Menggali Amanat Sajak Tanah Sunda: Kearifan yang Tak Lekang Waktu
Tanah Sunda, dengan bentangan alamnya yang subur dari pegunungan hingga pesisir, telah melahirkan tradisi sastra lisan dan tulisan yang kaya. Di jantung kekayaan ini, terdapat "amanat sajak tanah Sunda"—pesan moral, etika, dan panduan hidup yang tersembunyi di balik metafora alam dan bahasa yang indah. Sajak-sajak ini bukan sekadar rangkaian kata; ia adalah cermin filosofi hidup masyarakat Sunda yang sangat menjunjung tinggi harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana versi lokal).
1. Harmoni dengan Alam: Pituduh Tina Énténg Hirup
Salah satu amanat paling mendasar dalam sajak-sajak Sunda klasik adalah pentingnya menjaga keseimbangan alam. Alam, yang sering kali diwujudkan sebagai gunung (misalnya Gunung Ciremai atau Salak) dan sawah yang menghijau, dipandang bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai ibu pemberi kehidupan. Sajak-sajak ini kerap mengingatkan bahwa keserakahan manusia akan memutus hubungan suci ini.
Dalam konteks modern, amanat ini relevan sebagai panggilan untuk keberlanjutan lingkungan. Jika manusia mengambil tanpa menanam kembali, atau merusak mata air demi kepentingan sesaat, maka generasi mendatang tidak akan merasakan "cai anu herang" (air yang jernih) yang sering digambarkan dalam puisi sebagai simbol kemakmuran sejati. Amanat ini menekankan kerendahan hati di hadapan kekuatan alam.
2. Etos Kerja dan Kesederhanaan (Titimangsa jeung Kadar)
Banyak sajak Sunda yang menggarisbawahi nilai-nilai kerja keras yang tekun, namun dilakukan tanpa kesombongan. Petani yang bangun sebelum fajar, seniman yang mengukir dengan kesabaran—mereka adalah model karakter ideal yang diangkat dalam puisi. Amanatnya jelas: keberhasilan sejati tidak diukur dari seberapa banyak kekayaan yang dikumpulkan, tetapi seberapa banyak kebajikan yang ditanamkan melalui usaha yang jujur.
Kesederhanaan (sahar) juga menjadi sorotan. Sajak sering kali mengkritik mereka yang hidup bermewah-mewahan tanpa memedulikan lingkungannya. Filosofi ini mendorong masyarakat untuk hidup secukupnya, mengutamakan kualitas batin daripada penampilan lahiriah. Inilah yang membuat amanat sajak ini bertahan, karena ia mengajarkan kepuasan batin, bukan konsumerisme.
3. Pentingnya Rasa Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh
Jantung dari tatanan sosial Sunda yang tercermin dalam sastra adalah konsep gotong royong yang termanifestasi dalam trilogi Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh. "Silih Asah" berarti saling mengasah kecerdasan dan moral; "Silih Asih" adalah saling mengasihi tanpa syarat; dan "Silih Asuh" adalah saling menjaga dan membimbing.
Amanat ini menuntut tanggung jawab komunal. Jika salah satu anggota masyarakat jatuh, masyarakat lain wajib menopangnya. Sajak-sajak lama seringkali berupa teguran lembut atau nasihat dari orang tua (sepuh) kepada generasi muda, mengingatkan bahwa ikatan kekeluargaan dan komunal jauh lebih kuat daripada kepentingan individu. Melupakan amanat ini sama dengan memotong akar budaya yang menopang identitas Sunda.
4. Dialog Spiritual dan Ketenangan Batin
Ketenangan batin (hening) merupakan tujuan akhir dari banyak ajaran yang tersirat dalam sajak. Ini bukan berarti pasif, melainkan mencapai kondisi pikiran yang jernih, di mana keputusan diambil berdasarkan pertimbangan moral yang matang, bukan emosi sesaat. Ajaran ini seringkali dihubungkan dengan nilai-nilai spiritualitas yang kuat, menekankan pentingnya refleksi diri dan hubungan vertikal yang baik dengan Sang Pencipta.
Banyak sajak menggunakan citra kabut pagi di lereng gunung atau keheningan malam sebagai simbolisasi dari proses introspeksi ini. Amanatnya adalah bahwa dalam hiruk pikuk kehidupan modern, manusia harus tetap meluangkan waktu untuk "hening" agar tidak tersesat dari jalan kebenaran. Kehidupan yang bermakna ditemukan bukan dalam pencapaian eksternal, melainkan dalam kedamaian internal yang dibangun melalui pemenuhan amanat-amanat luhur ini.
Oleh karena itu, memahami amanat sajak tanah Sunda adalah sebuah upaya melestarikan etos dan kearifan lokal. Pesan-pesan ini bersifat universal namun dikemas dengan lokalitas yang membumi, menjadikannya relevan untuk setiap generasi yang ingin hidup selaras, bertanggung jawab, dan damai.