Gambar 1: Perbedaan visual antara agen penyebab disentri.
Disentri merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan diare berdarah dan berlendir, sering disertai dengan demam, nyeri perut hebat, dan tenesmus (rasa ingin buang air besar yang menyakitkan namun tidak produktif). Secara historis, disentri telah menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas, terutama pada anak-anak di negara berkembang dengan sanitasi yang buruk.
Penting untuk membedakan dua jenis utama disentri berdasarkan etiologinya: Disentri Basiler dan Disentri Amuba. Mayoritas kasus disentri akut di seluruh dunia, khususnya pada anak-anak, disebabkan oleh bakteri, utamanya genus Shigella. Sementara itu, disentri amuba disebabkan oleh parasit protozoa, Entamoeba histolytica, yang meskipun kurang umum dibandingkan shigellosis, dapat menyebabkan komplikasi ekstra-intestinal yang fatal, seperti abses hati amuba.
Keputusan untuk memberikan terapi antibiotik atau antiparasit pada pasien disentri bukanlah perkara sederhana. Penggunaan yang tidak tepat tidak hanya memboroskan sumber daya, tetapi juga mempercepat munculnya resistensi antimikroba (AMR), yang merupakan ancaman kesehatan global saat ini. Oleh karena itu, strategi penanganan harus didasarkan pada konfirmasi etiologi, tingkat keparahan gejala, dan pola resistensi lokal.
Pengobatan disentri selalu dimulai dengan rehidrasi yang adekuat. Antibiotik atau antiparasit hanya digunakan sebagai terapi tambahan yang ditargetkan untuk memberantas patogen spesifik yang teridentifikasi atau dicurigai, terutama pada kasus sedang hingga berat.
Pemahaman mendalam tentang bagaimana patogen menyebabkan kerusakan usus adalah kunci untuk memilih agen antimikroba yang paling efektif. Agen kausatif bekerja dengan mekanisme yang berbeda, sehingga membutuhkan kelas obat yang berbeda pula.
Disentri basiler disebabkan oleh empat spesies utama Shigella: S. dysenteriae (sering dikaitkan dengan kasus paling parah dan epidemi), S. flexneri (paling umum di negara berkembang), S. boydii, dan S. sonnei (paling umum di negara maju, biasanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan). Shigella adalah bakteri Gram-negatif yang memiliki dosis infektif sangat rendah, memungkinkan penyebaran cepat melalui kontaminasi minimal.
Patogenesis Shigella melibatkan invasi sel epitel mukosa usus besar. Begitu masuk, bakteri ini menggunakan sistem sekresi tipe III untuk memicu polimerisasi aktin, memungkinkannya bergerak di dalam sitoplasma dan menyebar ke sel epitel di sekitarnya tanpa melewati lingkungan ekstraseluler. Proses ini menyebabkan kematian sel, ulserasi, peradangan hebat, dan pelepasan darah serta nanah ke dalam tinja.
Spesies S. dysenteriae tipe 1 juga memproduksi toksin Shiga, yang tidak hanya merusak sel epitel usus tetapi juga dapat masuk ke sirkulasi darah dan menyebabkan komplikasi sistemik yang parah, yang paling ditakuti adalah Sindrom Uremik Hemolitik (HUS). Kehadiran potensi HUS pada infeksi S. dysenteriae adalah alasan utama mengapa terapi antibiotik harus segera dimulai pada kasus shigellosis yang parah.
Disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica, disentri amuba terjadi ketika trofozoit amuba (bentuk aktif) menginvasi dinding usus besar. Infeksi ini umumnya didapatkan melalui konsumsi kista yang resisten dari makanan atau air yang terkontaminasi.
Trofozoit memiliki kemampuan adhesi dan lisis yang kuat. Mereka menggunakan enzim proteolitik, disebut amebapore, yang melubangi membran sel epitel dan sel imun, menyebabkan apoptosis dan nekrosis. Invasi ini menciptakan ulkus berbentuk botol khas di submukosa usus. Jika trofozoit menembus vena portal, mereka dapat menyebar ke organ lain, terutama hati, menyebabkan abses hati amuba, yang memerlukan regimen pengobatan khusus dan intensif.
Perbedaan antara disentri basiler dan amuba, baik dalam organisme penyebab maupun mekanisme kerjanya, secara langsung menentukan pilihan obat. Antibiotik (antibakteri) tidak efektif melawan amuba, dan sebaliknya, agen antiparasit tidak dapat memberantas Shigella.
Tidak semua kasus diare berdarah memerlukan terapi antimikroba. Dalam banyak kasus diare cair non-spesifik atau diare berdarah ringan yang disebabkan oleh patogen yang dapat sembuh sendiri (misalnya beberapa strain E. coli enteroinvasif), terapi suportif (rehidrasi) sudah cukup.
Terlepas dari etiologinya, kehilangan cairan dan elektrolit adalah bahaya langsung terbesar dari disentri. Terapi Rehidrasi Oral (Oral Rehydration Therapy/ORT) menggunakan cairan Rehidrasi Oral (ORS) adalah standar emas yang harus dimulai segera. ORS bekerja dengan mekanisme ko-transport glukosa-natrium di usus halus, memastikan penyerapan air dan elektrolit.
Terapi antimikroba ditujukan untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi risiko komplikasi sistemik (seperti HUS), dan mengurangi penyebaran patogen. Indikasi pemberian obat spesifik meliputi:
Idealnya, pengobatan harus didasarkan pada hasil kultur tinja dan uji sensitivitas antibiotik (antibiogram). Namun, karena hasil kultur memerlukan waktu 48–72 jam, terapi empiris seringkali harus dimulai segera, terutama pada anak-anak. Terapi empiris ini harus didasarkan pada data epidemiologi lokal mengenai pola resistensi Shigella yang dominan.
Pemilihan obat sangat bergantung pada apakah etiologinya adalah bakteri atau parasit.
Sejarah pengobatan shigellosis ditandai oleh resistensi yang cepat. Dahulu, ampisilin dan kotrimoksazol (trimetoprim-sulfametoksazol) adalah lini pertama, namun kini sebagian besar strain telah resisten terhadap keduanya di banyak wilayah.
Ciprofloxacin (CIP) telah lama dianggap sebagai pilihan utama untuk pengobatan shigellosis pada orang dewasa. Mekanisme kerjanya adalah menghambat DNA girase dan topoisomerase IV bakteri, mengganggu replikasi DNA.
Dosis dan Farmakokinetik: Dosis standar untuk dewasa biasanya 500 mg dua kali sehari selama 3 hari. Ciprofloxacin memiliki bioavailabilitas oral yang baik dan terdistribusi luas ke jaringan usus. Namun, pada anak-anak, penggunaannya dibatasi karena potensi risiko artropati (kerusakan tulang rawan), meskipun pedoman WHO dan CDC memperbolehkannya jika tidak ada alternatif yang lebih aman atau jika kasusnya parah dan mengancam jiwa.
Tantangan Resistensi Ciprofloxacin: Dalam dua dekade terakhir, resistensi terhadap Ciprofloxacin, terutama pada S. flexneri dan S. sonnei, telah meningkat drastis, terutama di Asia dan Afrika. Munculnya resistensi terhadap kuinolon sering kali merupakan pertanda dari resistensi silang terhadap obat lain, menuntut pergeseran ke kelas obat alternatif.
Azithromycin (AZM) kini menjadi pilihan lini pertama yang semakin direkomendasikan, terutama untuk anak-anak, di mana kuinolon dihindari, dan di wilayah dengan resistensi kuinolon yang tinggi. Azithromycin bekerja dengan mengikat subunit 50S ribosom bakteri, menghambat sintesis protein.
Keunggulan pada Anak: Azithromycin umumnya ditoleransi dengan baik dan memiliki keunggulan berupa dosis harian tunggal dan durasi pengobatan yang singkat (biasanya 3 hari). Obat ini juga memiliki penetrasi yang baik ke dalam jaringan, penting karena Shigella bersifat invasif intraseluler.
Regimen Dosis: Dosis anak sering kali didasarkan pada berat badan (misalnya 12 mg/kg/hari selama 3 hari). Penggunaan Azithromycin perlu diawasi karena penggunaan berlebihan dapat memicu resistensi makrolida, yang juga penting dalam pengobatan penyakit menular seksual dan infeksi pernapasan lainnya.
Ceftriaxone (injeksi intravena atau intramuskular) disediakan untuk kasus shigellosis yang sangat parah, pasien yang dirawat inap, atau ketika terdapat kegagalan pengobatan oral dan resistensi berganda (multidrug resistance/MDR). Obat ini bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri.
Indikasi Khusus: Ceftriaxone sangat penting jika dicurigai adanya bakteriemia (bakteri dalam darah) atau infeksi sistemik yang membutuhkan konsentrasi obat yang tinggi dalam serum. Pengobatan biasanya diberikan selama 2 hingga 5 hari tergantung respons klinis.
Pengobatan amebiasis memerlukan pendekatan dua langkah yang berbeda: memberantas amuba yang menginvasi jaringan (trofozoit) dan membersihkan kista atau amuba yang tersisa di lumen usus.
Metronidazole adalah obat pilihan untuk memberantas trofozoit E. histolytica yang menginvasi mukosa usus (amebiasis invasif) atau yang telah menyebar ke hati (abses hati amuba). Obat ini adalah amebisida jaringan yang sangat efektif.
Mekanisme Aksi: Metronidazole adalah prodrug yang diaktifkan di lingkungan anaerob oleh trofozoit. Setelah diaktifkan, ia membentuk produk antara yang sitotoksik, merusak DNA dan protein sel parasit.
Regimen: Dosis standar Metronidazole untuk amebiasis invasif adalah 500-750 mg tiga kali sehari selama 7 hingga 10 hari. Tinidazole adalah alternatif yang sering disukai karena memiliki waktu paruh yang lebih panjang, memungkinkan dosis yang lebih jarang dan durasi pengobatan yang lebih singkat, yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
Setelah pengobatan Metronidazole selesai, wajib diberikan amebisida luminal untuk membersihkan kista atau trofozoit yang mungkin masih hidup di lumen usus. Jika langkah ini dilewati, pasien berisiko mengalami kekambuhan atau menjadi pembawa asimtomatik, yang dapat menyebarkan penyakit.
Resistensi terhadap obat anti-disentri adalah salah satu krisis kesehatan masyarakat yang paling cepat berkembang. Shigella, khususnya, telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk mengakuisisi plasmid resistensi, yang membuat strain MDR menjadi lazim di banyak bagian dunia.
Ketika strain Shigella menjadi resisten terhadap lini pertama seperti Ampisilin dan Kotrimoksazol, fokus pengobatan beralih ke Ciprofloxacin. Namun, penggunaan kuinolon yang meluas (seringkali untuk penyakit diare non-invasif yang tidak memerlukannya) telah mendorong seleksi strain yang memiliki penurunan sensitivitas atau resistensi penuh terhadap kuinolon. Strain ini sering disebut sebagai Ciprofloxacin-Resistant Shigella (CRS).
Peningkatan resistensi ini memaksa klinisi untuk menggunakan obat generasi terakhir seperti Azithromycin atau Ceftriaxone, yang harganya lebih mahal, memerlukan pemberian suntikan (Ceftriaxone), dan secara global penting untuk pengobatan infeksi yang lebih serius. Jika resistensi terhadap Azithromycin dan Ceftriaxone menjadi luas, kita akan dihadapkan pada skenario pengobatan yang sangat terbatas, terutama untuk anak-anak yang sakit parah.
Untuk mempertahankan efektivitas antibiotik yang tersisa, dibutuhkan strategi multi-faceted:
Gambar 2: Ilustrasi fenomena resistensi di mana antibiotik tidak mampu menembus atau merusak patogen.
Penanganan disentri harus disesuaikan untuk kelompok populasi yang rentan, seperti anak-anak, wanita hamil, dan pasien immunocompromised, karena pertimbangan farmakokinetik, toksisitas, dan risiko komplikasi yang berbeda.
Anak-anak, terutama yang berusia di bawah dua tahun, memiliki risiko tertinggi mengalami dehidrasi berat dan HUS akibat S. dysenteriae. Oleh karena itu, pengobatan yang tepat dan cepat sangat krusial.
Pengobatan disentri pada wanita hamil harus mempertimbangkan keamanan obat bagi janin. Disentri yang tidak diobati pada wanita hamil dapat menyebabkan dehidrasi berat dan kelahiran prematur.
Pasien dengan HIV/AIDS, penerima transplantasi, atau yang menjalani kemoterapi memiliki risiko tinggi mengalami infeksi disentri yang lebih persisten dan fatal. Dosis antibiotik mungkin perlu ditingkatkan atau durasi pengobatan diperpanjang. Seringkali, terapi kombinasi atau agen yang diserap dengan baik, seperti Ceftriaxone, diperlukan karena risiko infeksi sistemik (bakteriemia) yang lebih tinggi.
Untuk memastikan efektivitas maksimum dan meminimalisir resistensi, klinisi harus memahami karakteristik farmakodinamik obat yang digunakan.
Ciprofloxacin termasuk dalam kelas obat yang aktivitasnya bergantung pada rasio Area Under the Curve (AUC) terhadap Minimum Inhibitory Concentration (MIC) – dikenal sebagai mekanisme AUC/MIC. Artinya, penting untuk menjaga paparan kumulatif obat di lokasi infeksi di atas ambang batas tertentu sepanjang waktu. Kegagalan mencapai rasio ini dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan seleksi resisten.
Peningkatan resistensi Shigella terhadap Ciprofloxacin sering disebabkan oleh mutasi pada gen target (gyrA dan parC) atau peningkatan mekanisme pompa efluks yang mengeluarkan obat dari sel bakteri, sehingga menurunkan konsentrasi obat intraseluler yang diperlukan untuk membunuh patogen invasif.
Azithromycin memiliki waktu paruh yang sangat panjang (lebih dari 60 jam) dan akumulasi tinggi dalam fagosit dan sel-sel mukosa. Ini adalah keuntungan besar dalam mengobati shigellosis, karena Shigella adalah patogen intraseluler. Dosis harian tunggal dapat mempertahankan konsentrasi terapeutik yang efektif selama beberapa hari, memungkinkan durasi pengobatan yang lebih pendek (3 hari).
Namun, penggunaan Azithromycin yang tidak rasional dalam dosis sub-terapeutik dapat meningkatkan seleksi resistensi, terutama pada gen erm(B) yang memediasi resistensi terhadap makrolida. Konservasi Azithromycin sebagai lini kedua/ketiga yang efektif sangat penting dalam memerangi disentri.
Metronidazole memerlukan aktivasi oleh enzim ferredoxin yang terdapat di dalam mitokondria trofozoit amuba (dan bakteri anaerob). Karena Metronidazole berinteraksi dengan DNA, keberhasilannya bergantung pada penetrasi yang baik ke dalam jaringan di mana trofozoit telah bersarang. Kegagalan pengobatan Metronidazole jarang disebabkan oleh resistensi amuba, melainkan lebih sering disebabkan oleh kegagalan membersihkan infeksi luminal yang tersisa atau diagnosis yang salah (bukan amuba).
Dalam konteks AMR, pencegahan infeksi primer adalah strategi paling vital untuk mengurangi kebutuhan akan antibiotik. Disentri, sebagai penyakit yang ditularkan melalui jalur fekal-oral, sepenuhnya dapat dicegah melalui intervensi WASH (Water, Sanitation, and Hygiene).
Sumber utama penularan disentri adalah air minum yang terkontaminasi atau paparan tinja manusia. Investasi dalam infrastruktur sanitasi yang memadai (toilet yang layak, pengelolaan limbah yang aman) dan akses terhadap air minum yang diolah (klorinasi, perebusan, atau filtrasi) adalah intervensi paling efektif yang mengurangi insiden shigellosis dan amebiasis hingga lebih dari 50%.
Pencucian tangan yang benar dengan sabun pada saat-saat kritis (setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan) dapat memutus rantai penularan. Selain itu, praktik keamanan makanan, termasuk memasak makanan hingga matang sempurna dan mencegah kontaminasi silang antara makanan mentah dan matang, sangat penting.
Gambar 3: Mencuci tangan adalah kunci pencegahan disentri.
Pengembangan vaksin yang efektif melawan Shigella adalah prioritas tinggi. Vaksin dapat memberikan kekebalan populasi dan mengurangi beban penyakit secara drastis, sehingga mengurangi tekanan seleksi pada antibiotik. Meskipun beberapa kandidat vaksin sedang dalam uji klinis, belum ada vaksin Shigella yang dilisensikan secara luas yang tersedia secara komersial saat ini.
Untuk mengilustrasikan kompleksitas pengambilan keputusan, berikut adalah analisis rinci beberapa skenario klinis.
Seorang anak berusia 3 tahun dibawa ke klinik dengan demam 39°C, muntah, dan diare berdarah 8 kali dalam 12 jam terakhir. Tampak lesu, mata cekung, dan turgor kulit lambat kembali (dehidrasi berat). Tidak ada riwayat penggunaan antibiotik baru-baru ini. Area ini diketahui memiliki resistensi tinggi terhadap Kotrimoksazol dan Ciprofloxacin.
Anak ini membutuhkan rehidrasi IV segera dan terapi antibiotik empiris. Karena dehidrasi berat dan demam tinggi menunjukkan infeksi invasif yang serius (kemungkinan besar Shigellosis), dan resistensi Ciprofloxacin diketahui, lini pertama harus Azithromycin (12 mg/kg/hari) selama 3 hari. Jika kondisi anak memburuk atau dicurigai sepsis, peralihan cepat ke Ceftriaxone (injeksi) diperlukan, sambil menunggu kultur dan uji sensitivitas.
Pemilihan Azithromycin didasarkan pada profil keamanan untuk anak, efektivitasnya terhadap Shigella yang resisten terhadap Ciprofloxacin, dan mekanisme kerjanya yang baik melawan patogen intraseluler. Pengobatan harus segera dimulai, bahkan sebelum konfirmasi laboratorium, untuk mencegah HUS.
Seorang pelancong berusia 35 tahun kembali dari perjalanan ke daerah tropis dan mengalami diare lendir berdarah ringan hingga sedang, kram perut ringan, tetapi tanpa demam. Pemeriksaan mikroskopis tinja mengkonfirmasi adanya trofozoit E. histolytica, tetapi tidak ada leukosit (menunjukkan tingkat invasi yang lebih rendah).
Meskipun gejalanya relatif ringan, diagnosis amebiasis invasif menuntut pengobatan. Ini memerlukan terapi kombinasi untuk memberantas trofozoit jaringan dan membersihkan kista/amuba luminal.
Metronidazole diperlukan untuk mencegah trofozoit menyebar dan menyebabkan abses hati. Paromomycin mencegah pasien menjadi pembawa kista asimtomatik yang dapat menyebarkan penyakit atau mengalami kekambuhan, karena Metronidazole tidak efektif dalam membersihkan kista.
Pasien dewasa diberi Ciprofloxacin secara empiris selama 3 hari untuk disentri. Setelah 72 jam, pasien masih mengalami demam, dan frekuensi diare berdarah tidak berkurang. Hasil kultur tinja awal mengindikasikan S. flexneri, dan uji sensitivitas menunjukkan resistensi terhadap Ciprofloxacin, Ampisilin, dan Kotrimoksazol.
Ini adalah kasus kegagalan pengobatan akibat resistensi multidrug. Pengobatan harus segera dialihkan ke lini ketiga yang tersisa.
Pilihan 1: Azithromycin (terutama jika sensitivitasnya belum diketahui, karena seringkali masih efektif pada strain yang resisten terhadap kuinolon).
Pilihan 2: Jika pasien membutuhkan rawat inap atau jika Azithromycin gagal, harus digunakan Ceftriaxone (IV/IM), yang biasanya dipertahankan sebagai obat terakhir yang efektif untuk shigellosis MDR.
Kegagalan Ciprofloxacin menggarisbawahi pentingnya pengawasan AMR. Dalam kasus resistensi terkonfirmasi, penggunaan obat alternatif yang telah terbukti penetrasinya (Azithromycin) atau obat injeksi yang mengatasi potensi sepsis (Ceftriaxone) adalah langkah yang benar.
Disentri tetap menjadi penyakit yang memerlukan perhatian klinis segera karena potensi morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama pada kelompok rentan. Meskipun terapi rehidrasi adalah tulang punggung pengobatan, peran antibiotik atau antiparasit adalah krusial dalam memberantas patogen dan mempersingkat durasi penyakit invasif.
Namun, era resistensi antimikroba menuntut pendekatan yang sangat hati-hati dan rasional. Penggunaan Ciprofloxacin yang berlebihan dan tidak tepat telah mengurangi masa manfaatnya. Saat ini, Azithromycin dan Ceftriaxone semakin menjadi garis pertahanan terakhir untuk shigellosis MDR, sehingga konservasi obat-obatan ini melalui praktik resep yang bijak sangat penting.
Pengobatan disentri yang komprehensif harus mencakup identifikasi cepat apakah penyebabnya adalah bakteri atau amuba, pemantauan pola resistensi lokal untuk memandu terapi empiris, dan selalu didukung oleh intervensi pencegahan WASH untuk mengurangi insiden secara keseluruhan. Hanya dengan strategi terpadu ini kita dapat memastikan bahwa senjata antimikroba yang kita miliki tetap efektif untuk generasi mendatang.
Selain itu, penting untuk menekankan bahwa penanganan disentri tidak berhenti pada dosis terakhir antibiotik. Pemantauan klinis, edukasi pasien tentang kebersihan, dan tindak lanjut untuk memastikan pemulihan total—terutama dalam kasus amebiasis yang memerlukan pembersihan luminal—merupakan langkah wajib untuk memutus rantai penularan dan mencegah komplikasi jangka panjang.
Sinergi antara farmakologi yang cerdas, dukungan klinis yang kuat, dan inisiatif kesehatan masyarakat adalah satu-satunya jalan menuju pengendalian disentri yang berkelanjutan.