Arca, lebih dari sekadar pahatan batu atau tuangan logam, merupakan manifestasi fisik dari kepercayaan, kekuasaan, dan kosmologi yang dianut oleh peradaban kuno di Nusantara. Istilah ‘arca’ merujuk pada patung yang memiliki nilai keagamaan, simbolis, atau historis, yang umumnya dibuat untuk keperluan pemujaan atau peringatan. Dalam konteks sejarah Indonesia, arca mencapai puncaknya selama periode Klasik Hindu-Buddha, dari abad ke-7 hingga ke-15 Masehi, meninggalkan warisan seni rupa yang tak tertandingi kerumitan dan keindahannya.
Arca berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dan entitas spiritual, baik itu dewa, bodhisattva, leluhur yang didewakan, atau manifestasi kekuatan kosmik. Setiap lekukan, atribut yang digenggam, sikap tubuh, dan ekspresi wajah pada arca memuat kode ikonografi yang ketat, merujuk pada teks-teks keagamaan yang menjadi pedoman para seniman dan pemahat pada masa lampau. Memahami arca adalah kunci untuk menyingkapkan struktur sosial, praktik keagamaan sinkretis, dan evolusi artistik kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit.
Klasifikasi arca di Nusantara dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mencerminkan keragaman material dan tujuan pembuatannya. Secara umum, arca dapat dikategorikan berdasarkan bahan, periode sejarah, dan ikonografi spesifik.
Evolusi gaya arca sangat dipengaruhi oleh pusat kekuasaan dan doktrin keagamaan yang dominan di suatu wilayah. Para ahli arkeologi membagi periode utama arca Klasik menjadi dua era besar:
Gaya arca periode ini, sering disebut sebagai gaya Sanjaya-Sailendra, dicirikan oleh keharmonisan, simetri sempurna, dan ketenangan ekspresi. Arca Buddhis dari Borobudur menunjukkan pose yang santai (tribhanga) dan perhiasan yang minimalis, menekankan spiritualitas murni. Sementara arca Hindu di Prambanan menunjukkan figur yang proporsional, namun mulai menampilkan kegagahan Siwa sebagai dewa perusak dan pencipta. Kualitas pahatannya sangat tinggi, seringkali menggunakan teknik ‘pahat dalam’ yang menghasilkan efek tiga dimensi yang mendalam.
Setelah perpindahan pusat kekuasaan ke timur, gaya arca mengalami transformasi drastis. Arca Jawa Timur cenderung lebih ekspresif, dinamis, dan memiliki unsur lokal (Jawanisasi) yang kuat. Arca-arca pada masa Singhasari dan Majapahit sering kali merupakan Arca Potret, yaitu penggambaran raja atau ratu yang telah meninggal dan didewakan (dharma), seperti Arca Prajnaparamita yang diduga sebagai potret Ken Dedes atau arca Harihara yang merepresentasikan Raja Kertajasa Jayawarddhana. Perhiasan menjadi lebih ramai, dan pose tubuh seringkali lebih dramatis, menandakan peleburan konsep dewa dan raja.
Inti dari studi arca adalah ikonografi—deskripsi dan interpretasi visual yang mendetail. Ikonografi memastikan bahwa arca tidak hanya indah secara artistik, tetapi juga secara teologis benar sesuai dengan *sadhana* (pedoman meditasi) atau *silpasastra* (kitab seni rupa).
Mudra adalah bahasa universal dalam arca Hindu dan Buddha, di mana setiap posisi jari dan telapak tangan memiliki makna ritualistik yang mendalam. Dalam arca Buddha, lima Dhyani Buddha dibedakan melalui lima Mudra utama, yang melambangkan lima kebijaksanaan:
Representasi Mudra utama dalam ikonografi arca.
Postur atau sikap tubuh (Asana untuk duduk, Sthana untuk berdiri) juga memberikan petunjuk penting tentang identitas arca. Sikap tubuh ini menunjukkan kondisi spiritual atau aktivitas dewa tersebut. Beberapa contoh Asana yang sering ditemukan:
Atribut yang digenggam arca (seperti trisula, cakra, teratai, vajra) adalah penanda identitas yang paling jelas. Demikian pula dengan kendaraan atau Vahana yang mengiringi dewa:
Tingkat detail dalam penggambaran atribut ini menunjukkan tingkat keahlian seniman dan kepatuhan terhadap standar keagamaan yang berlaku di kerajaan pembuatnya. Kesalahan atau variasi ikonografi seringkali menjadi petunjuk bagi para arkeolog mengenai periode transisi atau sinkretisme lokal.
Periode Hindu di Nusantara didominasi oleh pemujaan terhadap Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa), dengan Siwa sebagai dewa yang paling dominan di Jawa. Pemujaan Siwa, atau Siwaisme, berintegrasi erat dengan konsep deifikasi raja.
Arca Siwa Mahadewa, sebagai figur utama dalam Candi Prambanan, menampilkan kemegahan dan ketenangan. Namun, Siwa memiliki banyak manifestasi yang juga diarcakan:
Peran penting Dewi Parwati, sakti dari Siwa, juga menonjol. Arca Durga Mahisasuramardini (Durga Pembunuh Kerbau) sering ditempatkan di ceruk utara candi Siwa, menunjukkan kekuatan feminin yang ganas dalam melawan kejahatan. Arca Durga di Jawa Timur cenderung lebih ramping dan dinamis dibandingkan dengan versi Jawa Tengah yang lebih stabil dan tebal.
Arca Buddha di Indonesia mencapai puncak artistik dan filosofisnya dalam tradisi Mahayana dan Vajrayana, terutama di bawah kekuasaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah dan Sriwijaya di Sumatera.
Kompleks Borobudur adalah representasi visual dari kosmos Buddhis Mahayana. Di sana, Dhyani Buddha—Buddha meditasi yang melambangkan lima aspek pencerahan—diarcakan dalam jumlah ribuan:
Penataan arca-arca Dhyani Buddha ini mengikuti arah mata angin dan tingkat spiritualitas yang berbeda, membimbing peziarah secara bertahap menuju kesadaran kosmik.
Dalam Mahayana, Bodhisattva adalah makhluk yang telah mencapai pencerahan namun memilih menunda Nirwana demi membantu semua makhluk hidup. Arca Bodhisattva digambarkan dengan perhiasan mewah, mahkota, dan sikap yang lebih anggun, berbeda dengan kesederhanaan Buddha. Yang paling terkenal adalah:
Proses pembuatan arca, terutama yang berbahan batu dan perunggu, memerlukan pengetahuan teknik, ritual, dan geometri yang mendalam. Para pemahat (yang disebut silpin) tidak hanya seniman, tetapi juga pelaksana ritual keagamaan.
Arca batu besar dibuat langsung di kuari atau di lokasi candi. Prosesnya meliputi:
Arca-arca batu seringkali merupakan bagian integral dari struktur candi. Ketika candi runtuh, arca-arca tersebut sering ditemukan di ceruk atau ruang utama (garbhagriha), tempat fungsi ritual utamanya berada.
Arca perunggu, emas, atau campuran logam lainnya dibuat menggunakan teknik Cire Perdue (Lost-Wax Method). Teknik ini memungkinkan pembuatan arca yang berongga dan ringan, tetapi mampu menangkap detail halus. Langkah-langkahnya meliputi:
Arca logam dari Jawa Tengah dikenal karena kehalusan perunggu mereka yang memiliki kadar tembaga tinggi, menghasilkan warna emas kemerahan, sementara arca perunggu dari Sumatera (Sriwijaya) sering menampilkan lapisan luar emas yang sangat tipis (vermeil).
Perpindahan kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (sekitar abad ke-10) tidak hanya menggeser lokasi fisik candi tetapi juga mengubah filosofi di balik pembuatan arca. Arca Jawa Timur cenderung merefleksikan identitas raja dan integrasi yang lebih kuat antara ajaran Hindu-Buddha dengan pemujaan leluhur (dewa-raja).
Pada masa Singhasari dan Majapahit, arca dibuat tidak hanya untuk memuja dewa tetapi untuk mengabadikan raja atau ratu yang telah meninggal dan dianggap bersatu dengan dewa tertentu. Fenomena ini disebut Dharma.
Gaya arca Jawa Timur juga memperkenalkan unsur-unsur visual yang lebih padat dan dinamis. Mahkota arca seringkali menjulang tinggi, dan penggunaan ornamen kaligrafi serta motif ukiran lokal (seperti bentuk bunga dan sulur) menjadi lebih dominan. Hal ini menunjukkan pergeseran dari ketergantungan ikonografi India murni ke penciptaan gaya seni rupa nasional yang unik.
Siluet Arca Bhairawa, mewakili manifestasi ugra (ganas) dewa dalam seni rupa Jawa Timur.
Arca tidak sekadar benda seni; ia adalah fokus utama ritual dan pemujaan. Peletakan arca dalam candi, ritual penyucian, dan proses penggantian arca menunjukkan perannya sebagai representasi kosmik yang hidup.
Dalam tradisi Buddhis Vajrayana, arca-arca di Borobudur ditempatkan dalam stupa berlubang, yang melambangkan dunia transenden yang tersembunyi dari pandangan mata biasa. Sebelum arca dianggap ‘hidup’ dan sah untuk dipuja, ia harus menjalani upacara pranapratistha (penanaman jiwa). Dalam upacara ini, mantra-mantra suci dibacakan dan energi spiritual diinjeksikan ke dalam arca, menjadikannya perwujudan dewa itu sendiri.
Ditemukannya arca-arca kecil yang disembunyikan di bawah fondasi candi (disebut pedestal offerings) menunjukkan bahwa arca memiliki peran struktural dan spiritual sebagai penopang energi candi sejak awal pembangunan. Arca-arca ini berfungsi melindungi situs dan menjamin keabadian bangunan.
Bagi pemeluk agama, arca menjadi fokus meditasi (dharana). Ikonografi arca, termasuk Mudra dan Asana, berfungsi sebagai panduan visual untuk mencapai kondisi mental yang menyerupai dewa yang dipuja. Dalam kompleks yang lebih besar, seperti Borobudur, arca juga berperan naratif, menggambarkan perjalanan sang Buddha dari kelahiran hingga pencerahan.
Perbedaan antara arca di Borobudur (duduk bermeditasi, seragam) dan arca di Prambanan (berdiri, membawa atribut) mencerminkan perbedaan filosofis: Borobudur menekankan ketenangan internal dan pencerahan individu, sementara Prambanan menekankan aktivitas kosmik, penciptaan, dan pemeliharaan oleh para dewa.
Meskipun Jawa sering menjadi pusat perhatian dalam studi arca klasik, wilayah lain di Nusantara juga memiliki tradisi arca yang kaya dan berbeda, dipengaruhi oleh kerajaan maritim dan praktik lokal.
Pusat kekuasaan Sriwijaya di Sumatera (abad ke-7 hingga ke-13) dikenal sebagai pusat pembelajaran Buddhis Vajrayana. Arca-arca yang ditemukan di sini, seringkali terbuat dari perunggu, menunjukkan pengaruh langsung dari seni rupa India (Pala Style). Karakteristik arca Sriwijaya meliputi:
Penemuan Arca Perunggu Palembang, yang sekarang disimpan di museum nasional, adalah salah satu contoh paling utuh yang menunjukkan gaya Sriwijaya yang anggun dan dinamis.
Bali Kuno (pra-Majapahit) memiliki tradisi arca yang unik, sering kali menggunakan teknik pahat batu pada tebing atau gua (seperti di Goa Gajah atau Gunung Kawi). Setelah periode Majapahit, tradisi arca Bali menjadi penerus langsung dari gaya Jawa Timur, namun dengan intensitas pemujaan terhadap leluhur dan dewa lokal yang lebih kuat.
Arca-arca batu di Bali seringkali ditempatkan di tempat-tempat terbuka (Pura), menunjukkan adaptasi terhadap iklim dan kepercayaan lokal. Arca Siwa Mahadewa dan Dewi Durga tetap menjadi pusat pemujaan, namun figur-figur lokal seperti Dewi Sri (Dewi Padi) juga diarcakan secara luas.
Saat ini, ribuan arca klasik menghadapi tantangan pelestarian yang serius. Arca adalah sumber sejarah yang rentan terhadap cuaca, polusi, dan tindakan manusia.
Batu andesit rentan terhadap pelapukan biologis (lumut dan jamur) dan kimiawi (hujan asam). Arca logam rentan terhadap korosi, terutama jika ditemukan di lingkungan lembap. Upaya konservasi melibatkan stabilisasi kimia, pembersihan rutin, dan pengendalian iklim di museum.
Salah satu ancaman terbesar adalah pencurian dan perdagangan gelap benda purbakala. Banyak arca kecil perunggu dan batu, terutama dari situs-situs yang kurang dijaga, telah hilang dari Nusantara, dijual ke kolektor pribadi di luar negeri. Ini menyebabkan hilangnya konteks arkeologis yang penting untuk memahami penemuan tersebut.
Arca tetap relevan sebagai simbol identitas dan warisan budaya Indonesia. Arca-arca utama kini menjadi koleksi mahkota di museum-museum besar dunia, namun signifikansinya terbesar tetap berada di situs aslinya, seperti di Borobudur dan Prambanan, di mana mereka terus menarik perhatian dunia.
Studi ikonografi dan tipologi arca terus dilakukan oleh arkeolog dan sejarawan seni, membantu menyusun kembali puzzle kompleks peradaban kuno yang hilang. Setiap arca adalah sebuah dokumen sejarah, sebuah narasi pahatan yang menceritakan evolusi spiritual, artistik, dan politik dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri tegak di kepulauan ini.
Dalam setiap garis pahatan, dalam setiap Mudra yang tenang, dan dalam setiap atribut yang digenggam, arca menawarkan jendela ke masa lalu yang jauh—sebuah keabadian yang terukir dalam batu dan logam, menanti untuk terus diinterpretasikan oleh generasi mendatang.
Detail perhiasan pada arca bukanlah sekadar dekorasi, melainkan penanda status kosmik dan hirarki dewa. Mahkota (mukuta) memiliki variasi yang signifikan:
Selain mahkota, perhiasan seperti kalung (hara), gelang kaki (nupura), gelang tangan (keyura), dan ikat pinggang (katibandha) semuanya harus sesuai dengan pedoman ikonografi. Sebagai contoh, arca Bodhisattva biasanya memiliki kalung yang lebih tebal dan anting-anting yang lebih besar dibandingkan arca Buddha yang sama sekali tidak berhias (tanpa perhiasan, melambangkan penolakan duniawi).
Dua entitas yang sering muncul dalam konteks arca, terutama sebagai dekorasi di gerbang candi atau di bagian atas relung arca, adalah Kāla dan Makara. Kāla (atau Bhoma di Bali) adalah monster bermata besar tanpa rahang bawah, melambangkan waktu yang menelan segalanya. Penempatan Kāla di atas arca berfungsi sebagai penjaga gerbang suci dan simbol peringatan kosmik. Sementara Makara adalah makhluk mitologis kombinasi buaya, gajah, dan naga, melambangkan kesuburan dan dunia air, sering ditemukan sebagai hiasan tangga atau pintu masuk, menghubungkan dunia bawah dan dunia atas.
Era Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15) adalah puncak dari sinkretisme keagamaan di mana Siwaisme dan Buddhisme Mahayana dianggap sebagai dua sisi dari mata uang yang sama (Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa). Hal ini direfleksikan dalam arca dengan berbagai cara:
Arca-arca masa Majapahit juga menunjukkan pengaruh seni pertunjukan, terlihat dari gerakan yang lebih luwes dan penggunaan kostum yang menyerupai wayang, menandakan integrasi seni rupa dengan tradisi budaya lokal.
Tidak semua arca mewakili dewa-dewi dari pantheon India. Arca-arca binatang, seperti Gajah Nandi atau Garuda, seringkali memiliki nilai pemujaan tersendiri. Selain itu, seiring dengan lokalisasi agama, dewa-dewa lokal atau roh penjaga (bhuta) juga mulai diarcakan, terutama dalam bentuk figur yang lebih primitif atau memiliki fitur yang dilebih-lebihkan, menunjukkan kesinambungan kepercayaan animisme dan dinamisme prasejarah yang tetap hidup di bawah payung agama Hindu-Buddha.
Sebagian besar pengetahuan kita tentang arca berasal dari penggalian arkeologi dan penemuan yang tidak disengaja. Arkeolog menggunakan stratigrafi (lapisan tanah) dan konteks penemuan untuk menentukan usia dan fungsi arca.
Penemuan arca yang terkubur, seperti deposit perunggu di Wonoboyo (yang mencakup perhiasan emas dan arca perunggu masa Mataram Kuno), memberikan informasi penting mengenai kekayaan ritual dan praktik penyimpanan harta benda suci. Analisis kimia pada logam membantu menentukan sumber bijih logam dan jalur perdagangan yang digunakan kerajaan kuno. Misalnya, arca perunggu yang sangat murni di Jawa Tengah menunjukkan adanya akses yang stabil terhadap sumber tembaga dan timah, yang mungkin didapatkan melalui perdagangan antar pulau atau penambangan lokal.
Selain itu, studi perbandingan dengan arca-arca di India, Kamboja, dan Thailand (terutama gaya Dvaravati dan Pala) membantu mengidentifikasi jalur difusi budaya dan inovasi seni rupa di Asia Tenggara. Arca Nusantara menunjukkan adaptasi yang cepat, seringkali memodifikasi prototipe India agar sesuai dengan ideal kecantikan dan filosofi lokal.
Interpretasi arca seringkali didukung oleh naskah-naskah kuno yang selamat, seperti Kakawin Nagarakretagama atau prasasti-prasasti batu. Naskah-naskah ini menjelaskan penamaan dan pemujaan raja yang didewakan serta deskripsi candi dan arca yang dibangun sebagai monumen peringatan. Keterkaitan antara teks dan artefak inilah yang memungkinkan para ahli untuk secara definitif mengidentifikasi arca potret, seperti penafsiran tentang Arca Amoghapasa di Padang Roco, Sumatera, yang terkait erat dengan ekspedisi Pamalayu Raja Kertanegara.
Para silpin (pemahat) bekerja di bawah pedoman yang sangat ketat mengenai estetika dan proporsi, yang dirancang untuk menghasilkan representasi ilahi yang sempurna.
Dalam seni Jawa Tengah, arca seringkali digambarkan memiliki postur yang ideal, dengan bahu lebar dan pinggul ramping untuk figur pria, dan bentuk tubuh penuh untuk figur wanita, melambangkan kesuburan dan kekuatan. Karakteristik wajah arca Jawa Tengah dicirikan oleh mata setengah tertutup, memberikan kesan meditasi atau pandangan ke dalam (kontemplasi), dan bibir penuh dengan senyum tipis (arcane smile).
Sebaliknya, arca Jawa Timur, terutama pada masa Majapahit, menampilkan wajah yang lebih tajam, mata terbuka lebar, dan ekspresi yang lebih emosional atau bahkan keras. Ini menunjukkan transisi dari idealisme spiritual yang tenang ke realisme yang lebih kuat, mencerminkan era politik yang penuh konflik dan dinamika kekuasaan.
Satu aspek teknis yang sering luput adalah interaksi arca dengan cahaya alami. Arca-arca Dhyani Buddha di Borobudur ditempatkan sedemikian rupa sehingga pada waktu-waktu tertentu, bayangan dan cahaya menekankan fitur-fitur tertentu, memperkuat kesan kesucian dan misteri. Ketika matahari terbit, arca-arca di sisi timur pertama kali disinari, melambangkan dimulainya pencerahan dari timur, sesuai dengan kosmologi Buddhis.
Meskipun arca klasik berfungsi sebagai media ritual, warisannya terus memengaruhi seni rupa Indonesia modern. Seniman kontemporer sering mengambil inspirasi dari ikonografi arca, seperti Mudra atau figur Kāla, untuk menciptakan karya yang merefleksikan identitas nasional dan spiritualitas. Penggunaan material modern, seperti semen atau serat kaca, untuk menciptakan kembali bentuk-bentuk arca dewa lama menunjukkan upaya untuk menjembatani jurang antara tradisi kuno dan ekspresi artistik masa kini.
Peran arca sebagai simbol telah berkembang dari objek pemujaan murni menjadi artefak sejarah yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dan kekayaan filosofis. Keberadaan arca Hindu dan Buddha yang hidup berdampingan di Nusantara mengajarkan prinsip sinkretisme, yang menjadi pondasi multikulturalisme Indonesia. Oleh karena itu, arca tidak hanya relevan dalam ruang museum, tetapi juga dalam diskusi tentang identitas budaya bangsa.
***
Arca-arca dari situs Dieng, yang lebih primitif namun memiliki kekuatan spiritual yang nyata, memberikan wawasan tentang tahap awal pembangunan candi di Jawa sebelum mencapai kemegahan Prambanan. Arca-arca ini, yang sering kali digambarkan dalam bentuk yang lebih ringkas dan tanpa perhiasan rumit, menunjukkan fokus utama pada fungsi ritual daripada representasi estetika yang ideal. Mereka adalah saksi bisu transisi dari pemujaan dewa-dewa alam ke sistem teologi Trimurti yang lebih terstruktur. Pemujaan terhadap arca-arca ini mencerminkan kuatnya tradisi lokal yang berbaur dengan doktrin India, menciptakan suatu bentuk seni yang khas dan adaptif.
Pendalaman terhadap arca di Bali, terutama yang terkait dengan pura air, menunjukkan bagaimana arca diintegrasikan ke dalam sistem irigasi (subak). Arca-arca dewi air, atau dewi kesuburan (Dewi Sri), sering ditempatkan di hulu sungai atau saluran irigasi, menandakan bahwa fungsi arca melampaui ruang candi dan memasuki aspek praktis kehidupan agraris. Dalam konteks ini, arca berfungsi sebagai pelindung sawah dan penjamin kesejahteraan komunitas, menunjukkan interaksi yang erat antara ritual, pertanian, dan kosmologi.
Pada akhirnya, kajian arca di Nusantara adalah sebuah perjalanan tanpa akhir ke dalam jiwa peradaban masa lampau. Setiap fragment, setiap patahan, dan setiap penemuan baru menambah lapisan pemahaman tentang bagaimana manusia berusaha memahami dan memvisualisasikan yang ilahi. Warisan arca adalah pengingat abadi akan kedalaman spiritual dan kecanggihan artistik yang telah lama berakar di bumi pertiwi.