Antibiotik Radang Tenggorokan Dewasa: Panduan Pengobatan yang Rasional dan Komprehensif
Radang tenggorokan, atau faringitis, adalah keluhan umum yang sering membawa pasien dewasa ke fasilitas kesehatan. Meskipun terasa sangat mengganggu dan menimbulkan nyeri yang hebat, perlu ditekankan bahwa sebagian besar kasus radang tenggorokan disebabkan oleh infeksi virus dan tidak memerlukan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tepat dan rasional sangat krusial untuk mencegah resistensi antibiotik global dan memastikan efektivitas pengobatan jangka panjang.
Peringatan Penting: Artikel ini bersifat informatif. Keputusan untuk memulai pengobatan antibiotik harus selalu didasarkan pada diagnosis klinis dan tes laboratorium yang dilakukan oleh dokter atau profesional kesehatan berlisensi. Mengonsumsi antibiotik tanpa indikasi yang jelas dapat menyebabkan bahaya serius.
I. Memahami Penyebab Radang Tenggorokan pada Dewasa
Langkah pertama dalam menentukan apakah antibiotik diperlukan adalah membedakan penyebab radang tenggorokan. Kurang dari 15% kasus faringitis pada orang dewasa disebabkan oleh bakteri.
1. Etiologi Viral (Penyebab Paling Umum)
Infeksi virus menyumbang sekitar 85-90% dari kasus radang tenggorokan dewasa. Kasus ini bersifat self-limiting (sembuh dengan sendirinya) dan pengobatannya berfokus pada manajemen gejala.
Rhinovirus dan Coronavirus: Seringkali terkait dengan gejala flu biasa (pilek, bersin).
Adenovirus: Dapat menyebabkan faringokonjungtivitis (radang tenggorokan disertai mata merah).
Virus Epstein-Barr (EBV): Penyebab mononukleosis, ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening yang signifikan dan kelelahan ekstrem.
Satu-satunya penyebab bakteri yang secara konsisten memerlukan terapi antibiotik untuk mencegah komplikasi serius adalah Streptococcus pyogenes, dikenal juga sebagai Grup A Streptococcus (GAS).
A. Fokus pada Streptococcus Grup A (GAS)
GAS adalah patogen utama yang menjadi target terapi antibiotik. Tujuannya bukan hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi yang lebih penting, untuk mencegah komplikasi non-supuratif yang parah, terutama Demam Reumatik Akut (DRA) dan Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus (GNPS).
B. Mengapa Diagnosis GAS Sangat Penting?
Pengobatan infeksi GAS harus dimulai dalam waktu 9 hari sejak timbulnya gejala untuk secara efektif mencegah komplikasi DRA. Identifikasi yang cepat membenarkan inisiasi antibiotik dan mencegah penggunaan yang tidak perlu pada kasus viral.
Diagram yang menunjukkan perlunya pembedaan antara infeksi virus (tidak perlu antibiotik) dan bakteri (perlu antibiotik).
II. Kapan Antibiotik Diperlukan? Alat Skrining Klinis
Karena pengobatan antibiotik hanya efektif melawan GAS, dokter menggunakan sistem penilaian klinis untuk memperkirakan kemungkinan adanya infeksi bakteri. Sistem yang paling umum digunakan adalah Skala Centor atau modifikasi McIsaac.
1. Kriteria Centor/McIsaac yang Dimodifikasi
Setiap faktor di bawah ini bernilai satu poin. Total skor memandu keputusan untuk pengujian atau pengobatan empiris.
Tonsil Eksudat/Pembengkakan: Adanya nanah atau bercak putih pada tonsil (1 poin).
Pembengkakan Kelenjar Getah Bening Leher Anterior: Pembesaran dan nyeri saat ditekan (1 poin).
Tidak Ada Batuk: Tidak adanya batuk atau gejala pernapasan atas yang jelas (1 poin).
Riwayat Demam: Suhu tubuh >38°C (1 poin).
Usia (Variasi McIsaac):
Usia 3-14 tahun (+1 poin)
Usia 15-44 tahun (0 poin) - Fokus pada dewasa muda/produktif
Usia >45 tahun (-1 poin) - Karena insiden GAS menurun drastis
2. Interpretasi Skor dan Keputusan Tatalaksana
Tabel Panduan Skor McIsaac (Fokus Dewasa)
Skor 0-1 (Kemungkinan GAS Rendah, <10%):
Tidak diperlukan tes GAS atau terapi antibiotik. Gejala kemungkinan besar viral.
Rekomendasi: Terapi suportif dan simtomatik.
Skor 2-3 (Kemungkinan GAS Sedang, 10-50%):
Diperlukan Pengujian: Tes Diagnostik Cepat Antigen (RADT) atau kultur tenggorokan.
Terapi dimulai hanya jika hasil tes positif.
Skor ≥4 (Kemungkinan GAS Tinggi, >50%):
Terapi Empiris: Pertimbangan untuk memulai antibiotik segera tanpa menunggu hasil tes, terutama jika pasien memiliki risiko Demam Reumatik yang tinggi (meskipun pengujian tetap disarankan).
3. Peran Tes Diagnostik
A. Tes Diagnostik Cepat Antigen (RADT)
RADT memberikan hasil dalam beberapa menit. Meskipun sensitivitasnya lebih rendah daripada kultur (sekitar 70-80%), spesifisitasnya sangat tinggi. Pada orang dewasa, hasil RADT negatif biasanya cukup meyakinkan untuk menghentikan pengobatan, dan kultur tidak selalu diperlukan kecuali ada pertimbangan khusus.
B. Kultur Tenggorokan
Kultur adalah standar emas (gold standard). Dibutuhkan waktu 24-48 jam. Ini sering digunakan sebagai 'back-up' untuk hasil RADT negatif pada populasi berisiko tinggi (misalnya anak-anak, meskipun fokus kita adalah dewasa) atau dalam kasus kegagalan pengobatan. Pada dewasa, kebijakan terbaru cenderung tidak memerlukan kultur back-up setelah RADT negatif, mengingat risiko DRA yang lebih rendah dibandingkan anak-anak.
III. Pilihan Antibiotik untuk Faringitis Streptokokus pada Dewasa
Tujuan utama terapi adalah eradikasi penuh Streptococcus pyogenes dari faring. Kebanyakan pedoman klinis (IDSA, NICE, dll.) merekomendasikan Penicillin atau Amoxicillin sebagai agen lini pertama karena efektivitasnya, profil keamanan yang baik, dan biaya yang rendah.
1. Lini Pertama: Penisilin dan Amoksisilin
A. Penisilin V (Fenoksimetilpenisilin)
Penisilin V tetap menjadi pilihan utama global untuk pengobatan GAS karena tidak ada kasus resistensi S. pyogenes terhadap Penisilin yang terdokumentasi secara klinis. Mekanisme aksinya adalah mengganggu sintesis dinding sel bakteri.
Dosis Umum: 500 mg, dua hingga empat kali sehari.
Durasi Terapi: 10 hari penuh.
Pentingnya Kepatuhan 10 Hari: Kepatuhan minimal 10 hari sangat penting. Penghentian dini dapat menyebabkan kegagalan eradikasi dan peningkatan risiko komplikasi non-supuratif.
Farmakokinetik: Diserap dengan baik melalui saluran pencernaan. Penyerapan ini dapat sedikit terganggu oleh makanan, sehingga sering disarankan dikonsumsi saat perut kosong, meskipun kepatuhan lebih diprioritaskan.
B. Amoksisilin
Amoksisilin adalah turunan Penisilin yang sering disukai, terutama karena memiliki spektrum yang sedikit lebih luas dan, yang paling penting, lebih baik dalam hal rasa dan formulasi, yang sering meningkatkan kepatuhan pasien.
Dosis Umum: 500 mg, dua kali sehari atau 875 mg sekali sehari.
Durasi Terapi: 10 hari.
Keunggulan: Absorpsi yang lebih baik dan dapat diminum bersama makanan, yang mengurangi keluhan gastrointestinal dan meningkatkan kepatuhan. Frekuensi dosis yang lebih rendah (dua kali sehari) juga menjadi faktor kenyamanan signifikan bagi orang dewasa yang sibuk.
Perbedaan dengan Penisilin V: Meskipun Amoksisilin memiliki spektrum yang sedikit lebih luas, ini tidak memberikan keuntungan klinis tambahan terhadap GAS, tetapi dianggap setara dalam efikasi.
C. Benzatin Penisilin G (Suntikan Intramuskular)
Ini adalah pilihan untuk pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan oral atau yang memiliki riwayat Demam Reumatik. Pemberiannya dilakukan sekali suntik dan memberikan kadar obat yang memadai selama 3-4 minggu.
Dosis: 1.2 juta unit IM, dosis tunggal.
Keunggulan: Menjamin 100% kepatuhan.
Kekurangan: Suntikan yang menyakitkan.
2. Lini Kedua: Manajemen Alergi Penisilin
Sekitar 5-10% pasien melaporkan alergi terhadap Penisilin. Keputusan lini kedua bergantung pada tingkat keparahan reaksi alergi (misalnya, ruam non-serius vs. anafilaksis yang mengancam jiwa).
A. Jika Alergi Tidak Serius (Reaksi Kulit Tertunda)
Untuk pasien yang memiliki reaksi alergi ringan (non-anafilaksis) terhadap Penisilin, sefalosporin generasi pertama sering digunakan karena tingkat reaktivitas silang yang rendah (sekitar 5-10%).
Sefaleksin (Cephalexin):
Golongan: Sefalosporin Generasi Pertama.
Dosis: 500 mg, dua kali sehari.
Durasi: 10 hari.
Mekanisme: Mirip dengan Penisilin, mengganggu sintesis dinding sel.
Sefadroksil (Cefadroxil):
Dosis: 1 gram, sekali sehari.
Durasi: 10 hari.
Keunggulan: Dosis sekali sehari sangat meningkatkan kepatuhan pasien.
B. Jika Alergi Serius (Anafilaksis atau Angioedema)
Pada pasien dengan riwayat alergi Tipe I (anafilaksis), semua turunan Beta-Laktam (termasuk sefalosporin) harus dihindari. Agen yang digunakan adalah Makrolida atau Lincosamide.
Pilihan Antibiotik Non-Beta Laktam
Azitromisin (Azithromycin):
Golongan: Makrolida.
Durasi: Hanya 5 hari. Ini adalah keunggulan utama dalam hal kepatuhan.
Dosis: 500 mg dosis tunggal hari 1, diikuti 250 mg selama 4 hari berikutnya, atau 500 mg sehari sekali selama 3 hari.
Perhatian: Di beberapa daerah, resistensi GAS terhadap Makrolida mulai menjadi masalah. Jika resistensi lokal tinggi, penggunaannya harus dihindari.
Klaritromisin (Clarithromycin):
Golongan: Makrolida.
Durasi: 10 hari.
Perhatian: Berpotensi lebih banyak interaksi obat dan efek samping gastrointestinal daripada Azitromisin.
Klindamisin (Clindamycin):
Golongan: Lincosamide.
Dosis: 300 mg, tiga kali sehari.
Durasi: 10 hari.
Indikasi Khusus: Pilihan yang sangat baik untuk kasus kegagalan pengobatan atau resistensi Makrolida, karena Klindamisin sangat efektif melawan GAS dan memiliki risiko resistensi yang relatif rendah.
Perhatian: Memiliki risiko yang sedikit lebih tinggi untuk menyebabkan Clostridium difficile (C. diff) dibandingkan agen lini pertama.
IV. Isu Khusus: Resistensi, Kegagalan Terapi, dan Kehamilan
1. Isu Resistensi Antibiotik
Resistensi terhadap GAS menjadi perhatian utama dalam penggunaan antibiotik. Pemahaman tentang pola resistensi sangat memengaruhi pemilihan lini kedua.
A. Resistensi Beta-Laktam (Penisilin/Amoksisilin)
Seperti yang telah disebutkan, S. pyogenes secara klinis tidak menunjukkan resistensi terhadap Penisilin. Namun, kegagalan pengobatan Penisilin dapat terjadi, yang disebut "kegagalan terapi Penicillin".
Ketidakpatuhan Pasien: Menghentikan obat sebelum 10 hari.
Inaktivasi Beta-Laktamase: Bakteri komensal lain (flora normal) di tenggorokan yang memproduksi enzim beta-laktamase dapat menonaktifkan Penisilin sebelum mencapai GAS (Fenomena 'Shielding').
Pembawa Kronis (Carrier State): GAS bersembunyi di jaringan dan tidak mudah dijangkau oleh obat.
B. Resistensi Makrolida
Resistensi Makrolida (Eritromisin, Azitromisin) bervariasi secara geografis, berkisar antara 5% hingga 30%. Jika Makrolida digunakan, dan GAS gagal dieradikasi, obat lini ketiga seperti Klindamisin menjadi pilihan yang direkomendasikan karena Klindamisin memiliki target aksi yang berbeda (menghambat sintesis protein). Klindamisin umumnya tetap efektif bahkan ketika Makrolida gagal.
2. Manajemen Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan didefinisikan sebagai gejala yang berulang dalam beberapa minggu setelah menyelesaikan rejimen 10 hari yang memadai.
Konfirmasi Ulang Diagnosis: Pastikan bahwa gejala berulang bukan infeksi virus yang baru. Lakukan kultur ulang.
Perubahan Regimen: Jika pasien awalnya menggunakan Penisilin, beralihlah ke:
Klindamisin (10 hari) – Pilihan terbaik untuk mengatasi fenomena shielding.
Amoksisilin/Klavulanat (10 hari) – Kombinasi ini mengatasi bakteri penghasil beta-laktamase.
Sefalosporin Generasi Pertama (10 hari).
3. Pertimbangan Khusus: Kehamilan
Pengobatan radang tenggorokan GAS pada wanita hamil sangat penting untuk mencegah risiko demam reumatik dan komplikasi infeksi. Sebagian besar antibiotik yang digunakan adalah aman.
Pilihan Lini Pertama: Penisilin V dan Amoksisilin adalah pilihan yang sangat aman (Kategori B Kehamilan).
Pilihan Alergi: Eritromisin atau Sefalosporin (Kategori B) umumnya dianggap aman. Azitromisin (Kategori B) dapat digunakan jika diperlukan rejimen singkat.
Yang Harus Dihindari: Penggunaan Klaritromisin harus dipertimbangkan dengan hati-hati atau dihindari pada trimester pertama karena data keamanan yang kurang meyakinkan dibandingkan pilihan lain.
V. Farmakologi dan Profil Keamanan Obat Antibiotik Kunci
Memahami bagaimana obat bekerja (Farmakodinamik) dan bagaimana obat diproses oleh tubuh (Farmakokinetik) adalah kunci untuk memaksimalkan efikasi dan meminimalkan risiko pada pasien dewasa.
1. Golongan Beta-Laktam (Penisilin, Amoksisilin, Sefalosporin)
Semua Beta-Laktam bekerja dengan menghambat Transpeptidase, yang berperan penting dalam pembentukan Peptidoglikan (komponen utama dinding sel bakteri). Ini menghasilkan efek bakterisida (membunuh bakteri).
A. Farmakokinetik Beta-Laktam
Bioavailabilitas Oral: Penisilin V memiliki bioavailabilitas yang bervariasi; Amoksisilin memiliki bioavailabilitas yang sangat baik (~90%), yang memungkinkan dosis yang lebih jarang.
Ekskresi: Mayoritas Beta-Laktam diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, penyesuaian dosis mungkin diperlukan pada pasien dewasa dengan gangguan fungsi ginjal (misalnya, pada pasien lansia atau dengan penyakit ginjal kronis).
Interaksi Obat: Probenesid sering digunakan untuk menghambat ekskresi tubular Penisilin dan Amoksisilin, sehingga meningkatkan kadar obat dalam darah. Meskipun tidak rutin untuk faringitis, ini menunjukkan jalur eliminasinya.
B. Efek Samping dan Keamanan
Alergi (Hipersenstivitas): Bervariasi dari ruam makulopapular (paling umum) hingga anafilaksis (jarang, tetapi mengancam jiwa). Reaksi silang antara Penisilin dan Sefalosporin, meskipun ada, kini diketahui jauh lebih rendah dari yang diperkirakan (~1% untuk sefalosporin generasi terbaru).
Gastrointestinal (GI): Diare dan mual adalah efek samping yang paling sering dilaporkan, terutama dengan dosis yang lebih tinggi.
2. Golongan Makrolida (Azitromisin, Klaritromisin)
Makrolida bekerja dengan mengikat sub-unit ribosom 50S bakteri, sehingga menghambat sintesis protein. Mereka bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bakterisida pada konsentrasi tinggi.
A. Farmakokinetik Makrolida
Azitromisin: Memiliki waktu paruh yang sangat panjang (sekitar 68 jam) dan terkonsentrasi tinggi di jaringan (seperti jaringan faring dan tonsil), yang memungkinkan rejimen dosis singkat 5 hari. Meskipun diserap secara oral, kadar serumnya relatif rendah, namun konsentrasi di lokasi infeksi sangat tinggi.
Klaritromisin: Memiliki waktu paruh yang lebih pendek (3-7 jam) dan diekskresikan oleh hati dan ginjal.
B. Efek Samping dan Interaksi
GI: Mual, muntah, kram perut, dan diare sangat umum, terutama dengan Eritromisin, karena efeknya pada motilitas saluran cerna. Azitromisin umumnya lebih ditoleransi.
Kardiovaskular: Makrolida, terutama Azitromisin dan Klaritromisin, dapat memperpanjang interval QT pada elektrokardiogram, meningkatkan risiko aritmia jantung (Torsades de Pointes), terutama pada pasien dengan kondisi jantung yang sudah ada sebelumnya atau yang menggunakan obat lain yang memperpanjang QT.
Interaksi Obat (Klaritromisin): Klaritromisin adalah penghambat CYP3A4 yang kuat, yang berarti dapat meningkatkan kadar obat lain seperti statin (menyebabkan miopati) atau warfarin (meningkatkan risiko perdarahan). Azitromisin memiliki potensi interaksi yang jauh lebih rendah.
3. Golongan Lincosamide (Klindamisin)
Klindamisin juga menghambat sintesis protein dengan mengikat sub-unit 50S, bersaing dengan Makrolida.
A. Farmakokinetik dan Indikasi Khusus
Klindamisin memiliki penetrasi jaringan yang baik dan efektif melawan bakteri yang mungkin terlindungi (misalnya, pada biofilm), menjadikannya pilihan kuat untuk kasus kegagalan terapi GAS.
B. Risiko Utama: Diare Terkait C. Difficile (CDAD)
Meskipun ampuh, Klindamisin memiliki risiko tertinggi di antara semua obat untuk faringitis dalam menyebabkan Kolitis Pseudomembranosa yang disebabkan oleh Clostridium difficile. Hal ini terjadi karena Klindamisin mengganggu flora usus normal secara signifikan, memungkinkan pertumbuhan berlebihan C. difficile.
Manajemen Risiko: Pasien harus diinstruksikan untuk mencari pertolongan medis jika mereka mengalami diare parah dan berdarah selama atau setelah pengobatan.
VI. Terapi Suportif dan Manajemen Gejala Tanpa Antibiotik
Meskipun antibiotik penting untuk infeksi GAS, terapi non-antibiotik adalah garis depan pengobatan untuk semua kasus faringitis, terutama yang disebabkan oleh virus (85-90% kasus).
1. Manajemen Nyeri dan Demam (Analgesia dan Antipiretik)
Mengurangi rasa sakit di tenggorokan (odinofagia) sangat penting untuk menjaga hidrasi dan nutrisi pasien dewasa.
Asetaminofen (Parasetamol): Pilihan lini pertama untuk nyeri ringan hingga sedang dan demam. Dosis 500 mg atau 1000 mg setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs): Ibuprofen atau Naproxen sangat efektif untuk nyeri faringitis karena NSAID bekerja mengurangi peradangan lokal. Ini seringkali lebih efektif daripada Asetaminofen untuk nyeri tenggorokan hebat.
Kortikosteroid Oral (Deksametason): Digunakan dalam kasus faringitis berat, terutama jika ada kesulitan menelan yang signifikan atau pembengkakan yang mengancam jalan napas. Dosis tunggal atau singkat dapat mengurangi gejala secara dramatis, namun penggunaannya harus di bawah pengawasan ketat.
2. Perawatan Lokal dan Alternatif
Tablet Isap (Lozenges) dan Semprotan: Mengandung anestesi lokal (seperti Benzokain atau Fenol) atau antiseptik ringan. Ini memberikan peredaan nyeri sementara dan segera.
Kumuran Air Garam: Air hangat dicampur garam membantu mengurangi edema dan ketidaknyamanan lokal dengan menarik cairan keluar dari jaringan yang meradang.
Cairan dan Kelembaban: Asupan cairan hangat (teh dengan madu) atau dingin (es) dapat menenangkan tenggorokan. Penggunaan pelembap udara (humidifier) di kamar tidur dapat mencegah kekeringan mukosa yang memperburuk rasa sakit.
3. Hidrasi dan Nutrisi
Dehidrasi adalah risiko serius pada pasien dewasa dengan faringitis berat karena rasa sakit saat menelan. Menganjurkan minum cairan secara teratur, meskipun sedikit-sedikit, sangat penting. Makanan lembut atau cair lebih mudah dikonsumsi saat gejala parah.
Ilustrasi yang menekankan durasi penuh pengobatan antibiotik untuk eradikasi total bakteri.
VII. Dampak Jangka Panjang Faringitis Streptokokus dan Komplikasi
Alasan utama mengapa pengobatan GAS dengan antibiotik begitu ketat adalah untuk mencegah komplikasi, terutama yang bersifat autoimun. Walaupun kasus Demam Reumatik Akut (DRA) di negara maju sudah menurun, risiko ini tetap ada dan menjadi fokus utama di negara berkembang.
1. Komplikasi Non-Supuratif (Autoimun)
A. Demam Reumatik Akut (DRA)
DRA adalah respons autoimun terhadap infeksi GAS yang tidak diobati yang dapat menyebabkan peradangan serius pada jantung (karditis), sendi (artritis), otak (Korea Sydenham), dan kulit. Kerusakan katup jantung akibat karditis reumatik bisa bersifat permanen dan melemahkan.
Pencegahan: Pengobatan antibiotik dalam waktu 9 hari sejak timbulnya gejala sangat efektif dalam mencegah DRA.
Fokus Dewasa: DRA biasanya terjadi setelah infeksi GAS pada anak-anak, tetapi orang dewasa dengan riwayat DRA masa lalu mungkin memerlukan profilaksis berkelanjutan (Penisilin Benzatin IM bulanan).
B. Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus Akut (GNPS)
GNPS adalah sindrom nefritis akut yang timbul setelah infeksi GAS. Tidak seperti DRA, pencegahan GNPS melalui antibiotik tidak seefektif pencegahan DRA. GNPS disebabkan oleh strain GAS tertentu (nefritogenik).
2. Komplikasi Supuratif (Abses dan Infeksi Lokal)
Komplikasi lokal terjadi ketika infeksi menyebar ke struktur di sekitar tenggorokan.
Abses Peritonsiler (Quinsy): Kumpulan nanah di belakang tonsil. Menyebabkan nyeri hebat, kesulitan membuka mulut (trismus), dan suara 'hot potato'. Membutuhkan drainase bedah segera selain antibiotik.
Selulitis Peritonsiler: Peradangan jaringan tanpa pembentukan abses yang nyata.
Abses Retrofaringeal: Lebih jarang pada dewasa, tetapi sangat berbahaya karena kedekatannya dengan jalan napas.
Untuk komplikasi supuratif, antibiotik spektrum luas, seringkali yang mencakup anaerob (seperti Klindamisin atau Amoksisilin/Klavulanat) dan pemberian melalui intravena (IV), mungkin diperlukan awalnya.
3. Pentingnya Edukasi Pasien
Edukasi harus mencakup:
Durasi Penuh: Penekanan bahwa antibiotik harus dihabiskan selama 10 hari, bahkan jika gejala hilang setelah 2-3 hari.
Kebersihan: Pencegahan penyebaran GAS, termasuk mencuci tangan, menutup mulut saat batuk/bersin, dan tidak berbagi peralatan makan.
Manajemen Efek Samping: Mengenali gejala alergi parah atau diare yang memerlukan perhatian medis segera.
VIII. Rasionalisasi dan Pencegahan Misuse Antibiotik
Salah satu tantangan terbesar dalam praktik klinis adalah tekanan pasien untuk mendapatkan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada kasus viral adalah pendorong utama resistensi antimikroba global (AMR).
1. Konsekuensi Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat
Peningkatan Resistensi: Setiap paparan antibiotik memberi tekanan seleksi pada bakteri, mendorong evolusi strain yang resisten. Jika obat lini pertama menjadi tidak efektif, pengobatan infeksi yang parah akan menjadi jauh lebih sulit.
Efek Samping yang Tidak Perlu: Pasien terekspos pada risiko efek samping GI, alergi, dan terutama infeksi C. difficile tanpa mendapatkan manfaat klinis apa pun.
Beban Biaya: Biaya pengobatan yang tidak perlu, baik bagi pasien maupun sistem kesehatan.
Gangguan Mikrobiota: Antibiotik membunuh bakteri baik (komensal) yang penting untuk kesehatan pencernaan dan kekebalan tubuh, meninggalkan pasien rentan terhadap infeksi sekunder.
2. Strategi Pengurangan Misuse pada Dewasa
Strategi pengawasan antimikroba (Antimicrobial Stewardship) harus diterapkan untuk memastikan diagnosis yang akurat sebelum meresepkan.
Delayed Prescription (Resep Tunda): Dokter dapat memberikan resep antibiotik, tetapi menginstruksikan pasien untuk hanya mengisinya jika gejalanya memburuk, tidak membaik dalam X hari (misalnya 48-72 jam), atau jika hasil tes GAS positif. Strategi ini memuaskan keinginan pasien untuk memiliki 'rencana B' sambil mengurangi konsumsi antibiotik yang tidak perlu.
Komunikasi Efektif: Dokter harus menjelaskan secara rinci mengapa faringitis viral tidak merespons antibiotik, dan mendiskusikan pentingnya manajemen gejala sebagai gantinya.
Pemanfaatan RADT: Menggunakan tes diagnostik cepat di tempat perawatan (Point-of-Care Testing) untuk membedakan etiologi secara objektif.
3. Karakteristik Pembawa (Carrier State) GAS pada Dewasa
Sekitar 5-15% orang dewasa dapat menjadi 'pembawa' GAS, yang berarti mereka memiliki bakteri di tenggorokan tanpa mengalami gejala. Jika pembawa kronis mengalami faringitis viral, dan tes GAS mereka positif (karena mereka adalah pembawa), pengobatan antibiotik mungkin tidak diperlukan.
Kapan Pembawa GAS Tidak Perlu Diobati?
Pembawa tanpa gejala tidak perlu diobati karena risiko penularan rendah dan risiko DRA di kalangan mereka juga sangat rendah.
Pengecualian: Pengobatan mungkin dipertimbangkan jika ada riwayat DRA dalam keluarga, saat terjadi wabah komunitas, atau pada orang dewasa yang tinggal dengan anggota keluarga yang rentan.
IX. Ringkasan Algoritma Pengobatan Faringitis pada Dewasa
Langkah 1: Penilaian Klinis (Skor Centor/McIsaac)
Menentukan kemungkinan infeksi GAS. Jika skor rendah, fokus pada terapi suportif. Jika skor sedang hingga tinggi, lakukan pengujian.
Langkah 2: Konfirmasi Bakteriologis
Lakukan RADT. Jika positif, lanjutkan ke Langkah 3. Jika negatif, dan tidak ada faktor risiko tinggi, hentikan pengujian dan obati secara simtomatik.
Langkah 3: Pemilihan Antibiotik Lini Pertama
A. Pasien Tanpa Alergi Penisilin
Pilih salah satu dari berikut, dengan durasi minimal 10 hari:
Penisilin V (Pilihan paling hemat biaya dan sangat efektif).
Amoksisilin (Lebih disukai karena kepatuhan dosis dua kali sehari).
B. Pasien Alergi Penisilin Non-Anafilaksis
Pilih sefalosporin generasi pertama (Sefaleksin atau Sefadroksil) selama 10 hari.
C. Pasien Alergi Penisilin Anafilaksis atau Reaksi Serius
Pilih salah satu agen non-Beta Laktam:
Azitromisin (5 hari) – Pilihan yang disukai karena durasi pendek.
Klindamisin (10 hari) – Disukai di area dengan resistensi Makrolida tinggi atau untuk kegagalan pengobatan.
Langkah 4: Evaluasi dan Kepatuhan
Evaluasi perbaikan gejala dalam 48-72 jam. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan kembali diagnosis atau lakukan pengujian kultur. Tekankan kepatuhan penuh terhadap durasi 10 hari (kecuali untuk rejimen 5 hari Azitromisin).
Langkah 5: Penanganan Efek Samping
Instruksi yang jelas mengenai risiko GI, alergi, dan risiko CDAD (terutama pada Klindamisin).
Proses pengambilan keputusan yang terstruktur ini memastikan bahwa antibiotik, yang merupakan sumber daya berharga, digunakan hanya ketika manfaatnya jelas melebihi risiko resistensi dan efek samping pada populasi dewasa.
X. Kesimpulan
Pengelolaan radang tenggorokan pada orang dewasa membutuhkan pendekatan yang terukur, dimulai dengan pembedaan etiologi viral versus bakteri. Antibiotik adalah pengobatan yang efektif dan diperlukan hanya untuk infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (GAS), dengan tujuan utama mencegah Demam Reumatik Akut.
Penisilin dan Amoksisilin tetap menjadi standar emas. Dalam kasus alergi, Makrolida atau Klindamisin menjadi pilihan yang aman, dengan mempertimbangkan pola resistensi lokal. Kepatuhan penuh terhadap rejimen dosis dan durasi, yang umumnya 10 hari, adalah faktor penentu keberhasilan pengobatan dan pencegahan komplikasi serta resistensi antibiotik di masa depan.
Meskipun kemudahan akses terhadap obat sering kali menjadi godaan, setiap pasien dewasa harus didorong untuk menjalani skrining yang tepat sebelum memulai terapi antibiotik, mendukung upaya global dalam memerangi ancaman resistensi antimikroba.