Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi umat manusia, sering kali merujuk pada fenomena alam untuk menegaskan kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Salah satu ayat yang menyoroti keteraturan ciptaan ini adalah Surah An-Nahl (Lebah) ayat ke-78. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang asal mula penciptaan, tetapi juga tentang bagaimana Allah memberikan kemampuan dan batasan bagi makhluk-Nya.
Ayat 16:78 berbunyi:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78)
Kondisi Awal Kehidupan: Keadaan Tidak Mengetahui
Poin pertama yang ditekankan oleh ayat ini adalah fase awal kehidupan manusia: keluar dari rahim ibu dalam keadaan "tidak mengetahui sesuatupun" (lā taʿlamūna shay’an). Ini adalah pengakuan jujur terhadap keterbatasan fundamental manusia saat dilahirkan. Kita hadir di dunia tanpa bekal pengetahuan bawaan, tanpa konsep tentang Tuhan, moralitas, atau realitas fisik di sekitar kita. Kondisi ini secara implisit menunjukkan bahwa segala bentuk pengetahuan yang kita miliki adalah karunia yang diperoleh setelah kelahiran.
Ketiadaan pengetahuan awal ini menggarisbawahi kerentanan manusia. Kita sepenuhnya bergantung pada proses belajar, pengajaran, dan bimbingan dari lingkungan serta wahyu Ilahi untuk bisa berkembang. Ini adalah fase nol (tabula rasa) yang membuka ruang bagi pertumbuhan intelektual dan spiritual.
Anugerah Panca Indra dan Hati (Aql)
Setelah menetapkan kondisi awal yang polos, Allah kemudian menekankan tiga anugerah krusial yang Dia berikan kepada manusia: pendengaran, penglihatan, dan hati (atau akal/pemahaman). Ketiga komponen ini adalah alat utama yang digunakan manusia untuk berinteraksi, belajar, dan akhirnya mengenal Tuhannya.
Pendengaran (As-Samʿ) memungkinkan kita menerima informasi verbal, mendengarkan nasihat, membaca wahyu, dan memahami suara-suara alam. Melalui pendengaran, ilmu disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Penglihatan (Al-Baṣar) memberikan kapasitas untuk mengamati ciptaan Allah di jagat raya. Mata adalah jendela untuk melihat keindahan, keteraturan, dan bahkan tanda-tanda kebesaran dalam penciptaan, mulai dari bintang di langit hingga detail pada seekor serangga.
Namun, yang paling mendalam adalah pemberian Hati (Al-Fu’ād). Dalam konteks Al-Qur'an, hati seringkali diartikan bukan hanya sebagai organ fisik pemompa darah, tetapi sebagai pusat pemikiran, perasaan, kesadaran, dan pengambilan keputusan—inti dari kesadaran spiritual (akal budi). Hati adalah filter di mana informasi dari pendengaran dan penglihatan diolah menjadi pemahaman yang utuh dan keimanan.
Tujuan Akhir: Rasa Syukur
Ayat ini ditutup dengan tujuan mulia dari anugerah-anugerah tersebut: "agar kamu bersyukur" (laʿallakum tashkurūn). Syukur adalah respons alami terhadap penerimaan nikmat. Jika seseorang telah diberikan alat untuk mengetahui, maka kewajiban logisnya adalah menggunakan alat tersebut untuk mengakui Pemberi nikmat dan berterima kasih atasnya.
Bersyukur dalam konteks ayat ini berarti:
- Menggunakan pendengaran untuk mendengarkan kebenaran (wahyu).
- Menggunakan penglihatan untuk merenungkan kebesaran ciptaan.
- Menggunakan hati untuk memahami keesaan Allah (tauhid) dan bertindak sesuai tuntunan-Nya.
Ilustrasi: Alat-alat Karunia Allah untuk Belajar dan Bersyukur.
Implikasi Spiritualitas dan Ilmu Pengetahuan
Ayat An-Nahl 16:78 memberikan landasan filosofis yang kuat bagi umat Islam dalam memandang belajar dan pengetahuan. Ia menegaskan bahwa mencari ilmu adalah sebuah bentuk ibadah, karena kita sedang mengaktifkan instrumen yang telah Allah berikan secara gratis saat kita lahir.
Ketika seseorang menyadari bahwa ia memulai hidup tanpa bekal, ia akan lebih mudah menumbuhkan sifat tawadhu (rendah hati). Di sisi lain, ketika ia mulai memahami dan mengoptimalkan pendengaran, penglihatan, dan akalnya, ia akan menemukan jalan menuju rasa syukur yang mendalam. Kegagalan dalam menggunakan nikmat-nikmat ini—misalnya, menutup telinga dari kebenaran atau menggunakan mata hanya untuk melihat hal-hal yang melalaikan—berarti menyia-nyiakan tujuan penciptaan dan anugerah Ilahi tersebut.
Surah An-Nahl (Lebah) sendiri secara keseluruhan seringkali dikaitkan dengan keajaiban kerja sama dan ketertiban, yang diperkuat oleh ayat 78 ini. Kehidupan lebah yang penuh dengan ketelitian dan fungsi spesifik adalah cerminan dari keteraturan yang sama yang diharapkan dari penggunaan akal dan indra manusia. Dengan demikian, ayat ini mengajak kita untuk meneladani keteraturan tersebut dalam mencari dan menyebarkan ilmu demi mencapai ridha Allah SWT melalui syukur.