan pengambilan sampel jaringan (biopsi).
Ini adalah langkah definitif. Sampel biopsi harus diambil dari berbagai lokasi (antrum, korpus, insisura angularis) sesuai Protokol Sydney yang dimodifikasi. Pemeriksaan mikroskopis akan menentukan:
Identifikasi H. pylori sangat penting karena mengubah strategi pengobatan. Metode non-invasif yang sering digunakan meliputi:
Tujuan utama penanganan gastritis kronis adalah menghilangkan agen penyebab (jika ada), mengurangi gejala, dan mencegah progresivitas kerusakan mukosa menjadi kondisi prekanker. Pendekatan pengobatan harus individual, tergantung pada etiologi yang ditemukan.
Jika infeksi H. pylori terkonfirmasi, eradikasi adalah prioritas tertinggi. Pemberantasan bakteri dapat menghentikan peradangan, memungkinkan mukosa untuk mulai beregenerasi, dan secara signifikan mengurangi risiko kanker lambung. Skema pengobatan melibatkan kombinasi antibiotik dan penghambat asam selama 7 hingga 14 hari.
Terapi standar yang paling umum adalah Terapi Tripel, yang melibatkan:
Namun, karena peningkatan resistensi klaritromisin, tingkat kegagalan terapi tripel meningkat. Oleh karena itu, Terapi Kuadrupel berbasis Bismuth sering direkomendasikan sebagai lini pertama di wilayah dengan tingkat resistensi tinggi.
Terapi Kuadrupel (Bismuth Quadruple Therapy) sering digunakan sebagai lini kedua atau dalam kasus resistensi yang diketahui. Kombinasinya terdiri dari:
Eradikasi harus dikonfirmasi 4–6 minggu setelah pengobatan selesai menggunakan UBT atau Stool Antigen Test untuk memastikan infeksi telah hilang total. Kegagalan eradikasi memerlukan regimen antibiotik yang lebih kompleks dan berbeda.
Karena penyebabnya adalah autoimun, tidak ada infeksi yang perlu diberantas. Fokus pengobatan adalah manajemen komplikasi:
Penanganan tergantung pada agen penyebab:
Selain PPI yang menekan asam, agen lain digunakan untuk meredakan gejala dan mempercepat penyembuhan:
Gambar 2: Progresi peradangan dari kondisi sehat menuju gastritis kronis yang ditandai dengan infiltrasi sel imun (limfosit).
Meskipun intervensi farmakologis sangat penting, pengelolaan gastritis kronis tidak akan berhasil tanpa perubahan perilaku dan diet yang drastis dan berkelanjutan. Modifikasi gaya hidup berfungsi sebagai 'bantalan' pelindung yang mengurangi iritasi kimiawi dan termal pada mukosa yang sudah meradang.
Tujuan diet adalah menetralkan asam berlebih dan menghindari makanan yang secara langsung merusak atau merangsang sekresi asam yang berlebihan.
Beberapa makanan adalah pemicu kuat gejala gastritis dan harus dihindari, terutama saat gejala sedang kambuh:
Fokus pada makanan yang mudah dicerna, rendah asam, dan bersifat menenangkan mukosa:
Cara makan sama pentingnya dengan apa yang dimakan:
Hubungan antara otak dan usus (gut-brain axis) memainkan peran besar dalam gastritis kronis. Stres psikologis tidak hanya meningkatkan sekresi asam pada beberapa individu, tetapi juga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa sakit dan memperlambat penyembuhan tukak.
Penghentian merokok adalah keharusan mutlak. Merokok tidak hanya merusak lambung secara langsung tetapi juga mengurangi efektivitas obat-obatan PPI dan antibiotik yang digunakan untuk eradikasi H. pylori, membuat penyembuhan jauh lebih sulit.
Gastritis kronis yang tidak tertangani atau penyebabnya tidak dihilangkan dapat berkembang melalui serangkaian tahapan yang disebut sebagai Jalur Correa (Correa’s Cascade), yang merupakan model perkembangan dari gastritis kronis menjadi kanker lambung (karsinoma lambung).
Jalur ini menjelaskan tahapan perubahan patologis pada mukosa lambung, seringkali dipicu oleh infeksi H. pylori yang persisten:
Pasien dengan gastritis atrofi luas dan metaplasia intestinal memiliki risiko 5 hingga 10 kali lipat lebih tinggi terkena kanker lambung dibandingkan populasi umum. Risiko ini sangat tinggi pada gastritis atrofi autoimun dan gastritis H. pylori yang luas di korpus. Kanker lambung sering kali sulit dideteksi dini karena gejalanya yang non-spesifik, menekankan pentingnya program surveilans endoskopi pada kelompok berisiko tinggi.
Komplikasi ini, seperti yang terjadi pada gastritis autoimun, muncul ketika sel parietal hancur, mengakibatkan kekurangan Faktor Intrinsik. Defisiensi B12 menyebabkan anemia megaloblastik dan, jika dibiarkan, kerusakan neurologis permanen. Gejala neurologis dapat berupa neuropati perifer, ataksia (gangguan keseimbangan), dan bahkan demensia.
Meskipun gastritis kronis dapat menyebabkan tukak, kondisi ini lebih erat kaitannya dengan gastritis Tipe B yang menyebabkan hipersekresi asam. Tukak peptik adalah erosi yang menembus lapisan otot mukosa dan dapat menyebabkan pendarahan gastrointestinal (hematemesis atau melena) atau, dalam kasus terburuk, perforasi lambung.
Pada gastritis atrofi, produksi asam lambung berkurang drastis (hipoklorhidria atau aklorhidria). Asam lambung berfungsi sebagai pertahanan alami terhadap bakteri yang tertelan. Penurunan asam memungkinkan bakteri usus dari kolon naik dan berkembang biak di usus kecil, kondisi yang dikenal sebagai Small Intestinal Bacterial Overgrowth (SIBO), menyebabkan kembung kronis dan malabsorpsi.
Pencegahan gastritis kronis berfokus pada penghilangan agen pemicu dan menjaga lingkungan lambung yang sehat. Bagi mereka yang sudah didiagnosis dengan kondisi prekanker, pencegahan difokuskan pada pengawasan ketat untuk intervensi dini.
Pencegahan utama ditujukan untuk populasi umum dan meliputi:
Untuk pasien yang telah mengalami kerusakan mukosa lanjut, surveilans (pemantauan berkala) adalah komponen vital manajemen jangka panjang. Surveilans endoskopi bertujuan untuk mendeteksi progresi lesi dari metaplasia menjadi displasia atau karsinoma stadium awal.
Protokol surveilans umumnya ditetapkan berdasarkan tingkat keparahan atrofi dan metaplasia:
Mengingat sifat kronis penyakit ini dan dampaknya pada kualitas hidup, integrasi perawatan kesehatan mental sangat penting. Konseling atau terapi perilaku kognitif dapat membantu pasien mengelola kecemasan terkait kondisi kronis dan memfasilitasi kepatuhan terhadap perubahan gaya hidup dan rejimen pengobatan yang seringkali panjang dan rumit.
Maag kronis adalah kondisi yang kompleks dan evolutif, membutuhkan lebih dari sekadar pengobatan gejala. Diagnosis dini dan identifikasi etiologi (terutama H. pylori) memungkinkan intervensi yang dapat menghentikan progresi penyakit dan mencegah komplikasi fatal seperti kanker lambung.
Pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter spesialis penyakit dalam (gastroenterolog), ahli diet, dan dukungan psikologis, dikombinasikan dengan komitmen pasien terhadap perubahan gaya hidup, adalah kunci untuk mencapai manajemen yang sukses. Dengan kepatuhan terhadap pengobatan eradikasi dan program surveilans yang tepat, sebagian besar penderita gastritis kronis dapat mempertahankan kualitas hidup yang baik dan secara signifikan mengurangi risiko perkembangan penyakit menjadi kondisi yang mengancam jiwa.
Gambar 3: Keseimbangan antara terapi medis dan pengelolaan gaya hidup yang esensial dalam pengobatan maag kronis.