Surah An Nahl (Lebah) adalah salah satu surat Makkiyah yang kaya akan penegasan tauhid, kebesaran ciptaan Allah, dan konsekuensi dari kufur nikmat. Di tengah pembahasan mengenai nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya, terselip sebuah pengingat penting dalam ayat ke-47.
Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan fenomena alam yang tampak sederhana namun sarat makna ilahiah. Objek yang disorot di sini adalah "bayang-bayang" dari segala sesuatu yang diciptakan Allah.
Bayangan adalah manifestasi dari keberadaan suatu objek yang menghalangi cahaya. Ayat ini mengajukan pertanyaan retoris: "Apakah mereka tidak memperhatikan...?" Pertanyaan ini bertujuan membangkitkan kesadaran spiritual. Bayangan dari benda-benda di bumi—pepohonan, gunung, bangunan, bahkan diri kita sendiri—secara konstan bergerak dan berubah bentuk mengikuti pergerakan matahari.
Gerak bayangan yang "berbolak-balik ke kanan dan ke kiri" adalah representasi visual dari ketergantungan mutlak pada sumber cahaya (matahari) dan pergerakan bumi itu sendiri, yang semuanya berada di bawah kekuasaan Allah SWT.
Puncak dari perenungan ini adalah pengakuan bahwa pergerakan bayangan tersebut adalah bentuk "bersujud kepada Allah, sedang mereka dalam keadaan patuh (tunduk)". Sujud di sini tidak harus diartikan sebagai sujud ritual seperti yang dilakukan manusia, melainkan sebagai ketundukan eksistensial. Segala sesuatu tunduk pada hukum alam yang telah ditetapkan penciptanya. Benda tidak bisa memilih untuk tidak memiliki bayangan, tidak bisa memilih untuk diam di tempat saat matahari bergeser, dan tidak bisa menolak hukum fisika yang mengaturnya. Kepatuhan total inilah yang dimaksud dengan "bersujud dan patuh."
Meskipun An Nahl 47 secara harfiah membahas tentang bayangan, letaknya dalam konteks surat An Nahl, yang juga membahas tentang rezeki (terutama pada ayat-ayat sekitar, seperti ayat 48 dan 49 yang berbicara tentang datangnya pertolongan dan ketundukan segala sesuatu), menegaskan bahwa ketundukan eksistensial ini adalah jaminan rezeki.
Ketika alam semesta tunduk sepenuhnya pada kehendak-Nya (bersujud), maka sudah pasti Allah, Sang Pencipta, akan mencukupi kebutuhan ciptaan-Nya. Jika bayangan saja tunduk patuh, bagaimana mungkin Allah akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berusaha tunduk secara sadar melalui ibadah dan ketaatan?
Ini adalah pelajaran besar mengenai Tawakkul. Jika kita menyadari bahwa seluruh alam, yang bahkan tidak memiliki akal, tunduk patuh pada hukum yang ditetapkan, maka seharusnya kita sebagai makhluk berakal lebih layak untuk patuh. Kepatuhan kita (beribadah) adalah kunci untuk meraih rahmat dan rezeki yang terjamin dari Sang Penguasa alam.
Ayat ini menuntut introspeksi mendalam. Sudahkah hati kita sekonsisten bayangan dalam bersujud kepada Allah? Ketaatan yang sejati bukan hanya diukur saat melaksanakan ritual ibadah, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan—dalam bekerja, berinteraksi, dan bahkan saat kita beristirahat.
Kepatuhan bayangan bersifat otomatis, tanpa paksaan kehendak bebas. Sedangkan kepatuhan manusia adalah bentuk perjuangan (jihadun nafs) melawan hawa nafsu. Ketika manusia memilih untuk tunduk secara sadar (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan), ia meniru kepatuhan alam semesta, dan dengan demikian, ia menempatkan dirinya dalam kerangka rahmat Ilahi.
Oleh karena itu, An Nahl 47 berfungsi sebagai cermin besar. Ia menunjukkan bahwa keteraturan dan kepatuhan adalah sifat dasar alam semesta. Mengikuti jalan yang ditetapkan Allah adalah jalan yang sesuai dengan fitrah alam semesta itu sendiri. Dengan merenungkan bayangan yang selalu tunduk, seorang mukmin diingatkan untuk selalu menjaga ketaatan, karena di dalam ketaatan itu terdapat ketenangan dan jaminan rezeki dari Allah SWT.