An-Nahl Ayat 114: Perintah Bersyukur dan Halal

Ilustrasi Syukur dan Keberkahan

Teks An-Nahl Ayat 114 (Latin dan Arab)

Ayat 114 dari Surah An-Nahl (Lebah) merupakan landasan penting dalam ajaran Islam mengenai konsep syukur (terima kasih) kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan, serta perintah untuk mengonsumsi rezeki yang baik dan halal.

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Fakulū mimmā razaqakumullāhu ḥalālan ṭayyiban washkurū ni’matallāhi in kuntum iyyāhu ta‘budūn

Artinya:

"Maka makanlah dari apa yang telah dirizkikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah, jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya saja menyembah." (QS. An-Nahl: 114)

Makna Syukur dan Kehalalan Rezeki

Ayat ini mengandung dua perintah utama yang saling berkaitan erat dalam kehidupan seorang Muslim: perintah untuk mengonsumsi rezeki yang halal dan baik, serta perintah untuk bersyukur.

1. Keharusan Mengonsumsi yang Halal dan Tayyib (Baik)

Allah SWT menegaskan bahwa makanan dan rezeki yang dikonsumsi haruslah memenuhi dua kriteria: halal dan tayyib. Halal merujuk pada aspek legalitas atau keabsahan menurut syariat (tidak haram, tidak riba, tidak hasil curian). Sementara itu, tayyib (baik) mencakup kualitas makanan itu sendiri, yakni bersih, sehat, bergizi, dan pantas untuk dikonsumsi manusia. Islam sangat menekankan kualitas konsumsi karena makanan adalah penentu kualitas ibadah dan perilaku seseorang. Makanan haram dan kotor diyakini dapat mempengaruhi hati dan doa seseorang.

2. Kewajiban Bersyukur (Syukur)

Perintah "waskhurū ni’matallāh" (dan bersyukurlah atas nikmat Allah) ditempatkan tepat setelah perintah mengonsumsi rezeki halal. Ini menunjukkan bahwa nikmat Allah tidak terbatas pada keberadaan rezeki itu sendiri, tetapi juga pada kehalalan dan kebaikan rezeki tersebut. Rasa syukur ini harus diwujudkan tidak hanya dalam hati dan lisan, tetapi juga melalui amal perbuatan.

Imam Al-Ghazali membagi syukur menjadi tiga tingkatan: syukur hati (mengakui bahwa nikmat itu dari Allah), syukur lisan (mengucapkan hamdalah atau pujian), dan syukur anggota badan (menggunakan karunia tersebut untuk ketaatan kepada Allah).

Keterkaitan Syukur dan Tauhid

Penting untuk dicatat bahwa ayat ini ditutup dengan syarat: "in kuntum iyyāhu ta’budūn" (jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya saja menyembah). Hal ini mengikat erat antara perilaku konsumsi, rasa syukur, dan pondasi keimanan, yaitu tauhid (mengesakan Allah). Seseorang yang benar-benar beribadah dan menyembah Allah seharusnya otomatis menaati perintah-Nya untuk hanya mengambil yang halal dan berterima kasih atas pemberian-Nya. Jika seseorang telah mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, maka konsekuensi logisnya adalah mematuhi segala ketetapan-Nya, termasuk dalam urusan makanan dan rasa terima kasih.

Relevansi di Era Modern

Di tengah derasnya arus modernisasi, di mana banyak produk makanan olahan hadir tanpa kejelasan sumbernya, ayat ini menjadi pengingat fundamental. Umat Islam dituntut untuk lebih teliti (tafaqqah) dalam memastikan bahwa rezeki yang mereka peroleh, entah itu gaji, keuntungan usaha, atau makanan yang disajikan di meja makan, telah memenuhi standar halal dan tayyib. Mengabaikan aspek ini sama saja dengan mengingkari kesempurnaan ibadah yang dituntut oleh Allah SWT.

Kesimpulannya, An-Nahl ayat 114 adalah ringkasan etika hidup seorang Muslim: Nikmati apa yang telah Allah berikan dengan cara yang diridhai-Nya (halal dan baik), dan jadikan nikmat tersebut sebagai pendorong untuk semakin mendekat dan bersyukur kepada Sang Pemberi. Syukur yang sejati akan memelihara keberkahan dalam setiap santapan dan tindakan kita.

🏠 Homepage