Arif Rahman Hakim: Api Perjuangan Mahasiswa dan Titik Balik Sejarah Indonesia

Nama Arif Rahman Hakim terukir abadi dalam lembaran sejarah Indonesia, bukan hanya sebagai seorang mahasiswa, melainkan sebagai simbol perlawanan, keberanian, dan pengorbanan yang menjadi katalisator utama dalam pergantian rezim Orde Lama menuju fajar Orde Baru. Kematiannya, pada tanggal 24 Februari 1966, di tengah-tengah gejolak politik dan ekonomi yang mencekik, mengubah narasi gerakan mahasiswa dan memberikan momentum tak terhindarkan bagi tuntutan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Untuk memahami sepenuhnya peran sentral Arif Rahman Hakim, kita harus kembali ke latar belakang tahun 1965 dan awal 1966, periode yang ditandai oleh ketidakstabilan politik akut, inflasi yang tak terkendali, dan bayangan kekuasaan yang mulai meredup dari Presiden Sukarno. Tragedi Gerakan 30 September 1965 telah meruntuhkan tatanan lama, meninggalkan ruang hampa kekuasaan yang segera diisi oleh kekuatan baru: Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, dan, yang tak kalah penting, barisan mahasiswa yang terorganisir.

Latar Belakang Gejolak: Krisis Orde Lama

Awal tahun 1966 merupakan masa yang penuh ketegangan. Setelah gagalnya kudeta yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), sentimen anti-komunis merajalela, dan kekuatan politik yang loyal kepada Sukarno, yang dikenal dengan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), mulai digembosi. Ekonomi berada di titik nadir. Inflasi mencapai angka fantastis, membuat harga kebutuhan pokok melonjak hingga tak terjangkau. Rakyat merasa tertipu oleh janji-janji pembangunan revolusioner yang tidak pernah terwujud, sementara Bung Karno masih sibuk dengan proyek-proyek politik mercusuar dan konfrontasi luar negeri.

Dalam kondisi inilah, mahasiswa merasa terpanggil. Organisasi-organisasi mahasiswa yang tadinya terpisah-pisah, kini bersatu dalam wadah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPPI). Mereka adalah kekuatan moral yang menuntut perubahan fundamental. Tuntutan mereka terangkum dalam Tritura: Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga Pangan. Tiga tuntutan ini bukan sekadar permintaan ekonomi atau politik, melainkan representasi dari keinginan rakyat untuk mengakhiri kekacauan yang diciptakan oleh Orde Lama.

Tritura menjadi mantra pergerakan. Setiap hari, ribuan mahasiswa dan pelajar turun ke jalan, mengadakan demonstrasi masif yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jakarta. Mereka berani menghadapi barisan pengamanan presiden (Cakrabirawa) dan pasukan lain yang masih loyal kepada Sukarno. Aksi-aksi ini seringkali diwarnai bentrokan, namun semangat mereka tidak pernah pudar. Inilah panggung di mana seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim memainkan peran vitalnya.

Profil Arif Rahman Hakim: Mahasiswa Idealistik UI

Arif Rahman Hakim adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Sebagai bagian dari intelektual muda saat itu, ia dikenal memiliki idealisme yang tinggi dan kepedulian mendalam terhadap kondisi bangsa. Ia bukan sekadar pengamat, tetapi seorang pelaku aktif dalam gerakan KAMI. Kehadirannya dalam setiap aksi demonstrasi mencerminkan keberanian seorang pemuda yang muak dengan ketidakadilan dan kemunafikan politik yang terjadi di sekitarnya. Arif, seperti kebanyakan rekan-rekannya, melihat bahwa masa depan Indonesia terancam jika krisis multidimensi ini tidak segera diakhiri.

Pada saat itu, Fakultas Kedokteran UI menjadi salah satu markas intelektual pergerakan. Mahasiswa kedokteran, bersama mahasiswa teknik dan sosial, memandang bahwa tanggung jawab moral mereka jauh lebih besar daripada sekadar menyelesaikan studi. Mereka adalah suara rakyat yang tertindas. Arif Rahman Hakim, meskipun mungkin tidak selalu menjadi orator ulung di panggung, adalah sosok yang disegani di kalangan rekan-rekan seperjuangannya karena ketulusannya dan komitmennya terhadap gerakan murni tanpa agenda politik partisan.

Obor Perjuangan Mahasiswa Simbol obor yang menyala melambangkan semangat perjuangan mahasiswa 1966.

Simbolisasi semangat perlawanan mahasiswa yang menuntut keadilan.

Puncak Ketegangan: Aksi Februari 1966

Memasuki bulan Februari 1966, gerakan mahasiswa semakin intensif. Mereka tidak lagi puas hanya berdemonstrasi di jalan-jalan utama; target mereka kini adalah jantung kekuasaan: Istana Negara. Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Sukarno mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora, sebuah langkah yang seharusnya meredakan amarah mahasiswa. Namun, perombakan tersebut dinilai hanya kosmetik. Tokoh-tokoh yang dituduh terlibat dalam gerakan 30 September, atau yang dianggap pro-komunis, masih memegang posisi penting. Ini memicu kemarahan ganda, karena mahasiswa merasa tuntutan mereka telah diabaikan.

Aksi protes besar-besaran kembali diorganisir pada tanggal 24 Februari 1966. Mahasiswa bergerak menuju Istana Merdeka dengan niat menyuarakan kekecewaan mereka secara langsung. Udara dipenuhi dengan teriakan reformasi, tuntutan pembubaran PKI yang belum direspons secara tegas oleh Presiden, dan kritik keras terhadap kebijakan ekonomi yang membuat rakyat menderita. Barisan pengamanan Istana, yang terdiri dari Resimen Cakrabirawa, telah bersiaga penuh, diperintahkan untuk tidak membiarkan demonstran mendekat.

Situasi memanas dengan cepat. Mahasiswa, yang merasa memiliki kebenaran moral, terus maju. Pasukan keamanan yang loyalis Sukarno menanggapi dengan keras. Peringatan diabaikan, dan bentrokan fisik pun tak terhindarkan. Pada momen krusial ini, di sekitar kawasan Monumen Nasional (Monas) dan pintu masuk Istana, takdir Arif Rahman Hakim menemui ajalnya.

Tragedi 24 Februari 1966: Jatuhnya Sang Martir

Pada hari naas itu, ketika demonstrasi mencapai puncaknya, terjadi penembakan. Peluru tajam dilepaskan oleh pasukan yang bertugas menjaga Istana. Dalam kerumunan massa yang kacau balau dan penuh semangat perlawanan, Arif Rahman Hakim tertembak. Lokasi pasti insiden ini diperkirakan berada di dekat Pintu Gerbang III Istana Negara. Ia jatuh sebagai korban langsung dari ketegangan politik yang memuncak antara mahasiswa dan rezim yang berkuasa.

Kematian Arif Rahman Hakim bukanlah sekadar kecelakaan; ia adalah pembunuhan politik yang memiliki dampak langsung dan dramatis. Kabar mengenai tewasnya mahasiswa kedokteran yang idealis ini menyebar dengan kecepatan kilat di Jakarta dan segera di seluruh Indonesia. Gerakan mahasiswa, yang tadinya hanya berjuang untuk tuntutan ekonomi dan politik, kini memiliki seorang martir. Darah Arif Rahman Hakim membasahi jalanan, dan darah itu menjadi bensin yang membakar amarah kolektif.

Seketika itu juga, Arif Rahman Hakim diangkat menjadi simbol. Ia adalah bukti konkret bahwa rezim lama rela menumpahkan darah anak bangsa hanya untuk mempertahankan kekuasaannya. Pengorbanannya menghilangkan keraguan bagi banyak pihak yang sebelumnya masih bimbang untuk mendukung gerakan mahasiswa. Jika sebelumnya mahasiswa dituduh sebagai boneka kepentingan asing atau kelompok tertentu, kini mereka adalah pahlawan yang kehilangan salah satu anggotanya demi memperjuangkan nasib rakyat banyak.

“Kematian Arif Rahman Hakim mengubah momentum. Ia bukan lagi sekadar demonstrasi, tapi perjuangan moral melawan kekejaman. Mahasiswa kini memiliki ‘darah’ yang harus dibalas, dan pembalasan itu adalah jatuhnya kekuasaan Orde Lama.”

Dampak Kematian Terhadap Gerakan

Tewasnya Arif Rahman Hakim memiliki konsekuensi politik yang masif dan segera. Keesokan harinya, demonstrasi tidak hanya dilanjutkan, tetapi eskalasinya berlipat ganda. Mahasiswa dan pelajar, didorong oleh semangat berkabung dan kemarahan, membanjiri jalanan. Mereka membawa jenazah dan foto-foto Arif Rahman Hakim, menjadikan penguburannya sebagai pawai raksasa yang menuntut keadilan dan pembalasan politik.

KAMI dan KAPPI segera memanfaatkan momentum ini. Mereka menamai gerakan mereka sebagai ‘Laskar Arif Rahman Hakim’ atau menggunakan namanya sebagai yel-yel perlawanan. Kematiannya menjadi legitimasi moral tertinggi bagi gerakan Tritura. Bagaimana mungkin sebuah pemerintah bisa membiarkan aparatnya menembak mati seorang mahasiswa yang hanya menuntut perbaikan nasib bangsa? Pertanyaan ini menggema di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di kalangan TNI AD yang mulai terpecah antara loyalitas terhadap Sukarno dan dukungan terhadap gerakan rakyat.

Situasi ini memaksa Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil sikap. Soeharto menyadari bahwa dukungan mahasiswa adalah kunci untuk menjatuhkan Sukarno secara elegan dan terstruktur. Ia memberikan perlindungan terselubung bagi aksi-aksi mahasiswa, memastikan bahwa mereka dapat bergerak tanpa dihancurkan oleh pasukan loyalis Sukarno.

Sukarno dan Reaksi Politik yang Terlambat

Presiden Sukarno merespons tragedi ini dengan langkah yang justru memperburuk keadaannya. Alih-alih meredakan situasi, ia mengeluarkan kebijakan yang dinilai sangat represif. Pada tanggal 25 Februari 1966, sehari setelah kematian Arif, Sukarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan KAMI. Keputusan ini menunjukkan bahwa Sukarno gagal membaca gelombang perubahan. Pembubaran KAMI justru dianggap sebagai upaya membungkam suara rakyat, dan perintah itu tidak dipatuhi oleh para aktivis.

Keputusan Sukarno untuk membubarkan KAMI hanya berhasil memperkuat citra mahasiswa sebagai pejuang yang tertindas. Aksi-aksi mahasiswa tetap berlanjut, meskipun di bawah ancaman penangkapan. Mereka berargumen bahwa pembubaran organisasi tidak berarti pembubaran tuntutan rakyat. Inilah titik di mana wibawa Sukarno di mata publik semakin merosot tajam. Ia terlihat sebagai pemimpin yang tidak mampu mengendalikan negara, dan yang lebih buruk, sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas kematian seorang pemuda idealis.

Tekanan dari militer dan mahasiswa terus meningkat. Kematian Arif Rahman Hakim menjadi batu loncatan yang tak terelakkan menuju peristiwa monumental berikutnya: Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang dikeluarkan hanya dua minggu kemudian. Darah Arif telah menjadi tumbal yang mempercepat transfer kekuasaan dari Orde Lama ke tangan Soeharto.

Warisan dan Abadi dalam Sejarah

Arif Rahman Hakim dimakamkan dengan penghormatan layaknya seorang pahlawan. Pemakamannya dipenuhi oleh ribuan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum yang berduka sekaligus marah. Makamnya di TPU Karet Bivak, Jakarta, menjadi tempat ziarah bagi mereka yang memperjuangkan reformasi dan keadilan pada masa itu. Ia dikenang sebagai simbol kemurnian gerakan moral mahasiswa.

Kematiannya mengajarkan banyak hal tentang mekanisme perubahan politik di Indonesia. Pertama, ia menunjukkan bahwa kekuatan moral mahasiswa, meskipun tanpa senjata, mampu menggoyahkan rezim yang represif. Kedua, ia menjadi bukti bahwa pengorbanan personal dapat memicu solidaritas massa yang diperlukan untuk perubahan skala besar. Nama Arif Rahman Hakim pun diabadikan, tidak hanya dalam kenangan, tetapi juga dalam nama-nama jalan, gedung, dan monumen di beberapa kota, menjadikannya ikon perjuangan Angkatan '66.

Namun, warisan Arif Rahman Hakim tidak berhenti sebagai kenangan perjuangan masa lalu. Ia terus menjadi pengingat akan bahaya kekuasaan yang absolut dan pentingnya peran kritis pemuda dalam mengawal jalannya pemerintahan. Setiap kali krisis politik atau moral terjadi, kisah Arif kembali digaungkan untuk menyuntikkan semangat idealisme ke dalam gerakan mahasiswa yang baru.

Tangan Memegang Buku Simbol mahasiswa, intelektual, dan tuntutan keadilan melalui pendidikan.

Mahasiswa sebagai kekuatan intelektual dan moral bangsa.

Analisis Mendalam tentang Konteks Sosial Politik 1966

Perluasan konteks sosial-politik tahun 1966 sangat penting untuk menempatkan pengorbanan Arif Rahman Hakim dalam perspektif yang benar. Krisis yang terjadi saat itu bukan sekadar perebutan kekuasaan elite. Ada lapisan penderitaan rakyat yang sangat tebal di bawahnya. Proyek ‘Nasakom’ Sukarno telah memecah belah bangsa, sementara kebijakan ekonomi sosialis yang sentralistik justru menghasilkan kelaparan dan kemiskinan massal. Uang Rupiah saat itu nyaris tidak memiliki nilai, dan kaum buruh serta petanilah yang paling merasakan dampaknya.

Mahasiswa, yang mayoritas berasal dari kelas menengah terdidik, berfungsi sebagai jembatan antara penderitaan rakyat jelata dan elit politik yang terisolasi di Istana. Mereka menggunakan pendidikan dan posisi sosial mereka untuk menyuarakan ketidakpuasan publik. Inilah yang membuat gerakan 1966 begitu kuat: ia memiliki legitimasi moral yang melampaui kepentingan fraksi-fraksi militer atau partai politik.

KAMI, sebagai payung gerakan, sangat terstruktur, meskipun anggotanya berlatar belakang organisasi keagamaan (seperti HMI, PMII) dan sekuler yang berbeda. Ketika seorang anggota mereka, terutama dari organisasi bergengsi seperti UI, tewas ditembak, ini adalah serangan terhadap seluruh kolektivitas mahasiswa. Kematian Arif Rahman Hakim menjadi titik balik, mengubah perjuangan mahasiswa dari sekadar aksi politik menjadi perang moral—suatu peperangan yang dipimpin oleh idealismenya yang murni.

Penembakan ini juga mengungkap secara jelas polarisasi di tubuh Angkatan Bersenjata. Pasukan yang menembak adalah loyalis Sukarno yang merasa terancam oleh gerakan massa. Sementara itu, faksi Angkatan Darat di bawah Soeharto, yang sudah memiliki agenda untuk melemahkan Sukarno, melihat peristiwa ini sebagai peluang emas. Mereka bisa mengklaim diri sebagai pelindung rakyat dan mahasiswa, yang secara efektif memisahkan mereka dari kesalahan penembakan tersebut, meskipun pada dasarnya mereka berada dalam satu payung militer.

Peran Kematian Arif dalam Legitimasi Supersemar

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) adalah dokumen historis yang mengalihkan kekuasaan eksekutif dari Sukarno kepada Soeharto. Meskipun banyak misteri yang menyelimuti Supersemar, tidak dapat disangkal bahwa iklim politik yang memicu kebutuhan akan dokumen tersebut sangat dipengaruhi oleh tragedi 24 Februari.

Setelah kematian Arif, ketegangan domestik mencapai tingkat tertinggi. Jakarta berada di ambang kekacauan. Militer, melalui Soeharto, berargumen bahwa negara membutuhkan stabilitas. Kematian Arif Rahman Hakim dan kegagalan Sukarno dalam menanggapi tuntutan Tritura (khususnya pembubaran PKI) telah menciptakan justifikasi yang kuat bagi Soeharto untuk mengambil alih kendali keamanan dan ketertiban.

Ketika Soeharto menerima mandat Supersemar, ia langsung menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi tuntutan Tritura, dimulai dengan membubarkan PKI. Langkah ini segera disambut baik oleh mahasiswa dan rakyat, yang melihat Soeharto sebagai sosok yang berani bertindak, kontras dengan Sukarno yang dianggap plin-plan. Kematian Arif Rahman Hakim secara tidak langsung memberikan legitimasi moral bagi tindakan-tindakan awal Soeharto, memperkuat anggapan bahwa pergantian kepemimpinan adalah demi menjaga cita-cita reformasi yang diusung oleh para martir mahasiswa.

Jika Arif Rahman Hakim tidak gugur, mungkin momentum gerakan akan meredup, atau paling tidak, transisi kekuasaan akan berjalan lebih lambat dan kurang memiliki dasar emosional yang kuat. Namun, pengorbanannya memastikan bahwa proses politik bergerak cepat dan tidak bisa dibendung. Ia mengubah protes jalanan menjadi revolusi simbolis yang berhasil menggulingkan kekuasaan yang telah berurat berakar selama dua dekade.

Refleksi Jangka Panjang: Mahasiswa dan Kekuasaan

Kisah Arif Rahman Hakim juga menawarkan refleksi mendalam mengenai hubungan antara kekuasaan dan gerakan mahasiswa di Indonesia. Sejak 1966, mahasiswa selalu dianggap sebagai 'moral force' (kekuatan moral) yang berada di luar sistem politik formal. Mereka adalah pengontrol sosial, penjaga nurani bangsa.

Namun, gerakan 1966 juga menjadi contoh bagaimana idealisme murni dapat dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang lebih besar. Meskipun mahasiswa berjuang dengan niat tulus untuk menyelamatkan bangsa dari inflasi dan komunisme, hasil akhir dari perjuangan mereka adalah instalasi rezim Orde Baru yang pada akhirnya menjadi otoriter. Soeharto berhasil menunggangi gelombang kemarahan yang dipicu oleh tragedi seperti kematian Arif.

Dalam sejarah Orde Baru, Arif Rahman Hakim tetap dihormati, tetapi narasinya dibingkai untuk mendukung legitimasi rezim baru—sebagai pahlawan yang memerangi bahaya komunisme dan kekacauan. Namun, bagi para aktivis, ia adalah simbol keberanian untuk menentang status quo, sebuah semangat yang kemudian menginspirasi generasi mahasiswa berikutnya, termasuk Angkatan '74 dan Angkatan '98, ketika mereka bangkit melawan Orde Baru itu sendiri.

Setiap era memiliki tantangan dan martirnya sendiri, tetapi Arif Rahman Hakim adalah yang pertama dalam siklus tragis pengorbanan mahasiswa di era modern Indonesia. Ia membuka mata publik bahwa perubahan sering kali harus dibayar mahal, dan bahwa kaum muda memikul beban terbesar dalam mendorong perubahan tersebut.

Penting untuk terus mengingat detail-detail kecil dari perjuangannya. Ia bukan hanya nama di sebuah monumen, tetapi personifikasi dari ribuan mahasiswa yang rela meninggalkan kenyamanan bangku kuliah demi mengoreksi arah kapal bangsa yang oleng. Ia adalah seorang pemuda yang percaya bahwa masa depan negara ini lebih berharga daripada keselamatannya sendiri.

Penutup

Arif Rahman Hakim, mahasiswa UI yang gugur di medan perjuangan politik 1966, adalah figur yang melampaui sekadar korban. Ia adalah simbol pemantik perubahan, yang kematiannya menjadi katalisator sejarah yang tak terhindarkan. Kisahnya adalah pengingat bahwa perubahan besar sering kali lahir dari pengorbanan yang pahit. Darahnya bukan tumpah sia-sia, melainkan menjadi penanda berakhirnya satu era penuh gejolak dan dimulainya era baru, meskipun era baru tersebut kelak juga harus dipertanyakan dan diperjuangkan kembali oleh generasi penerus. Warisan Arif adalah semangat Tritura yang abadi: menuntut keadilan, transparansi, dan pemerintahan yang pro-rakyat, prinsip-prinsip yang terus relevan hingga hari ini.

🏠 Homepage