Dalam khazanah sastra klasik India, khususnya wiracarita agung Mahabharata, nama Arjuna menempati posisi sentral, tidak hanya sebagai salah satu dari lima Pandawa tetapi sebagai simbol kesempurnaan seorang kesatria. Ia adalah putra ketiga Pandu dan Kunti, namun sesungguhnya dilahirkan dari anugerah Dewa Indra, penguasa surga dan dewa perang. Identitas ilahiah ini memberinya keunggulan yang tak tertandingi, menjadikannya 'Naranya', atau manusia sempurna, yang berpasangan abadi dengan 'Nara' (Krishna), manifestasi Ilahi di bumi.
Arjuna bukanlah sekadar pemanah yang ulung; ia adalah perwujudan kompleks dari kebajikan (Dharma), keraguan, keberanian, dan pengabdian. Kisahnya merupakan jembatan filosofis antara aksi heroik di medan perang dan pencarian makna eksistensial, sebagaimana terukir abadi dalam dialog Bhagavad Gita. Untuk memahami keagungan Arjuna, kita harus menelusuri setiap lapis kehidupannya, mulai dari masa didikannya yang keras hingga momen-momen kebimbangan kosmik di palagan Kurukshetra.
Kelahiran Arjuna di hutan setelah Pandu melepaskan takhta dan hidup sebagai pertapa merupakan penanda awal takdirnya yang luar biasa. Sebagai putra Dewa Indra, ia dianugerahi karisma, kecakapan, dan kecenderungan alami terhadap peperangan. Bersama empat saudaranya—Yudhistira, Bima, Nakula, dan Sadewa—ia kembali ke Hastinapura untuk dibesarkan di bawah pengawasan Bhisma dan dididik oleh guru senjata terkemuka saat itu, Drona.
Drona, seorang brahmana yang mahir dalam ilmu perang, segera mengenali bakat luar biasa pada diri Arjuna. Di antara semua muridnya, termasuk seratus Kurawa dan keempat Pandawa lainnya, Arjuna adalah yang paling tekun dan paling cepat menyerap ilmu. Drona berjanji kepada Arjuna bahwa ia akan menjadikannya pemanah tak tertandingi di jagat raya. Janji ini adalah kutukan sekaligus berkah yang membentuk identitas Arjuna.
Satu kisah yang sering diceritakan, yang menegaskan fokus mutlak Arjuna, adalah ujian mata burung. Drona menempatkan patung burung di atas pohon dan meminta setiap murid membidik matanya. Ketika ditanya apa yang mereka lihat, para Kurawa dan Pandawa lainnya menjawab: pohon, ranting, langit, dan burung itu sendiri. Namun, ketika giliran Arjuna tiba, ia hanya menjawab, "Saya hanya melihat mata burung." Keterpusatan inderawi dan spiritual ini adalah kunci mengapa ia mampu menguasai segala jenis busur dan senjata ilahi (astra).
Keunggulan Arjuna tidak hanya terbatas pada panahan. Ia juga mahir dalam gulat, penggunaan gada, dan ilmu pedang, meskipun panahan adalah spesialisasi utamanya. Kecepatannya dalam menarik busur dan melepaskan anak panah sedemikian rupa sehingga ia dikenal sebagai Savyasaci—seseorang yang mampu menembakkan panah dengan sama efektifnya menggunakan tangan kiri maupun kanan. Kemampuan ambidextrous ini memberinya keuntungan taktis yang monumental di medan pertempuran.
Tidak mungkin membicarakan Arjuna tanpa membahas senjata yang menjadi perpanjangan jiwanya: Busur Gandiva. Gandiva bukanlah busur biasa; ia adalah senjata legendaris yang dibuat oleh Brahma dan diwariskan melalui garis dewa dan raja hingga akhirnya sampai di tangan Arjuna. Busur ini diserahkan kepadanya oleh Dewa Agni, setelah Dewa Api itu dibantu oleh Arjuna dan Krishna untuk membakar Hutan Khandava.
Gandiva memiliki beberapa sifat magis yang menjadikannya tak terkalahkan:
Gandiva melambangkan kekuatan spiritual yang terfokus. Setiap kali Arjuna menarik Gandiva, ia bukan hanya menggunakan kekuatan fisik, melainkan memanggil energi kosmik. Busur ini adalah representasi dari komitmen Arjuna terhadap Dharma; selagi ia memegang Gandiva, ia tidak boleh mundur dari medan pertempuran, bahkan ketika keraguan terbesar melandanya. Busur ini adalah beban sekaligus kehormatan yang ia pikul sepanjang hidup kesatrianya.
Kehidupan Arjuna dijalin erat dengan beberapa karakter kunci yang membentuk takdirnya dan takdir Mahabharata secara keseluruhan. Aliansinya, baik melalui persahabatan, pernikahan, maupun bimbingan spiritual, adalah fondasi kekuasaan Pandawa.
Hubungan antara Arjuna dan Krishna (Naranya dan Nara) adalah inti dari seluruh wiracarita. Krishna, manifestasi Dewa Wisnu, memilih untuk menjadi kusir Arjuna di Kurukshetra, sebuah tindakan kerendahan hati yang memiliki implikasi kosmik. Krishna bukan hanya teman karib atau sekutu politik; ia adalah pemandu spiritual, penasihat taktis, dan satu-satunya yang dapat menenangkan gejolak jiwa Arjuna.
Persahabatan mereka diuji berulang kali, namun selalu diperkuat oleh saling percaya yang mendalam. Krishna menggunakan kecerdasannya dan kekuatan Ilahi untuk melindungi Arjuna dari berbagai skema musuh, sering kali mendorongnya untuk bertindak di luar etika perang yang kaku demi menegakkan Dharma yang lebih besar.
Pernikahan Arjuna dengan Draupadi di sayembara Matsya Yantra (Mata Ikan) adalah salah satu kemenangan paling menentukan dalam hidupnya. Dengan ketepatan yang sempurna, hanya Arjuna yang mampu menembak mata ikan yang berputar, membuktikan keunggulannya atas semua raja dan pangeran yang hadir, termasuk Karna. Pernikahan ini secara politik menyatukan kerajaan Panchala dengan Pandawa dan memberinya sekutu yang tak tergoyahkan.
Meskipun Draupadi akhirnya menjadi istri bersama kelima Pandawa, Arjuna-lah yang memenangkannya. Ini mencerminkan ikatan karma yang dalam; Arjuna adalah kesatria yang membebaskan Draupadi dari sayembara, dan Draupadi adalah sumber motivasi moral dan emosional bagi semua Pandawa, terutama setelah penghinaan di Balai Pertemuan.
Arjuna dikenal sebagai sosok yang rupawan dan memiliki banyak istri, yang masing-masing memainkan peran penting dalam memperluas pengaruh Pandawa:
Kehidupan pernikahan yang beragam ini menyoroti bagaimana Arjuna menyeimbangkan tugas kesatriaan, pemenuhan janji, dan tuntutan politik, sembari menjalani periode pengasingan spiritual dan geografis.
Setelah insiden yang melanggar perjanjian pembagian waktu bersama Draupadi, Arjuna menjalani pengasingan selama dua belas tahun. Periode ini, yang seharusnya menjadi hukuman, justru diubahnya menjadi perjalanan spiritual dan pengembangan diri. Ia berkelana ke berbagai penjuru India, menaklukkan banyak wilayah, dan menjalin hubungan dengan makhluk surgawi.
Salah satu pencapaian terbesar Arjuna dalam pengasingan adalah perjalanan ke pegunungan Himalaya untuk melakukan tapa (asketisme) yang keras demi mendapatkan senjata terkuat di alam semesta: Pashupata Astra. Senjata ini hanya dapat diperoleh dari Dewa Siwa sendiri.
Tapasya Arjuna sangatlah intens, menarik perhatian Dewa Siwa, yang mengujinya dengan menyamar sebagai seorang pemburu gunung (Kirata). Arjuna bertarung hebat dengan Kirata karena perselisihan mengenai siapa yang pertama kali membunuh seekor babi hutan. Setelah menyadari bahwa Kirata adalah Siwa, Arjuna berserah diri. Terkesan dengan keberanian, kemampuan bertarung, dan pengabdian Arjuna, Siwa menganugerahkan Pashupata Astra kepadanya, sebuah senjata yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh alam semesta.
Setelah bertemu Siwa, Arjuna juga diangkat ke Indraloka (surga Indra) oleh ayahnya. Di sana, ia menerima pelatihan tambahan dari Gandharva Citrasena dan menguasai berbagai tarian, musik, dan teknik perang surgawi. Selama di Indraloka, ia juga menerima beberapa senjata ilahi lainnya yang akan sangat krusial dalam Perang Kurukshetra.
Momen paling monumental dan paling banyak dipelajari dalam kehidupan Arjuna terjadi tepat sebelum genderang Perang Kurukshetra ditabuh. Ini adalah dialog antara Arjuna dan Krishna yang dikenal sebagai Bhagavad Gita, "Nyanyian Tuhan".
Ketika pasukan Pandawa dan Kurawa telah berhadapan di lapangan suci Kurukshetra, Arjuna meminta Krishna untuk mengarahkan kereta perangnya ke tengah-tengah kedua belah pihak. Setelah melihat paman, guru (Drona dan Bhisma), sepupu, teman, dan kerabatnya berdiri siap untuk berperang, Arjuna diliputi keputusasaan, kesedihan, dan keraguan moral yang mendalam. Kebimbangannya adalah kebimbangan universal: apakah kemenangan yang diraih dengan mengorbankan keluarga dan nilai-nilai etika sepadan?
Arjuna meletakkan Gandiva, menyatakan bahwa ia tidak sanggup berperang. Momen ini adalah krisis eksistensial bagi Arjuna, seorang kesatria yang seharusnya tidak mengenal rasa takut. Reaksi ini menunjukkan bahwa di balik baju zirahnya, ia adalah seorang manusia yang berjuang dengan dilema moral yang paling mendasar.
Respons Krishna terhadap keraguan Arjuna adalah fondasi dari seluruh filsafat Hindu. Krishna tidak hanya menyemangatinya untuk berperang, tetapi memberikan ajaran mendalam tentang tugas (Dharma), realitas (Kebenaran Abadi), dan jalan menuju pembebasan (Moksha).
Ajaran utama Gita bagi Arjuna adalah Karma Yoga: bertindak tanpa terikat pada hasil atau buah dari tindakan itu. Sebagai seorang kesatria (Kshatriya), adalah Dharma mutlak Arjuna untuk berperang demi menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan jika musuhnya adalah keluarganya sendiri. Perasaan sedih dan keterikatan terhadap hasil perang (kemenangan atau kematian kerabat) adalah ilusi yang menghalangi Dharma.
Krishna menjelaskan bahwa Atman (jiwa) adalah abadi dan tidak dapat dibunuh. Tubuh hanyalah pakaian yang dibuang. Oleh karena itu, kesedihan atas kematian fisik adalah sia-sia. Arjuna harus melaksanakan tugasnya tanpa emosi yang mengikat. Dialog ini berhasil mengubah Arjuna dari kesatria yang putus asa menjadi instrumen Ilahi untuk menegakkan keadilan kosmik. Ia mengambil kembali Gandiva, siap untuk memenuhi takdirnya.
Selama delapan belas hari Perang Kurukshetra, Arjuna membuktikan mengapa ia dianggap sebagai pemanah terhebat. Keterampilannya, dikombinasikan dengan perlindungan Krishna dan senjata-senjata ilahi yang ia kumpulkan, membuatnya menjadi tembok pertahanan tak tergoyahkan bagi Pandawa.
Arjuna ditugaskan untuk menghadapi lawan-lawan paling kuat dari pihak Kurawa. Ia bukan hanya seorang pembunuh massal; ia adalah seorang ahli taktik yang mampu mengubah alur pertempuran dengan satu serangan yang tepat.
Hubungan Arjuna dengan Karna adalah salah satu rivalitas paling tragis dan intens dalam sastra dunia. Karna, yang juga putra Kunti namun dari Dewa Surya, adalah satu-satunya kesatria yang dianggap setara—atau bahkan lebih hebat—dari Arjuna dalam hal panahan. Mereka berdua terikat oleh takdir dan kecemburuan profesional yang mendalam.
Sepanjang perang, duel mereka berulang kali tertunda. Ketika duel pamungkas akhirnya terjadi pada hari ketujuh belas perang, itu adalah bentrokan kekuatan, senjata ilahi, dan karma. Karna, meskipun memiliki kemampuan luar biasa dan diberkahi senjata Vasava Shakti, berada di bawah kutukan dari gurunya, Parasurama, dan Bumi (Dewi Prithvi).
Pada saat genting, roda kereta Karna terperosok ke lumpur. Karna meminta waktu untuk membebaskan roda, memohon jeda sesuai etika perang. Namun, Krishna mengingatkan Arjuna tentang semua pelanggaran Dharma yang dilakukan Karna, terutama dalam penghinaan terhadap Draupadi dan pembunuhan Abhimanyu. Krishna memerintahkan Arjuna untuk menembak Karna saat ia tak berdaya.
Dengan berat hati, dipandu oleh tuntutan Dharma yang lebih tinggi yang diwakili oleh Krishna, Arjuna melepaskan Anjalikastra, senjata yang memisahkan kepala Karna dari tubuhnya. Kemenangan atas Karna adalah momen paling menentukan dan paling kontroversial bagi Arjuna, menandai keruntuhan pertahanan Kurawa dan memastikan kemenangan Pandawa.
Untuk mencapai status pemanah terbaik dunia, Arjuna tidak hanya mengandalkan bakat, tetapi juga disiplin spiritual dan penguasaan ilmu tertinggi:
Meskipun Pandawa memenangkan perang, kemenangan tersebut terasa hampa. Arjuna, seperti saudaranya yang lain, diliputi kesedihan mendalam atas kerabat dan teman yang gugur. Setelah dinobatkan sebagai raja, mereka memerintah Hastinapura di bawah bimbingan Yudhistira. Arjuna, meski berhasil memenangkan perang, harus melalui proses penyembuhan trauma yang mendalam.
Setelah Kurukshetra, kekuatan Arjuna mulai memudar. Ketika Krishna mangkat dan klan Yadawa hancur karena perang saudara, Arjuna pergi ke Dwarka untuk menjemput para wanita dan anak-anak yang selamat. Dalam perjalanan kembali, rombongan mereka diserang oleh sekelompok perampok biasa (Abhira).
Ironisnya, Arjuna, Sang Kesatria Agung yang pernah menggenggam Gandiva dan menguasai Astra terkuat, kini tidak mampu melawan perampok-perampok rendahan tersebut. Panah-panahnya tampak tidak lagi bertuah, dan mantra-mantra senjata ilahinya gagal berfungsi. Kegagalan ini menyadarkannya bahwa kekuatan sejatinya terletak pada kehadiran Krishna, dan tanpa bimbingan Ilahi tersebut, ia hanyalah manusia biasa.
Menyadari bahwa zaman Kali Yuga telah tiba dan tugas mereka di dunia telah selesai, Pandawa memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual terakhir menuju pegunungan Himalaya, menuju surga. Perjalanan yang dikenal sebagai Mahaprasthana ini adalah ujian spiritual yang menuntut para Pandawa melepaskan semua keterikatan duniawi.
Satu per satu Pandawa gugur dalam perjalanan. Arjuna, meskipun dikenal karena kekuatan fisiknya yang luar biasa, jatuh relatif awal dibandingkan Yudhistira. Ketika Yudhistira bertanya mengapa, Dewa Indra menjelaskan bahwa kejatuhan Arjuna disebabkan oleh kesombongan yang halus—ia terlalu percaya pada kekuatannya sebagai pemanah dan terlalu sering membanggakan keahliannya di masa lalu. Bahkan kesatria terhebat pun harus melepaskan ego untuk mencapai pembebasan.
Meskipun kisah Mahabharata telah berusia ribuan tahun, figur Arjuna tetap relevan dan dipuja. Ia bukan hanya karakter mitologi; ia adalah arketipe bagi kebimbangan manusia di hadapan tugas moral yang berat.
Dalam ajaran spiritual dan manajemen modern, Arjuna sering digunakan sebagai contoh seseorang yang harus menyeimbangkan keterampilan teknis yang tinggi dengan kebijaksanaan spiritual. Kegagalan dan keraguannya di awal perang membuatnya lebih manusiawi dan dapat dihubungkan, memberikan harapan bahwa bahkan pahlawan terbesar pun harus bergumul dengan pertanyaan tentang benar dan salah.
Arjuna mewakili jiwa yang tercerahkan yang baru saja terbangun. Ia memiliki semua alat yang diperlukan untuk sukses—kekuatan, senjata, guru—tetapi ia membutuhkan bimbingan filosofis untuk mengatasi hambatan internalnya. Inilah mengapa Gita begitu mendominasi, karena ia mengubah perjuangan pribadi Arjuna menjadi pelajaran universal tentang Dharma.
Di seluruh Asia Tenggara, terutama di Indonesia (Jawa, Bali), tokoh Arjuna sangat populer, seringkali melampaui popularitas saudaranya. Dalam pewayangan Jawa, ia dikenal sebagai Janaka atau Permadi, dan digambarkan sebagai sosok yang sangat halus, tampan, dan bijaksana—bukan hanya pemanah yang kuat, tetapi juga seorang pencari spiritual yang mendalam.
Karya sastra Jawa seperti Kakawin Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna) oleh Mpu Kanwa, mengisahkan perjuangan Arjuna untuk mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Dalam versi ini, Arjuna sekali lagi harus melakukan tapa (bertapa) dan diuji oleh para dewa, menegaskan citranya sebagai kesatria yang selaras dengan kekuatan kosmik, bukan hanya kekuatan otot.
Kesempurnaan keterampilan teknis Arjuna dalam panahan seringkali menjadi metafora untuk fokus dalam kehidupan. Kemampuannya untuk hanya melihat mata burung diibaratkan sebagai kemampuan untuk menjaga tujuan utama tetap jelas di tengah gangguan duniawi yang tak terhitung jumlahnya. Ia mengajarkan bahwa Dharma bukan sekadar aturan kaku, tetapi kesadaran dan pelaksanaan tugas yang paling sesuai dengan sifat dan posisi seseorang di alam semesta.
Mari kita telaah lebih lanjut beberapa keutamaan yang membentuk karakter Arjuna dan menjadikannya figur abadi dalam sejarah peradaban Hindu.
Arjuna bukan hanya kesatria yang bertindak impulsif. Ia adalah seorang pemikir. Dialog Gita membuktikan kemampuan intelektualnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan etis yang mendasar. Keraguannya menunjukkan empati dan kesadaran moral yang langka di antara para kesatria yang seringkali didorong oleh keangkuhan. Ini adalah keseimbangan antara kecakapan fisik (panahan) dan kedalaman spiritual (kesediaan untuk menyerah kepada bimbingan Krishna) yang membuatnya unik.
Sebagai murid Drona, ia menunjukkan dedikasi yang melebihi batas. Sebagai penjelajah, ia menunjukkan keberanian untuk menghadapi dewa dan iblis demi mendapatkan senjata yang diperlukan untuk menegakkan keadilan. Seluruh hidupnya adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana ambisi dan ketekunan harus diimbangi dengan kerendahan hati dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang lebih tinggi.
Kisah Arjuna menegaskan bahwa Dharma bukanlah pilihan, melainkan tugas yang harus dilaksanakan tanpa pamrih. Dalam konteks Pandawa, Arjuna mewakili kekuatan eksekusi. Yudhistira adalah Dharma itu sendiri (moralitas), Bima adalah kekuatan fisik, dan si kembar adalah pelayanan, tetapi Arjuna adalah manifestasi dari tindakan (Karma) yang selaras dengan moralitas.
Ketika ia mengangkat kembali Gandiva setelah Gita, ia melakukannya bukan karena ingin membunuh kakeknya atau pamannya, tetapi karena ia menyadari bahwa kegagalan untuk bertindak adalah pelanggaran Dharma yang lebih besar. Keputusan untuk berperang adalah keputusan untuk menjadi alat kebenaran, bahkan jika alat tersebut harus menanggung rasa sakit yang luar biasa.
Dalam pandangan yang lebih luas, Arjuna adalah representasi dari setiap jiwa yang terikat pada dunia material (samsara), yang kemudian tercerahkan oleh pengetahuan suci (Krishna). Medan perang Kurukshetra bukanlah sekadar pertempuran fisik; itu adalah pertarungan internal dalam diri setiap individu, di mana panah (tindakan) harus selalu diarahkan oleh akal budi (bimbingan Ilahi).
Untuk memahami sepenuhnya status Arjuna sebagai pemanah terbaik, perlu diuraikan daftar senjata-senjata ilahi (Astra) yang ia kuasai, yang sebagian besar diperoleh melalui tapa dan karunia dewa:
1. Pashupata Astra: Senjata pamungkas yang diberikan oleh Dewa Siwa. Senjata ini adalah salah satu yang paling destruktif di antara semua Astra, mampu menghancurkan seluruh ciptaan. Arjuna sangat berhati-hati menggunakannya, dan ia hanya menggunakannya untuk melawan Jayadratha dalam pertempuran (walaupun secara teknis senjata yang menghancurkan perisai Jayadratha dan melepaskan panah akhir adalah berbeda, Pashupata adalah simbol kekuatan pamungkas yang dimilikinya).
2. Brahmastra dan Brahma Sirsa Astra: Senjata yang berasal dari Brahma. Senjata ini dapat menyebabkan kerusakan besar dan seringkali digunakan sebagai penangkal senjata nuklir mitologis lainnya. Arjuna menguasai penggunaannya dengan sempurna, suatu pengetahuan yang sangat jarang dimiliki oleh kesatria manapun.
3. Indrastra dan Vajra: Senjata yang diterima dari ayahnya, Dewa Indra. Vajra (Halilintar) adalah senjata yang memiliki kekuatan petir dan mampu menghancurkan pertahanan terkeras. Indrastra memberinya kemampuan taktis yang unggul.
4. Varunastra: Senjata air yang berasal dari Dewa Varuna. Digunakan untuk menciptakan banjir, hujan deras, atau memadamkan api yang diciptakan oleh Agneyastra.
5. Vayuvyastra: Senjata angin yang berasal dari Dewa Vayu. Mampu menciptakan badai dan pusaran yang menyapu musuh.
Penguasaan atas Astra-astra ini menunjukkan bahwa Arjuna bukanlah sekadar penembak jitu, melainkan seorang ahli dalam sihir perang, mampu memanipulasi elemen-elemen alam dan kekuatan kosmik dengan kehendak dan fokusnya. Setiap penggunaan Astra memerlukan pengucapan mantra (mantra) yang tepat dan keadaan pikiran yang murni; kesalahan sekecil apa pun dapat berakibat fatal.
Bahkan kereta perang Arjuna, yang dikemudikan oleh Krishna, memiliki signifikansi kosmik. Bendera (Kapala) kereta Arjuna adalah cerminan dari kekuatan dewata yang melindunginya. Bendera ini dihiasi dengan gambar Hanuman (kera putih), yang melambangkan kekuatan, pengabdian, dan keabadian. Hanuman, yang berada di tiang bendera Arjuna, memberikan teriakan perang yang dahsyat, menakuti musuh-musuh Kurawa bahkan sebelum pertempuran dimulai.
Kehadiran Krishna sebagai kusir dan Hanuman sebagai simbol di bendera berarti bahwa Arjuna dilindungi oleh Trimurti (Siwa, Brahma, Wisnu - melalui Krishna) dan juga mendapatkan dukungan dari elemen-elemen Dewa Vayu (Hanuman adalah putra Vayu). Arjuna tidak pernah berperang sendirian; ia adalah poros yang menarik dukungan dari seluruh alam semesta.
Kereta perangnya sendiri juga memiliki perlindungan ilahi. Selama pertempuran yang paling sengit, panah dan senjata musuh menghantam kereta, namun berkat perlindungan Krishna, kereta itu tetap utuh. Setelah perang usai, Krishna meminta Arjuna turun terlebih dahulu. Begitu Arjuna dan Krishna menjauh, kereta itu langsung terbakar menjadi abu, menunjukkan betapa besar kekuatan ilahi yang menopangnya selama ini. Ini adalah pelajaran terakhir Krishna kepada Arjuna: bahwa perlindungan ilahi adalah yang utama, bukan materialisme fisik.
Julukan Savyasaci bukan sekadar deskripsi fisik kemampuannya menembak dengan kedua tangan; itu adalah metafora untuk keseimbangan yang ia cari. Ia harus menyeimbangkan ambisi personalnya (keinginan untuk menjadi pemanah terbaik) dengan tugas kosmiknya (menegakkan Dharma).
Arjuna adalah kesatria yang didorong oleh hasrat untuk kesempurnaan. Ambisinya inilah yang membuatnya berhasil dalam ujian Drona dan yang mendorongnya melakukan tapa keras demi Pashupata. Namun, ambisi tanpa bimbingan dapat berubah menjadi ego, yang kelak menyebabkan kejatuhannya saat Mahaprasthana. Ia harus belajar bahwa keterampilan hanya melayani tujuan yang lebih tinggi, dan tidak boleh menjadi tujuan itu sendiri.
Keteguhan hatinya diuji berulang kali, tidak hanya oleh musuh di medan perang, tetapi juga oleh godaan dari surga. Selama di Indraloka, ia menolak rayuan seorang bidadari Urwasi. Ketika ia menolak, Urwasi mengutuknya menjadi seorang kasim (banci) selama satu tahun, suatu kutukan yang ternyata menjadi penyelamat saat Pandawa harus menjalani pengasingan terakhir yang harus dirahasiakan. Selama tahun itu, Arjuna mengambil identitas sebagai Brihannala, seorang guru tari bagi putri Raja Wirata. Kutukan yang tampaknya merendahkan justru digunakan oleh takdir untuk melindungi dirinya dan saudaranya.
Kisah Brihannala ini adalah bukti kemampuan adaptasi dan kerendahan hati Arjuna. Seorang kesatria hebat harus siap melepaskan identitasnya, kekuatannya, dan bahkan kejantanannya untuk memenuhi janji dan Dharma. Ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati Arjuna tidak hanya terletak pada panahnya, tetapi pada fleksibilitas spiritualnya.
Meskipun Krishna adalah mentor spiritual Arjuna, Yudhistira, saudara tertuanya, memainkan peran penting dalam membentuk moralitas Arjuna. Yudhistira adalah representasi Dharma dalam bentuk termurni—ia adalah Raja Keadilan. Keputusan-keputusan Yudhistira, meskipun kadang-kadang tampak lemah atau terlalu pasif, selalu bertujuan menjaga integritas moral keluarga.
Arjuna, sebagai pelaksana tindakan, seringkali harus melaksanakan keputusan yang sulit yang diputuskan oleh Yudhistira. Kepatuhan Arjuna terhadap Yudhistira adalah wujud penghormatan terhadap hierarki dan Dharma keluarga. Meskipun Arjuna terkadang tidak setuju dengan Yudhistira (seperti ketika Yudhistira berjudi), ia tetap menghormati posisinya sebagai raja dan kakak tertua. Hubungan ini menekankan bahwa kekuatan terbesar harus tunduk pada kebijaksanaan moral.
Arjuna Pandawa adalah sosok yang melampaui stereotip pahlawan aksi. Ia adalah kesatria yang berjuang melawan musuh di luar dan keraguan di dalam. Kisahnya diapit oleh dua momen besar: penguasaan teknis yang sempurna (Gandiva) dan penemuan spiritual yang mendalam (Bhagavad Gita).
Dari putra dewa yang sombong dalam keterampilan hingga murid yang rendah hati di kaki Krishna, perjalanan Arjuna adalah pencarian abadi untuk kebenaran. Ia mengajarkan kepada kita bahwa bakat tanpa kebijaksanaan adalah sia-sia, dan bahwa tugas (Dharma) harus diutamakan di atas kesenangan pribadi atau keterikatan emosional.
Keagungan Arjuna terletak bukan pada jumlah musuh yang ia bunuh, melainkan pada kemampuannya untuk bangkit dari keputusasaan yang mematikan di tengah medan perang, mengambil kembali busurnya, dan bertarung sebagai instrumen kehendak Ilahi. Warisannya, yang diukir dalam panah Gandiva dan kata-kata suci Gita, akan terus menjadi panduan bagi kesatria, pemimpin, dan pencari spiritual di sepanjang masa.
Kehidupan Arjuna adalah studi kasus yang tiada habisnya tentang tanggung jawab, pengorbanan, dan pencapaian spiritual. Ia adalah simbol bahwa pertempuran terberat yang harus dihadapi seseorang adalah pertempuran melawan ilusi dan keakuan diri. Setelah menaklukkan diri sendiri, barulah ia dapat menaklukkan dunia, meskipun akhirnya harus merelakan semua kekuatan fisiknya demi perjalanan menuju keabadian bersama saudaranya di puncak Himalaya.