Surat An-Nas (Manusia) adalah surat penutup dalam Al-Qur'an, sebuah doa perlindungan yang ringkas namun mengandung makna universal. Ayat 1 hingga 3 secara khusus menjadi fondasi utama bagi seorang Muslim untuk memohon perlindungan dari sumber kejahatan yang paling mendasar.
Tiga ayat pertama ini menetapkan objek permohonan perlindungan kita, yaitu Allah SWT, yang memiliki tiga sifat utama yang menjadikannya tempat berlindung yang sempurna. Memahami esensi dari setiap ayat ini sangat penting dalam menghadapi tantangan spiritual dan godaan duniawi.
Perintah "Qul" (Katakanlah) pada ayat pertama menegaskan bahwa permohonan ini harus diucapkan secara sadar dan berulang. Ini bukan sekadar hafalan, melainkan penegasan iman di hadapan potensi bahaya spiritual.
Ayat pertama memperkenalkan Allah sebagai Rabbun Nas. Kata 'Rabb' mengandung makna pencipta, pemelihara, pengatur, dan pendidik. Ketika kita berlindung kepada Rabb, kita mengakui bahwa hanya Dia yang memiliki otoritas penuh atas keberadaan kita—mulai dari proses penciptaan, pemeliharaan kehidupan sehari-hari, hingga pengaturan takdir.
Dalam konteks perlindungan, pengakuan ini berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya. Kejahatan dan godaan yang kita hadapi adalah hal yang telah diizinkan terjadi, dan dengan berlindung kepada Rabb, kita meminta agar pengaturan tersebut mengarahkan kita pada kebaikan tertinggi, menjauhkan dari keburukan yang membahayakan iman.
Ayat kedua membawa kita pada tingkatan otoritas yang lebih spesifik: Malikun Nas, Raja Manusia. Raja menunjukkan kepemilikan mutlak dan kedaulatan tanpa tanding. Tidak ada makhluk lain yang memiliki hak untuk memerintah atau memiliki manusia selain Allah SWT.
Fungsi memohon perlindungan kepada Raja adalah penyerahan diri total terhadap kekuasaan tertinggi. Dalam kehidupan, kita sering merasa terancam oleh kekuatan-kekuatan duniawi—kekuasaan zalim, tekanan sosial, atau dominasi hawa nafsu. Dengan mengakui Allah sebagai Raja, kita menegaskan bahwa semua kekuatan tersebut fana dan tunduk pada kehendak-Nya. Perlindungan dari Sang Raja adalah perlindungan yang tidak dapat ditembus oleh musuh manapun.
Ayat ketiga melengkapi fondasi ini dengan Ilaahun Nas, Tuhan yang berhak disembah. Inilah puncak dari Tauhid (mengesakan Tuhan). Sembahan adalah fokus total dari cinta, rasa harap, rasa takut, dan pengabdian tertinggi.
Mengapa penting menyebut sifat Ilah dalam konteks berlindung? Karena sumber utama dari segala kejahatan yang menyerang manusia—terutama dari ayat selanjutnya (Al-Waswas Al-Khannas)—adalah kesyirikan atau penyimpangan dalam ibadah. Jika seseorang menjadikan selain Allah sebagai sembahan (entah itu harta, jabatan, atau hawa nafsu), maka ia membuka pintu bagi kejahatan yang berasal dari penyimpangan fokus spiritualnya itu.
Berlindung kepada Ilah berarti menegaskan bahwa hanya Dia yang layak menerima ketaatan dan penyembahan kita, sehingga melindungi hati kita dari godaan yang mengalihkan tujuan utama penciptaan kita.
Ayat 1-3 An-Nas bukan sekadar pembukaan doa; mereka adalah pernyataan keimanan yang berulang. Ketika kita mengucapkan kalimat ini, kita sedang melakukan "de-otoritasasi" semua sumber ancaman sementara dan menegaskan kembali superioritas Allah atas semua ancaman tersebut.
Sebagai seorang Muslim, memohon perlindungan kepada Rabb, Malik, dan Ilah manusia adalah praktik spiritual yang menguatkan benteng diri. Ini membantu menempatkan segala kekhawatiran pada perspektif yang benar. Kejahatan yang datang mungkin berupa penyakit (di bawah pengaturan Rabb), kesulitan ekonomi (di bawah kekuasaan Malik), atau godaan maksiat (yang menantang status Ilah dalam hati kita). Dengan mengikrarkan ketiga sifat ini, kita secara aktif membangun dinding spiritual yang kokoh, mempersiapkan diri untuk menghadapi ayat selanjutnya, yaitu perlindungan dari setan yang membisikkan kejahatan.