Dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an, terdapat banyak sekali ayat yang memberikan peringatan keras sekaligus petunjuk tentang keadilan Ilahi. Salah satu ayat yang menekankan pentingnya pertanggungjawaban waktu adalah Surat An Nahl ayat 61.
"Maka apabila telah tiba waktu yang ditentukan bagi mereka, mereka tidak dapat memundurkannya sesaat pun dan tidak dapat (pula) mengajukannya." (QS. An Nahl [16]: 61)
Ayat ini berbicara spesifik mengenai batas waktu yang telah ditetapkan Allah SWT, baik itu terkait datangnya azab, ajal (kematian), atau waktu penghisaban di hari kiamat. Inti pesannya sangat lugas: Ketetapan waktu Allah bersifat mutlak dan tidak dapat dinegosiasikan, ditunda, atau dipercepat oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang lalai.
Pemahaman mendalam terhadap An Nahl 16:61 ini seharusnya menjadi cambuk motivasi bagi setiap Muslim untuk tidak menunda-nunda urusan penting, terutama dalam hal ibadah, taubat, dan berbuat baik. Jika penundaan urusan duniawi saja memiliki konsekuensi, apalagi penundaan urusan akhirat.
Gambar di atas mengilustrasikan perjalanan waktu. Begitu titik batas waktu yang telah ditetapkan (ditandai dengan warna merah) tercapai, tidak ada lagi mekanisme untuk memutar kembali (mundur) atau mengakselerasi (maju) proses tersebut. Ini menegaskan sifat finalitas dari ketetapan Ilahi.
Mengapa Allah SWT menekankan sifat mutlak dari ketetapan waktu ini? Ini adalah pelajaran penting tentang kesadaran (consciousness). Ketika manusia menyadari bahwa jam pasir kehidupannya memiliki batas yang tidak bisa digeser, sikap proaktif menjadi prioritas utama.
Salah satu penundaan paling berbahaya adalah menunda taubat. Banyak orang berpikir, "Saya akan bertobat setelah urusan X selesai," atau "Saya masih muda." Ayat An Nahl 16:61 mengingatkan bahwa ajal tidak menunggu kesiapan kita. Jika hari penghisaban tiba tanpa kita sempat membersihkan catatan amal, penyesalan saat itu tidak akan berguna.
Setiap Muslim diperintahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Ayat ini menormalkan ketakutan kita terhadap kematian, namun mengubah fokus dari ketakutan menjadi persiapan. Jika kita telah berusaha maksimal dalam ketaatan, maka ketika waktu itu tiba, kita akan menerimanya dengan ketenangan, karena kita tahu kita tidak bisa memintanya ditunda.
Selain konteks kematian, ayat ini juga relevan dalam konteks tanggung jawab sosial dan keagamaan. Ilmu yang didapat harus segera diamalkan, zakat harus segera ditunaikan, dan silaturahmi harus segera diperbaiki. Menunda kebaikan adalah memberi peluang bagi syaitan untuk menghalanginya. Karena waktu yang kita miliki saat ini adalah satu-satunya yang pasti.
Surat An Nahl ayat 61 bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah mekanisme pengingat universal. Ia menuntut kita untuk hidup secara sadar, menghargai setiap detik yang diberikan, dan selalu bergegas menuju kebaikan. Dunia ini adalah ladang, dan kita tidak tahu kapan waktu panen (atau penghakiman) itu akan tiba. Ketika waktu itu tiba, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki benih yang telah kita tanam.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan ayat ini sebagai kompas harian: Berbuat baiklah sekarang, beribadahlah sekarang, karena waktu adalah aset paling berharga yang dikendalikan sepenuhnya oleh Sang Pencipta.