Surah ke-9 dalam Al-Qur'an: Pemutusan Perjanjian, Jihad, dan Pengampunan
Surah At-Taubah, yang berarti 'Pengampunan' atau 'Taubat', adalah surah Madaniyah yang diturunkan setelah peristiwa hijrah. Surah ini memiliki kekhasan yang membedakannya dari semua surah lain dalam Al-Qur'an: ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Ketidakhadiran kalimat suci ini memiliki makna mendalam, sebab surah ini dibuka dengan deklarasi permusuhan, pemutusan perjanjian, dan peringatan keras terhadap kaum musyrikin yang telah melanggar janji mereka.
Surah At-Taubah sering juga disebut Surah Al-Bara'ah (Pemutusan atau Pelepasan), karena ayat-ayat awalnya secara tegas membatalkan perjanjian damai yang sebelumnya dibuat dengan kaum musyrikin Makkah. Penurunannya terjadi pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah ﷺ, khususnya setelah kemenangan Fathu Makkah dan bertepatan dengan persiapan serta pelaksanaan Perang Tabuk. Oleh karena itu, konteks utamanya adalah mengukuhkan kedaulatan Islam, membersihkan Semenanjung Arab dari sisa-sisa kemusyrikan, dan yang paling penting, mengungkap secara detail sifat, motivasi, dan hukuman bagi kaum munafikin (orang-orang munafik) di Madinah.
Tidak ada surah lain yang mengupas tuntas dan menguliti sifat kemunafikan sedemikian rupa, bahkan mendedahkan identitas dan perilaku mereka di hadapan publik. Ini menjadikannya surah yang penuh dengan hukum (syariat), peringatan keras, dan pelajaran moral tentang kesetiaan, pengorbanan, dan keikhlasan dalam beragama.
Ayat-ayat pembuka surah ini, dikenal sebagai ayat-ayat Al-Bara'ah, menandai titik balik penting dalam hubungan antara komunitas Muslim dengan kaum musyrikin yang tinggal di sekitar Makkah dan Madinah. Allah ﷻ mendeklarasikan pelepasan dari segala perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, yang telah dilanggar oleh kaum musyrikin.
Tafsir Ayat 1-5: Batasan Empat Bulan. Deklarasi ini memberikan waktu tenggang empat bulan kepada kaum musyrikin. Periode ini adalah waktu bagi mereka untuk memilih antara bertaubat, memeluk Islam, atau bersiap menghadapi konsekuensi perang. Ayat 4 memberikan pengecualian penting: perjanjian tetap berlaku bagi mereka yang tidak pernah melanggar janji mereka sedikit pun dan tidak membantu musuh melawan Muslim. Ini menunjukkan keadilan Islam, yang selalu membedakan antara pelanggar dan penepati janji.
Setelah empat bulan berlalu, ayat 5, yang dikenal sebagai 'Ayat Pedang', memerintahkan kaum Muslimin untuk memerangi kaum musyrikin yang tetap dalam kekafiran dan kemusyrikan. Namun, penting untuk dicatat, instruksi ini selalu diikuti dengan syarat: jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara dalam agama. Ini menekankan bahwa tujuan akhir dari perlawanan bukanlah penghancuran semata, melainkan undangan menuju tauhid dan perdamaian abadi di bawah naungan Islam.
Tafsir Ayat 6: Perlindungan Bagi Pencari Kebenaran. Ayat 6 adalah manifestasi luar biasa dari toleransi dan kemanusiaan Islam. Meskipun konteksnya adalah perang, jika seorang musyrik meminta perlindungan (suaka) untuk mendengar ajaran Islam, kaum Muslimin wajib melindunginya, membawanya ke tempat yang aman, dan memastikan ia mendengarkan Kalamullah. Setelah ia mendengarnya, jika ia menolak, ia harus dikembalikan ke tempat yang aman. Ini bukan hanya kewajiban kemanusiaan, tetapi juga dakwah, menekankan bahwa peperangan tidak boleh menghalangi kesempatan seseorang untuk mencari hidayah.
Tafsir Ayat 7-12: Mengapa Pemutusan Diperlukan. Ayat-ayat ini menjelaskan justifikasi atas pemutusan perjanjian. Kaum musyrikin terbukti tidak memiliki loyalitas atau komitmen moral; mereka melanggar janji kapan saja mereka merasa kuat. Mereka tidak menghormati ikatan kekerabatan maupun perjanjian. Allah mengingatkan bahwa jika kaum musyrikin itu menang, mereka tidak akan menghormati hak-hak Muslimin. Oleh karena itu, pemutusan ini adalah tindakan perlindungan diri dan penegakan kebenaran. Ayat 12 menegaskan kembali bahwa jika mereka melanggar sumpah setelah bertaubat dan menyerang agama, mereka harus diperangi, karena mereka adalah pemimpin kekafiran.
Setelah menetapkan kebijakan luar negeri (pemutusan perjanjian), Surah At-Taubah beralih untuk membersihkan internal komunitas Muslim, menetapkan standar spiritual dan material yang tinggi bagi para pengikut Nabi ﷺ.
Tafsir Ayat 17-24: Siapakah yang Layak Memakmurkan Masjid? Ayat 17-18 membahas pertanyaan krusial: siapa yang berhak mengurus Masjidil Haram? Jawabannya jelas: hanya orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ayat ini secara implisit menolak klaim kaum musyrikin yang merasa mulia hanya karena melayani para peziarah (memberi minum dan menjaga Ka'bah) sementara mereka tetap dalam kekafiran. Allah menyatakan bahwa perbuatan amal saleh mereka tidaklah sama nilainya dengan keimanan dan jihad di jalan Allah.
Ayat 20-22 memuji orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka sebagai yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah. Penekanan diletakkan pada pengorbanan material dan fisik sebagai bukti keimanan sejati. Pengorbanan inilah yang menghasilkan pahala abadi dan janji surga.
Tafsir Ayat 23-24: Ujian Kecintaan Dunia. Ini adalah ayat-ayat yang sangat menyentuh emosi manusia, menuntut keimanan yang melebihi segala ikatan duniawi. Allah memperingatkan kaum Muslimin untuk tidak mencintai orang tua, anak-anak, saudara, pasangan, harta benda, perdagangan yang menguntungkan, atau tempat tinggal yang menyenangkan, melebihi kecintaan mereka kepada Allah, Rasul-Nya, dan Jihad di jalan-Nya. Jika kecintaan kepada hal-hal duniawi ini lebih besar, maka mereka harus menunggu ketetapan Allah, yang berupa hukuman atau kerugian di dunia dan akhirat.
Peringatan ini menunjukkan bahwa Islam menuntut totalitas. Kecintaan pada keluarga dan harta adalah fitrah, namun ketika fitrah ini menghalangi ketaatan kepada Allah, terutama dalam menghadapi seruan Jihad (baik jihad perang, ilmu, maupun harta), maka ia menjadi penghalang menuju derajat mukmin sejati. Inilah ujian iman yang paling mendasar: apakah hati kita didominasi oleh dunia ataukah oleh akhirat.
Tafsir Ayat 25-29: Kemenangan dan Perang Hunain. Ayat 25 merujuk pada Perang Hunain. Meskipun kaum Muslimin awalnya merasa bangga dengan jumlah pasukan mereka yang besar (yang tidak pernah terjadi sebelumnya), Allah mengingatkan bahwa kemenangan hanya datang dari-Nya, bukan dari jumlah atau kekuatan. Ketika mereka hampir kalah dan terpukul mundur, Allah menurunkan ketenangan (sakinah) kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin, serta bantuan tentara yang tidak terlihat (malaikat), yang membalikkan keadaan. Ini adalah pelajaran bahwa kesombongan adalah bahaya terbesar bagi iman.
Ayat 28 mengumumkan larangan bagi kaum musyrikin mendekati Masjidil Haram setelah tahun itu. Ini adalah bagian dari pembersihan total Semenanjung Arab dari kemusyrikan, sebagai pusat tauhid abadi. Kekhawatiran Muslimin atas hilangnya perdagangan dijawab oleh Allah dengan janji bahwa Dia akan mencukupi mereka dari karunia-Nya jika mereka takut kepada-Nya.
Ayat 29 menetapkan hukum tentang memerangi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir sebagaimana yang seharusnya, dan yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Perintah ini berlaku hingga mereka membayar jizyah (pajak perlindungan) dengan tunduk dan patuh. Jizyah adalah pengakuan kedaulatan Islam dan perlindungan hak-hak mereka di bawah pemerintahan Islam.
Surah ini kemudian membahas penyimpangan teologis dan moral yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani, yang telah menyimpang dari ajaran murni para nabi mereka.
Tafsir Ayat 30-31: Kesesatan Akidah. Ayat 30 mengecam Yahudi karena mengklaim Uzair sebagai anak Allah, dan Nasrani karena mengklaim Al-Masih (Isa) sebagai anak Allah. Klaim-klaim ini adalah kemusyrikan (syirik) yang meniru perkataan kaum kafir sebelumnya. Ayat 31 adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan konsep syirik dalam ibadah. Mereka menjadikan para rabi (pendeta Yahudi) dan biarawan (pendeta Nasrani), serta Al-Masih, sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Ini bukan berarti mereka menyembah para pendeta dengan shalat, melainkan mereka mengikuti fatwa dan aturan para pendeta secara mutlak, meskipun fatwa itu bertentangan dengan hukum Allah yang jelas. Ketaatan mutlak terhadap manusia yang bertentangan dengan wahyu adalah bentuk peribadatan kepada mereka, dan inilah yang dikategorikan sebagai syirik dalam ayat ini.
Tafsir Ayat 32-33: Cahaya Islam Tidak Akan Padam. Ayat-ayat ini memberikan kepastian ilahi bahwa meskipun kaum kafir berupaya memadamkan cahaya Islam (kebenaran tauhid) dengan ucapan dan tipu daya mereka, Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya. Islam ditakdirkan untuk mendominasi semua agama, betapapun bencinya kaum musyrikin dan Ahli Kitab.
Tafsir Ayat 34-35: Bahaya Harta dan Riba. Ayat ini memberikan peringatan keras terhadap para rabi dan biarawan yang memakan harta orang lain dengan cara batil (termasuk riba dan suap) dan yang menimbun emas dan perak tanpa menginfakkannya di jalan Allah. Mereka yang menimbun harta akan dihukum pada Hari Kiamat, di mana harta itu akan dipanaskan di api neraka dan digunakan untuk mencap dahi, lambung, dan punggung mereka. Ini menekankan kewajiban infak dan haramnya menimbun harta (kanz) ketika ada kewajiban zakat, serta kerasnya larangan riba.
Tafsir Ayat 36-37: Hukum Bulan-Bulan Suci. Surah ini menegaskan bahwa jumlah bulan adalah dua belas, empat di antaranya adalah bulan suci (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab). Allah melarang peperangan di bulan-bulan tersebut, tetapi juga mengecam praktik 'Nasi' (penundaan atau penggeseran bulan suci) yang dilakukan kaum jahiliyah untuk menyesuaikan waktu perang mereka. Nasi adalah bentuk penambahan kekafiran (kekufuran), karena bermain-main dengan hukum dan ketetapan Allah.
Bagian sentral surah ini berfokus pada peristiwa Perang Tabuk (yang terjadi saat musim panas yang sangat sulit dan jauh), yang berfungsi sebagai ujian yang sangat efektif untuk membedakan antara mukmin sejati, mereka yang imannya lemah, dan kaum munafikin yang bersembunyi.
Tafsir Ayat 38-42: Teguran Keras Terhadap Kelesuan Jihad. Allah menegur kaum Muslimin yang merasa berat dan enggan untuk berangkat ke Tabuk karena panasnya cuaca, jauhnya perjalanan, dan hasil panen yang sedang melimpah. Teguran ini sangat keras: "Mengapa kamu merasa berat untuk berangkat (berjihad) di jalan Allah? Apakah kamu lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat?"
Allah mengingatkan bahwa jika mereka tidak berangkat, Dia akan menghukum mereka dengan azab yang pedih dan menggantikan mereka dengan kaum lain. Ayat-ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan kepada perintah Jihad (yang pada saat itu wajib) adalah tolok ukur utama kesetiaan. Mereka yang berusaha mencari alasan duniawi untuk menghindari ketaatan menunjukkan bahwa kecintaan mereka pada dunia telah melampaui kecintaan mereka pada agama.
Tafsir Ayat 43-57: Alasan-Alasan Palsu Kaum Munafikin. Bagian ini adalah galeri detail tentang perilaku kaum munafikin. Mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dengan berbagai alasan palsu dan sumpah bohong untuk meminta izin tidak ikut perang. Allah mengungkapkan bahwa orang-orang yang beriman sejati tidak akan meminta izin jika mereka mampu berjihad, karena mereka mencintai pengorbanan.
Tafsir Ayat 58-69: Kritik Terhadap Pembagian Zakat dan Celaan Munafikin. Ayat-ayat ini mengalihkan perhatian ke masalah Zakat/Sedekah. Beberapa munafikin tidak puas dengan cara Rasulullah ﷺ membagi rampasan perang dan zakat. Mereka menuduh beliau tidak adil—sebuah tuduhan yang sangat serius terhadap Nabi Allah.
Ayat 60 adalah ayat faraidh (hukum) yang sangat penting, yang menetapkan delapan golongan penerima Zakat yang sah (fakir, miskin, amil, muallaf, budak, gharimin, sabilillah, ibnus sabil). Ayat ini seolah-olah menjawab tuduhan munafikin, dengan menyatakan bahwa pembagian Zakat adalah ketetapan Allah, bukan kebijaksanaan pribadi Rasulullah. Kaum munafikin hanya akan puas jika pembagian itu menguntungkan mereka secara duniawi.
Ayat 61-66 membahas sifat munafikin yang suka menyakiti Nabi dengan ucapan mereka, serta kebiasaan mereka bersumpah palsu demi menutupi keburukan mereka. Allah menegaskan bahwa mereka tidaklah beriman dan sumpah mereka tidak berguna. Ayat 65-66 secara khusus membahas ejekan munafikin terhadap Al-Qur'an dan Rasulullah. Ketika ditanya, mereka mengaku hanya 'bercanda' (bermain-main). Allah menjawab, "Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Mereka tidak diberi kesempatan untuk berdalih karena ejekan terhadap agama adalah kekafiran, meskipun dilakukan sambil tertawa. Ini adalah peringatan keras terhadap penghinaan terhadap simbol-simbol Islam.
Tafsir Ayat 73-78: Perintah Melawan Munafikin. Meskipun kaum munafikin berada di dalam kota, mereka diperintahkan untuk diperlakukan dengan keras, seolah-olah diperangi. Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan munafikin, dan bersikap keras terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah neraka Jahanam. Ayat 74-78 menyoroti sumpah-sumpah palsu para munafikin dan sifat mereka yang mengingkari janji ketika diberi kekayaan. Mereka berjanji akan bersedekah jika Allah memberi mereka rezeki, namun ketika janji itu terpenuhi, mereka menjadi pelit. Akibatnya, Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka hingga hari mereka bertemu dengan-Nya.
Inti dari bagian ini adalah bahwa kemunafikan adalah penyakit batin yang mengubah hati, membuatnya tidak peka terhadap kebenaran dan kebaikan, bahkan hingga akhir hayat.
Bagian ini memberikan penutup terhadap pembahasan munafikin dan beralih kepada kisah-kisah taubat sejati dari orang-orang yang tertinggal dalam Perang Tabuk.
Tafsir Ayat 80-84: Doa Pengampunan dan Ketidaklayakan Munafikin. Allah menjelaskan kepada Nabi ﷺ bahwa doa istighfar (mohon ampun) untuk kaum munafikin tidak akan berguna, meskipun Nabi memohon ampun tujuh puluh kali. Allah tidak akan mengampuni mereka karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menetapkan prinsip bahwa kemunafikan yang parah dan terus-menerus menutup pintu rahmat. Ayat 84 secara tegas melarang Nabi ﷺ untuk menshalati jenazah atau berdiri di atas kuburan seorang munafik. Ini adalah hukuman spiritual tertinggi, memutus hubungan keagamaan dengan mereka.
Tafsir Ayat 85-99: Perbedaan Kekayaan dan Iman. Allah mengingatkan kaum Muslimin bahwa kekayaan dan anak-anak yang dimiliki kaum munafikin tidak boleh membuat mereka takjub. Itu hanyalah alat yang digunakan Allah untuk menyiksa mereka di dunia dan agar mereka mati dalam keadaan kafir. Kaum yang meminta izin untuk tidak ikut perang (orang-orang kaya yang munafik) adalah kaum yang lemah, dan mereka senang tinggal bersama orang-orang yang lemah (wanita, anak-anak, orang sakit).
Tafsir Ayat 100: Penghargaan untuk Para Pelopor. Ayat ini adalah pujian luar biasa bagi tiga golongan Muslimin terbaik: As-Sabiqunal Awwalun (para pelopor pertama) dari kalangan Muhajirin dan Ansar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (kebajikan). Mereka dijanjikan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ini adalah kemenangan yang besar. Ayat ini menjadi dasar penting bagi penghormatan terhadap para sahabat Nabi ﷺ.
Surah At-Taubah sekarang membedakan dua kelompok yang tersisa di Madinah: munafikin yang tersembunyi, dan orang-orang yang melakukan kesalahan tetapi segera bertaubat.
Tafsir Ayat 101: Munafikin Sekitar Madinah. Allah mengungkapkan bahwa tidak semua munafikin telah terungkap. Masih ada munafikin di sekitar Madinah, yang Rasulullah ﷺ tidak mengetahui identitas mereka secara pasti, tetapi Allah mengetahui mereka. Ini berfungsi sebagai peringatan bahwa bahaya internal selalu mengintai.
Tafsir Ayat 102-104: Taubat yang Diterima. Ayat 102 membahas sekelompok orang lain yang tidak ikut Tabuk, tetapi mereka mengakui dosa mereka. Mereka mencampuradukkan perbuatan baik dan perbuatan buruk (meninggalkan jihad). Allah menerima taubat mereka. Ayat 103 berisi perintah kepada Nabi ﷺ untuk mengambil zakat (sedekah) dari harta mereka. Zakat di sini berfungsi sebagai alat penyucian: "Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." Ini menekankan fungsi Zakat sebagai pembersih jiwa dari kekikiran dan dosa.
Tafsir Ayat 107-110: Masjid Ad-Dhirar (Masjid yang Membawa Bahaya). Ini adalah kisah nyata yang menunjukkan puncak intrik kaum munafikin. Sekelompok munafikin membangun sebuah masjid di Madinah dengan klaim untuk membantu orang sakit dan melakukan shalat di musim dingin. Namun, tujuan sebenarnya adalah untuk memecah belah kaum Muslimin, menjadi basis bagi musuh (Abu Amir Ar-Rahib, seorang pendeta yang memusuhi Islam), dan menjadi tempat bagi orang-orang munafik. Mereka meminta Rasulullah ﷺ untuk shalat di dalamnya sebagai pengesahan. Allah melarang keras: "Janganlah kamu shalat di dalamnya selama-lamanya."
Sebaliknya, Allah memuji Masjid Quba (Masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama) dan menegaskan bahwa masjid yang dibangun atas dasar takwa jauh lebih layak untuk didirikan shalat. Nabi ﷺ kemudian memerintahkan penghancuran Masjid Ad-Dhirar. Kisah ini adalah landasan hukum tentang larangan membangun tempat ibadah dengan niat buruk atau bertujuan memecah belah komunitas, menunjukkan bahwa niat di balik tindakan sangat menentukan penerimaan suatu ibadah.
Bagian penutup ini kembali kepada inti dari keimanan: perjanjian (bay'ah) antara Allah dan orang-orang mukmin, serta epilog dari insiden Tabuk.
Tafsir Ayat 111: Jual Beli Abadi. Ini adalah salah satu ayat yang paling kuat dan memotivasi tentang Jihad dan pengorbanan:
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka, dengan janji surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah; mereka membunuh dan dibunuh. Ini adalah transaksi suci. Seorang mukmin telah 'menjual' hidup fana-nya kepada Allah dengan harga surga abadi. Ayat ini menegaskan bahwa semua harta dan jiwa seorang mukmin pada hakikatnya bukan miliknya lagi, tetapi milik Allah, yang harus diinfakkan atau dikorbankan kapanpun diminta.
Tafsir Ayat 113-114: Larangan Memohon Ampun untuk Musyrikin. Ayat 113 secara tegas melarang Nabi ﷺ dan orang-orang mukmin memohon ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat, setelah jelas bagi mereka bahwa kaum musyrikin adalah penghuni neraka. Ini adalah pemutusan hubungan akidah yang total dari kemusyrikan. Ayat 114 memberikan contoh Nabi Ibrahim yang pernah memohon ampun untuk ayahnya, namun itu dilakukan atas janji sebelumnya, dan ketika jelas ayahnya adalah musuh Allah, Ibrahim melepaskan diri darinya. Loyalitas harus murni hanya kepada Allah.
Tafsir Ayat 117-118: Kisah Tiga Orang yang Tertinggal. Setelah mengupas tuntas nasib munafikin yang dihukum, surah ini memberikan harapan terbesar bagi mereka yang berdosa karena kelemahan, tetapi tidak memiliki niat munafik. Ayat 117 menceritakan penerimaan taubat Nabi ﷺ, kaum Muhajirin, dan Ansar yang mengikuti beliau dalam kesulitan Perang Tabuk. Kemudian, ayat 118 menceritakan tentang tiga orang sahabat sejati—Ka'b bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi', dan Hilal bin Umayyah—yang tertinggal dari Tabuk tanpa alasan yang sah, tetapi mereka jujur dalam mengakui kesalahan mereka (tidak membuat alasan palsu seperti munafikin).
Taubat mereka diuji dengan isolasi sosial total selama lima puluh hari. Setelah bumi terasa sempit bagi mereka, barulah Allah menerima taubat mereka. Kisah ini menekankan bahwa kejujuran dalam mengakui dosa dan kesabaran dalam menghadapi hukuman adalah kunci menuju ampunan ilahi, bahkan ketika dosa itu besar. Taubat mereka adalah salah satu puncak cerita dalam surah ini, melambangkan keadilan dan rahmat Allah.
Tafsir Ayat 119: Pentingnya Kejujuran (Shidq). Ayat ini berfungsi sebagai pelajaran moral utama dari kisah Tabuk dan Munafikin:
Tafsir Ayat 120-127: Keutamaan Jihad dan Penolakan Munafikin. Allah menjelaskan bahwa tidak sepantasnya bagi penduduk Madinah dan orang Arab Badui di sekitarnya untuk tertinggal dari Rasulullah ﷺ atau lebih memilih diri mereka daripada beliau. Setiap kesulitan yang mereka alami di jalan Allah (haus, lapar, kelelahan) dicatat sebagai amal saleh. Ini adalah motivasi besar bagi pengorbanan di jalan kebenaran. Ayat 124-127 kembali ke tema kemunafikan. Ketika surah-surah Al-Qur'an diturunkan, kaum munafikin saling berbisik: "Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?" Al-Qur'an menambah iman bagi mukmin, tetapi hanya menambah kekotoran (rijs) bagi munafikin. Setiap kali surah diturunkan, mereka merasa cemas dan saling pandang, karena takut aib mereka akan terungkap.
Tafsir Ayat 128-129: Penutup dan Kasih Sayang Nabi. Surah ini ditutup dengan dua ayat yang sangat indah, menggambarkan sifat mulia Rasulullah ﷺ. Setelah semua peringatan keras dan hukuman yang dijabarkan, Surah At-Taubah berakhir dengan rahmat:
Ayat 128 menegaskan bahwa telah datang kepada kaum Muslimin seorang Rasul dari jenis mereka sendiri. Beliau merasakan beratnya penderitaan umatnya ('azizun 'alaihi ma 'anittum), sangat menginginkan (kebaikan) bagi mereka (harishun 'alaikum), dan terhadap orang-orang mukmin, beliau sangat penyantun (ra'uf) lagi penyayang (rahim). Ini adalah penegasan kasih sayang Rasulullah, kontras dengan kekerasan yang ditujukan kepada munafikin dan musuh. Beliau adalah sumber rahmat bagi mereka yang beriman sejati.
Ayat 129 adalah penutup, perintah untuk bertawakkal kepada Allah, Yang Maha Agung, Pemilik 'Arsy yang Mulia, jika manusia berpaling:
Jika mereka berpaling, katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." Ini adalah deklarasi tauhid yang sempurna dan penyerahan total kepada kekuasaan Ilahi.
Surah At-Taubah berdiri sebagai pilar utama dalam pemahaman politik, sosial, dan spiritual masyarakat Islam. Meskipun konteks penurunannya berkaitan erat dengan Perang Tabuk dan konflik dengan kaum musyrikin, Ahli Kitab, dan munafikin di Madinah, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Surah ini menetapkan batas-batas yang jelas antara kebenaran dan kepalsuan, antara kejujuran dan kemunafikan.
Deklarasi Bara'ah di awal surah bukan sekadar pemutusan perjanjian politik, melainkan pembersihan ideologis terhadap pusat spiritual Islam, Ka'bah. Surah ini mengajarkan bahwa kedaulatan tertinggi (Hukum Allah) harus diterapkan secara total. Tidak ada tempat untuk kemusyrikan di Semenanjung Arab, dan semua urusan, termasuk perdagangan, harus tunduk pada hukum Ilahi. Kekhawatiran duniawi (seperti hilangnya perdagangan) dijawab langsung oleh janji rezeki dari Allah, mengajarkan bahwa ketaatan mendatangkan berkah, bukan kerugian.
Penolakan terhadap klaim ketuhanan Ahli Kitab atas Uzair dan Isa, serta kecaman terhadap mereka yang menjadikan pendeta dan rabi sebagai tuhan (dengan mengikuti mereka secara buta), menegaskan kembali bahwa Tauhid adalah satu-satunya landasan akidah. Surah ini menghancurkan bentuk-bentuk syirik tersembunyi, baik syirik ibadah maupun syirik ketaatan.
Fokus utama Surah At-Taubah adalah 'Nifaq' (kemunafikan). Tidak seperti surah lain, At-Taubah tidak hanya mendeskripsikan ciri-ciri munafikin tetapi juga mendedahkan taktik, motivasi, dan nasib akhir mereka. Pelajaran kuncinya adalah bahwa kemunafikan muncul dari kecintaan berlebihan terhadap dunia dan ketakutan terhadap pengorbanan. Kaum munafikin adalah beban bagi komunitas Muslim, berusaha memecah belah dan menyebarkan desas-desus. Mereka bersumpah atas nama Allah untuk menutupi kebohongan mereka, dan menuduh pemimpin Islam dengan tidak adil. Surah ini mengajarkan umat Islam untuk berhati-hati terhadap bahaya internal yang seringkali lebih mematikan daripada musuh eksternal.
Hukuman bagi munafikin juga sangat jelas dan keras: penolakan doa pengampunan Nabi, larangan menshalati jenazah mereka, dan janji neraka Jahanam. Hukuman ini menegaskan bahwa kemunafikan bukanlah dosa ringan, melainkan pengkhianatan terhadap akidah yang membawa seseorang pada kekafiran abadi.
Surah At-Taubah adalah surah yang mendorong pengorbanan dan Jihad, baik dengan harta maupun jiwa, hingga titik tertinggi. Perang Tabuk menjadi latar belakang yang menunjukkan perbedaan antara mereka yang ikhlas dan mereka yang batinnya dipenuhi penyakit.
Ayat 111, mengenai perjanjian "jual beli" antara Allah dan mukmin, adalah motivasi filosofis terkuat dalam Islam untuk berjihad. Ini mengubah pandangan tentang hidup dan mati: hidup adalah investasi sementara yang harus dipertaruhkan untuk mendapatkan imbalan abadi. Surah ini menetapkan bahwa ketidakmauan berkorban ketika dibutuhkan, karena terikat pada kenyamanan (keluarga, rumah, harta), adalah tanda iman yang lemah atau nifaq.
Melalui kisah tiga sahabat yang jujur, surah ini menyeimbangkan antara tuntutan keras Jihad dan keluasan rahmat Allah. Walaupun dosa karena meninggalkan Jihad itu besar, kejujuran (shidq) dalam taubat dan kesabaran dalam menghadapi isolasi sosial membuka jalan bagi pengampunan, menjadikannya model Taubat sejati.
Surah ini juga mengandung rincian hukum Zakat yang sangat penting. Dengan menetapkan delapan golongan penerima Zakat (Ayat 60), Allah secara permanen mengatur distribusi harta dalam masyarakat Islam, memastikan bahwa Zakat tidak lagi bergantung pada keputusan individual pemimpin, melainkan pada ketetapan syariat yang adil. Zakat juga ditekankan sebagai sarana penyucian spiritual (Ayat 103), yang membersihkan hati dari kekikiran dan menyucikan harta.
Secara keseluruhan, Surah At-Taubah adalah seruan untuk kesetiaan total, kejelasan akidah tanpa kompromi, dan integritas moral (kejujuran/shidq). Surah ini membersihkan komunitas Islam dari internal maupun eksternal, mempersiapkan fondasi kokoh untuk peradaban Islam yang akan datang. Ia dimulai dengan peringatan keras dan pemutusan, namun diakhiri dengan kasih sayang dan rahmat Rasulullah ﷺ serta tawakkal total kepada Allah Yang memiliki 'Arsy yang agung, menunjukkan keseimbangan sempurna antara keadilan dan rahmat Ilahi.