Kekuasaan Ilahi

Ilustrasi visualisasi dari karunia dan kebenaran yang datang dari Allah.

Memahami An-Nahl Ayat 16:53: Sumber Segala Rahmat

Dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang secara eksplisit menyingkapkan hakikat keesaan Allah SWT serta sumber segala karunia yang kita nikmati. Salah satu ayat yang sangat fundamental dalam konteks tauhid (mengesakan Allah) dan pengakuan atas nikmat-Nya adalah Surah An-Nahl ayat ke-53. Ayat ini berfungsi sebagai penegasan bahwa tidak ada entitas lain selain Allah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

(QS. An-Nahl: 53)

Terjemahan dan Konteks Ayat

Ayat ini diterjemahkan kurang lebih sebagai: "Dan nikmat apa pun yang ada padamu, maka itu datangnya dari Allah. Kemudian apabila kamu ditimpa kemudaratan, kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan."

Ayat ini adalah penutup yang sangat kuat dalam serangkaian ayat di Surah An-Nahl yang membahas bagaimana kaum musyrikin, meskipun secara fitrah mengakui Allah sebagai Pencipta, namun dalam praktiknya mereka menyekutukan-Nya dengan sembahan lain. An-Nahl ayat 53 memaparkan sebuah realitas kehidupan manusia yang sangat universal: bahwa setiap kenikmatan, baik yang sifatnya besar (seperti kesehatan, rezeki, keamanan) maupun yang kecil, kesemuanya bersumber tunggal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pengakuan Mutlak atas Sumber Nikmat

Frasa kunci dalam ayat ini adalah "Wa ma bikum min ni’matin fa minallah" (Dan nikmat apa pun yang ada padamu, maka itu datangnya dari Allah). Ini menuntut seorang mukmin untuk selalu melihat setiap keberhasilan, kesenangan, dan kemudahan sebagai anugerah langsung dari Sang Pencipta. Pengakuan ini bukan sekadar formalitas lisan, melainkan harus tertanam dalam hati sehingga menumbuhkan rasa syukur (syukur) yang hakiki. Ketika syukur terwujud, seorang hamba akan terhindar dari kesombongan dan pengakuan bahwa keberhasilan adalah murni hasil usahanya semata.

Dalam konteks sehari-hari, ini berarti kita tidak boleh menjadi kufur nikmat. Jika seorang pebisnis sukses, ia harus ingat bahwa izin sukses tersebut datang dari Allah. Jika seseorang dikaruniai anak yang saleh, ia harus mengakui bahwa itu adalah karunia murni yang tidak bisa dibeli dengan uang. Dengan perspektif ini, ibadah seorang mukmin menjadi menyeluruh—bukan hanya saat shalat, tetapi juga saat menikmati nikmat tersebut.

Bersandar Kepada Allah Saat Tertimpa Ujian

Bagian kedua ayat ini memberikan kontras yang tajam dan menunjukkan kedalaman fitrah manusia: "Tsumma idza massakumu adh-dhurru fa ilayhi taj'aroon" (Kemudian apabila kamu ditimpa kemudaratan, kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan).

Perhatikan bagaimana Al-Qur'an menggambarkan kondisi manusia saat berada di puncak kesulitan. Baik mereka yang selama ini taat maupun yang sering lalai, ketika bahaya besar (seperti bencana alam, penyakit parah, atau kegagalan total) datang, secara naluriah dan spontan, jiwa manusia akan mengerahkan seluruh permohonannya kepada satu-satunya Zat yang Maha Kuasa untuk menyingkap kesulitan tersebut. Mereka "taj'aroon," yaitu berseru, meratap, dan memohon dengan sungguh-sungguh.

Ini adalah bukti nyata pengakuan fitrah manusia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ironisnya, banyak dari mereka yang kemudian lupa kepada Allah ketika kemudaratan itu telah diangkat, kembali lagi menyekutukan-Nya atau bersandar pada sebab-sebab duniawi.

Pelajaran Penting dari An-Nahl 16:53

Ayat ini mengajarkan prinsip keseimbangan dalam beragama. Pertama, bersyukurlah di kala senang karena itu datang dari Allah. Kedua, bergantunglah sepenuhnya kepada Allah di kala susah karena hanya Dia yang mampu menghilangkan kesulitan. Konsistensi dalam kedua kondisi inilah yang membedakan hamba yang benar-benar bertauhid.

Ketika seorang mukmin memahami An-Nahl 16:53 secara mendalam, maka ia akan menjalani hidup dengan ketenangan. Kesenangan tidak membuatnya mabuk kepayang, dan kesulitan tidak membuatnya putus asa. Kedua keadaan tersebut dilihatnya sebagai ujian dan kesempatan untuk berinteraksi dengan Sumber segala kebaikan dan pertolongan. Oleh karena itu, ayat ini menjadi pengingat abadi tentang ketergantungan total seorang makhluk kepada Khaliknya.

Dengan merenungkan ayat ini, seorang Muslim didorong untuk terus-menerus membersihkan niatnya, memastikan bahwa segala bentuk pujian, doa, dan harapan hanya dialamatkan kepada Allah semata, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Inilah inti ajaran tauhid yang ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah An-Nahl.

🏠 Homepage