Kajian Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 114

Prinsip Tauhid, Loyalitas, dan Batasan Istighfar dalam Kisah Nabi Ibrahim AS

I. Pembukaan dan Pentingnya At-Taubah 114

Al-Qur'an adalah petunjuk yang komprehensif, tidak hanya memuat hukum-hukum syariat, tetapi juga pelajaran historis yang mendalam. Salah satu pelajaran terpenting mengenai batasan spiritual dan loyalitas keimanan (Al-Wala wal-Bara) termaktub dalam Surah At-Taubah, ayat 114. Ayat ini mengisahkan puncak perjuangan batin seorang Khalilullah, Nabi Ibrahim AS, dalam menghadapi kekufuran yang paling dekat dengannya: ayahnya sendiri, Azar.

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Surah Bara'ah (Pemutusan Hubungan), secara umum fokus pada pemurnian barisan umat Islam dan penentuan batas antara keimanan dan kemunafikan atau kekufuran. Dalam konteks ini, kisah Ibrahim AS menjadi tolok ukur universal tentang bagaimana seorang mukmin harus memprioritaskan Tauhid di atas segala ikatan duniawi, termasuk hubungan darah yang paling erat.

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِّلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۗ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan tidaklah permintaan ampunan (istighfar) Ibrahim untuk bapaknya, melainkan hanyalah karena suatu janji yang telah diucapkannya kepada bapaknya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa sesungguhnya bapaknya adalah musuh Allah, (maka) Ibrahim pun berlepas diri (tabarra’a) darinya. Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang sangat lembut hati lagi penyantun.

Ayat mulia ini memberikan jawaban definitif mengenai batas-batas doa dan harapan bagi mereka yang meninggal dalam keadaan syirik. Ia menjelaskan bahwa harapan Nabi Ibrahim untuk Azar hanya bersifat temporer dan bersyarat, dan ketika syarat tersebut gugur — yakni ketika kejelasan mutlak (tabayyun) datang bahwa Azar adalah musuh Allah—maka Ibrahim segera mengambil sikap berlepas diri, yang merupakan inti dari Tauhid.

Cahaya Petunjuk Ilahi HIDAYAH

(Gambar 1: Representasi Petunjuk dan Cahaya Ilahi yang memisahkan kebenaran dan kesesatan.)

II. Analisis Tafsir Lafzi (Word-by-Word Exegesis)

Pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 114 memerlukan kajian teliti atas setiap frasa kunci yang digunakan dalam bahasa Arabnya. Tiga kata kunci utama yang membentuk inti hukum dan hikmah dalam ayat ini adalah Istighfar, Tabayyan, dan Tabarra'a.

A. Makna 'Istighfar' (Permintaan Ampunan)

Istighfar (استغفار) secara harfiah berarti memohon pengampunan kepada Allah SWT, yang mencakup penghapusan dosa dan perlindungan dari akibatnya. Dalam konteks ayat ini, istighfar Nabi Ibrahim adalah doa spesifik agar Azar diampuni dan diselamatkan dari azab api neraka. Para ulama tafsir menegaskan bahwa jenis istighfar inilah yang dilarang bagi kaum mukminin kepada mereka yang meninggal dalam syirik.

Ayat tersebut menekankan bahwa istighfar Ibrahim bukanlah tanpa alasan, melainkan karena adanya "مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ" (suatu janji yang diucapkannya kepadanya). Janji ini merujuk pada pernyataan Ibrahim kepada ayahnya yang tercantum dalam Surah Maryam ayat 47:

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Ibrahim berkata: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku." (QS. Maryam: 47)

Janji ini bersifat kondisional. Ibrahim berjanji akan memintakan ampunan sebagai bentuk kelembutan (hilm) dan usaha terakhir untuk menarik ayahnya kepada Tauhid, selama masih ada harapan atau selama ia belum mendapatkan kejelasan mutlak dari Allah bahwa Azar tidak akan beriman.

B. Konsep 'Tabayyan' (Kejelasan Mutlak)

Frasa "فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ" (Maka tatkala jelas baginya) adalah titik balik dalam ayat ini. Tabayyan (تبيّن) berarti menjadi sangat jelas, nyata, dan tidak diragukan lagi. Apa yang menjadi jelas bagi Ibrahim AS? Bahwa "أَنَّهُ عَدُوٌّ لِّلَّهِ" (sesungguhnya bapaknya adalah musuh Allah).

C. Prinsip 'Tabarra’a' (Berlepas Diri)

Konsekuensi langsung dari kejelasan (tabayyan) adalah tindakan Ibrahim AS: "تَبَرَّأَ مِنْهُ" (maka Ibrahim pun berlepas diri darinya). Tabarra’a (تبرّأ) adalah bentuk paling ekstrem dari disownment atau pemutusan hubungan, yang menjadi pilar dalam ajaran Al-Wala wal-Bara.

Berlepas diri dari Azar ini bukan berarti meninggalkan kasih sayang insani, melainkan meninggalkan hubungan spiritual dan harapan keselamatan di Akhirat. Ini adalah pengumuman bahwa keimanan Azar telah ditolak oleh Allah, dan oleh karena itu, Ibrahim tidak lagi bertanggung jawab atas kondisi spiritualnya dan tidak lagi memintakan ampunan baginya.

Tindakan tabarra'a ini menempatkan Ibrahim sebagai teladan utama bagi seluruh umat manusia dalam mempraktikkan Tauhid murni, di mana tidak ada kompromi sedikit pun terhadap syirik, bahkan jika pelakunya adalah orang tua sendiri.

D. Sifat Ibrahim: Awwahun Halim (Sangat Lembut Hati lagi Penyantun)

Ayat ditutup dengan pujian Allah: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ". Kata Awwah (أوّاه) memiliki beberapa makna dalam tafsir, yang semuanya merujuk pada kedekatan spiritual: orang yang banyak berdoa, orang yang sering mengadu kepada Allah, atau orang yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Halim (حليم) berarti penyantun, sabar, dan tidak mudah marah.

Penghargaan ini sangat penting karena menjustifikasi tindakan Ibrahim sebelumnya. Allah menegaskan bahwa pelepasan diri Ibrahim dari Azar bukanlah karena kekerasan hati atau ketidakpedulian, melainkan karena ketaatan mutlak terhadap perintah Ilahi. Justru karena sifatnya yang lembut (awwah) dan penyantun (halim) itulah, ia telah berusaha sekuat tenaga (melalui janji istighfar) sebelum akhirnya dipaksa untuk berlepas diri berdasarkan wahyu.

III. Prinsip Al-Wala wal-Bara dan Implikasi Hukum

At-Taubah 114 berfungsi sebagai dasar hukum yang fundamental dalam menentukan hubungan spiritual antara seorang mukmin dengan kekufuran. Ayat ini, bersama dengan ayat 113 dari surah yang sama, menetapkan larangan keras untuk memohon ampunan bagi orang-orang musyrik yang meninggal dalam keadaan syirik.

A. Larangan Istighfar Bagi Orang Musyrik

Ayat 113 Surah At-Taubah mendahului dan memperkuat makna ayat 114:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (istighfar) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni-penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah: 113)

Para ulama sepakat (Ijma') bahwa larangan ini bersifat umum dan mengikat. Ayat 114 datang untuk menjelaskan bahwa bahkan seorang Ibrahim, sang bapak para Nabi, yang dikenal karena kelembutan hatinya, tidak terkecuali dari hukum ini. Tindakan Ibrahim memohon ampunan (sebelum tabayyun) adalah pengecualian yang spesifik karena janji dan harapan hidayah, namun ketika kepastian (tabayyun) datang, ia segera tunduk pada hukum Ilahi.

B. Al-Wala wal-Bara (Loyalitas dan Berlepas Diri)

Ayat ini adalah salah satu rukun utama dari konsep Al-Wala wal-Bara. Konsep ini menuntut agar loyalitas (Al-Wala) seorang mukmin hanya diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Sementara Berlepas Diri (Al-Bara) adalah menjauhi dan menolak kekufuran serta syirik.

Kisah Ibrahim mengajarkan bahwa batas pemisah antara Al-Wala dan Al-Bara adalah Akidah. Ketika hubungan darah bertentangan dengan Tauhid, maka Tauhid wajib dimenangkan. Dalam kasus Azar, ikatan darah terputus secara spiritual karena dia adalah 'adūwun lillāh (musuh Allah).

B.1. Perbedaan antara Doa Umum dan Istighfar Khusus

Penting untuk membedakan antara doa umum dan istighfar spesifik. Larangan dalam ayat 113 dan 114 adalah khusus mengenai *istighfar* (memohon ampunan dosa dan keselamatan neraka) bagi orang yang mati dalam kekufuran. Namun, para ulama membahas apakah boleh mendoakan hidayah atau kebaikan duniawi bagi orang non-muslim yang masih hidup.

C. Sikap Ibrahim dalam Menghadapi Azar

Untuk memahami kedalaman perjuangan Ibrahim, kita harus meninjau kembali interaksinya dengan Azar. Kisah ini tersebar di beberapa surah, menunjukkan langkah-langkah persuasif yang dilakukan Ibrahim:

  1. **Nasihat Lembut (Surah Maryam):** Ibrahim menggunakan bahasa yang santun, memanggil Azar "Wahai bapakku," dan menawarkan petunjuk dengan argumen logis terhadap berhala. Di sinilah janji istighfar diberikan, sebagai bentuk belas kasihan dan harapan.
  2. **Ancaman dan Penolakan (Surah Al-An'am):** Ketika Azar menolak dan mengancam untuk merajam Ibrahim, Ibrahim tetap mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan memohon ampunan (sebelum tabayyun).
  3. **Konfirmasi Ilahi (Surah At-Taubah 114):** Ketika Azar meninggal dalam keadaan kufur (atau setelah Ibrahim diyakinkan melalui wahyu bahwa tidak ada harapan hidayah baginya), barulah tindakan berlepas diri itu terjadi.

Keseluruhan rangkaian ini menunjukkan bahwa tabarra’a (berlepas diri) bukanlah pilihan pertama Ibrahim, melainkan hasil akhir dari ketaatan penuh setelah semua upaya persuasif berakhir dan wahyu Ilahi turun.

Timbangan Keadilan Spiritual KUFUR IMAN

(Gambar 2: Timbangan Akidah, yang menunjukkan keimanan lebih tinggi dari ikatan darah.)

IV. Hikmah Mendalam dan Pelajaran Abadi dari Ayat

At-Taubah 114 memberikan pelajaran yang tidak lekang oleh waktu, menekankan bahwa dalam Islam, standar kebenaran tertinggi adalah Tauhid, bukan faktor genetik atau sosial. Kisah Ibrahim AS diabadikan sebagai cetak biru bagi setiap mukmin untuk menavigasi konflik antara cinta keluarga dan ketaatan kepada Allah.

A. Prioritas Akidah di Atas Ikatan Darah

Pelajaran terpenting adalah penegasan bahwa ikatan keimanan (ukhuwwah imaniyyah) jauh lebih kuat dan lebih utama dibandingkan ikatan darah (ukhuwwah nasabiyyah). Ketika seseorang menjadi 'musuh Allah' karena kekufuran, maka semua hubungan spiritual harus diputuskan. Jika Tauhid dikompromikan demi ikatan keluarga, maka fondasi keimanan itu sendiri akan runtuh.

Hal ini juga terlihat pada hari Kiamat, di mana hubungan darah tidak berguna (QS. Al-Mu'minun: 101). Rasulullah SAW bersabda bahwa seseorang akan bersama dengan yang dicintainya; cinta yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan cinta karena Akidah.

B. Fungsi Wahyu sebagai Penentu Kebenaran

Ibrahim AS adalah seorang Nabi yang dijamin oleh Allah, namun ia tetap menunggu tabayyan (kejelasan mutlak) melalui wahyu sebelum mengambil keputusan final untuk berlepas diri. Ini mengajarkan kepada umat Islam:

C. Pentingnya Sifat Awwahun Halim

Penggambaran Ibrahim sebagai Awwah Halim memberikan keseimbangan teologis. Ayat ini mencegah pemahaman ekstrem bahwa berlepas diri dari kekufuran harus dilakukan dengan kekasaran atau kebencian pribadi.

Seorang mukmin yang berlepas diri dari kesesatan harus tetap memiliki kelembutan hati (Awwah), yaitu berduka atas kesesatan orang lain dan senantiasa berharap mereka mendapatkan hidayah (sebelum mereka meninggal dalam kekufuran). Tindakan tabarra’a adalah penolakan terhadap ideologi syirik, bukan manifestasi kekejaman pribadi.

Kelembutan Ibrahimlah yang mendorongnya untuk berjanji memintakan ampunan. Ini adalah manifestasi dari sifat Halim—kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi penolakan dan permusuhan dari ayahnya sendiri. Ayat ini memuji sifat tersebut, meskipun istighfar itu akhirnya dilarang.

D. Hubungan dengan Surah Al-Mumtahanah

Prinsip yang sama diperkuat dalam Surah Al-Mumtahanah (Wanita yang Diuji), di mana Allah menjadikan Ibrahim dan umatnya sebagai contoh teladan (uswah hasanah) dalam berlepas diri dari kaum musyrikin.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekufuran) kamu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS. Al-Mumtahanah: 4)

At-Taubah 114 secara spesifik menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi yang paling emosional—hubungan anak-ayah—prinsip tabarra’a (berlepas diri) harus diterapkan tanpa pengecualian, sejalan dengan teladan sempurna Ibrahim AS.

V. Elaborasi Tafsir Ulama Klasik Mengenai Tabayyun

Para mufassirin (ahli tafsir) telah memberikan penekanan yang sangat rinci mengenai apa yang dimaksud dengan tabayyun (kejelasan) dalam konteks At-Taubah 114. Kejelasan ini bukan hanya bersifat faktual, tetapi memiliki dimensi teologis yang memastikan bahwa istighfar bagi orang musyrik adalah mustahil diterima.

A. Pandangan Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketika Allah SWT melarang Rasulullah SAW untuk memohon ampunan bagi pamannya, Abu Thalib, maka Allah menurunkan At-Taubah 113 dan 114. Ini menunjukkan bahwa kisah Ibrahim berfungsi sebagai penutup argumen. Ibnu Katsir menegaskan bahwa tabayyun (kejelasan) bagi Ibrahim terjadi setelah kematian Azar, ketika Allah mewahyukan kepadanya bahwa Azar meninggal dalam kekufuran dan syirik, dan ia adalah penghuni api neraka. Dengan demikian, istighfar untuk Azar menjadi sesuatu yang sia-sia dan bertentangan dengan kehendak Ilahi.

B. Pandangan Al-Qurthubi

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya memperluas makna tabayyun. Ia mengatakan bahwa kejelasan itu datang dalam dua bentuk:

  1. **Tanda-tanda Saat Hidup:** Azar terus menerus menolak dakwah Ibrahim, mengancam, dan bersikeras menyembah berhala, bahkan hingga akhir hayatnya.
  2. **Wahyu Khusus:** Konfirmasi dari Allah SWT setelah Azar wafat, bahwa ia benar-benar mati sebagai musyrik.

Al-Qurthubi menekankan bahwa istighfar hanya diperbolehkan jika ada peluang taubat. Setelah kematian dalam keadaan syirik, peluang taubat tertutup, dan tabayyun pun menjadi final, sehingga tabarra’a menjadi kewajiban. Ini adalah prinsip 'Penutupan Pintu Harapan' (Sadd adz-Dzara’i) dalam konteks akidah.

C. Pandangan Fakhruddin Ar-Razi

Ar-Razi, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, membahas secara mendalam mengapa Ibrahim diizinkan beristighfar pada awalnya dan mengapa kemudian dilarang. Ar-Razi berpendapat bahwa janji istighfar itu adalah bentuk usaha maksimal (iltimas) dari seorang anak yang berbakti, yang berharap bahwa Allah mungkin akan menerima taubat ayahnya *sebelum* ajal menjemputnya. Namun, ketika Azar meninggal dalam keadaan menentang, maka beristighfar setelah itu adalah sama dengan menentang hukum ketuhanan (takdir) yang telah ditetapkan Allah atas Azar. Tabarra’a adalah penyerahan total (istislam) kepada kehendak Allah.

D. Dampak Tabayyun pada Praktik Ibadah

Para ulama menyimpulkan bahwa tabayyun dalam ayat ini mendasari hukum fiqh yang mengatur:

Seluruh aspek hukum ini berakar pada satu titik: Tabayyan memastikan bahwa orang tersebut adalah ashab al-Jahim (penghuni Jahanam), dan memohon ampunan untuk penghuni Jahanam adalah sia-sia karena bertentangan dengan ketetapan Allah.

VI. Pembentukan Identitas Keimanan Melalui Kisah Ibrahim

Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai Abu al-Anbiya (Bapak para Nabi) dan Khalilullah (Kekasih Allah). Posisinya dalam Islam sangat sentral. Kisah beliau dengan Azar, yang diabadikan di At-Taubah 114, bukanlah sekadar narasi sejarah, melainkan instrumen pembentukan identitas bagi setiap umat yang mengaku berafiliasi kepada millah Ibrahim.

A. Millah Ibrahim dan Pemurnian Tauhid

Allah SWT memerintahkan umat Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti Millah Ibrahim Hanifa (Agama Ibrahim yang lurus, cenderung kepada Tauhid, dan menjauhi Syirik). Inti dari Millah Ibrahim adalah pemurnian ibadah hanya kepada Allah. Ayat 114 menunjukkan manifestasi paling ekstrem dari pemurnian ini: membuang semua ikatan yang mencoba mengotori Tauhid, termasuk ikatan keluarga yang paling suci.

Ibrahim AS mengajarkan bahwa keimanan sejati menuntut pengorbanan ikatan emosional terbesar. Kepatuhan totalnya—dari menghancurkan berhala (berlepas diri dari perbuatan syirik) hingga berlepas diri dari ayahnya (berlepas diri dari pelaku syirik)—adalah blueprint Tauhid yang utuh.

B. Ujian Terberat Kekasih Allah

Para Nabi diuji dengan ujian terberat. Ujian bagi Ibrahim bukanlah kekeringan, atau berhadapan dengan Raja Namrud, atau bahkan menyembelih putranya sendiri. Ujian terberatnya adalah Azar. Mengapa? Karena Azar adalah ayah kandung, yang secara fitrah harus dihormati dan dicintai. Namun, ketika ayah kandung menempatkan dirinya sebagai musuh Allah, konflik batin yang dihadapi Ibrahim mencapai puncisnya.

Ayat ini berfungsi sebagai penghiburan bagi Nabi Muhammad SAW, yang juga merasakan pedihnya istighfar bagi pamannya (Abu Thalib). Kisah Ibrahim meyakinkan beliau bahwa tindakan berlepas diri dari Abu Thalib setelah turunnya larangan adalah sejalan dengan sunnah para Nabi terdahulu dan merupakan tuntutan absolut dari Tauhid.

C. Implementasi Kontemporer Prinsip Tabarra’a

Dalam kehidupan modern, penerapan tabarra’a tidak selalu berarti memutus total hubungan sosial dengan non-muslim. Sebagaimana dijelaskan oleh Surah Al-Mumtahanah, Allah tidak melarang umat Islam berbuat baik (birr) dan berlaku adil (qist) kepada non-muslim yang tidak memerangi agama kita.

Namun, dalam konteks At-Taubah 114, tabarra’a adalah sikap spiritual dan akidah:

  1. **Pemutusan Loyalitas Akidah:** Tidak boleh ada dukungan, kecintaan, atau harapan spiritual bagi kekufuran.
  2. **Kejelasan Sikap:** Harus jelas bahwa syirik dan kekufuran adalah kesesatan yang ditentang oleh Islam.
  3. **Batasan Doa:** Larangan mutlak mendoakan ampunan bagi mereka yang meninggal dalam keadaan musyrik.

Sikap ini menjamin kemurnian hati seorang mukmin dari pengaruh pemikiran atau ideologi yang bertentangan dengan Tauhid, menjaga agar hati selalu berlabuh pada ketaatan kepada Allah semata.

VII. Penutup dan Penguatan Pesan Tauhid

Ayat 114 dari Surah At-Taubah adalah mercusuar kejelasan akidah. Ia merangkum perjuangan Nabi Ibrahim AS dan menetapkan batas yang jelas antara keimanan dan kekufuran. Dari ayat ini, kita mempelajari bahwa istighfar (permohonan ampunan) memiliki batasan yang ketat, yaitu hanya untuk kaum mukminin, karena Allah tidak mengampuni dosa syirik jika dibawa mati.

Ibrahim AS, meskipun memiliki hati yang sangat lembut (awwahun halim), tidak ragu untuk menjalankan perintah Allah, berlepas diri dari ayahnya sendiri segera setelah kejelasan (tabayyun) tentang kekufuran Azar datang. Tindakan ini merupakan penegasan bahwa tidak ada kasih sayang yang lebih besar daripada kasih sayang kepada Allah SWT dan ketaatan kepada hukum-Nya.

Bagi umat Islam, kisah ini mengajarkan nilai absolut Tauhid. Kita diwajibkan untuk mencintai keluarga dan orang tua kita di dunia, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka (selama mereka tidak memerintahkan kita berbuat syirik). Namun, ketika urusan akhirat dipertaruhkan, loyalitas harus mutlak diarahkan kepada Allah, tanpa kompromi. Inilah esensi dari Millah Ibrahim yang lurus, yang menjadi fondasi bagi seluruh ajaran Islam.

Simbol Millah Ibrahim TAUHEED

(Gambar 3: Ka'bah sebagai simbol Tauhid dan Millah Ibrahim.)

🏠 Homepage