Antibiotik untuk Radang Tenggorokan: Panduan Lengkap Pengobatan dan Kewaspadaan
I. Pendahuluan: Memahami Radang Tenggorokan (Faringitis)
Radang tenggorokan, atau faringitis, adalah kondisi umum yang ditandai dengan rasa sakit, gatal, atau iritasi pada tenggorokan, seringkali menyebabkan kesulitan menelan. Meskipun keluhan ini terasa mengganggu, mayoritas kasus radang tenggorokan sebenarnya merupakan penyakit swasembuh (self-limiting) yang disebabkan oleh infeksi virus, bukan bakteri.
Poin Kunci: Keputusan menggunakan antibiotik harus didasarkan pada identifikasi penyebab yang tepat. Penggunaan yang tidak perlu berpotensi memicu resistensi antibiotik, salah satu ancaman kesehatan publik terbesar di dunia.
Artikel ini akan mengupas tuntas kapan antibiotik benar-benar dibutuhkan, jenis-jenisnya, mekanisme kerjanya, serta panduan diagnosis klinis yang digunakan oleh profesional kesehatan untuk membedakan infeksi virus dari infeksi bakteri, khususnya yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (Streptokokus Grup A Beta-Hemolitik atau GABHS), satu-satunya penyebab radang tenggorokan yang memerlukan intervensi antibiotik secara wajib untuk mencegah komplikasi serius.
II. Etiologi Radang Tenggorokan: Mengapa Identifikasi Penyebab Sangat Penting?
Identifikasi etiologi, atau penyebab penyakit, adalah langkah fundamental dalam menentukan terapi. Antibiotik hanya efektif melawan bakteri, jamur, atau parasit, tetapi sama sekali tidak memiliki kemampuan melawan virus. Oleh karena itu, jika radang tenggorokan disebabkan oleh virus, pemberian antibiotik tidak hanya sia-sia, tetapi juga merugikan.
Penyebab Viral (Mayoritas Kasus: 70–85%)
Sebagian besar radang tenggorokan disebabkan oleh virus. Infeksi ini cenderung memiliki gejala yang lebih ringan dan disertai gejala pernapasan atas lainnya. Beberapa virus penyebab utama meliputi:
- Rhinovirus dan Coronavirus: Penyebab utama flu biasa. Gejala biasanya meliputi hidung meler, batuk, dan mata berair.
- Adenovirus: Dapat menyebabkan faringitis, konjungtivitis (mata merah), dan demam.
- Influenza (Flu): Menyebabkan gejala yang lebih berat, nyeri otot, dan demam tinggi, disertai sakit tenggorokan.
- Epstein-Barr Virus (EBV): Penyebab Mononukleosis Infeksiosa. Radang tenggorokan akibat EBV seringkali sangat parah, disertai pembengkakan kelenjar getah bening yang masif, dan kelelahan ekstrem. Pemberian Amoksisilin pada kasus EBV dapat memicu ruam kulit yang parah (non-alergi).
- Herpes Simplex Virus (HSV) dan Coxsackievirus (Hand, Foot, and Mouth Disease).
Penyebab Bakteri (Minoritas Kasus: 15–30%)
Di antara semua bakteri, Streptococcus pyogenes (GABHS) adalah yang paling penting secara klinis. Infeksi bakteri ini (dikenal sebagai strep throat) harus diobati dengan antibiotik, bukan karena gejala akutnya yang parah, tetapi karena risikonya memicu komplikasi non-supuratif yang fatal.
- Streptococcus pyogenes (GABHS): Ini adalah fokus utama terapi antibiotik. Bakteri ini tidak menyebabkan batuk atau hidung meler. Gejala khasnya meliputi demam mendadak, amandel bengkak dengan eksudat (lapisan putih/kuning), dan pembesaran kelenjar leher.
- Penyebab Bakteri Lain yang Jarang: Arcanobacterium haemolyticum, Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydia pneumoniae. Ini biasanya tidak memerlukan antibiotik lini pertama kecuali ada kecurigaan klinis yang kuat.
Gambar 1: Visualisasi infeksi pada amandel (Tonsilitis/Faringitis).
III. Pendekatan Diagnosis Klinis: Kapan Tes Diperlukan?
Karena GABHS (Streptokokus) hanya bertanggung jawab atas sebagian kecil kasus, klinisi menggunakan sistem skoring untuk memperkirakan probabilitas infeksi bakteri sebelum memutuskan pengujian atau terapi empiris. Dua sistem yang paling umum digunakan adalah Kriteria Centor yang dimodifikasi (atau skor McIsaac).
A. Kriteria Centor/McIsaac yang Dimodifikasi
Kriteria ini memberikan poin untuk gejala klinis tertentu. Total skor menentukan probabilitas infeksi GABHS dan panduan untuk tindakan selanjutnya:
| Gejala Klinis | Poin |
|---|---|
| Eksudat amandel (lapisan nanah/putih) | 1 |
| Pembengkakan kelenjar getah bening servikal anterior yang nyeri (Limfadenopati) | 1 |
| Tidak ada batuk | 1 |
| Riwayat demam (atau suhu > 38°C) | 1 |
| Usia (3–14 tahun) | 1 |
| Usia (15–45 tahun) | 0 |
| Usia (> 45 tahun) | -1 |
B. Interpretasi Skor dan Protokol Pengujian
- Skor 0 atau 1 (Probabilitas GABHS Rendah, < 10%): Terapi antibiotik tidak diindikasikan. Tidak diperlukan pengujian. Gejala kemungkinan besar viral.
- Skor 2 atau 3 (Probabilitas Sedang, 10–50%): Pengujian sangat dianjurkan. Lakukan Rapid Strep Antigen Detection Test (RADT) atau kultur tenggorokan. Antibiotik diberikan hanya jika hasil tes positif.
- Skor 4 atau Lebih (Probabilitas Tinggi, > 50%): Terapi antibiotik empiris dapat dipertimbangkan, atau pengujian (RADT) segera diikuti oleh terapi jika positif. Dalam lingkungan klinis tertentu, jika pengujian tidak tersedia atau probabilitas sangat tinggi, dokter mungkin langsung memberikan antibiotik.
C. Metode Diagnostik Laboratorium
- Rapid Strep Test (RADT): Ini adalah tes cepat yang mendeteksi antigen GABHS. Keuntungan utamanya adalah kecepatan (hasil dalam 5–10 menit), memungkinkan pengambilan keputusan terapi segera. Kelemahan: Sensitivitasnya lebih rendah daripada kultur, sehingga hasil negatif harus dikonfirmasi dengan kultur pada pasien anak.
- Kultur Tenggorokan: Standar emas diagnostik. Sampel diusap ke media pertumbuhan. Hasil memerlukan waktu 24–48 jam. Kultur umumnya tidak diperlukan untuk orang dewasa karena risiko komplikasi sangat rendah, tetapi penting untuk anak-anak jika RADT negatif.
IV. Indikasi Mutlak Pemberian Antibiotik
Tujuan utama pemberian antibiotik untuk GABHS bukan hanya untuk meredakan gejala (yang biasanya akan hilang dalam beberapa hari bahkan tanpa pengobatan), tetapi yang paling krusial adalah untuk mencegah komplikasi non-supuratif yang serius dan potensial mengancam jiwa:
A. Mencegah Demam Rematik Akut (DRA)
DRA adalah respons autoimun tertunda terhadap infeksi GABHS yang tidak diobati. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan permanen pada katup jantung (Karditis Reumatik). Antibiotik harus dimulai dalam waktu 9 hari sejak onset gejala untuk sepenuhnya mencegah DRA.
B. Mencegah Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus (GNPS)
Meskipun peran antibiotik dalam mencegah GNPS kurang jelas dibandingkan DRA, pengobatan tetap membantu mengurangi penyebaran strain nefrogenik.
C. Mempercepat Resolusi Gejala dan Mencegah Penyebaran
Pengobatan dapat memperpendek durasi gejala (biasanya 1–2 hari) dan mencegah penularan bakteri ke orang lain di lingkungan sekolah atau rumah.
Gambar 2: Perbedaan antara Infeksi Viral dan Bakteri dalam konteks kebutuhan antibiotik.
V. Pilihan Antibiotik untuk Streptokokus (GABHS)
Pilihan obat utama untuk pengobatan GABHS adalah Penicillin, yang sudah terbukti sangat efektif, murah, dan—yang terpenting—hingga saat ini, Streptococcus pyogenes belum menunjukkan resistensi signifikan terhadap Penicillin.
A. Terapi Lini Pertama (Pilihan Utama)
1. Penicillin V Potassium (Fenoksimetilpenisilin)
Penicillin V adalah pilihan obat oral utama di banyak negara karena efektivitasnya yang tinggi dan spektrum sempit (target spesifik GABHS), sehingga meminimalkan gangguan pada mikrobiota normal tubuh dan mengurangi risiko resistensi terhadap bakteri lain.
- Mekanisme Kerja: Termasuk dalam kelompok Beta-Laktam. Penicillin bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri (Peptidoglikan), menyebabkan lisis dan kematian sel bakteri.
- Dosis dan Durasi Standar: Biasanya diberikan selama 10 hari. Durasi 10 hari ini sangat penting. Pemberian yang lebih singkat (5–7 hari) memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi dalam eradikasi bakteri dan berpotensi gagal mencegah Demam Rematik Akut.
- Farmakokinetik: Absorpsi oral Penicillin V bervariasi, disarankan diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan untuk penyerapan optimal.
- Keuntungan: Efektif 90%+, aman (kecuali alergi), murah.
2. Amoxicillin
Amoxicillin sering digunakan sebagai alternatif yang mudah karena memiliki rasa yang lebih enak (terutama untuk anak-anak) dan jadwal dosis yang lebih fleksibel (biasanya dua kali sehari dibandingkan tiga atau empat kali sehari untuk Penicillin V). Meskipun spektrumnya sedikit lebih luas, ini masih menjadi pilihan lini pertama yang dapat diterima.
- Dosis dan Durasi Standar: 10 hari. Dosis disesuaikan berdasarkan berat badan untuk pasien anak.
- Peringatan Khusus: Jika terdapat dugaan Mononukleosis (EBV), Amoxicillin harus dihindari karena risiko ruam yang tinggi.
3. Penicillin G Benzathine (Intramuskular)
Ini adalah opsi dosis tunggal yang diberikan melalui suntikan. Opsi ini digunakan dalam situasi di mana kepatuhan pasien terhadap pengobatan oral 10 hari diragukan (misalnya, pasien yang sulit dijangkau, atau pada populasi berisiko tinggi Demam Rematik).
- Keuntungan: Memastikan dosis penuh diberikan dan menghilangkan masalah ketidakpatuhan pasien.
- Kekurangan: Suntikan yang menyakitkan.
B. Terapi Lini Kedua (Untuk Pasien Alergi Penicillin)
Alergi terhadap Penicillin adalah pertimbangan klinis yang penting. Pilihan antibiotik akan bergantung pada tingkat keparahan reaksi alergi (misalnya, ruam ringan vs. anafilaksis).
1. Untuk Alergi Non-Anafilaksis (Ringan)
Jika alergi Penicillin bersifat ringan (hanya ruam non-urtikaria), Cephalosporin dapat dipertimbangkan, asalkan tidak ada riwayat reaksi silang serius.
- Cephalexin (Generasi Pertama): Sangat efektif melawan GABHS. Durasi pengobatan biasanya 10 hari.
- Cefadroxil: Mirip Cephalexin tetapi dengan waktu paruh yang lebih panjang, memungkinkan dosis sekali sehari. Durasi 10 hari.
- Risiko Reaksi Silang: Ada risiko reaksi alergi silang antara Penicillin dan Cephalosporin, meskipun risikonya relatif rendah (sekitar 1–5%).
2. Untuk Alergi Anafilaksis (Serius)
Jika pasien mengalami reaksi alergi tipe I (anafilaksis) terhadap Penicillin, Beta-Laktam harus dihindari sama sekali. Macrolides menjadi pilihan utama.
- Azithromycin: Merupakan pilihan populer karena durasinya yang singkat (biasanya 5 hari, meskipun dosis total setara dengan 10 hari Penicillin). Azithromycin efektif, tetapi harus digunakan secara hati-hati karena resistensi GABHS terhadap Macrolides semakin meningkat di beberapa wilayah.
- Clarithromycin dan Erythromycin: Pilihan Macrolide lain. Erythromycin efektif tetapi sering menimbulkan efek samping gastrointestinal (mual, diare).
- Clindamycin: Cadangan jika ada kegagalan terapi lini pertama atau resistensi terhadap Macrolides. Clindamycin sangat efektif, tetapi dikaitkan dengan risiko lebih tinggi mengalami infeksi Clostridium difficile (C. diff) karena spektrumnya yang luas. Durasi 10 hari.
Penting: Durasi Pengobatan (The 10-Day Rule)
Untuk eradikasi Streptokokus Grup A dan pencegahan Demam Rematik, durasi pengobatan 10 hari wajib dipatuhi untuk Penicillin, Amoxicillin, Cephalosporin, dan Clindamycin. Hanya Azithromycin yang dapat diberikan selama 5 hari karena waktu paruhnya yang sangat panjang.
VI. Ancaman Resistensi Antibiotik dan Kegagalan Terapi
Meskipun S. pyogenes secara historis tetap sensitif terhadap Penicillin, penggunaan antibiotik yang meluas—terutama pada kasus viral—telah meningkatkan resistensi pada bakteri lain yang mungkin menginfeksi tenggorokan, serta memperluas masalah resistensi secara global.
A. Mekanisme Kerja Beta-Laktam dan Kurangnya Resistensi GABHS
Penicillin sangat efektif melawan GABHS karena bakteri ini tidak memiliki enzim Beta-Laktamase yang mampu menonaktifkan cincin Beta-Laktam (seperti yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus atau Haemophilus influenzae). Selama mekanisme dinding sel GABHS tetap rentan, Penicillin akan terus menjadi obat pilihan.
B. Resistensi terhadap Macrolides (Azithromycin)
Berbeda dengan Penicillin, tingkat resistensi GABHS terhadap Macrolides (Azithromycin, Erythromycin) bervariasi signifikan antar wilayah. Mekanisme resistensi utama melibatkan perubahan target ribosom (mekanisme ermB) yang mencegah Macrolides berikatan dan menghambat sintesis protein bakteri.
Jika pasien gagal dalam terapi Macrolides, Clindamycin sering menjadi pilihan karena mekanisme kerjanya berbeda, dan resistensi silang antara Macrolides dan Clindamycin tidak selalu terjadi.
C. Fenomena Kegagalan Pengobatan Klinis
Terkadang, antibiotik gagal membersihkan infeksi GABHS meskipun bakteri tersebut sensitif. Kegagalan terapi ini seringkali disebabkan oleh:
- Ketidakpatuhan (Non-Adherence): Pasien berhenti minum obat setelah 3–4 hari karena gejala membaik. Ini meninggalkan sisa bakteri yang dapat menyebabkan kekambuhan atau komplikasi.
- Bakteri Ko-Patogen (The Role of Beta-Lactamase-Producing Organisms): Beberapa bakteri di orofaring (seperti S. aureus atau H. influenzae) menghasilkan Beta-Laktamase. Meskipun GABHS sensitif, enzim ini dapat melindungi GABHS secara fisik dengan menghancurkan Penicillin sebelum mencapai bakteri target. Dalam kasus ini, Amoxicillin-Klavulanat (Augmentin) atau Clindamycin mungkin diperlukan.
- Pembawa Kronis (Carriers): Individu yang membawa GABHS tanpa gejala aktif. Umumnya tidak perlu diobati, kecuali jika mereka kontak dekat dengan orang yang berisiko tinggi Demam Rematik.
Gambar 3: Mekanisme dasar resistensi antibiotik terhadap bakteri target.
VII. Farmakologi Mendalam Pilihan Antibiotik
Pemahaman mendalam tentang farmakologi membantu klinisi dalam memilih obat yang tepat, meminimalkan efek samping, dan memastikan eradikasi patogen. Kita akan membahas detail tiga kelas utama yang digunakan untuk GABHS.
A. Penisilin dan Beta-Laktam Lainnya
Kelas Beta-Laktam adalah keluarga antibiotik yang berbagi struktur kimia inti, yaitu cincin beta-laktam. Mereka adalah bakterisidal (membunuh bakteri) dengan mengganggu pembentukan ikatan silang dalam struktur peptidoglikan dinding sel bakteri.
1. Amoksisilin
- Spektrum: Spektrum sedang. Aktif terhadap GABHS, Streptococcus pneumoniae, dan beberapa organisme gram-negatif (misalnya, H. influenzae).
- Absorpsi: Memiliki bioavailabilitas oral yang sangat baik (sekitar 75–90%) dan penyerapan tidak terlalu terpengaruh oleh makanan, menjadikannya pilihan yang nyaman.
- Distribusi: Didistribusikan secara luas ke sebagian besar cairan dan jaringan tubuh, termasuk sekresi tenggorokan.
- Efek Samping Utama: Reaksi hipersensitivitas (alergi, ruam), diare, mual. Risiko ruam pada pasien dengan mononukleosis (EBV) adalah kontraindikasi relatif.
2. Sefaleksin (Cephalexin)
Sefaleksin adalah sefalosporin generasi pertama. Generasi ini dikenal karena aktivitas yang kuat melawan kokus Gram-positif, termasuk GABHS.
- Mekanisme: Sama seperti Penisilin, menghambat sintesis dinding sel, tetapi struktur kimianya sedikit berbeda, menjelaskan mengapa beberapa pasien alergi Penisilin dapat mentoleransi Sefaleksin.
- Durasi: 10 hari wajib. Dosis biasanya 25–50 mg/kg/hari dibagi dua dosis untuk anak-anak, atau 250–500 mg dua hingga empat kali sehari untuk dewasa.
- Efek Samping: Gangguan GI (diare), dan risiko reaksi hipersensitivitas silang.
B. Makrolida (Azithromycin)
Makrolida bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan) pada dosis rendah, dan bakterisidal pada dosis tinggi. Mereka bekerja dengan mengikat sub-unit ribosom 50S bakteri, sehingga menghambat sintesis protein.
1. Azithromycin (Zithromax)
- Waktu Paruh Panjang: Fitur farmakologis Azithromycin yang paling menonjol adalah waktu paruhnya yang sangat panjang (sekitar 68 jam). Ini memungkinkan durasi pengobatan yang singkat (5 hari) karena obat tetap berada di jaringan pada konsentrasi terapeutik setelah dosis terakhir.
- Aplikasi Klinis: Pilihan utama untuk pasien yang memiliki riwayat alergi Penicillin yang parah (tipe anafilaksis).
- Efek Samping Penting: Gangguan GI (termasuk nyeri perut), perpanjangan interval QT (risiko aritmia), dan interaksi obat (walaupun Azithromycin memiliki interaksi CYP450 yang lebih sedikit daripada Erythromycin).
C. Linkosamida (Clindamycin)
Clindamycin adalah antibiotik yang kuat, biasanya dicadangkan untuk kasus kegagalan terapi atau jika resistensi Macrolides dicurigai tinggi, atau jika infeksi GABHS melibatkan jaringan dalam (misalnya, abses peritonsillar).
- Mekanisme: Menghambat sintesis protein (mengikat sub-unit ribosom 50S, mirip Macrolides).
- Efek Samping Berat: Risiko utama Clindamycin adalah potensi untuk menyebabkan Kolitis Pseudomembranosa yang disebabkan oleh Clostridium difficile (CDI). Hal ini terjadi karena spektrumnya yang luas mengganggu mikrobiota usus secara signifikan.
VIII. Pertimbangan pada Populasi Khusus
Pendekatan pengobatan radang tenggorokan memerlukan penyesuaian pada kelompok pasien tertentu, terutama mereka yang rentan atau memiliki kondisi fisiologis yang unik.
A. Anak-anak dan Remaja
Anak-anak adalah kelompok dengan insidensi GABHS tertinggi dan risiko tertinggi Demam Rematik. Kepatuhan 10 hari adalah keharusan mutlak. Jika kepatuhan diragukan, suntikan Benzathine Penicillin G menjadi pertimbangan kuat.
- Rekomendasi Utama: Amoxicillin (karena rasa yang lebih baik dan dosis 2x sehari) atau Penicillin V.
- Kewaspadaan: Diagnosis klinis harus dikonfirmasi dengan tes pada anak usia 3–14 tahun karena pentingnya mencegah DRA. Bayi di bawah usia 3 tahun jarang sekali tertular GABHS, sehingga pengujian rutin tidak direkomendasikan kecuali ada paparan pada anggota keluarga yang terinfeksi.
B. Wanita Hamil
Infeksi GABHS pada wanita hamil harus diobati, terutama untuk mencegah penyakit serius, meskipun risiko transmisi ke janin sangat rendah.
- Pilihan Aman (Kategori B): Penicillin V atau Amoxicillin adalah pilihan lini pertama yang sangat aman selama kehamilan.
- Alternatif: Cephalosporin (seperti Cephalexin) juga umumnya dianggap aman. Macrolides seperti Erythromycin juga dapat digunakan, meskipun risiko interaksi obat harus dipertimbangkan.
C. Pasien Imunosupresi
Pasien dengan gangguan kekebalan (HIV/AIDS, transplantasi, kemoterapi) mungkin mengalami infeksi yang lebih parah atau membutuhkan durasi terapi yang lebih lama. Pendekatan harus lebih agresif, dan dokter mungkin memilih antibiotik yang lebih spektrum luas jika etiologi lain (selain GABHS) dicurigai.
Dalam kasus ini, diagnostik lengkap (termasuk kultur) menjadi lebih vital sebelum memulai terapi, untuk memastikan cakupan patogen yang tepat.
IX. Perawatan Simptomatik dan Penunjang (Non-Antibiotik)
Mengingat sebagian besar kasus adalah viral, manajemen utama adalah meredakan gejala (perawatan suportif). Bahkan ketika antibiotik diperlukan untuk GABHS, perawatan simptomatik sangat penting untuk kenyamanan pasien.
A. Pereda Nyeri dan Demam
- NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs): Ibuprofen sangat efektif untuk meredakan nyeri tenggorokan dan mengurangi demam.
- Acetaminophen (Parasetamol): Pilihan yang baik, terutama bagi mereka yang tidak bisa mengonsumsi NSAID.
B. Perawatan Lokal
- Lozenges dan Semprotan Tenggorokan: Mengandung anestesi lokal (seperti benzokain) dapat memberikan peredaan sementara yang signifikan pada nyeri menelan.
- Air Garam Hangat: Berkumur dengan larutan garam hangat beberapa kali sehari membantu mengurangi peradangan dan membersihkan sekresi.
C. Hidrasi dan Istirahat
Menjaga hidrasi sangat penting, terutama jika demam tinggi atau sulit menelan. Konsumsi cairan hangat (teh dengan madu) dapat menenangkan tenggorokan.
X. Komplikasi Supuratif dan Indikasi Antibiotik Lanjutan
Selain mencegah Demam Rematik, antibiotik juga diperlukan untuk mencegah komplikasi supuratif (bernanah) yang dapat menyebar secara lokal di sekitar tenggorokan.
A. Abses Peritonsillar (Quinsy)
Ini adalah komplikasi yang paling umum, berupa kumpulan nanah di antara amandel dan otot faring. Gejalanya termasuk nyeri tenggorokan unilateral yang sangat parah, kesulitan membuka mulut (trismus), dan suara yang teredam (hot potato voice).
- Pengobatan: Abses harus didrainase (disuntik dan dikeluarkan nanahnya) oleh dokter THT. Terapi antibiotik IV segera (seperti ampisilin/sulbaktam atau klindamisin) biasanya diperlukan, diikuti dengan antibiotik oral yang diperpanjang.
B. Selulitis dan Abses Retropharyngeal
Infeksi jaringan lunak di ruang belakang tenggorokan. Ini adalah kondisi serius yang berpotensi mengancam jalan napas dan memerlukan rawat inap dan antibiotik intravena spektrum luas. Kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak.
C. Mastoiditis dan Otitis Media (Infeksi Telinga)
Infeksi bakteri di tenggorokan dapat menyebar melalui tuba eustachius ke telinga tengah, menyebabkan otitis media akut, yang juga memerlukan pengobatan antibiotik (seringkali Amoxicillin dosis tinggi).
XI. Pencegahan dan Strategi Penggunaan Antibiotik Rasional
Dalam menghadapi ancaman resistensi, dokter dan pasien memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan antibiotik digunakan secara bijaksana.
A. Pendidikan Pasien
Pasien harus dididik bahwa nyeri tenggorokan yang disertai batuk, hidung meler, dan suara serak hampir pasti viral dan tidak memerlukan antibiotik. Permintaan antibiotik yang berlebihan harus ditolak oleh klinisi jika tidak ada indikasi GABHS yang jelas.
B. Penggunaan Uji Cepat yang Diperluas
Meningkatkan aksesibilitas dan penggunaan RADT di klinik membantu memastikan bahwa antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang benar-benar positif Strep, membatasi terapi empiris yang tidak perlu.
C. Pengurangan Risiko Penularan
Seseorang yang memulai terapi antibiotik untuk GABHS tidak lagi menular setelah 24 jam pertama. Penting untuk menjaga kebersihan tangan, menghindari berbagi peralatan makan, dan tetap di rumah selama periode menular awal.
D. Farmakoterapi Lini Pertama yang Tepat
Selalu memilih antibiotik spektrum sempit (Penicillin V atau Amoxicillin) sebagai lini pertama. Penggunaan antibiotik spektrum luas (seperti Azithromycin atau kombinasi) harus dicadangkan untuk kasus alergi serius, kegagalan terapi, atau infeksi ko-patogen yang dikonfirmasi.
XII. Risiko dan Efek Samping Jangka Panjang Antibiotik
Penggunaan antibiotik, meskipun diperlukan, membawa risiko yang melebihi sekadar reaksi alergi akut. Risiko ini berkaitan dengan dampak pada mikrobiota tubuh.
A. Disbiosis Mikrobiota
Antibiotik spektrum luas tidak hanya membunuh patogen target, tetapi juga bakteri "baik" dalam usus, kulit, dan saluran pernapasan. Gangguan keseimbangan mikrobiota (disbiosis) ini dapat menyebabkan:
- Infeksi Sekunder: Peningkatan risiko infeksi jamur (kandidiasis oral atau vagina) karena hilangnya kompetitor alami.
- Gangguan Pencernaan Jangka Pendek: Diare terkait antibiotik (AAD) adalah efek samping yang sangat umum.
- Potensi Gangguan Jangka Panjang: Penelitian terbaru menghubungkan perubahan mikrobiota awal kehidupan dengan peningkatan risiko kondisi autoimun, alergi, dan obesitas, meskipun hubungan kausal masih dipelajari.
B. Reaksi Hipersensitivitas Lanjutan
Meskipun alergi akut (anafilaksis) adalah yang paling ditakuti, reaksi alergi obat yang tertunda (non-anafilaksis) seperti ruam makulopapular juga umum, terutama dengan Amoxicillin.
XIII. Tantangan dalam Manajemen GABHS
Manajemen faringitis streptokokus dihadapkan pada beberapa tantangan klinis, terutama dalam membedakan infeksi akut dari status pembawa kronis.
A. Pembawa GABHS Asimtomatik
Sebanyak 5–15% anak usia sekolah dapat menjadi pembawa GABHS tanpa gejala aktif. Mereka memiliki Strep di tenggorokan, tetapi tidak sakit, dan risiko penularan serta komplikasi (DRA) dari pembawa sangat rendah.
- Protokol: Jika seorang anak dengan hasil tes GABHS positif kembali ke klinik dengan infeksi viral (misalnya, batuk, hidung meler), dan hasil tesnya masih positif, kemungkinan besar ia adalah pembawa yang kebetulan mengalami infeksi viral baru. Pengobatan antibiotik dalam kasus ini biasanya tidak diperlukan, karena tidak mencegah DRA dan hanya meningkatkan risiko resistensi.
- Pengecualian Pengobatan Carriers: Hanya diobati jika: ada riwayat DRA di masa lalu, wabah GNPS terjadi di komunitas, atau pasien sedang menjalani tonsilektomi.
B. Strep yang Sering Kambuh (Recurrent Strep Pharyngitis)
Beberapa pasien mengalami infeksi GABHS berulang dalam waktu singkat. Ini dapat disebabkan oleh:
- Kegagalan eradikasi dari terapi sebelumnya (sering karena non-adherence).
- Reinfeksi dari lingkungan atau anggota keluarga.
- Kehadiran bakteri ko-patogen penghasil Beta-Laktamase yang melindungi GABHS.
Dalam kasus kambuh yang didokumentasikan, protokol pengobatan beralih dari Penicillin ke agen yang lebih kuat seperti Amoxicillin/Klavulanat atau Clindamycin untuk mengatasi potensi bakteri ko-patogen yang menghasilkan Beta-Laktamase.
XIV. Kesimpulan dan Peringatan Utama
Radang tenggorokan adalah penyakit yang sangat umum, dan meskipun sangat mengganggu, mayoritas besar kasus bersifat viral dan hanya memerlukan perawatan suportif.
Antibiotik, khususnya Penicillin atau Amoxicillin, adalah intervensi yang sangat spesifik dan kuat, dicadangkan hampir secara eksklusif untuk infeksi yang dikonfirmasi disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Tujuan utama terapi ini adalah pencegahan komplikasi serius seperti Demam Rematik Akut.
Keputusan untuk memulai antibiotik tidak boleh dilakukan tanpa dasar klinis yang kuat, idealnya didukung oleh skor klinis yang tinggi (Centor/McIsaac) dan konfirmasi laboratorium (RADT atau Kultur). Kepatuhan terhadap seluruh durasi pengobatan (terutama 10 hari) sangat penting untuk memastikan eradikasi total bakteri dan melindungi pasien dari konsekuensi jangka panjang yang merusak.
Peringatan Penting
Jangan pernah mengonsumsi antibiotik sisa atau berdasarkan diagnosis diri sendiri. Selalu konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk diagnosis yang tepat dan resep yang sesuai. Jika Anda diresepkan antibiotik, pastikan untuk menghabiskan seluruh dosis, bahkan jika gejala telah hilang, untuk mencegah kekambuhan dan meminimalkan risiko resistensi.
XV. Detil Farmakokinetik dan Farmakodinamik (PK/PD)
Untuk memastikan efikasi terapeutik, dokter mempertimbangkan hubungan antara konsentrasi obat dalam tubuh (Farmakokinetik) dan efeknya pada bakteri (Farmakodinamik). Untuk antibiotik, hubungan PK/PD ini menentukan jadwal dosis dan durasi.
A. PK/PD Beta-Laktam (Penicillin, Amoxicillin, Cephalexin)
Beta-Laktam adalah antibiotik yang bergantung pada waktu (Time-Dependent Killing). Artinya, efektivitasnya paling baik diukur oleh persentase waktu di mana konsentrasi obat bebas berada di atas Minimum Inhibitory Concentration (MIC) bakteri (dikenal sebagai %T > MIC). Untuk GABHS, idealnya konsentrasi Penicillin harus melebihi MIC setidaknya 50% dari interval dosis.
- Implikasi Klinis: Karena waktu paruh Penicillin V yang relatif pendek, dosis harus sering (3–4 kali sehari) untuk mempertahankan kadar di atas MIC. Kegagalan terapi sering terjadi jika jadwal dosis tidak ketat, menyebabkan waktu di bawah MIC yang memungkinkan bakteri bertahan dan bereplikasi.
- Amoxicillin vs Penicillin V: Amoxicillin memiliki penyerapan yang lebih baik dan waktu paruh yang sedikit lebih panjang, memungkinkan dosis yang kurang sering (2 kali sehari) sambil tetap memenuhi persyaratan %T > MIC.
B. PK/PD Makrolida (Azithromycin)
Makrolida adalah antibiotik yang bergantung pada konsentrasi dan juga memiliki efek pasca-antibiotik yang signifikan (Post-Antibiotic Effect/PAE). Efektivitasnya paling baik dikorelasikan dengan rasio AUC (Area Under the Curve, total paparan obat) terhadap MIC (AUC/MIC).
- Implikasi Klinis: Karena Azithromycin memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi tinggi di jaringan (terutama di fagosit) dan memiliki waktu paruh yang sangat lama, dosis tinggi dan jangka pendek (5 hari) sudah cukup untuk mencapai AUC/MIC yang diperlukan untuk eradikasi GABHS, meskipun durasi yang singkat. Ini adalah kontras utama dibandingkan dengan rezim 10 hari wajib Beta-Laktam.
C. Pentingnya Konsentrasi Jaringan
Infeksi GABHS terjadi di jaringan tonsil/faring. Obat harus dapat menembus dan mencapai konsentrasi yang memadai di lokasi infeksi. Penicillin, Amoxicillin, dan Macrolides semuanya menunjukkan penetrasi jaringan yang baik ke dalam mukosa dan amandel, mendukung penggunaan mereka sebagai pilihan lini pertama.
XVI. Interaksi Obat yang Perlu Diperhatikan
Meskipun Penicillin dan Amoxicillin memiliki profil interaksi obat yang relatif bersih, beberapa antibiotik lini kedua memiliki interaksi yang signifikan, terutama bagi pasien yang menjalani terapi kronis lainnya.
A. Interaksi Macrolides
Erythromycin dan, pada tingkat lebih rendah, Clarithromycin, adalah penghambat kuat enzim sitokrom P450 (CYP3A4) hati. Penghambatan ini dapat meningkatkan kadar obat lain secara drastis dalam darah, termasuk:
- Warfarin: Peningkatan risiko perdarahan.
- Statin: Peningkatan risiko rhabdomyolysis (kerusakan otot) dengan simvastatin atau lovastatin.
- Theophylline: Peningkatan toksisitas.
Azithromycin memiliki interaksi CYP3A4 yang jauh lebih sedikit, menjadikannya Macrolide yang lebih aman bagi pasien dengan polifarmasi (banyak obat).
B. Interaksi Clindamycin
Clindamycin dapat memperkuat efek penghambat neuromuskuler, sehingga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menerima anestesi atau obat relaksan otot.
XVII. Pencegahan Sekunder Demam Rematik Akut (DRA)
Bagi individu yang sudah didiagnosis dengan DRA, protokol pengobatan berubah menjadi pencegahan sekunder. Pengobatan DRA sekunder adalah salah satu penggunaan antibiotik profilaksis jangka panjang yang paling jelas dan penting dalam kedokteran.
A. Tujuan Profilaksis Sekunder
Tujuannya adalah untuk mencegah episode GABHS berulang, yang dapat memicu episode DRA berikutnya dan memperburuk kerusakan katup jantung.
B. Regimen Standar Profilaksis
Pilihan utama adalah suntikan Benzathine Penicillin G intramuskular setiap 3 atau 4 minggu. Ini memastikan konsentrasi antibiotik yang stabil dan berkelanjutan, mengatasi masalah kepatuhan harian.
Alternatif oral meliputi Penicillin V atau Sulfadiazin, tetapi Benzathine Penicillin G lebih disukai karena efektivitasnya yang tidak diragukan.
C. Durasi Profilaksis
Durasi profilaksis sangat bergantung pada tingkat keparahan manifestasi awal DRA:
- DRA tanpa Karditis: 5 tahun atau sampai usia 21 tahun (mana yang lebih lama).
- DRA dengan Karditis tanpa Sisa Penyakit Jantung: 10 tahun atau sampai usia 21 tahun (mana yang lebih lama).
- DRA dengan Karditis dan Penyakit Katup Jantung Permanen: Profilaksis seumur hidup (minimal 10 tahun atau sampai usia 40 tahun, seringkali seumur hidup).
Keputusan durasi ini menyoroti pentingnya diagnosis dan pengobatan GABHS yang akurat sejak dini untuk menghindari komplikasi seumur hidup yang memerlukan intervensi antibiotik berkelanjutan.
XVIII. Keterbatasan Alat Diagnostik
Meskipun RADT adalah alat yang berharga, penting untuk memahami keterbatasannya, terutama dalam manajemen populasi anak.
A. Keterbatasan Sensitivitas RADT
Rapid Strep Test (RADT) memiliki spesifisitas yang sangat tinggi (jika positif, hampir pasti Strep), tetapi sensitivitasnya bervariasi (sekitar 70–90%). Sensitivitas yang lebih rendah ini berarti bahwa hasil negatif tidak selalu mengesampingkan Strep, terutama pada anak-anak.
- The "Test-and-Culture" Strategy: Untuk anak-anak, banyak pedoman klinis merekomendasikan: jika RADT negatif, harus diikuti dengan kultur tenggorokan (swab kedua) untuk mengkonfirmasi hasil negatif. Ini memastikan tidak ada kasus Strep yang terlewatkan dan mencegah DRA.
B. Tidak Perlu Konfirmasi pada Orang Dewasa
Pada orang dewasa, risiko DRA sangat kecil. Oleh karena itu, jika RADT negatif pada orang dewasa, kultur lanjutan umumnya tidak diperlukan, dan terapi antibiotik dihentikan.
Strategi pengujian yang berbeda berdasarkan usia ini adalah manifestasi langsung dari upaya menyeimbangkan pencegahan komplikasi yang jarang (DRA) dengan meminimalkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu pada kasus viral.
XIX. Peran Antibiotik dan Tonsilektomi
Tonsilektomi (pengangkatan amandel) adalah prosedur yang diindikasikan untuk kasus radang tenggorokan berulang yang sangat sering atau komplikasi serius (seperti abses peritonsillar berulang atau sumbatan jalan napas saat tidur).
A. Kriteria Tonsilektomi untuk GABHS Berulang
Pedoman merekomendasikan tonsilektomi jika pasien mengalami:
- Tujuh episode faringitis dalam satu tahun terakhir.
- Lima episode per tahun dalam dua tahun terakhir.
- Tiga episode per tahun dalam tiga tahun terakhir.
Semua episode harus didokumentasikan sebagai Strep positif melalui kultur atau RADT. Jika episode tersebut murni viral, tonsilektomi mungkin tidak banyak membantu.
B. Antibiotik Perioperatif
Pasien yang menjalani tonsilektomi sering menerima antibiotik profilaksis singkat (sebelum atau selama operasi) untuk mencegah infeksi luka pasca-operasi. Pilihan antibiotik ini biasanya berbeda dari pengobatan Strep akut (misalnya, Clindamycin atau Cephalosporin), karena mereka menargetkan flora campuran yang ditemukan di amandel yang mungkin termasuk bakteri anaerobik.
XX. Peran Klinisi dalam Penggunaan Antibiotik Terprogram (Stewardship)
Stewardship antibiotik (penggunaan antibiotik yang terprogram) adalah program terstruktur yang bertujuan meningkatkan penggunaan antibiotik yang tepat dan bertanggung jawab, hal ini krusial dalam konteks faringitis.
A. Pengurangan Preskripsi yang Tidak Tepat
Faringitis adalah salah satu kondisi yang paling sering menjadi sasaran preskripsi antibiotik yang tidak tepat. Klinisi didorong untuk mengikuti pedoman berbasis bukti (Centor/McIsaac) dan menahan diri dari pemberian resep 'hanya untuk berjaga-jaga' atau untuk memuaskan tuntutan pasien.
B. Pemilihan Dosis yang Tepat
Memastikan dosis yang optimal (terutama dosis tinggi Amoxicillin untuk kasus berulang atau dosis yang disesuaikan berat badan untuk anak-anak) adalah komponen kunci dari stewardship untuk memaksimalkan efikasi dan meminimalkan kegagalan terapi, yang pada akhirnya mengurangi kebutuhan akan agen lini kedua yang lebih spektrum luas.
XXI. Ringkasan Rekomendasi Pengobatan GABHS
Tabel berikut merangkum pilihan pengobatan antibiotik utama dan pertimbangan penting berdasarkan status alergi:
| Status Pasien | Antibiotik Pilihan Pertama | Dosis Standar & Durasi | Peringatan Utama |
|---|---|---|---|
| Non-Alergi Penicillin (Pilihan Emas) | Penicillin V / Amoxicillin | 10 hari penuh (Oral) | Pastikan kepatuhan dosis penuh (10 hari). |
| Masalah Kepatuhan / Berisiko DRA Tinggi | Penicillin G Benzathine | Dosis tunggal (IM) | Mencegah kegagalan karena dosis terlewat. |
| Alergi Penicillin (Non-Anafilaksis Ringan) | Cephalexin / Cefadroxil | 10 hari penuh (Oral) | Risiko reaksi silang minimal. |
| Alergi Penicillin (Anafilaksis Serius) | Azithromycin | 5 hari (Oral) | Perhatikan risiko resistensi Macrolide di area setempat. |
| Kegagalan Terapi / Recurrent Strep | Clindamycin / Amoxicillin-Klavulanat | 10 hari penuh (Oral) | Clindamycin meningkatkan risiko CDI; digunakan untuk mengatasi organisme penghasil Beta-Laktamase. |