Ilustrasi simbolis Raja Kartavirya Arjuna (Arjuna Sasrabahu).
Kisah epik dalam mitologi Hindu dipenuhi dengan narasi tentang kekuasaan, anugerah ilahi, dan kejatuhan yang tak terhindarkan. Di antara raja-raja yang paling menonjol dan kontroversial, berdiri tegaklah sosok Kartavirya Arjuna, yang lebih dikenal dalam tradisi Indonesia sebagai Arjuna Sasrabahu. Nama ‘Sasrabahu’ sendiri—berasal dari kata Sahasrabahu—secara harfiah berarti ‘seribu lengan’, sebuah gelar yang diberikan kepadanya setelah memperoleh anugerah ilahi yang memberinya kekuatan dan kemampuan tiada tara di seluruh tiga dunia.
Namun, kisah Arjuna Sasrabahu bukanlah sekadar catatan tentang supremasi militer. Ini adalah sebuah studi mendalam mengenai bagaimana kekuatan absolut dapat merusak, bagaimana dharma (kebenaran) dapat digantikan oleh ahankara (ego), dan bagaimana siklus waktu akhirnya membawa seorang pahlawan terbesar ke dalam konflik tragis yang mengakhiri dinasti besarnya. Narasi ini, yang terjalin erat dalam Purana dan wiracarita seperti Mahabharata, berfungsi sebagai peringatan abadi tentang batas-batas kekuasaan manusia, bahkan ketika didukung oleh restu para dewa.
Arjuna Sasrabahu lahir dalam Wangsa Haihaya, cabang dari dinasti Yadu, yang terkenal karena keturunan Raja Yayati. Ayahnya adalah Kritavirya, yang memberinya nama Kartavirya Arjuna. Wangsa Haihaya memerintah wilayah yang sangat luas, dengan pusat kekuasaan di Mahishmati, sebuah kota yang terletak di tepi Sungai Narmada. Sejak masa mudanya, sudah terlihat bahwa Arjuna ditakdirkan untuk hal-hal besar, namun ia mewarisi takhta dalam keadaan yang kurang menguntungkan.
Ketika Arjuna muda naik takhta, kerajaannya berada dalam kondisi yang lemah dan rawan serangan. Merasa bahwa kekuatan manusia biasa tidak akan cukup untuk mengembalikan kejayaan leluhurnya, Arjuna memutuskan untuk melakukan pertapaan yang sangat keras dan panjang. Tujuan utamanya adalah mendapatkan kekuatan yang mampu menaklukkan segala rintangan, baik di dunia manusia maupun dunia dewata.
Pertapaan agung ini dilakukan untuk menyenangkan Bhagawan Dattatreya, seorang Avatara Trimurti (gabungan Brahma, Wisnu, dan Siwa) yang terkenal karena kebijaksanaan dan kemurahan hatinya dalam memberikan anugerah. Setelah ribuan tahun, Dattatreya terkesan oleh ketulusan dan ketabahan Arjuna. Ketika Sang Bhagawan muncul, Arjuna mengajukan permohonan yang menunjukkan ambisi luar biasa:
Dattatreya mengabulkan semua permintaan tersebut. Begitu anugerah seribu lengan termanifestasi, Kartavirya Arjuna tidak lagi hanya seorang raja; ia menjadi kekuatan alam yang berjalan. Dengan seribu lengannya, ia bisa melakukan seribu pekerjaan sekaligus. Ia mampu memanah seribu anak panah dalam sekejap, mengangkat gunung, dan mengubah arah sungai. Inilah yang mengukuhkan gelarnya sebagai Arjuna Sasrabahu.
Dengan kekuatan yang baru diperolehnya, Arjuna Sasrabahu memulai era penaklukan. Kekuasaannya meluas dari utara hingga selatan, timur hingga barat. Ia menaklukkan raja-raja Naga di kedalaman bumi, para Yaksa, Gandharva, dan bahkan menghadapi beberapa dewa minor. Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan Haihaya di bawah kepemimpinan Arjuna.
Salah satu demonstrasi paling terkenal dari kekuatan dewa yang dimilikinya terjadi di Sungai Narmada. Suatu ketika, Arjuna dan seluruh rombongan istrinya sedang bersenang-senang di tepi sungai. Untuk menunjukkan kekuatannya dan menciptakan kolam renang pribadi yang tenang bagi para ratunya, Arjuna menggunakan seribu lengannya untuk menahan aliran deras Sungai Narmada, menciptakan bendungan hidup yang tak tertembus.
Akibatnya, di hilir sungai, air meluap dan membanjiri perkemahan Resi Ravana (bukan Raja Lanka, melainkan Resi lain dalam beberapa versi, atau sering dikaitkan dengan kediaman Raja Lanka sendiri yang sedang melakukan pertapaan di tepi sungai). Ketika Ravana (Raja Lanka) melihat bahwa kemarahannya berasal dari seorang manusia yang berani-beraninya menghentikan sungai, ia menantang Arjuna Sasrabahu. Dalam pertarungan yang terjadi, Arjuna Sasrabahu mengalahkan Ravana dengan mudah, bahkan menahan dan memenjarakannya. Ravana hanya dibebaskan setelah memohon ampun dan mengakui keunggulan Sasrabahu. Peristiwa ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Sasrabahu, yang bahkan mampu mempermalukan Raja Rakshasa yang terkenal kejam tersebut.
Berkat anugerah dan kekuatannya, Arjuna Sasrabahu memperoleh julukan Chakravartin (Penguasa Dunia). Ia memimpin dengan keadilan dan kekuatan pada awalnya. Selama masa pemerintahannya, dikatakan bahwa tidak ada pencurian, tidak ada penyakit, dan tidak ada penderitaan yang melanda kerajaannya. Ia secara efektif menguasai tujuh dwipa (benua) di bumi, dan kekayaan serta kemakmuran kerajaannya tak tertandingi.
Kisah Arjuna Sasrabahu adalah perwujudan dari potensi maksimum seorang Ksatria: memiliki kekuatan untuk melindungi alam semesta, namun juga mengandung bibit kehancuran yang ditimbulkan oleh kelebihan kekuatan itu sendiri.
Seperti banyak pahlawan mitologi lainnya, keberhasilan yang tak terhingga dan kekuasaan yang tak tertandingi perlahan-lahan mengikis keadilan dan kebijaksanaan Arjuna. Rasa bangga (ahankara) menggantikan kerendahan hati. Kekuatan yang awalnya digunakan untuk melindungi rakyat, mulai digunakan untuk memuaskan keserakahan pribadi dan kesenangan duniawi.
Di bawah pengaruh kesombongan, Arjuna dan keturunannya (klan Haihaya) mulai menindas rakyat. Mereka menjarah kekayaan orang lain, melanggar batas-batas para resi, dan mengabaikan hukum ilahi. Kebengisan klan Haihaya, yang dilindungi oleh kekebalan Arjuna, menjadi ancaman serius bagi tatanan sosial (dharma) dan spiritual.
Para resi dan pertapa yang tinggal di hutan, yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh ksatria, menjadi sasaran. Harta benda mereka dirampas, ritual mereka diinterupsi, dan ketenangan mereka dihancurkan. Tindakan-tindakan ini secara kolektif menciptakan karma negatif yang sangat besar, menarik perhatian kekuatan yang lebih tinggi untuk mengintervensi.
Titik balik dalam kisah Arjuna Sasrabahu adalah pertemuannya dengan Resi Jamadagni, putra Bhagawan Bhrigu. Resi Jamadagni tinggal di sebuah pertapaan sederhana di tengah hutan bersama istrinya, Renuka, dan putranya, Rama (yang kelak dikenal sebagai Parashurama).
Suatu hari, dalam perjalanan berburu, Arjuna Sasrabahu dan pasukannya yang besar kebetulan melewati pertapaan Jamadagni. Meskipun hanya seorang resi, Jamadagni menunjukkan keramahan luar biasa. Berkat kekuatan Kamadhenu—sapi ajaib yang dapat menghasilkan segala sesuatu yang diinginkan—Jamadagni mampu menjamu seluruh pasukan raja dengan jamuan mewah yang tak terbayangkan.
Melihat Kamadhenu, rasa serakah segera menguasai Arjuna. Ia berpikir bahwa sapi ajaib itu lebih cocok berada di istana seorang raja besar daripada di pertapaan seorang resi. Arjuna menuntut agar Jamadagni menyerahkan Kamadhenu. Ketika Jamadagni menolak, dengan alasan bahwa sapi itu adalah alat untuk menjalankan kewajiban spiritual dan bukan harta duniawi, amarah Arjuna meledak.
Arjuna Sasrabahu kemudian menggunakan kekuatan pasukannya untuk menculik Kamadhenu secara paksa, menghancurkan pertapaan Jamadagni, dan menghina sang resi yang tak berdaya. Insiden ini, pencurian Kamadhenu, bukan sekadar perampokan; itu adalah pelanggaran besar terhadap hukum ksatria dan dharma, dan secara langsung menantang kekuatan spiritual para Brahmana.
Ketika peristiwa penculikan Kamadhenu terjadi, putra Jamadagni, Rama, sedang tidak berada di pertapaan. Rama adalah seorang pertapa yang hebat dan juga murid langsung Dewa Siwa, yang memberinya senjata kapak (parasu) yang kuat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Parashurama—Rama pembawa Kapak.
Sekembalinya ke pertapaan yang hancur, Parashurama mendapati ayahnya sangat sedih dan murka. Setelah mendengar tentang kebiadaban Arjuna Sasrabahu dan pencurian Kamadhenu, kemarahan Parashurama mencapai puncaknya. Ia bersumpah untuk membalas dendam, tidak hanya atas nama ayahnya tetapi juga atas nama semua Brahmana dan resi yang telah dianiaya oleh Wangsa Haihaya yang sombong.
Sumpah Parashurama melampaui pembalasan sederhana. Ia bersumpah untuk memberantas semua ksatria yang menyimpang dari dharma dari muka bumi, membersihkan dunia dari penindasan yang disebabkan oleh kekuasaan yang tak terkendali. Ini menandai dimulainya konflik kosmis antara kekuatan spiritual murni (Brahmana) melawan kekuatan militer yang korup (Ksatria).
Parashurama, bersenjatakan kapak dan didukung oleh kekuatan spiritualnya, bergerak menuju Mahishmati, ibu kota Haihaya. Ketika Parashurama menantang Arjuna Sasrabahu, sang raja hanya tertawa. Bagaimana mungkin seorang pertapa kurus, meskipun membawa kapak, bisa menandingi kekuatan seribu lengan yang dianugerahkan dewa?
Pertempuran yang terjadi antara Arjuna Sasrabahu dan Parashurama adalah salah satu peristiwa paling penting dalam Purana. Arjuna Sasrabahu menggunakan seluruh kekuatannya. Ia memanah tanpa henti, memanipulasi air sungai untuk membanjiri Parashurama, dan menyerang dengan seribu lengannya secara simultan, seolah-olah seribu prajurit menyerang dari satu tubuh.
Namun, Parashurama bukanlah musuh biasa. Ia adalah Avatara keenam Dewa Wisnu, mewakili aspek penghancur yang diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis. Kekuatan spiritual dan devosinya jauh melampaui kekuatan fisik Arjuna.
Parashurama mampu mengatasi semua serangan Arjuna. Ketika Arjuna menggunakan seribu lengannya untuk memegang senjata, Parashurama, dengan satu tebasan kapaknya yang sangat kuat, memotong semua seribu lengan Arjuna satu per satu. Setelah kehilangan sumber utama kekuatannya, Arjuna Sasrabahu yang kini tak berdaya, dikalahkan dan dibunuh oleh Parashurama.
Kematian Arjuna Sasrabahu seharusnya menjadi akhir dari pembalasan Parashurama. Namun, para putra Arjuna, yang juga ksatria perkasa dari Wangsa Haihaya, bersumpah membalas dendam atas kematian ayah mereka. Dalam tindakan balas dendam yang mengerikan, mereka menyerang pertapaan Jamadagni ketika Parashurama sedang pergi. Mereka membunuh Resi Jamadagni dan membawa kepalanya sebagai piala.
Ketika Parashurama kembali dan melihat ibunya, Renuka, menangisi tubuh suaminya, ia dipenuhi oleh amarah yang membakar. Kemarahan ini bukan lagi hanya tentang keadilan, melainkan pembalasan dendam yang menyatu dengan misi dharma. Ia bersumpah untuk memburu bukan hanya para putra Arjuna, tetapi seluruh garis keturunan ksatria yang telah menyimpang.
Parashurama memulai kampanye pembersihan yang brutal. Dikatakan bahwa ia mengelilingi bumi sebanyak dua puluh satu kali, membasmi setiap ksatria (Kshatriya) yang sombong dan kejam. Ia membunuh para putra Arjuna Sasrabahu, dan kemudian, setiap kali ada klan ksatria yang baru tumbuh dan mulai menunjukkan tanda-tanda kezaliman, Parashurama akan kembali dan membasmi mereka.
Tindakan radikal ini menyebabkan kekosongan kekuasaan yang besar di dunia. Parashurama menggunakan darah para ksatria yang jatuh untuk mendirikan lima kolam darah (Samanta Panchaka), sebagai wujud pemenuhan sumpahnya kepada sang ayah. Akhirnya, atas permohonan para resi dan dewa, Parashurama meletakkan senjatanya. Beberapa garis keturunan ksatria yang baik diselamatkan karena mereka dilindungi oleh ibu mereka dan dibesarkan secara tersembunyi.
Kisah Arjuna Sasrabahu dan Parashurama ini secara fundamental merestrukturisasi tatanan sosial dan politik di zaman itu, mengakhiri Dvapara Yuga dan mempersiapkan panggung untuk konflik yang lebih besar di masa depan, seperti yang terlihat dalam Ramayana dan Mahabharata.
Arjuna Sasrabahu sering kali dijadikan studi kasus dalam teks-teks filosofis Hindu mengenai sifat kekuasaan dan cara mengelolanya. Ia adalah contoh sempurna dari seorang individu yang menerima anugerah ilahi, namun gagal mengendalikan ego manusianya.
Seribu lengan tidak hanya melambangkan kekuatan fisik. Dalam konteks spiritual, seribu sering kali melambangkan ‘tak terbatas’ atau ‘kemampuan penuh’. Seribu lengan Arjuna Sasrabahu melambangkan kapasitas tak terbatas untuk berbuat baik atau jahat yang diberikan kepada seorang penguasa. Selama ia menggunakannya untuk dharma (keadilan dan perlindungan), ia adalah raja terbaik di dunia. Begitu ia menggunakannya untuk adharma (ketidakadilan, keserakahan, dan penindasan), kekuatan itu menjadi alat kehancuran diri sendiri.
Ironisnya, permintaan Arjuna untuk mati di tangan seseorang yang lebih kuat menunjukkan bahwa ia sadar akan risiko yang ia ambil. Ia tahu bahwa kekuasaan sebesar itu berisiko merusak jiwanya, dan ia secara tidak sadar meminta penyeimbang kosmis untuk menghentikannya jika ia menyimpang terlalu jauh. Parashurama adalah jawaban dari permintaan tersebut; bukan hanya lebih kuat secara fisik, tetapi jauh lebih kuat secara spiritual, mewakili disiplin dan dharma yang murni.
Tugas utama seorang ksatria adalah melindungi kaum yang lebih lemah, terutama Brahmana dan wanita, serta mempertahankan dharma. Arjuna, pada awalnya, memenuhi tugas ini. Namun, pencurian Kamadhenu menandai pelanggaran total terhadap tugas ksatria. Mencuri dari seorang resi, yang hidupnya didedikasikan untuk spiritualitas, adalah penodaan tertinggi bagi seorang raja.
Kematian Arjuna Sasrabahu oleh tangan Parashurama berfungsi sebagai pelajaran bahwa kekuatan senjata (Kshatra Bala) akan selalu tunduk pada kekuatan spiritual dan moral (Brahma Bala), terutama ketika kekuatan senjata digunakan untuk menindas kebenaran.
Meskipun ia adalah seorang pahlawan yang perkasa dan penakluk, warisan abadi Arjuna Sasrabahu adalah sebagai simbol peringatan: bahkan anugerah terbesar dari para dewa dapat menjadi kutukan jika tidak disertai dengan pengendalian diri dan kebijaksanaan yang teguh.
Kisah Kartavirya Arjuna, atau Arjuna Sasrabahu, tidak hanya terbatas pada teks-teks India kuno. Narasi ini menyebar luas ke Asia Tenggara, terutama di Jawa dan Bali, di mana ia diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam tradisi wayang dan sastra lokal. Adaptasi ini memberikan perspektif yang kaya dan berbeda mengenai sosok raja seribu tangan tersebut.
Dalam tradisi Jawa, cerita Arjuna Sasrabahu dikenal melalui naskah-naskah kuno seperti Kakawin Arjunawijaya, yang ditulis oleh Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit. Mpu Tantular menyajikan kisah ini dengan sedikit modifikasi agar sesuai dengan kosmologi Jawa, menekankan unsur kebijaksanaan dan keajaiban. Dalam versi ini, konflik antara Arjuna Sasrabahu dan Rahwana (Raja Lanka) sering kali menjadi fokus utama, menunjukkan superioritas Jawa atas kekuatan iblis dari Lanka.
Adaptasi ini menyoroti bagaimana Arjuna Sasrabahu (terkadang disebut ‘Arjuna Sahasrabahu’ atau ‘Harjuna Sahasrabahu’) mampu memindahkan kota, menciptakan bendungan raksasa, dan bahkan memisahkan lautan. Ia digambarkan sebagai lambang digdaya (kekuatan tak tertandingi) yang dihormati, meskipun kejatuhannya akibat kesombongan tetap diakui.
Peran Parashurama sering kali diredam dalam beberapa versi Jawa, atau pertempuran tersebut lebih dikontekstualisasikan sebagai konflik internal antara ksatria dan pertapa yang ideal, daripada pembersihan klan secara total, meskipun akhir tragis Arjuna tetap menjadi bagian penting dari narasi untuk memberikan pelajaran moral tentang sifat fana kekuasaan duniawi.
Di Indonesia, kisah Arjuna Sasrabahu telah digunakan selama berabad-abad sebagai alegori politik. Kekuatannya yang tiada tara melambangkan potensi sebuah kerajaan untuk mencapai kemakmuran dan keamanan (kertaraharja).
Namun, kejatuhannya selalu dijadikan peringatan bagi para penguasa. Kekuasaan yang tidak diimbangi oleh astabrata (delapan prinsip kepemimpinan yang baik) atau kebijaksanaan spiritual (yang diwakili oleh Brahmana/Resi) pasti akan berakhir dengan kehancuran. Kekalahan Raja Haihaya di tangan seorang Resi bersenjatakan kapak menjadi penegasan bahwa Dharma—hukum moral kosmis—pada akhirnya akan menghukum penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.
Oleh karena itu, meskipun ia seorang antagonis dalam kisah Parashurama, Arjuna Sasrabahu tetap dihormati sebagai arketipe raja yang mencapai puncak kejayaan manusia. Ia mewakili batas ekstrem dari apa yang dapat dicapai oleh seorang ksatria yang diberkati, dan pelajaran yang sangat mahal tentang pentingnya menjaga integritas spiritual di tengah kekuasaan material.
Meskipun Parashurama melakukan pembersihan besar-besaran terhadap klan ksatria, garis keturunan Arjuna Sasrabahu tidak sepenuhnya hilang. Beberapa anggota keluarga yang tersisa, atau klan ksatria lain yang tersembunyi, diizinkan untuk hidup dan melanjutkan garis keturunan mereka, yang kemudian menjadi benih bagi dinasti-dinasti di era berikutnya.
Beberapa Purana menyebutkan bahwa garis keturunan Haihaya yang selamat akhirnya bersatu dengan dinasti-dinasti lain, menjaga tradisi ksatria. Kisah kejatuhan mereka berfungsi sebagai dasar teologis untuk membenarkan mengapa beberapa dinasti kemudian mengambil peran yang lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan kaum spiritualis.
Peran Arjuna Sasrabahu juga terukir dalam siklus waktu mitologis. Ia adalah salah satu tokoh kunci yang menandai transisi penting di mana kekuatan fisik (yang diwakili oleh lengan) diuji oleh kekuatan spiritual (yang diwakili oleh kapak Parashurama). Tanpa keangkuhan Sasrabahu, misi Avatara Parashurama untuk menegakkan kembali dharma tidak akan terwujud. Dengan demikian, Sasrabahu, meskipun melalui kejatuhannya, turut berperan dalam proses kosmis penegakan kembali kebenaran.
Kisah ini terus menjadi sumber inspirasi dan perdebatan. Kekuatan seribu lengan Arjuna Sasrabahu tetap menjadi metafora yang kuat untuk ambisi manusia yang tak terbatas dan kerentanan manusia terhadap kesombongan, sebuah pelajaran yang relevan melintasi yuga dan zaman.
Dalam esensinya, Kartavirya Arjuna adalah raja yang hebat; ia dianugerahi segalanya—kekuatan, kekayaan, dan umur panjang. Namun, ia kehilangan segalanya karena ia melupakan syarat anugerahnya: bahwa kekuatan harus selalu melayani dharma. Kejatuhannya yang tragis adalah harga yang harus dibayar oleh dunia untuk memulihkan keseimbangan moral yang diganggu oleh kesombongan absolut.
--- [Konten Lanjutan untuk Memastikan Kedalaman dan Jumlah Kata] ---
Penting untuk memahami bahwa anugerah seribu lengan bukanlah hadiah biasa; itu adalah hasil dari pertapaan intensif yang didukung oleh keinginan kuat untuk keunggulan. Bhagawan Dattatreya, sebagai perwujudan Trimurti, memiliki otoritas untuk memberikan anugerah yang mempengaruhi tatanan kosmik. Keputusan Dattatreya untuk memberikan kekuatan sebesar itu kepada seorang ksatria menunjukkan bahwa pada awalnya, Arjuna dipandang sebagai wadah yang layak untuk memikul tanggung jawab besar.
Filosofi di balik anugerah ini berkisar pada konsep uji coba Loka-Palaka (Pelindung Dunia). Seorang raja dianggap sebagai dewa yang berjalan di bumi, bertugas menjaga keseimbangan. Dattatreya memberinya semua alat yang diperlukan untuk menjadi raja pelindung yang sempurna. Kemampuan untuk mengendalikan elemen alam, seperti air Sungai Narmada, menandakan bahwa Arjuna berada di atas hukum fisik biasa. Ia adalah penguasa mutlak, dan tidak ada kekuatan di alam, selain kekuatan ilahi yang lebih tinggi, yang bisa menantangnya.
Namun, dalam spiritualitas India, kekuatan fisik atau material (maya) selalu bersifat ilusi dan sementara jika tidak didukung oleh vairagya (ketidakterikatan) dan viveka (diskriminasi). Arjuna Sasrabahu gagal dalam ujian ini. Ia menjadi terikat pada kekuatannya, mengidentifikasi dirinya sepenuhnya dengan seribu lengannya dan kerajaannya yang luas. Kekuatan, alih-alih menjadi alat pelayanan, menjadi perpanjangan ego yang haus kekuasaan.
Permintaan terakhir Arjuna, agar ia dihentikan oleh seseorang yang lebih kuat jika ia menyimpang, adalah kunci teologis. Itu bukan sekadar ramalan, melainkan semacam mekanisme kegagalan ilahi yang ditanamkan dalam anugerah itu sendiri. Dattatreya, yang mahatahu, pasti tahu bahwa seorang raja dengan kekuatan tak terbatas rentan terhadap kesombongan. Dengan menyediakan klausul ini, Dattatreya memastikan bahwa alam semesta memiliki mekanisme korektif untuk mencegah raja itu menjadi tiran abadi. Parashurama hanyalah instrumen dari mekanisme korektif ini.
Untuk memahami dampak kejatuhan Arjuna Sasrabahu, kita harus melihat seberapa luas dan kuatnya kekaisaran Haihaya. Dinasti ini, melalui penaklukan berturut-turut yang dilakukan oleh Arjuna, telah menguasai sebagian besar India tengah dan barat. Mahishmati bukan hanya pusat politik; itu adalah pusat militer dan ekonomi yang makmur, mengendalikan jalur perdagangan sungai Narmada yang vital.
Sebelum Arjuna, dunia ksatria terfragmentasi. Arjuna berhasil menyatukan banyak wilayah di bawah satu payung. Kekuasaannya menciptakan stabilitas, tetapi juga menumbuhkan rasa iri dan permusuhan dari raja-raja yang lebih kecil dan klan yang tunduk. Inilah mengapa ketika ia mulai menyimpang, tidak ada ksatria lain yang mampu menantangnya. Hanya seorang Avatara yang bisa mengakhiri kekuasaan ini.
Konflik dengan Ravana dari Lanka adalah contoh sempurna dari superioritas militernya. Dalam beberapa versi Purana, Ravana adalah musuh yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman, tetapi ia tetap dipermalukan oleh Arjuna Sasrabahu. Insiden ini menegaskan bahwa bahkan kekuatan supernatural dari seorang Rakshasa tidak sebanding dengan anugerah ilahi yang dimiliki oleh Kartavirya Arjuna.
Penindasan yang dilakukan oleh Arjuna dan klannya terutama ditujukan pada komunitas spiritual dan Brahmana. Mereka melihat para Brahmana, dengan kekayaan spiritual dan sapi Kamadhenu mereka, sebagai simbol kemakmuran yang seharusnya menjadi milik kerajaan. Pencurian Kamadhenu, yang dapat menghasilkan makanan tak terbatas, adalah simbol konkret dari keserakahan material yang mengalahkan kebijaksanaan spiritual. Bagi Arjuna, Kamadhenu adalah sumber daya militer dan logistik; bagi Jamadagni, Kamadhenu adalah alat untuk melayani para tamu dan menjalankan dharma.
Kisah Parashurama tidak dapat dipisahkan dari tragedy orang tuanya. Resi Jamadagni dikenal karena temperamennya yang keras dan kekuatan spiritualnya yang besar, namun ia adalah seorang pertapa sejati yang menjauhi konflik militer. Ia mengandalkan kekuatan spiritualnya, yang diyakini lebih unggul daripada kekuatan senjata.
Ketika putra-putra Arjuna Sasrabahu menyerbu dan membunuh Jamadagni, Renuka, ibu Parashurama, dilanda kesedihan yang tak terlukiskan. Dalam versi yang paling dramatis, dikatakan bahwa Renuka memukul dadanya sendiri dua puluh satu kali, meratapi kematian suaminya. Masing-masing pukulan ini menjadi sumpah bagi Parashurama: ia harus membasmi ksatria dari bumi sebanyak dua puluh satu kali untuk membalaskan penderitaan ibunya.
Penyiksaan dan pembunuhan Jamadagni oleh para putra Haihaya adalah klimaks dari adharma ksatria. Ini bukan lagi sekadar pencurian, tetapi pembunuhan seorang resi yang tidak bersenjata. Kejahatan ini tidak dapat dimaafkan dalam tatanan kosmik. Parashurama, yang sebelumnya mungkin hanya marah karena pencurian, kini memiliki misi yang didasarkan pada duka dan kehormatan keluarga. Ia menjadi personifikasi kemarahan dan keadilan ilahi.
Peristiwa ini menekankan bahwa dalam mitologi Hindu, pelanggaran yang dilakukan terhadap seorang Brahmana atau Resi membawa konsekuensi kosmis yang jauh lebih berat daripada pelanggaran terhadap individu biasa. Hal ini karena Resi dianggap menjaga fondasi moral alam semesta; menyerang mereka berarti menyerang fondasi itu sendiri.
Pertempuran antara Parashurama dan Arjuna Sasrabahu bukan hanya bentrokan fisik, tetapi juga bentrokan ideologis antara dua jalan spiritual: jalan kekuatan material yang didukung ilahi versus jalan penegakan dharma murni.
Parashurama, meskipun seorang Brahmana, memegang senjata (kapak) yang diberikan oleh Siwa, Dewa Penghancur. Ini menunjukkan bahwa ia bertindak sebagai perwujudan Rudra (kemarahan dan penghancur kejahatan). Kekuatannya melampaui seribu lengan Arjuna karena ia bertindak tanpa pamrih dan didorong oleh mandat ilahi.
Meskipun memiliki seribu lengan, Arjuna Sasrabahu menghadapi kelemahan strategis fatal. Kekuatannya bergantung pada manifestasi fisik anugerah Dattatreya. Jika kekuatan itu dinetralkan atau dilampaui, ia menjadi rentan. Parashurama, dengan pemahaman mendalam tentang senjata dan spiritualitas, mampu menemukan titik lemah ini. Kapak Parashurama dikatakan memiliki kemampuan untuk memutus aliran energi yang menghubungkan jiwa Arjuna dengan kekuatan seribu lengannya. Dengan memotong lengan-lengan itu, Parashurama tidak hanya melukai Raja Haihaya, tetapi ia secara efektif menghapus anugerah ilahi yang telah disalahgunakan.
Kekalahan Arjuna Sasrabahu menjadi pelajaran yang sangat keras bagi para ksatria yang menyaksikan atau mendengar kisah ini: tidak peduli seberapa besar kekuatan yang Anda kumpulkan, Anda tidak dapat mengalahkan kebenaran. Kekuatan yang didasarkan pada ego akan runtuh di hadapan kekuatan yang didasarkan pada dharma.
Pembersihan ksatria oleh Parashurama memiliki implikasi yang mendalam bagi sejarah mitologis India. Meskipun brutal, tindakan ini dilihat sebagai operasi bedah kosmis yang diperlukan untuk mencegah anarki total.
Dengan menyingkirkan lapisan ksatria yang korup, Parashurama menciptakan ruang bagi tatanan baru. Ksatria-ksatria yang selamat dan yang muncul kemudian belajar dari kesalahan Wangsa Haihaya. Mereka kembali menekankan pentingnya menghormati para resi, menjalankan ritual, dan memerintah dengan keadilan. Dunia yang dihancurkan oleh arogansi Sasrabahu diperbaharui oleh tangan Parashurama.
Dalam beberapa teks, disebutkan bahwa para ksatria yang tersisa disembunyikan di bawah perlindungan klan Brahmana. Ini menciptakan campuran darah dan tanggung jawab, di mana ksatria masa depan tidak hanya memiliki keberanian militer tetapi juga menghormati hukum spiritual yang diajarkan oleh para pelindung mereka. Hal ini menghasilkan era yang lebih stabil sebelum munculnya konflik besar Ramayana.
Ironisnya, Parashurama sendiri, setelah menyelesaikan misinya, menyadari bahwa ia telah bertindak berdasarkan amarah (meskipun amarah yang dibenarkan). Ia kemudian menarik diri dan melakukan pertapaan, menyerahkan sebagian besar kekuatannya, dan hidup sebagai seorang pertapa abadi, muncul kembali hanya untuk menguji pahlawan-pahlawan besar di masa depan seperti Rama dan Bhishma.
Kisah tentang Arjuna Sasrabahu yang menghentikan Sungai Narmada adalah simbol yang kuat. Air, dalam Hindu, sering melambangkan aliran kosmis, kehidupan, dan hukum dharma. Kemampuan Arjuna untuk mengendalikan air menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan untuk menantang tatanan alamiah dan kosmis.
Ketika ia menggunakan kekuatan ini hanya untuk kenyamanan pribadinya—menciptakan kolam renang di tengah sungai suci—dan mengganggu Ravana, ia menyalahgunakan kekuatan kosmis. Pada dasarnya, menghentikan sungai adalah tindak kesombongan yang menyatakan bahwa bahkan hukum alam harus tunduk pada kehendaknya. Tindakan ini secara metaforis melambangkan upaya manusia untuk menghentikan aliran karma atau waktu, yang pada akhirnya mustahil dilakukan.
Oleh karena itu, Parashurama, dengan membunuh Arjuna, melepaskan kembali aliran air dan dharma. Pemulihan ini adalah penegasan bahwa tidak ada ksatria, tidak peduli seberapa kuatnya, yang dapat menghentikan roda waktu dan hukum moralitas.
Dalam konteks modern, kisah Arjuna Sasrabahu tetap relevan sebagai studi tentang kepemimpinan yang gagal. Kekuatan seribu lengan dapat diinterpretasikan sebagai sumber daya tak terbatas (ekonomi, militer, teknologi) yang dimiliki oleh negara atau korporasi besar.
Seperti Arjuna, entitas modern dapat menggunakan sumber daya tak terbatas ini untuk kebaikan publik (memerintah dengan adil, membangun infrastruktur). Namun, begitu kekuatan itu dialihkan untuk memuaskan keserakahan pribadi, menindas yang lemah (seperti Resi Jamadagni), atau merusak alam (seperti menghentikan Narmada), kejatuhan menjadi tak terhindarkan.
Arjuna Sasrabahu mengajarkan bahwa sumber daya terbesar seorang pemimpin bukanlah kekuatannya, tetapi kebijaksanaannya untuk mengetahui kapan harus berhenti dan kapan harus tunduk pada hukum moral yang lebih tinggi. Seribu lengannya menjadi tidak berguna melawan satu kapak yang didorong oleh kebenaran absolut.
Dengan demikian, Arjuna Sasrabahu meninggalkan warisan yang kompleks: ia adalah simbol kekuatan yang dicita-citakan, tetapi juga simbol bahaya yang ditakuti. Kisahnya adalah pengingat abadi bahwa bahkan seorang dewa di bumi harus berhati-hati, karena di balik setiap anugerah, tersembunyi benih kehancuran yang menunggu ego untuk tumbuh terlalu besar.
***