Menganalisis Inti Amanah dalam At-Taubah 10

Tafsir Mendalam tentang Ikatan Kekerabatan (Illa) dan Perjanjian (Dhimmah)

I. Pengantar Surah At-Taubah dan Konteks Hukum

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki posisi yang unik dan kritis dalam tatanan hukum Islam (Fiqh). Surah ini, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pemutusan Hubungan), diturunkan pada periode akhir kenabian dan secara fundamental membahas tentang keharusan kaum Muslimin untuk memegang teguh perjanjian, sekaligus menentukan batas-batas interaksi dengan pihak-pihak yang telah secara nyata dan berulang kali melanggar perjanjian damai.

Ayat-ayat awal Surah At-Taubah berfungsi sebagai deklarasi akhir, membedakan secara tegas antara mereka yang setia pada komitmen (iman) dan mereka yang menggunakan perjanjian sebagai alat tipu daya. Dalam kerangka ini, at taubah 10 muncul sebagai sebuah pernyataan yang sangat kuat, menjelaskan karakter dasar dari kaum musyrikin yang memusuhi, yaitu mereka yang tidak menghargai nilai-nilai universal kemanusiaan dan ikatan moral, bahkan jika ikatan tersebut adalah ikatan yang paling mendasar.

Ayat ini bukan hanya catatan sejarah tentang kondisi di Madinah setelah peristiwa Fath Makkah, melainkan juga sebuah kaidah abadi yang mengajarkan umat Islam mengenai prinsip kehati-hatian dalam berinteraksi dengan pihak-pihak yang dikenal tidak memegang janji. Pemahaman mendalam terhadap at taubah 10 memerlukan analisis terhadap dua konsep kunci: Illa (ikatan kekerabatan/persaudaraan) dan Dhimmah (perjanjian atau jaminan perlindungan), dua pilar fundamental yang harusnya dijunjung tinggi dalam setiap interaksi antar manusia, baik dalam konteks pra-Islam maupun Islam.

Ayat ini menegaskan bahwa terdapat sekelompok manusia yang, karena kegelapan hati dan penolakan terhadap kebenaran, telah kehilangan kemampuan untuk menghormati ikatan moral apa pun. Mereka tidak lagi dapat dipercaya, karena sifat dasar mereka adalah melanggar janji. Hal ini penting untuk disadari agar kaum beriman tidak terjebak dalam lingkaran pengkhianatan yang berulang. Kepercayaan adalah mata uang yang mahal, dan ayat ini mengajarkan kita untuk menyimpannya hanya pada pihak-pihak yang memiliki rekam jejak integritas.

Teks Ayat At-Taubah 10

لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ
“Mereka tidak memelihara (hubungan kekerabatan) terhadap orang mukmin, dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. At-Taubah: 10)

II. Analisis Linguistik dan Tafsir Kalimat Kunci

Untuk mencapai kedalaman pemahaman at taubah 10, kita harus mengurai setiap lafaz yang terkandung di dalamnya. Struktur ayat ini sederhana namun padat, memuat hukuman moral dan hukum yang sangat mendasar mengenai karakter musuh yang dihadapkan oleh umat Islam pada masa itu, serta pola karakter yang sama yang mungkin muncul di masa mendatang. Pengulangan struktur penolakan ganda ('tidak memelihara... dan tidak pula mengindahkan...') memberikan penekanan yang kuat.

1. Lā Yarqūbūna (لَا يَرْقُبُونَ) – Mereka Tidak Memelihara

Lafaz Yarqūbūna berasal dari akar kata ra-qā-ba, yang berarti menjaga, mengawasi, memperhatikan, atau menghormati. Dalam konteks ayat ini, maknanya adalah tidak mempedulikan, tidak menjaga kehormatan, atau tidak mengambil kira. Ini menunjukkan bukan sekadar kegagalan memenuhi janji, tetapi sebuah sikap proaktif untuk mengabaikan atau bahkan merusak ikatan yang seharusnya dijaga.

Tafsir klasik menekankan bahwa ketiadaan ‘raqaba’ ini adalah manifestasi dari kurangnya rasa takut kepada Allah dan hilangnya integritas moral. Seseorang yang ‘yarqūb’ akan selalu mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pelanggar yang digambarkan dalam at taubah 10 adalah mereka yang bertindak tanpa pertimbangan moral atau spiritual sama sekali terhadap kaum beriman.

Mereka tidak hanya lalai, tetapi secara sengaja menanggalkan tanggung jawab moral yang melekat pada hubungan antar manusia, khususnya hubungan yang seharusnya dilandasi oleh rasa hormat, sekalipun hubungan tersebut bersifat sementara atau kontraktual. Ketidakpedulian ini adalah ciri utama dari pengkhianatan yang sistematis.

2. Illan (إِلًّا) – Ikatan Kekerabatan atau Tali Persaudaraan

Kata Illan merupakan salah satu istilah yang paling banyak diperdebatkan dalam tafsir. Secara umum, para mufasir membagi makna Illa menjadi tiga penafsiran utama, yang semuanya mengarah pada bentuk ikatan suci atau moral yang seharusnya tidak dilanggar:

a. Ikatan Kekerabatan (Qarābah)

Sebagian ulama, termasuk Mujahid, menafsirkannya sebagai ikatan darah atau hubungan kekerabatan (silsilah). Dalam budaya Arab, ikatan darah adalah jaminan keamanan dan loyalitas. Pelanggaran terhadap Illa berarti mereka tidak menghormati hak-hak kekerabatan, bahkan jika mereka berasal dari suku atau kabilah yang sama dengan kaum beriman, atau bahkan jika mereka memiliki hubungan darah yang dekat. Pengkhianatan ini bersifat total, mengesampingkan norma-norma sosial yang paling mendasar sekalipun.

Dalam konteks Madinah dan Makkah, di mana perselisihan seringkali terjadi dalam satu rumpun keluarga, penolakan terhadap Illa menunjukkan bahwa permusuhan mereka didasarkan pada ideologi (kufur vs iman) yang jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Mereka rela mengorbankan keluarga demi kebencian ideologis mereka terhadap kaum beriman. Ketidakmampuan untuk menghormati darah daging sendiri menunjukkan betapa dalamnya kebencian yang mereka miliki.

b. Ikatan Persahabatan atau Sumpah (Halīf)

Penafsiran lain melihat Illa sebagai ikatan sumpah atau persahabatan lama yang mengikat dua pihak. Sebelum Islam, banyak kabilah yang mengadakan perjanjian halif (aliansi) untuk saling mendukung. Dalam pandangan ini, kaum yang dicela dalam at taubah 10 adalah mereka yang melanggar janji aliansi kuno hanya karena pihak lain telah memeluk Islam. Mereka menolak mengakui persahabatan yang telah terjalin lama hanya karena perbedaan keyakinan. Illa di sini adalah manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas, di luar formalitas perjanjian tertulis.

c. Kewajiban Etis Universal

Penafsiran yang lebih luas melihat Illa sebagai keseluruhan kewajiban etis dan moral yang harus dijunjung tinggi. Ini termasuk rasa malu, integritas, dan penghormatan dasar terhadap hak-hak orang lain. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki moralitas dasar yang mencegah mereka dari melakukan kezaliman. Ini adalah kehampaan moral yang membuat mereka berbahaya dan tidak layak mendapatkan kepercayaan dari kaum beriman.

Kesimpulannya, pelanggaran terhadap Illa dalam at taubah 10 adalah pelanggaran terhadap kepercayaan fundamental yang melandasi peradaban. Ini adalah pengkhianatan terhadap tali kasih yang menyatukan masyarakat, baik yang bersifat genetik maupun sosial.

Simbol Tali Ikatan

Ilustrasi simbolis Ikatan Kekerabatan (Illa) yang seharusnya dijaga.

3. Dhimmah (ذِمَّةً) – Perjanjian dan Jaminan

Kata Dhimmah merujuk pada perjanjian formal, sumpah, atau jaminan keamanan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain. Dhimmah adalah konsep hukum yang sangat kuat dalam Islam. Dalam konteks at taubah 10, Dhimmah berarti perjanjian damai yang telah disepakati antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin.

Pelanggaran terhadap Dhimmah adalah tindakan pengkhianatan politik dan militer yang terang-terangan. Ayat ini secara spesifik merujuk pada kelompok yang telah berulang kali melanggar perjanjian Hudaibiyah atau perjanjian-perjanjian lain yang menjamin keamanan dan batas-batas interaksi. Jika Illa menyangkut moral pribadi, maka Dhimmah menyangkut integritas negara dan masyarakat.

Pentingnya Dhimmah dalam Islam sangat ditekankan, bahkan terhadap non-Muslim. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa barang siapa yang mengkhianati perjanjian (dhimmah) akan mendapatkan ancaman siksa yang berat. Dengan demikian, ketika Allah mencela kelompok tertentu karena tidak memelihara Dhimmah terhadap kaum beriman, ini menunjukkan bahwa pengkhianatan telah menjadi karakter permanen mereka, bukan sekadar kesalahan taktis.

Ayat ini mengajarkan bahwa orang-orang yang digambarkan di sini tidak memiliki etika kontrak. Mereka melihat perjanjian hanya sebagai alat taktis yang dapat dibuang kapan pun menguntungkan mereka. Sifat ini, tidak adanya penghormatan terhadap Dhimmah, adalah yang menjadikan mereka 'Al-Mu'tadun' (orang-orang yang melampaui batas).

4. Wa Ulā'ika Humul Mu‘tadūn (وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ) – Dan Mereka Itulah Orang-orang yang Melampaui Batas

Penutup ayat ini berfungsi sebagai vonis definitif. Al-Mu‘tadūn (yang melampaui batas) adalah mereka yang melewati batas-batas hukum, moral, dan etika. Mereka tidak hanya melanggar, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang melampaui batas kewajaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Pengkhianatan terhadap Illa (ikatan moral) dan Dhimmah (ikatan hukum) secara otomatis menempatkan pelakunya dalam kategori Al-Mu‘tadūn. Ini adalah konsekuensi logis dari tidak adanya rasa hormat dan integritas. Mereka adalah pihak yang memulai agresi dan kezaliman. Penetapan status 'melampaui batas' ini memberikan justifikasi hukum bagi kaum Muslimin untuk mengakhiri hubungan damai dengan mereka dan mengambil tindakan defensif atau represif, karena merekalah yang pertama kali merusak perdamaian.

III. Implikasi Teologis: Integritas Iman dan Loyalitas

At taubah 10, meskipun ditujukan kepada kaum musyrikin yang melanggar janji, memiliki implikasi mendalam bagi kaum beriman sendiri. Ayat ini menetapkan standar integritas yang harus dipegang oleh seorang mukmin, sekaligus berfungsi sebagai peringatan akan bahaya kehilangan kejujuran dalam berinteraksi.

1. Keterkaitan Iman dan Amanah

Islam sangat menekankan bahwa tidak ada iman yang sempurna tanpa amanah (kepercayaan). Seorang mukmin sejati adalah mereka yang memelihara Illa dan Dhimmah, bahkan ketika menghadapi kesulitan atau kerugian pribadi. Ayat ini secara implisit memuji kaum beriman yang menjadi korban, karena mereka adalah pihak yang memegang teguh perjanjian, kontras dengan pihak yang melanggar.

Tindakan melanggar janji, baik itu perjanjian formal maupun ikatan moral sederhana, dianggap sebagai salah satu ciri utama kaum munafik. Hadis-hadis Nabi seringkali menyebutkan bahwa ciri munafik ada tiga, salah satunya adalah jika berjanji dia mengingkarinya. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya mencela musuh eksternal, tetapi juga mengingatkan umat Islam agar tidak meniru sifat pengkhianatan tersebut. Jika seseorang Muslim berperilaku seperti kelompok yang dicela dalam at taubah 10—yaitu mengabaikan ikatan dan perjanjian—maka ia telah mengadopsi sifat dasar musuh ke dalam dirinya.

2. Kewajiban Menjaga Hak Sesama Muslim (Illa Internal)

Meskipun Illa dalam ayat ini merujuk pada konteks umum ikatan kekerabatan, dalam implementasi internal, ia menjadi dasar bagi konsep persaudaraan Islam (ukhuwah). Jika kaum musyrikin yang tercela tidak memelihara Illa bahkan terhadap orang beriman, maka kaum beriman wajib memelihara Illa (ikatan persaudaraan) secara penuh di antara mereka sendiri.

Pelanggaran terhadap Illa internal, seperti ghibah (menggunjing), fitnah, atau memutus silaturahim, adalah perwujudan dari sifat yang dicela dalam ayat ini, meskipun dalam skala yang berbeda. Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari masyarakat beriman adalah kepercayaan mutlak dan loyalitas timbal balik. Ketika kepercayaan itu hilang, struktur masyarakat beriman akan runtuh. At taubah 10 mengajarkan bahwa integritas hubungan adalah fundamental bagi kelangsungan ummah.

3. Fondasi Hubungan Internasional dalam Islam (Dhimmah Eksternal)

Ayat ini juga memberikan fondasi penting bagi hukum hubungan internasional (siyar). Islam adalah agama yang menghargai perjanjian. Bahkan ketika perjanjian dibuat dengan pihak yang berbeda keyakinan, perjanjian tersebut harus dihormati selama pihak lain mematuhinya. Perjanjian hanya dapat dibatalkan (seperti yang terjadi dalam konteks Surah At-Taubah) jika: (a) masa perjanjian telah berakhir, atau (b) pihak lain telah terbukti secara jelas dan berulang kali melakukan pengkhianatan (seperti yang dijelaskan dalam at taubah 10).

Konsep Dhimmah yang diabaikan oleh musuh dalam ayat ini menjadi pedoman bahwa tindakan militer atau pemutusan hubungan diplomatik hanya dapat dibenarkan ketika terdapat pelanggaran mendasar terhadap kontrak, yang diklasifikasikan sebagai I'tidā' (melampaui batas). Tanpa adanya pelanggaran ini, umat Islam wajib menjaga Dhimmah mereka.

Simbol Perjanjian PERJANJIAN DHIMMAH

Ilustrasi simbolis Perjanjian atau Jaminan (Dhimmah) yang harus diindahkan.

IV. Kontras Karakter: Mukmin vs. Mu’tadūn

Ayat at taubah 10 sangat efektif dalam menciptakan kontras karakter yang jelas antara dua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Di satu sisi, ada 'orang mukmin' (fī mu'minin), yang diasumsikan sebagai pihak yang menjunjung tinggi nilai-nilai perjanjian. Di sisi lain, ada 'mereka' (yang tidak memelihara), yang dicap sebagai Al-Mu‘tadūn (pelanggar batas).

1. Sifat Dasar Mukmin: Kepatuhan pada Kontrak

Dalam pandangan Al-Qur'an, seorang mukmin adalah individu yang terikat oleh kontrak ganda: kontrak dengan Allah (syahadat dan ketaatan) dan kontrak dengan sesama manusia (muamalah dan perjanjian). Kepatuhan terhadap kontrak ini—baik yang formal maupun yang moral—adalah bukti keimanan. Ketika kaum musyrikin melanggar Illa dan Dhimmah, mereka melanggar kontrak kemanusiaan, dan otomatis menegaskan kebenaran klaim iman kaum Muslimin, yang berpegang teguh padanya.

Karakteristik utama seorang mukmin yang ditekankan dalam konteks at taubah 10 adalah kesabaran terhadap pengkhianatan dan keistiqamahan dalam menepati janji. Walaupun mereka disakiti dan dikhianati, mereka tidak boleh membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan, kecuali setelah adanya deklarasi pemutusan hubungan yang jelas, sebagaimana yang diatur dalam ayat-ayat selanjutnya dalam Surah At-Taubah.

2. Sifat Dasar Mu’tadūn: Nihilisme Moral

Karakteristik Al-Mu‘tadūn adalah nihilisme moral, yaitu penolakan terhadap semua batasan etis yang mengikat. Mereka menganggap bahwa tujuan (menghancurkan Islam) menghalalkan segala cara, termasuk melanggar ikatan kekerabatan, janji suci, dan sumpah. Sifat ini menjadikan mereka ancaman permanen, karena tidak ada jaminan keamanan yang dapat mereka tawarkan, selain janji kosong yang siap dicabut kapan saja.

Penolakan terhadap Illa menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak terikat oleh norma-norma kemanusiaan yang diakui oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Artinya, permusuhan mereka bukan hanya masalah perbedaan teologis, tetapi masalah karakter dasar yang korup dan tidak beretika. Oleh karena itu, hukum yang berlaku bagi mereka haruslah keras, karena mereka telah menempatkan diri di luar kerangka hukum dan moral universal.

Ayat ini mengajarkan kita bahwa ketika berhadapan dengan entitas yang telah kehilangan kemampuan untuk menghormati perjanjian (baik individu maupun kelompok), diperlukan tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Mereka yang terbukti tidak memelihara Illa dan Dhimmah akan selamanya dicap sebagai Al-Mu‘tadūn, karena pengkhianatan adalah sifat, bukan insiden semata.

V. Penerapan Kontemporer: Integritas dan Krisis Kepercayaan Global

Meskipun at taubah 10 diturunkan dalam konteks konflik militer abad ketujuh, prinsip yang terkandung di dalamnya, yaitu pentingnya integritas dan konsekuensi dari pengkhianatan perjanjian, tetap sangat relevan dalam era modern. Kita hidup dalam dunia di mana krisis kepercayaan (trust crisis) menjadi masalah global, baik dalam hubungan bisnis, politik, maupun sosial.

1. Amanah dalam Kontrak Bisnis dan Keuangan

Dalam Fiqh Muamalah (hukum transaksi Islam), semua kontrak (sewa, jual beli, kemitraan) dianggap sebagai Dhimmah, sebuah janji yang mengikat secara agama. Ayat ini memberikan peringatan keras terhadap praktik bisnis yang tidak etis, seperti penipuan, wanprestasi, atau pelanggaran kontrak yang disengaja. Pengusaha atau pihak yang melanggar kontrak dagang secara berulang-ulang, meskipun ia mengaku beriman, telah meniru karakter Al-Mu‘tadūn yang dicela dalam at taubah 10.

Integritas dalam menunaikan janji finansial dan bisnis adalah cerminan dari iman seseorang. Masyarakat Islam harus berdiri di atas fondasi transaksi yang sangat jujur, di mana janji lisan dianggap sekuat perjanjian tertulis. Melanggar kontrak karena alasan keuntungan semata adalah bentuk penolakan terhadap Dhimmah modern.

Jika kita melihat krisis keuangan global, banyak di antaranya berakar pada hilangnya Dhimmah—lembaga keuangan tidak memelihara janji kepada nasabah, pemerintah melanggar jaminan kepada rakyat, dan pemimpin korporasi mengabaikan etika demi keuntungan pribadi. At taubah 10 menegaskan bahwa pelanggaran perjanjian ini, baik skala kecil maupun besar, adalah tindakan yang melampaui batas (I'tidā').

2. Memelihara Illa dalam Masyarakat Plural

Dalam masyarakat yang semakin plural, menjaga Illa (ikatan persaudaraan dan kemanusiaan) menjadi vital. Meskipun ayat ini secara spesifik merujuk pada musuh yang memerangi, prinsip dasarnya adalah menghormati ikatan kemanusiaan. Dalam konteks modern, Illa dapat diperluas maknanya menjadi ikatan kewarganegaraan, hak asasi manusia, dan rasa saling menghormati antara kelompok yang berbeda.

Ketika sebuah kelompok, atas nama ideologi atau politik, secara sistematis menolak hak-hak dasar kelompok lain, atau memutus silaturahim serta persaudaraan hanya karena perbedaan pandangan, mereka menunjukkan sikap yang serupa dengan mereka yang dicela dalam at taubah 10. Kehilangan kemampuan untuk melihat pihak lain sebagai sesama manusia, terlepas dari keyakinan, adalah wujud pengabaian terhadap Illa.

Seorang mukmin dituntut untuk menjaga persaudaraan (ukhuwah) dan tidak menjadi penyebab perpecahan. Jika musuh saja tidak memelihara ikatan kepada orang beriman, maka orang beriman harus menunjukkan standar etika yang lebih tinggi dengan memelihara ikatan terhadap semua orang yang berjanji damai. Etika at taubah 10 adalah penekanan pada keunggulan moral kaum beriman, yang harus selalu memegang janji.

3. Krisis Kepemimpinan dan Pelanggaran Dhimmah Politik

Dalam bidang politik, janji-janji kampanye, konstitusi, dan traktat internasional adalah bentuk-bentuk Dhimmah. Pemimpin yang mengkhianati janji kepada rakyatnya atau melanggar konstitusi secara terang-terangan adalah Mu‘tadūn dalam terminologi modern. Ayat ini menjadi pengingat bagi setiap pemegang kekuasaan bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab untuk menghormati kontrak sosial.

Ketika perjanjian internasional dilanggar sepihak tanpa adanya pengkhianatan yang jelas dari pihak lain, maka pelanggar tersebut jatuh dalam kategori yang dicela oleh at taubah 10. Islam mengajarkan bahwa integritas politik adalah prasyarat utama untuk kepemimpinan yang sah. Pengkhianatan politik merusak fondasi negara dan mencerminkan sifat dasar yang tidak layak mendapatkan kepercayaan.

V.I. Elaborasi Mendalam Mengenai Konsekuensi Pengkhianatan

Mengapa Allah SWT memberikan penekanan yang begitu kuat pada pelanggaran Illa dan Dhimmah? Jawabannya terletak pada fungsi perjanjian dalam membangun peradaban. Tanpa kepercayaan, tidak ada perdagangan, tidak ada keamanan, dan tidak ada kerjasama. Pengkhianatan adalah racun yang menghancurkan semua struktur sosial dan ekonomi.

Ketika satu pihak secara konsisten menunjukkan bahwa mereka tidak akan memelihara Illa (ikatan moral) maupun Dhimmah (ikatan formal), maka komunikasi yang rasional dan interaksi damai menjadi mustahil. Mereka menempatkan diri mereka dalam posisi sebagai pelanggar abadi (Mu‘tadūn). Ini adalah pembenaran teologis dan hukum bagi umat Islam untuk mengambil tindakan, bukan sebagai agresi, melainkan sebagai respons terhadap pengkhianatan yang berulang kali dan terang-terangan.

Tafsir mengenai at taubah 10 memberikan izin bagi umat Islam untuk bersikap tegas, tetapi juga memberikan batas yang sangat jelas: Ketegasan itu hanya boleh diterapkan kepada mereka yang telah membuktikan diri mereka sebagai pengkhianat sejati, yang mana ciri-ciri mereka adalah tidak adanya penghormatan terhadap janji, baik yang bersifat kekerabatan maupun kontraktual. Ini memastikan bahwa tindakan keras hanya diarahkan kepada pihak yang benar-benar memulai kezaliman.

V.II. Etika Membangun Kepercayaan Ulang

Ayat ini juga menyiratkan pentingnya membangun kembali kepercayaan. Jika suatu kelompok telah menjadi Mu‘tadūn, butuh upaya luar biasa dan bukti nyata perubahan karakter sebelum mereka dapat dipercaya kembali. Islam menetapkan bahwa integritas harus diverifikasi melalui tindakan, bukan sekadar kata-kata. At taubah 10 adalah filter moral yang membedakan antara musuh sejati (yang tidak akan pernah memegang janji) dan pihak yang mungkin hanya membuat kesalahan (yang masih bisa diampuni dan diberi kesempatan untuk bertaubat).

Dalam hubungan antar individu, jika kita dikhianati, ayat ini memberi kita pembenaran untuk menarik kepercayaan. Namun, ia juga mengajarkan bahwa kitalah yang harus menjadi pihak yang menjaga Illa dan Dhimmah, bahkan ketika orang lain gagal. Sikap seorang mukmin harus selalu superior dalam etika, tidak menodai nama baik Islam dengan meniru sifat pengkhianat, kecuali dalam keadaan darurat yang dibenarkan secara syar'i.

VI. Nilai-Nilai Abadi dari At-Taubah 10

Pelajaran yang terkandung dalam at taubah 10 melampaui konteks sejarahnya yang spesifik. Ayat ini merupakan deklarasi abadi tentang pentingnya kejujuran, integritas, dan konsekuensi fatal dari pengkhianatan yang disengaja. Pengabaian terhadap Illa dan Dhimmah adalah akar dari segala kezaliman (I'tidā').

1. Pentingnya Audit Integritas

Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk melakukan "audit integritas" terhadap pihak-pihak yang berinteraksi dengannya, baik dalam skala individu, kelompok, maupun negara. Apakah pihak tersebut memiliki rekam jejak dalam menghormati ikatan kekerabatan? Apakah mereka memiliki rekam jejak dalam menepati perjanjian tertulis? Jika jawaban atas kedua pertanyaan ini negatif, maka berdasarkan prinsip at taubah 10, kehati-hatian harus ditingkatkan, karena mereka cenderung untuk melampaui batas.

Audit integritas ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kecurigaan yang tidak sehat, tetapi untuk membangun kewaspadaan yang cerdas (fathānah), yang merupakan salah satu sifat terpuji. Seorang mukmin tidak boleh menjadi korban pengkhianatan berulang karena kelalaian atau naive. Mereka harus mampu membaca karakter pihak lain melalui tindakan mereka, sebagaimana firman Allah ini mengungkap karakter sejati Al-Mu‘tadūn.

2. Memelihara Dhimmah adalah Jihad Moral

Dalam dunia yang penuh dengan janji-janji palsu, memelihara Dhimmah menjadi bentuk jihad moral tertinggi. Ini adalah perjuangan melawan kecenderungan diri untuk mencari keuntungan sesaat dengan melanggar komitmen. Ketika seorang mukmin mempertahankan janjinya meskipun merugikan secara materi, ia telah menjalankan ajaran inti dari ayat at taubah 10, menjauhkan dirinya dari ciri-ciri orang yang melampaui batas.

Sikap ini—memegang teguh janji—adalah salah satu alat dakwah terkuat yang dimiliki umat Islam. Integritas kita dalam bisnis, politik, dan hubungan sosial menjadi kesaksian hidup tentang kebenaran ajaran Islam, yang menempatkan kesetiaan pada perjanjian setara dengan ketaatan spiritual.

3. Konsekuensi Hukum dan Akhirat

Pelabelan sebagai Al-Mu‘tadūn tidak hanya memiliki konsekuensi hukum di dunia (pemutusan hubungan, perlakuan keras), tetapi juga konsekuensi berat di akhirat. Melanggar Illa dan Dhimmah adalah dosa besar karena menciderai hak Allah dan hak manusia secara bersamaan. Hak Allah karena melanggar perintah-Nya untuk jujur, dan hak manusia karena menyebabkan kerugian dan ketidakadilan.

Oleh karena itu, setiap Muslim harus merenungkan kembali arti janji dan komitmen dalam hidupnya. Apakah kita telah memelihara ikatan persaudaraan dan kekerabatan? Apakah kita menepati janji kita kepada pasangan, anak-anak, rekan kerja, dan masyarakat? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan sejauh mana kita telah menjauhkan diri dari sifat Al-Mu‘tadūn yang digambarkan dalam at taubah 10.

Prinsip yang ditekankan dalam ayat ini adalah bahwa pemeliharaan perjanjian bukan sekadar etika opsional, melainkan fondasi iman yang tidak dapat diganggu gugat. Mereka yang tidak memelihara ikatan suci dan perjanjian adalah musuh bagi tatanan moral, dan itulah inti pesan Surah At-Taubah.

Memelihara Illa dan Dhimmah berarti membangun benteng kepercayaan yang kokoh di tengah badai pengkhianatan. Itu adalah tanggung jawab yang harus dipegang teguh oleh setiap individu yang mengaku beriman. Ketika integritas menjadi ciri khas umat, maka pertolongan Allah akan datang, dan benteng pertahanan moral tidak akan pernah runtuh, karena mereka telah menjalankan tuntunan ilahi yang terperinci dalam at taubah 10, membedakan mereka secara jelas dari mereka yang melampaui batas.

Ayat ini adalah peringatan yang bersifat permanen: jangan pernah meniru atau menoleransi pengkhianatan. Sebaliknya, jadilah tiang penyangga bagi kebenaran, kejujuran, dan kesetiaan terhadap janji, karena inilah jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah SWT. Keberhasilan komunitas beriman sangat bergantung pada seberapa baik mereka mampu mewujudkan integritas absolut ini dalam setiap aspek kehidupan mereka, menjadikannya pembeda hakiki dari karakter para pelanggar perjanjian yang dicela. Integritas inilah yang menjadi jaminan atas janji Allah bagi kaum beriman.

🏠 Homepage