Al-Qur'an adalah pedoman hidup yang komprehensif, berisi petunjuk, peringatan, dan kabar gembira bagi umat manusia. Di antara lautan hikmah tersebut, terdapat ayat-ayat yang secara eksplisit memanggil akal dan hati manusia untuk merenungkan hakikat penciptaan dan sumber segala nikmat. Salah satu ayat yang sangat mendasar dalam penegasan tauhid (keesaan Allah) adalah Surah An-Nahl ayat 51. Ayat ini, yang terletak dalam surat yang banyak membahas tentang nikmat-nikmat Allah (An-Nahl berarti lebah), menjadi penutup bagi serangkaian penjelasan tentang karunia-Nya.
Ayat 51 dari Surah An-Nahl ini berbicara tentang sebuah skenario universal yang sering dialami manusia: keputusasaan total di tengah bencana. Fokus utama ayat ini adalah kondisi ketika manusia menghadapi bahaya di lautan. Laut, secara historis dan psikologis, adalah simbol dari kekuatan alam yang dahsyat dan tak terduga. Ketika kapal terombang-ambing, badai datang, atau kapal karam, semua sandaran duniawi—kekayaan, status, ilmu pengetahuan manusia—seolah lenyap.
Dalam kondisi kritis tersebut, naluri terdalam manusia akan memanggil entitas yang diyakini memiliki kekuatan tertinggi untuk menyelamatkan. Ayat ini menegaskan, pada saat itu, "niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah)." Ini adalah pengakuan spontan dan tak terhindarkan bahwa hanya kekuatan Ilahi yang tersisa sebagai tumpuan harapan. Ini menunjukkan bahwa fitrah ketuhanan (kecenderungan mengakui adanya Pencipta) itu ada dalam diri manusia, meskipun sering tertutup oleh kesibukan duniawi.
Poin krusial kedua dari ayat ini adalah reaksi manusia setelah diselamatkan. "Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling." Ketika bahaya telah berlalu dan kaki kembali menapak di tanah yang stabil, ingatan akan pertolongan langsung memudar. Manusia kembali kepada kesibukan, kesombongan, dan keterikatan pada sembahan-sembahan selain Allah, melupakan janji dan doa yang diucapkan dalam keputusasaan.
Kesimpulan ayat ini sangat tegas: "Dan sesungguhnya manusia itu mengingkari nikmat(nya)." Kata 'kafūr' (كفورًا) di sini berarti sangat mengingkari atau sangat tidak berterima kasih. Ini bukan sekadar lupa sesekali, melainkan sebuah kecenderungan watak yang sulit untuk selalu bersyukur dan konsisten dalam pengabdian, terutama ketika keadaan sudah aman dan nyaman. Keingkaran ini adalah kegagalan terbesar karena mengkhianati Dzat yang telah menyelamatkan dari ancaman kematian.
An-Nahl 51 memberikan pelajaran penting tentang konsistensi iman. Tuhan tidak meminta agar kita hanya mengingat-Nya saat susah. Sebaliknya, ayat ini mengajak kita untuk menjadikan rasa takut dan harap yang muncul saat genting sebagai barometer kualitas iman kita saat lapang. Apakah kita mampu mempertahankan kesadaran bahwa nikmat selamat itu berasal dari Allah, bukan semata-mata karena usaha kita sendiri?
Keingkaran yang disebutkan dalam ayat ini seringkali termanifestasi dalam bentuk syirik kecil (menyekutukan Allah dalam bentuk pujian atau ketergantungan parsial) atau kelalaian dalam melaksanakan hak-hak Allah (seperti shalat dan dzikir). Ayat ini mengingatkan bahwa kemudahan hidup seringkali menjadi ujian yang lebih berat daripada kesulitan. Ketika Allah mencabut sedikit kesulitan dan memberikan kenyamanan (kembali ke daratan), apakah kita tetap menjadikan-Nya satu-satunya tujuan, atau kita kembali menyandarkan diri pada ilah-ilah palsu ciptaan kita sendiri?
Surah An-Nahl ayat 51 adalah cerminan jujur tentang kerapuhan psikologi manusia. Ia menelanjangi ilusi bahwa kekuatan diri atau benda-benda di sekitar kita dapat menyelamatkan dari takdir mutlak. Dengan menyoroti kontras antara doa tulus saat bahaya dan pengabaian saat aman, ayat ini menuntut umat Islam untuk membangun spiritualitas yang kokoh, tidak hanya saat menghadapi ombak besar, tetapi juga dalam ketenangan pelabuhan. Pengakuan atas keesaan Allah (tauhid) harus menjadi prinsip yang stabil, baik ketika hidup terasa seperti lautan yang ganas maupun daratan yang damai.