Perhiasan, dalam konteks sejarah Nusantara, bukanlah sekadar pemanis penampilan. Ia adalah penanda status sosial, simbol spiritual, dan wadah kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Dari sekian banyak perhiasan yang bernilai sejarah, anting jaman dulu menempati posisi yang unik. Benda mungil ini, yang menghiasi daun telinga, menceritakan kisah perjalanan panjang budaya, seni kriya logam, dan filosofi hidup masyarakat dari berbagai kepulauan di Indonesia.
Sejak masa pra-Hindu hingga era perdagangan besar, anting selalu hadir dalam berbagai bentuk dan material, mencerminkan akulturasi dan keahlian tinggi para pandai emas. Eksplorasi mendalam terhadap anting dari masa lampau ini membawa kita pada pemahaman tentang bagaimana kekayaan alam diolah menjadi karya seni yang sarat makna, melampaui fungsi estetika semata.
Gambaran anting dengan desain kenop (kancing) yang populer di Jawa, melambangkan kemewahan yang tersembunyi.
Kisah anting di Nusantara bermula jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan besar yang mendominasi sejarah. Artefak anting-anting kuno yang ditemukan dalam situs-situs arkeologi, terutama di Jawa Timur dan Bali, menunjukkan bahwa tradisi menghiasi telinga telah ada sejak masa perundagian, bahkan mungkin sejak masa Neolitik. Material awal yang digunakan sangat beragam, mulai dari cangkang kerang, tulang, hingga batuan mulia sederhana.
Namun, era kejayaan anting jaman dulu dimulai seiring dengan masuknya pengaruh Hindu-Buddha, sekitar abad ke-4 Masehi. Periode ini membawa teknik metalurgi yang lebih canggih, terutama dalam pengolahan emas dan perak. Para pandai emas (atau pande) di pusat-pusat kerajaan, seperti Mataram Kuno, Singasari, dan Majapahit, menciptakan perhiasan yang tidak hanya indah tetapi juga kokoh dan rumit.
Emas adalah material yang paling diidamkan dan paling sarat makna. Di banyak kebudayaan Nusantara, emas dianggap sebagai replika matahari—simbol keabadian, kemakmuran, dan kedudukan ilahi. Anting emas yang dikenakan oleh raja, bangsawan, atau bahkan patung dewa-dewi, sering kali dibuat dari emas murni (22 karat hingga 24 karat), membuktikan kemampuan pemurnian logam yang luar biasa pada masa itu. Penggunaan perunggu, perak, dan campuran logam lainnya juga umum, tergantung pada strata sosial pemakainya.
Dalam konteks Jawa klasik, anting sering dipadukan dengan konsep kosmik. Bentuk spiral, lingkaran, atau sulur-suluran pada anting emas kuno merepresentasikan siklus kehidupan dan kesuburan. Bahkan, beberapa anting purba ditemukan dalam bentuk yang sangat spesifik menyerupai buah atau biji-bijian, seperti anting kenari atau anting buah pinang, menggarisbawahi pentingnya harmoni dengan alam.
Selain emas, batu-batuan berharga yang digunakan mencakup intan dari Kalimantan, batu permata lokal, dan manik-manik kaca impor yang didapatkan melalui jalur perdagangan maritim. Keberadaan manik-manik kaca dari Timur Tengah atau India pada anting-anting kuno membuktikan bahwa perhiasan jaman dulu merupakan cerminan dari jejaring perdagangan global yang telah terjalin di Nusantara sejak lama.
Kualitas perhiasan kuno tidak hanya terletak pada materialnya, tetapi juga pada teknik pembuatannya yang memerlukan ketelitian dan kesabaran luar biasa. Tiga teknik utama yang mendominasi pembuatan anting jaman dulu adalah:
Kepulauan Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa menghasilkan variasi anting yang sangat luas, di mana setiap daerah memiliki ciri khas, filosofi, dan nama tersendiri. Memahami anting jaman dulu adalah memahami geografi budaya Nusantara.
Jawa, sebagai pusat politik dan budaya selama berabad-abad, memiliki tradisi perhiasan yang sangat kaya. Anting-anting Jawa cenderung menampilkan desain yang lebih halus, simetris, dan seringkali berorientasi pada bentuk-bentuk geometris atau flora. Emas adalah material utama yang digunakan oleh bangsawan keraton.
Salah satu bentuk paling ikonis adalah Anting Kenop atau Giwang. Bentuknya menyerupai kancing atau bola padat yang digantungkan. Dalam tradisi keraton, giwang tidak hanya berfungsi sebagai perhiasan, tetapi juga sebagai penanda kedewasaan dan status perkawinan bagi wanita. Anting-anting ini sering dihiasi dengan permata intan kecil (berlian Jawa) atau teknik granulasi yang sangat rapi. Keindahan giwang terletak pada proporsinya yang sempurna dan detail ukiran yang hampir tidak terlihat tanpa kaca pembesar.
Di masa Majapahit, ditemukan juga anting berukuran besar berbentuk cakram atau spiral ganda (anting mas) yang berfungsi sebagai penutup cuping telinga yang diperbesar. Ini menunjukkan adanya variasi praktik penindikan telinga yang berbeda antara kelas atas dan masyarakat umum.
Sumatera, terutama wilayah Minangkabau, Palembang, dan Aceh, dikenal karena perhiasan emas yang masif dan mewah. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya emas yang melimpah dan kontak intensif dengan pedagang India dan Arab.
Di Minangkabau, Anting Pulas dan Anting Gantung sangat populer. Anting Pulas memiliki bentuk spiral melingkar besar, yang kadang dihiasi filigri halus. Mereka tidak hanya digunakan sebagai perhiasan sehari-hari tetapi menjadi bagian esensial dari pakaian adat pengantin. Kemahiran pandai emas Minang dalam teknik filigri diakui sangat unggul, menciptakan ilusi volume besar meskipun bobot perhiasannya relatif ringan.
Sementara itu, Palembang terkenal dengan perhiasan berlapis emas dan permata. Anting di Palembang seringkali berukuran besar dan panjang, mencerminkan kemegahan budaya Sriwijaya yang diwariskan. Emas pada anting Palembang memiliki warna kuning yang sangat pekat, menunjukkan kandungan emas murni yang tinggi, dipadukan dengan teknik tatahan permata yang presisi.
Contoh anting panjang dari Sumatera, sering menggunakan perak atau emas, menunjukkan kerumitan teknik filigri.
Bali dan Lombok memiliki tradisi perhiasan yang sangat terikat pada praktik keagamaan Hindu-Dharma. Anting-anting di sini tidak hanya indah, tetapi juga dipercaya memiliki kekuatan pelindung (talisman).
Di Bali, anting jaman dulu seringkali mengambil bentuk Sumbu Roda, yaitu anting besar yang melingkari telinga. Desain ini sarat dengan simbol Dharma (roda kehidupan). Emas dan perak Bali juga dikenal dengan teknik ukiran yang padat, menciptakan tekstur yang kaya dan mendalam, berbeda dengan kehalusan filigri Jawa. Motif Patra (sulur-suluran) dan Kala (simbol waktu) sering diukir pada giwang bangsawan.
Khusus di Lombok, pengaruh Bugis dan Islam membawa variasi perhiasan perak yang lebih sederhana namun tetap elegan. Teknik granulasi halus sering ditemukan, menunjukkan adanya pertukaran keahlian kriya logam di sepanjang jalur pelayaran timur.
Kalimantan, dengan kekayaan intan dan permata alaminya, menghasilkan perhiasan yang berfokus pada kemewahan material. Masyarakat Dayak, khususnya, memiliki tradisi penggunaan anting yang sangat khas, dikenal sebagai Telinga Aring atau Lekat.
Anting Dayak jaman dulu sangat berbeda dari yang ditemukan di pulau lain. Mereka dirancang untuk meregangkan daun telinga hingga sangat panjang, yang pada masa itu melambangkan kecantikan, kesabaran, dan status sosial. Semakin panjang telinga, semakin tinggi kedudukan seseorang. Material yang digunakan biasanya perak atau kuningan dalam bentuk spiral atau bandul berat. Bandul ini sering dihiasi dengan ukiran representasi manusia atau roh penjaga.
Di Kalimantan Selatan (Banjar), fokusnya beralih ke intan. Anting-anting Banjar dikenal sebagai Intan Galang, di mana intan (berlian) yang ditambang lokal menjadi bintang utama. Pandai emas Banjar menguasai teknik tatahan yang memungkinkan intan kecil disusun sedemikian rupa sehingga memberikan kilauan maksimum.
Di wilayah Timur, anting seringkali mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan hasil laut. Di Sumba, anting Mamuli, meskipun biasanya berfungsi sebagai bandul kalung, memiliki bentuk yang sangat ikonik menyerupai rahim wanita atau tapal kuda, melambangkan kesuburan dan kekayaan. Versi kecil Mamuli juga digunakan sebagai anting.
Di daerah Flores dan Timor, perhiasan sering dibuat dari logam campuran seperti perunggu atau kuningan, yang diwariskan sebagai harta pusaka. Bentuknya lebih arketipal dan abstrak, seringkali mengambil bentuk sabit atau spiral sederhana, mencerminkan nilai material yang lebih rendah namun nilai pusaka yang sangat tinggi.
Bagi masyarakat jaman dulu di Nusantara, anting adalah bahasa non-verbal yang sangat efektif. Fungsinya melampaui estetika dan menyentuh ranah kosmologi, status, dan ritual.
Penggunaan anting, materialnya, dan ukurannya secara langsung mencerminkan kasta, kekayaan, dan peran seseorang dalam komunitas. Di beberapa kerajaan, hanya anggota keluarga kerajaan atau bangsawan tinggi yang diizinkan mengenakan anting emas murni dengan ukiran spesifik. Contohnya:
Ketika seseorang kehilangan kekayaan atau status, perhiasannya, termasuk anting, seringkali menjadi yang pertama disita atau dijual, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara perhiasan dan identitas sosial.
Secara spiritual, anting dipercaya memiliki fungsi apotropaic (penangkal bahaya). Karena telinga dianggap sebagai salah satu gerbang masuk roh jahat ke dalam tubuh, perhiasan logam mulia diyakini dapat menangkal energi negatif atau penyakit. Penggunaan batu permata tertentu pada anting juga terkait dengan perlindungan spesifik, misalnya batu merah untuk keberanian atau batu bening untuk kejernihan pikiran.
Di Jawa dan Bali, bentuk lingkaran sempurna pada giwang dan anting melambangkan keutuhan dan perlindungan, menciptakan benteng spiritual di sekitar kepala, pusat kesadaran dan jiwa.
Anting seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari pakaian ritual. Dalam upacara adat besar, seperti pernikahan atau penobatan, anting yang dikenakan harus sesuai dengan pakem adat yang berlaku, di mana desainnya memiliki makna simbolis yang jelas terkait dengan kesuburan, kemakmuran, atau penghormatan terhadap leluhur.
Tradisi kuno juga mencatat pentingnya anting dalam ritual kematian. Di beberapa kebudayaan kuno, perhiasan emas, termasuk anting, ikut dikuburkan bersama jenazah sebagai bekal perjalanan ke alam baka. Hal ini memperkuat pandangan bahwa anting adalah harta yang bernilai abadi, melampaui batas kehidupan duniawi.
Teknik granulasi adalah ciri khas anting bangsawan jaman dulu, menunjukkan keterampilan metalurgi tingkat tinggi.
Seiring berjalannya waktu dan masuknya modernitas, nilai dari anting jaman dulu semakin bertambah, beralih dari sekadar perhiasan menjadi artefak sejarah yang wajib dilindungi. Banyak anting kuno kini tersimpan di museum, sementara yang lain dipertahankan sebagai pusaka keluarga yang diturunkan melalui beberapa generasi.
Koleksi anting kuno yang tersimpan di museum-museum etnografi dan nasional di Indonesia, serta di luar negeri, memberikan pemahaman mendalam tentang perkembangan budaya material Nusantara. Setiap anting menjadi dokumen sejarah yang mencatat perubahan gaya, kontak budaya, dan evolusi teknik. Para ahli sejarah sering menggunakan desain anting, terutama yang berasal dari situs penggalian, untuk membantu mengidentifikasi rentang waktu suatu peradaban dan arah migrasi seni kriya logam.
Sebagai contoh, penemuan anting spiral Majapahit seringkali membantu para arkeolog membandingkan kemiripannya dengan perhiasan dari Vietnam atau Thailand, memperkuat teori bahwa Majapahit adalah pusat maritim yang sangat berpengaruh dan terhubung secara internasional. Oleh karena itu, anting pusaka adalah kunci untuk membuka jendela pemahaman sejarah interaksi regional.
Pelestarian anting jaman dulu menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah risiko peleburan. Karena mayoritas anting kuno terbuat dari emas murni, banyak warisan sejarah yang akhirnya dilebur oleh ahli waris atau kolektor yang lebih fokus pada nilai material (nilai emas) daripada nilai sejarah dan budayanya.
Oleh karena itu, upaya pelestarian kini berfokus pada dokumentasi detail, pencatatan silsilah pusaka, dan peningkatan kesadaran masyarakat bahwa nilai anting kuno terletak pada keahlian tangan pembuatnya, cerita di baliknya, dan bukan hanya pada berat gram emasnya. Mengidentifikasi teknik pembuatan yang spesifik, seperti jejak alat pandai emas kuno, adalah bagian krusial dari upaya konservasi ini.
Meskipun dunia perhiasan kontemporer terus berkembang, pengaruh desain anting jaman dulu masih sangat terasa. Banyak desainer perhiasan modern Indonesia yang kembali merujuk pada bentuk-bentuk arketipal: spiral Bali, filigri Minang, atau giwang kancing Jawa, dan kemudian menginterpretasikannya ulang dengan material dan teknik baru.
Dengan demikian, anting dari masa lampau tidaklah hilang; ia berevolusi. Mereka terus berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kemewahan spiritual dan material masa lalu dengan kehidupan modern. Setiap pasang anting yang bertahan adalah pengingat akan keuletan, keindahan, dan kekayaan identitas budaya yang telah diukir oleh leluhur di tanah Nusantara.
Penelusuran terhadap anting jaman dulu mengajarkan kita bahwa seni perhiasan di Indonesia adalah sebuah narasi panjang tentang interaksi budaya, kemampuan teknis yang melampaui zamannya, dan pemaknaan mendalam terhadap benda-benda yang menghiasi tubuh. Dari giwang sederhana hingga anting pemberat yang dramatis, setiap perhiasan mencerminkan babak sejarah yang unik dan tak terlupakan.
Kedalaman makna yang terkandung dalam anting jaman dulu memerlukan pembedahan filosofis yang lebih spesifik per etnisitas. Bukan hanya material, tetapi penempatan, orientasi, dan detail minor pada anting memiliki implikasi kosmik dan sosial yang jauh berbeda di setiap pulau besar.
Di Jawa, terutama dalam tradisi keraton, anting selalu dipandang dalam konteks microcosmos (manusia) dan macrocosmos (alam semesta). Anting emas yang dikenakan dekat dengan kepala, pusat pikiran, dan Cakra Mahkota, bertujuan untuk menyelaraskan pemakai dengan energi kosmik. Bentuk geometris seperti lingkaran dan bunga teratai (padma) yang sering diukir pada giwang klasik bukan sekadar hiasan. Padma, yang muncul dari lumpur namun tetap suci, adalah simbol pencerahan dan kesucian, menandakan bahwa pemakai diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas meskipun hidup dalam kemewahan duniawi.
Filosofi simetri pada anting Jawa, di mana sepasang anting harus identik, merefleksikan konsep keseimbangan (keseimbangan Rwa Bhineda) antara yang baik dan buruk, siang dan malam. Keharmonisan ini adalah prinsip fundamental yang diyakini menjaga ketertiban sosial dan pribadi. Giwang yang dihiasi intan kecil disusun mengikuti pola tertentu yang menyerupai susunan bintang atau rasi-rasi, menunjukkan penghormatan terhadap astronomi kuno dan siklus waktu yang abadi.
Di wilayah Batak Toba dan Karo, anting jaman dulu seringkali terbuat dari perak atau kuningan, dan memiliki bentuk yang kaku dan tegak, seperti Surisuri atau Halipepe. Meskipun materialnya mungkin tidak semewah emas Jawa atau Palembang, nilai kulturalnya sangat tinggi. Perhiasan Batak seringkali merupakan perhiasan komunal yang dimiliki oleh marga, bukan individu.
Anting besar yang dikenakan oleh wanita Batak, yang kadang melengkung ke atas, bukan hanya untuk penampilan. Ukuran dan desainnya mencerminkan posisi hulahula (pihak pemberi gadis) atau boru (pihak penerima gadis) dalam sistem kekerabatan. Perhiasan ini adalah penanda peran sosial dalam sistem Dalihan Na Tolu (tiga tungku kekerabatan) yang sangat dihormati. Logam perak yang digunakan sering diyakini memiliki kemampuan mendinginkan dan menjaga ketenangan, sangat penting dalam menjaga harmoni antar marga.
Di Sumba, penggunaan anting jaman dulu yang menyerupai bentuk Mamuli, meskipun ukurannya lebih kecil, memiliki fungsi ekonomi dan sosial yang kritis. Mamuli adalah objek pusaka yang bertindak sebagai alat tukar atau jaminan dalam transaksi penting, terutama dalam pernikahan adat. Bentuk anting yang menyerupai rahim wanita (bentuk 'O' terbuka) adalah simbol universal kesuburan dan kesejahteraan keluarga.
Ketika seorang wanita Sumba mengenakan anting ini, ia bukan hanya membawa estetika, tetapi juga seluruh sejarah dan kekayaan pusaka keluarga. Anting menjadi bukti fisik dari status ekonomi dan kesediaan keluarga untuk menjaga tradisi. Logam yang digunakan, meskipun kuningan atau perak, diperlakukan dengan penghormatan tinggi karena nilainya yang lebih tinggi sebagai benda adat daripada nilai material murninya.
Wilayah Aceh, sebagai gerbang perdagangan Islam di Nusantara, menampilkan anting jaman dulu yang dipengaruhi kuat oleh motif Islam dan kearifan lokal. Subang (anting tusuk) dan Peunulang (anting panjang) sering dihiasi dengan pola geometris atau kaligrafi, menghindari representasi figuratif manusia atau hewan secara eksplisit.
Kekayaan emas Aceh pada masa kesultanan menjadikan anting mereka sangat berharga. Emas yang digunakan melambangkan kemurnian iman dan kejayaan kerajaan. Perhiasan ini sering dibuat dalam teknik tatahan (kerawang) yang sangat halus, menunjukkan kontak langsung dengan teknik perhiasan dari Timur Tengah dan India yang masuk melalui pelabuhan dagang. Anting-anting ini merupakan pengakuan publik atas kekayaan dan ketaatan pemakainya.
Fenomena pemanjangan telinga pada suku-suku Dayak di Kalimantan, yang dicapai dengan anting pemberat seperti Lekat atau Telinga Aring, adalah salah satu filosofi anting yang paling mencolok.
Material seperti kuningan, tembaga, dan perak yang digunakan pada anting Dayak dipilih karena kekuatannya menahan beban, berbeda dengan emas yang rapuh. Ini menekankan bahwa di sini, fungsi dan filosofi daya tahan lebih diutamakan daripada nilai material murni.
Memahami bagaimana anting jaman dulu dibuat adalah menghargai kecerdasan teknologi para pandai emas yang bekerja tanpa bantuan listrik atau peralatan modern. Prosesnya adalah perpaduan ilmu kimia (pemurnian logam), fisika (penempaan), dan seni murni (desain).
Sebelum perhiasan bisa dibentuk, logam harus dimurnikan. Di masa lampau, proses pemurnian emas (terutama di daerah penambangan seperti Kalimantan dan Sumatera) dilakukan dengan cara tradisional menggunakan wadah tanah liat yang tahan panas tinggi dan metode cupellation, seringkali menggunakan arang kayu keras untuk mencapai suhu leleh yang diperlukan. Tingkat kemurnian emas (karat) sangat dikuasai, memungkinkan pandai emas menghasilkan emas 22K hingga 24K yang lembut untuk ukiran filigri.
Filigri adalah teknik yang paling menuntut dalam pembuatan anting jaman dulu. Prosesnya meliputi:
Granulasi (menempelkan butiran emas) lebih rumit lagi. Granul dibuat dengan mencairkan potongan emas kecil yang akan membentuk bola-bola sempurna. Bola-bola ini kemudian ditempelkan satu per satu pada permukaan anting. Dipercaya bahwa teknik granulasi di Nusantara dipengaruhi kuat oleh teknik yang dibawa oleh pedagang dari India, namun pandai emas lokal berhasil mengadaptasinya dengan gaya dan motif pribumi.
Untuk anting-anting yang menggunakan permata, seperti di Banjar atau Jawa, teknik tatahan (setting) yang digunakan adalah bezel setting (tatahan keliling) atau burnish setting (tatahan gosok), yang bertujuan untuk melindungi permata berharga. Karena Intan Banjar jaman dulu dipotong secara tradisional (disebut Intan Bintang atau Intan Mawar), bentuknya tidak seragam seperti berlian modern, sehingga memerlukan keahlian tatahan khusus agar permata tidak mudah lepas. Teknik ini memastikan anting pusaka dapat bertahan selama ratusan tahun meskipun sering dipakai dan diwariskan.
Anting jaman dulu adalah manifestasi fisik dari kekayaan sejarah dan keahlian budaya Nusantara. Mereka melambangkan sebuah era ketika setiap benda dibuat dengan niat, waktu, dan makna filosofis yang mendalam. Dari teknik filigri yang nyaris mustahil hingga bentuk-bentuk arketipal yang membawa pesan kesuburan dan perlindungan, anting-anting ini adalah catatan berharga tentang bagaimana masyarakat Indonesia memandang dunia, status, dan spiritualitas mereka.
Warisan ini mengajarkan kita pentingnya menjaga tradisi kriya logam dan kisah-kisah di baliknya. Ketika kita mengagumi kilauan anting emas kuno, kita sesungguhnya tidak hanya melihat perhiasan, tetapi melihat sepotong waktu, sepotong identitas, dan sepotong jiwa dari bangsa yang mahir dalam mengolah keindahan menjadi keabadian. Mereka adalah pusaka tak ternilai yang harus terus dikaji dan dilestarikan untuk generasi mendatang, memastikan bahwa kilauan sejarah ini tidak pernah pudar.