Tuberkulosis (TBC) tetap menjadi ancaman kesehatan global yang serius. Kunci utama keberhasilan penanganannya terletak pada penggunaan regimen antibiotik yang tepat, terstruktur, dan berkesinambungan. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek pengobatan TBC, mulai dari mekanisme kerja obat, protokol standar, hingga tantangan kompleks resistensi obat.
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pengobatan TBC harus selalu melibatkan kombinasi dari beberapa jenis antibiotik. Ini adalah prinsip kritis karena dua alasan utama:
Regimen pengobatan TBC dibagi menjadi dua fase utama: Fase Intensif dan Fase Lanjutan. Durasi total pengobatan standar untuk TBC yang sensitif obat umumnya adalah 6 bulan, namun strategi pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, usia, dan riwayat paparan obat.
Fase ini berlangsung selama 2 bulan pertama dan bertujuan untuk membunuh sebagian besar bakteri aktif dengan cepat, sehingga mengurangi penularan dan mencegah resistensi. Empat antibiotik utama (Kuadrupel) digunakan dalam fase ini.
Fase ini berlangsung selama 4 bulan berikutnya dan bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa bakteri yang mungkin berada dalam keadaan semi-dorman. Jumlah obat yang digunakan biasanya dikurangi menjadi dua.
Empat antibiotik yang membentuk regimen standar dikenal sebagai RIPE. Efektivitas, harga yang terjangkau, dan profil keamanan yang relatif dapat dikelola menjadikannya lini pertahanan pertama global.
Rifampicin (Rifampin) adalah antibiotik makrosiklik yang bersifat bakterisida kuat. Obat ini merupakan komponen paling penting dalam regimen TBC karena perannya yang krusial dalam mensterilkan sputum dan mencegah kekambuhan. Rifampicin sangat efektif melawan populasi bakteri yang berkembang biak dengan cepat dan lambat.
Rifampicin bekerja dengan cara menghambat sintesis RNA bakteri. Secara spesifik, obat ini mengikat subunit beta dari DNA-dependent RNA polimerase (rpoB) M. tuberculosis. Ikatan ini mencegah inisiasi elongasi rantai RNA, sehingga menghentikan produksi protein yang vital bagi kelangsungan hidup bakteri. Mutasi pada gen rpoB adalah mekanisme utama resistensi Rifampicin.
Dosis Rifampicin biasanya didasarkan pada berat badan dan diberikan setiap hari selama fase intensif. Penting untuk memastikan kepatuhan yang ketat, karena pemberian intermiten (tidak setiap hari) diketahui meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas dan perkembangan resistensi.
Dalam regimen TBC yang sensitif obat, Rifampicin terus digunakan hingga akhir pengobatan (total 6 bulan), seringkali dikombinasikan dengan Isoniazid dalam bentuk Dosis Kombinasi Tetap (FDC) untuk meningkatkan kepatuhan.
Isoniazid (INH) adalah obat antituberkulosis yang paling bakterisida terhadap populasi bakteri yang berkembang biak cepat (ekstraseluler). Obat ini sangat efektif dan menjadi fondasi utama dalam penghancuran bakteri TBC.
Isoniazid adalah prodrug yang harus diaktifkan terlebih dahulu oleh enzim katalase-peroksidase (KatG) dari M. tuberculosis. Setelah diaktifkan, metabolit INH mengganggu biosintesis asam mikolat, komponen penting dari dinding sel mikobakteri. Kerusakan dinding sel ini menyebabkan kematian sel bakteri dengan cepat. Resistensi terhadap INH seringkali melibatkan mutasi pada gen KatG.
Selain pengobatan aktif, INH juga digunakan dalam Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) untuk individu yang terinfeksi TBC laten (LTBI) atau yang memiliki risiko tinggi berkembang menjadi TBC aktif, seperti kontak erat dan pasien HIV. Durasi TPT bervariasi, namun rejimen 6 atau 9 bulan INH adalah protokol yang umum digunakan.
Pyrazinamide (PZA) adalah komponen unik dalam regimen TBC yang sangat efektif dalam lingkungan asam. PZA lah yang memungkinkan durasi pengobatan dipersingkat dari 9-12 bulan menjadi 6 bulan.
Pyrazinamide adalah prodrug yang diubah menjadi bentuk aktifnya, asam pirazinoat (POA), oleh enzim bakteri pirazinamidase. POA terakumulasi dalam lingkungan asam makrofag dan pada lesi kaseosa yang meradang. Dalam lingkungan pH rendah ini, POA mengganggu fungsi membran sel bakteri dan metabolisme energi, khususnya efektif melawan populasi bakteri yang ‘tertidur’ atau semi-dorman di dalam makrofag atau jaringan yang meradang.
Ethambutol (EMB) adalah agen bakteriostatik yang berarti ia menghambat pertumbuhan bakteri, bukan membunuhnya secara langsung, pada konsentrasi standar. Peran utamanya adalah sebagai 'pelindung' atau pencegah resistensi.
EMB bekerja dengan menghambat arabinosil transferase, sebuah enzim yang penting untuk sintesis arabinogalaktan dalam dinding sel mikobakteri. Gangguan pada sintesis dinding sel ini menghambat multiplikasi bakteri. Karena EMB ditambahkan ke regimen kuadrupel, ia memastikan bahwa jika ada bakteri yang resisten terhadap salah satu dari tiga obat lainnya (R, I, P), bakteri tersebut tetap akan dihambat, sehingga mencegah multiplikasi strain resisten.
Protokol ini merupakan pedoman baku yang direkomendasikan WHO untuk kasus TBC Paru baru tanpa riwayat pengobatan sebelumnya dan diasumsikan sensitif terhadap obat lini pertama. Prinsip DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) harus diterapkan secara ketat.
Pengobatan harian selama 8 minggu (2 bulan). Kombinasi: 2HRZE (Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide, Ethambutol). Tujuan utama: menurunkan populasi bakteri secara drastis.
Pengobatan harian (atau tiga kali seminggu dalam beberapa pedoman lama, namun harian lebih disukai). Kombinasi: 4HR (Isoniazid dan Rifampicin). Tujuan utama: eradikasi populasi semi-dorman dan mencegah kekambuhan.
Keberhasilan pengobatan TBC sangat bergantung pada kepatuhan pasien. DOTS, yang mewajibkan pasien menelan obat di bawah pengawasan petugas kesehatan atau pengawas minum obat (PMO), memastikan dosis yang tepat diminum sesuai jadwal. Pengawasan ini menjadi sangat penting karena durasi pengobatan yang panjang dan efek samping yang mungkin timbul.
Pasien harus dievaluasi setiap bulan. Poin evaluasi kunci adalah hasil pemeriksaan sputum (dahak). Konversi sputum (dari positif menjadi negatif) pada akhir bulan kedua (Fase Intensif) adalah indikator utama keberhasilan pengobatan dan menjadi penentu apakah pasien bisa melanjutkan ke Fase Lanjutan.
Ketika strain M. tuberculosis tidak lagi dapat dihancurkan oleh obat lini pertama, situasi ini dikategorikan sebagai TBC Resisten Obat (DR-TBC). Penanganan DR-TBC jauh lebih sulit, memerlukan antibiotik lini kedua yang lebih toksik, dan durasi pengobatan yang bisa mencapai 9 hingga 24 bulan.
MDR-TBC didefinisikan sebagai TBC yang resisten terhadap dua antibiotik lini pertama yang paling poten: Rifampicin (R) dan Isoniazid (I). Resistensi terhadap Rifampicin sering kali menjadi penanda penting karena resistensi Rifampicin hampir selalu menyertai resistensi ganda. Diagnosis MDR-TBC harus dikonfirmasi melalui Uji Kepekaan Obat Cepat (Rapid Drug Susceptibility Testing/DST).
XDR-TBC didefinisikan sebagai MDR-TBC, ditambah resistensi terhadap setidaknya satu Fluoroquinolone (seperti Levofloxacin atau Moxifloxacin) dan setidaknya satu dari tiga obat suntik lini kedua (seperti Kanamycin, Amikacin, atau Capreomycin – meskipun obat suntik ini kini telah banyak digantikan oleh obat oral baru).
Pengobatan DR-TBC memerlukan kombinasi antibiotik yang kompleks dan harus diawasi oleh tim spesialis. Regimen dirancang berdasarkan hasil DST, memastikan bahwa setidaknya empat atau lima obat efektif digunakan dalam regimen tersebut.
Fluoroquinolones generasi baru (Moxifloxacin atau Levofloxacin) adalah inti dari pengobatan MDR-TBC. Obat ini memiliki aktivitas bakterisida yang baik terhadap M. tuberculosis.
Aminoglikosida seperti Amikacin dan Kanamycin, serta polipeptida Capreomycin, dulunya merupakan bagian wajib dari regimen MDR-TBC. Namun, karena toksisitas tinggi (terutama nefrotoksisitas dan ototoksisitas permanen), WHO kini merekomendasikan penggunaan regimen oral penuh.
Kelompok obat ini membentuk tulang punggung regimen oral modern untuk MDR-TBC.
Bedaquiline adalah antibiotik diarilkuinolin baru, merupakan terobosan signifikan. Obat ini bekerja dengan menghambat ATP synthase, sumber energi utama bakteri TBC.
Linezolid, meskipun merupakan antibiotik yang awalnya dirancang untuk infeksi Gram-positif lain, menunjukkan aktivitas kuat melawan TBC. Obat ini menghambat sintesis protein bakteri.
Clofazimine adalah antibiotik yang memiliki aktivitas antituberkulosis ringan namun berguna karena profil keamanannya yang baik (relatif terhadap obat lini kedua lainnya).
Ini adalah obat lama yang bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel. Sikloserin dikenal memiliki toksisitas neurologis signifikan (gangguan kejiwaan, kejang), sehingga penggunaannya memerlukan pemantauan ketat dan seringkali didampingi oleh suplemen Vitamin B6.
Pedoman global telah bergeser dari regimen injeksi 24 bulan yang lama ke regimen oral, yang menawarkan hasil yang lebih baik dan kepatuhan pasien yang lebih tinggi.
Regimen pendek ditujukan untuk pasien MDR-TBC yang belum pernah terpapar obat lini kedua. Regimen ini biasanya mencakup Bedaquiline (untuk 6 bulan), Levofloxacin/Moxifloxacin, Ethionamide (atau Prothionamide), Pyrazinamide, Clofazimine, dan Ethambutol dosis tinggi.
Kunci keberhasilan regimen pendek adalah memastikan tidak ada resistensi terhadap Fluoroquinolones (FQs), karena FQs berfungsi sebagai ‘Rifampicin’ dalam regimen MDR.
Regimen ini digunakan untuk pasien yang resisten terhadap FQs, memiliki TBC Ekstra Paru yang parah, atau gagal dengan regimen pendek. Regimen ini harus sepenuhnya individual berdasarkan DST, seringkali mencakup Bedaquiline dan Linezolid selama durasi yang diperpanjang.
Penggunaan antibiotik TBC pada kelompok populasi tertentu memerlukan penyesuaian dosis dan perhatian khusus terhadap interaksi obat dan potensi toksisitas.
Koinfeksi TBC-HIV adalah masalah besar. Tantangan utamanya adalah interaksi obat yang kompleks antara Rifampicin dan obat Antiretroviral (ARV), terutama pada golongan Protease Inhibitor (PI) dan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) tertentu.
TBC aktif harus selalu diobati pada wanita hamil. Regimen RIPE standar umumnya aman, dengan pengecualian Ethambutol yang harus digunakan dengan hati-hati (karena efek toksisitas okular) dan Pyrazinamide yang secara tradisional dihindari pada trimester pertama meskipun kini data keamanannya semakin kuat. Streptomycin dan obat suntik lini kedua lainnya bersifat teratogenik dan dikontraindikasikan.
Dosis antibiotik harus disesuaikan berdasarkan berat badan dan seringkali lebih tinggi per kilogram dibandingkan dosis dewasa, karena anak memetabolisme Rifampicin lebih cepat. Ethambutol sering tidak digunakan pada anak kecil karena sulitnya memantau toksisitas okular.
Salah satu alasan utama kegagalan pengobatan atau ketidakpatuhan adalah manajemen efek samping yang buruk. Dokter harus proaktif dalam mengidentifikasi dan mengelola efek samping antibiotik TBC yang poten.
Ini adalah efek samping paling serius dari Rifampicin, Isoniazid, dan Pyrazinamide. Gejala meliputi mual, muntah, kulit atau mata kuning (ikterus), dan nyeri perut kuadran kanan atas. Monitoring transaminase (ALT/AST) penting dilakukan secara rutin, terutama pada pasien berisiko tinggi.
Biasanya terkait dengan Isoniazid, diatasi dengan pemberian Pyridoxine (Vitamin B6). Pentingnya B6 harus ditekankan kepada semua pasien yang menerima Isoniazid, bahkan pada dosis profilaksis.
Secara spesifik disebabkan oleh Ethambutol. Pasien harus melaporkan setiap perubahan visual atau kesulitan membedakan warna. Penghentian segera Ethambutol adalah wajib saat toksisitas terdeteksi untuk mencegah kebutaan permanen.
Gangguan perut, mual, dan muntah sering terjadi, terutama pada awal pengobatan. Penggunaan FDC (Fixed Dose Combination) dengan dosis yang terbagi atau diminum bersama makanan sering dapat meringankan gejala ini.
Mengingat meningkatnya ancaman XDR-TBC, penelitian terus dilakukan untuk menemukan antibiotik baru yang lebih kuat, kurang toksik, dan mampu mempersingkat durasi pengobatan.
Regimen yang sedang menjadi fokus utama adalah BPaL, yang terdiri dari Bedaquiline, Pretomanid, dan Linezolid. Regimen ini sangat menjanjikan untuk MDR/XDR-TBC. Pretomanid adalah obat baru yang digunakan dalam kombinasi BPaL, memiliki efikasi tinggi, dan memungkinkan durasi pengobatan dipersingkat hingga 6 bulan atau bahkan kurang untuk kasus resisten yang rumit.
Regimen BPaL sangat menarik karena menyederhanakan pengobatan yang rumit, menjadikannya lebih mudah diakses dan meningkatkan kepatuhan. Namun, dosis Linezolid harus dijaga serendah mungkin untuk memitigasi toksisitas saraf.
Delamanid adalah antibiotik baru yang mirip dengan Bedaquiline (keduanya termasuk golongan Nitroimidazoles) yang bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat. Obat ini digunakan terutama untuk pasien yang resisten terhadap Bedaquiline atau yang memiliki TBC yang sangat sulit diobati (pre-XDR/XDR).
Pengobatan Tuberkulosis adalah salah satu terapi antibiotik yang paling menantang dalam kedokteran, menuntut kesabaran, komitmen, dan pengawasan yang ketat. Kesuksesan tidak hanya bergantung pada kekuatan antibiotik itu sendiri, tetapi pada kombinasi antara diagnosis cepat, penentuan sensitivitas obat yang akurat (DST), penerapan protokol DOTS yang ketat, dan manajemen efek samping yang agresif.
Regimen antibiotik standar RIPE tetap menjadi senjata utama melawan TBC sensitif obat, menyelamatkan jutaan nyawa. Namun, ancaman resistensi obat menuntut adopsi cepat terhadap agen lini kedua yang baru dan pengembangan protokol yang lebih singkat dan sepenuhnya oral, untuk memastikan bahwa TBC dapat diberantas sepenuhnya.