Al-Qur'an adalah petunjuk yang komprehensif, bukan hanya berisi perintah ibadah ritual, namun juga menetapkan prinsip-prinsip moral, sosial, dan nilai-nilai perjuangan. Salah satu ayat yang secara eksplisit memberikan jaminan ganjaran yang tak terhingga atas setiap tetes keringat, rasa lapar, kelelahan, dan harta yang dikeluarkan di jalan Allah SWT adalah Surah At-Taubah ayat 120.
Ayat ini diturunkan dalam konteks yang sangat spesifik, yaitu saat kaum Muslimin mempersiapkan diri untuk ekspedisi yang sangat berat, Dzat al-'Usrah, atau Perang Tabuk. Namun, hikmahnya melampaui batas waktu dan medan perang; ia menjadi pondasi teologis yang menegaskan bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan sedikit pun dari upaya hamba-Nya yang didasari keimanan dan ketulusan.
Kajian ini akan mengupas tuntas makna mendalam ayat 120 dari Surah At-Taubah, menganalisis implikasi linguistik, konteks sejarah penurunannya, hingga relevansi spiritualnya bagi umat Islam di era kontemporer. Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan pemahaman bahwa setiap kesulitan yang ditanggung demi meninggikan agama Allah akan dicatat sebagai amal saleh yang sempurna, bahkan jika hasil yang diharapkan secara duniawi tidak tercapai.
(Ilustrasi: Perjuangan dan Kelelahan di Tengah Padang Pasir, Simbol Perjalanan Tabuk)
Untuk memahami kedalaman janji yang terkandung dalam ayat ini, kita harus merujuk kepada konteks penurunannya. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa ayat 120, bersama beberapa ayat sebelumnya dan sesudahnya dalam Surah At-Taubah, diturunkan berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan Perang Tabuk (Dzat al-'Usrah).
Ekspedisi Tabuk dikenal sebagai 'Jihad al-'Usrah' (Perang Kesusahan) karena empat faktor utama yang menjadikan perjalanan ini sangat sulit, yang kemudian menjadi justifikasi mengapa pahala atas setiap penderitaan dicatat secara detail oleh Allah SWT. Faktor-faktor tersebut meliputi:
Ayat ini secara tajam mengkritik sikap orang-orang munafik dan Arab Badui di sekitar Madinah yang memilih untuk tinggal, memprioritaskan kenyamanan diri sendiri ("mencintai diri mereka sendiri") di atas kesulitan yang ditanggung Rasulullah SAW dan para sahabat yang setia. Ayat ini kemudian menekankan bahwa segala penderitaan yang dialami para pejuang (mujahidin) bukanlah sia-sia, melainkan merupakan investasi abadi.
Ayat 120 menyebutkan lima jenis kesulitan atau tindakan yang dijamin Allah akan dicatat sebagai 'amal saleh. Setiap kata memiliki makna linguistik yang dalam dan spesifik, menunjukkan bahwa Allah menghitung penderitaan sekecil apa pun.
Ini merujuk pada rasa haus yang menyiksa akibat kekurangan air. Dalam konteks Tabuk, haus adalah ujian terbesar karena panas yang menyengat. Haus bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup. Allah mencatat rasa haus ini sebagai pahala yang setara dengan ibadah besar lainnya, menunjukkan betapa berharganya ketahanan fisik yang didorong oleh niat suci.
Kata ini lebih luas daripada sekadar lelah biasa; ia mencakup segala jenis kesulitan fisik yang dihasilkan dari perjalanan, pekerjaan berat, atau perjuangan yang berkepanjangan. Ini bisa berupa sakit otot, demam, kurang tidur, atau beban mental yang timbul karena tugas yang sulit. Naṣab menggarisbawahi bahwa Allah tidak hanya melihat hasil, tetapi juga proses melelahkan yang ditempuh hamba-Nya. Kelelahan yang dialami demi ketaatan adalah kemuliaan, bukan kelemahan.
Makhmaṣah merujuk pada kondisi kelaparan yang ekstrem, di mana perut kosong dan tubuh kekurangan nutrisi. Ini adalah pengorbanan yang mendasar. Kelaparan dalam konteks perjuangan memiliki dimensi spiritual yang kuat, mengingatkan pada puasa. Namun, dalam konteks ini, kelaparan tersebut tidak direncanakan melainkan ditanggung sebagai konsekuensi dari pengabdian di jalan Allah.
Poin ini sangat penting karena menunjukkan bahwa bahkan tindakan yang bersifat strategis atau psikologis pun dicatat sebagai amal saleh. 'Menginjakkan kaki' bisa berarti menduduki suatu wilayah, melaksanakan patroli, atau sekadar melakukan pergerakan yang menimbulkan ketakutan atau kemarahan di hati musuh. Ini mengajarkan bahwa motivasi Allah mencatat pahala bukan hanya pada kesulitan fisik, tetapi juga pada dampak positif (sekalipun hanya dampak psikologis) terhadap keberlangsungan misi Islam.
Nailan di sini berarti mendapatkan keuntungan, baik dalam bentuk rampasan (ghanimah), kemenangan, atau sekadar menimpakan kerugian atau pukulan telak kepada musuh. Ayat ini menegaskan bahwa keberhasilan nyata dalam misi, sekecil apa pun, juga dicatat sebagai amal saleh. Ini adalah keseimbangan antara kesulitan (dhama', nasab, makhmaṣah) dan keberhasilan (nailan), semuanya berada dalam timbangan pahala yang sama.
Inti dari ayat 120 terletak pada frase "إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ" (Illā kutiba lahum bihi ‘amalun ṣāliḥun), yang berarti: "melainkan dicatat bagi mereka padanya sebagai amal saleh." Kata 'Illā' (kecuali) diikuti oleh penegasan bahwa setiap penderitaan yang disebutkan sebelumnya akan diubah (transmutasi) menjadi amal saleh yang sempurna.
Ayat ini mengajarkan prinsip teologis yang mendalam: kesulitan yang dihadapi demi Allah, yang secara naluriah bersifat negatif (haus, lapar), diubah statusnya menjadi positif di sisi Allah. Penderitaan fisik adalah keniscayaan dalam perjuangan, dan Allah memberikan kompensasi yang tak terbatas untuk setiap keniscayaan tersebut.
Dalam tafsir klasik, Imam Qurtubi menjelaskan bahwa janji pencatatan ini berlaku secara otomatis. Niat yang tulus di awal perjuangan menjadikan setiap langkah dan kesulitan yang tidak disengaja dalam perjalanan itu sebagai ibadah. Ini berbeda dengan ibadah ritual di mana seseorang harus berniat untuk shalat atau puasa; di sini, niat jihad (atau niat berbuat kebaikan secara umum) mencakup semua konsekuensi yang ditimbulkannya.
Mengapa dicatat sebagai amal saleh (perbuatan baik) dan bukan hanya sebagai 'ujian yang disabari'? Karena pengorbanan tersebut merupakan puncak dari keikhlasan. Kelelahan yang dihadapi seorang mujahid adalah bukti bahwa dia telah mengutamakan perintah Allah di atas kesenangan diri. Pencatatan ini memastikan bahwa derajat amal saleh tersebut adalah yang paling tinggi, yaitu amal yang mengandung unsur pengorbanan jiwa dan raga.
Ini adalah rahmat Allah yang luas, di mana Allah tidak hanya memberikan pahala untuk shalat atau sedekah yang diniatkan, tetapi juga untuk konsekuensi tak terhindarkan dari ketaatan. Bahkan jika seorang mujahid keluar dan tidak bertemu musuh sama sekali (seperti yang terjadi dalam Tabuk, di mana tidak ada pertempuran besar), setiap langkah dan kelelahan perjalanannya tetap dicatat sebagai amal saleh sempurna.
Ayat At-Taubah 120 memiliki implikasi besar dalam fikih dan teologi, terutama berkaitan dengan niat (niyyah) dan pengorbanan harta (infaq).
Ulama fiqh menekankan bahwa janji ganjaran ini terikat erat pada niat 'Fī Sabīlillāh' (di jalan Allah). Tanpa niat yang tulus untuk meninggikan agama Allah, kelelahan fisik hanya akan menjadi penderitaan duniawi biasa. Niat adalah kunci yang membuka pintu transmutasi penderitaan menjadi pahala.
Jika seseorang bepergian jauh dan mengalami kehausan dan kelelahan (naṣab), namun niatnya adalah untuk mencari kekayaan duniawi murni atau ketenaran, maka ayat ini tidak berlaku. Sebaliknya, jika seseorang bepergian untuk menuntut ilmu, berdakwah, atau mencari nafkah halal dengan niat menjaga kehormatan diri dari meminta-minta (yang merupakan bentuk jihad), ulama kontemporer cenderung melihat bahwa prinsip pencatatan pahala atas kesulitan ini berlaku secara umum, meskipun konteks ayat adalah jihad militer.
Ayat ini menetapkan prinsip fikih bahwa semakin besar kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan suatu kewajiban syariat, semakin besar pula pahala yang diperoleh. Ini mendorong umat Islam untuk tidak gentar menghadapi kesulitan dalam menaati Allah. Dalam ibadah lain, seperti wudu atau haji, kesulitan ekstra yang dihadapi karena kondisi cuaca atau sakit juga dihitung sebagai peningkatan pahala berdasarkan prinsip yang sama yang ditegaskan dalam At-Taubah 120.
Ayat ini sering dilanjutkan oleh ayat 121, yang secara eksplisit membahas pengeluaran harta:
وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ
"Dan tidaklah mereka mengeluarkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan tidak (pula) menyeberangi suatu lembah, melainkan dicatat bagi mereka..." (QS. At-Taubah: 121)
Keterkaitan antara ayat 120 dan 121 menunjukkan bahwa Allah menyetarakan pengorbanan fisik (haus, lapar, lelah) dengan pengorbanan materi (nafkah kecil maupun besar). Ini memberikan motivasi yang seimbang; baik mereka yang kaya dan dapat menyumbang logistik, maupun mereka yang miskin namun kuat secara fisik, sama-sama dijamin mendapatkan catatan amal saleh yang paripurna.
Ayat ini ditutup dengan penegasan, "إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ" (Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik - muhsinin). Penutup ini mengaitkan pengorbanan jihad yang ekstrem dengan konsep Ihsan, yaitu puncak kesempurnaan iman.
Muhsinin adalah mereka yang melakukan ibadah seolah-olah mereka melihat Allah, dan jika tidak dapat demikian, mereka yakin bahwa Allah melihat mereka. Dalam konteks perjuangan, seorang muhsin adalah orang yang menanggung kelelahan dan kelaparan dengan kesabaran maksimal, bukan karena paksaan, tetapi karena ia menyadari bahwa Allah sedang menyaksikan dan mencatat setiap penderitaannya.
Ini mengubah sudut pandang terhadap penderitaan. Penderitaan bukanlah hukuman atau kemalangan, tetapi sebuah peluang emas untuk mendapatkan predikat 'muhsin' dan ganjaran yang dijamin tidak akan pernah disia-siakan.
Kata 'Lā Yuḍī’u' (tidak menyia-nyiakan) mengandung janji kepastian. Hal ini menenangkan hati para pejuang yang mungkin merasa bahwa upaya mereka di gurun yang jauh atau pengeluaran harta mereka tidak terlihat atau kurang dihargai oleh manusia. Allah menegaskan bahwa tidak ada data yang hilang; setiap tetes keringat telah tercatat di 'Kitab Amal Salehakum'.
Prinsip ini memperkuat iman bahwa nilai sejati dari sebuah tindakan tidak ditentukan oleh pengakuan manusia atau keberhasilan duniawi yang instan, tetapi murni oleh timbangan ilahi berdasarkan niat dan tingkat pengorbanan yang dilakukan di dalamnya.
(Ilustrasi: Timbangan Keadilan dan Pencatatan Amal)
Meskipun ayat At-Taubah 120 secara historis dan kontekstual merujuk pada jihad militer, para ulama modern dan ahli tafsir kontemporer sepakat bahwa prinsip 'pencatatan pahala atas kesulitan di jalan Allah' berlaku umum untuk semua bentuk perjuangan (jihad) yang sahih dalam Islam. Jihad tidak terbatas pada peperangan fisik; ia mencakup jihad melawan hawa nafsu, jihad ilmu, jihad dakwah, dan jihad ekonomi.
Menuntut ilmu agama sering kali menuntut pengorbanan yang besar: meninggalkan keluarga, menahan kantuk saat belajar malam hari, menghadapi kesulitan finansial, dan berjalan jauh. Kelelahan (naṣab) dan kelaparan (makhmaṣah) yang dialami seorang penuntut ilmu yang ikhlas, dicatat sebagai amal saleh sebagaimana janji dalam ayat 120. Setiap langkah menuju majelis ilmu, setiap malam tanpa tidur demi menghafal, adalah bagian dari 'perjuangan di jalan Allah'.
Seorang dai atau aktivis sosial yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, menghadapi penolakan, cemoohan, atau bahkan ancaman, mengalami kelelahan mental dan fisik yang luar biasa. Kerugian finansial yang ditanggungnya demi kegiatan dakwah juga merupakan pengorbanan. Ayat 120 menjamin bahwa penderitaan emosional, kelelahan, dan kerugian materi ini dicatat sebagai amal saleh yang tidak akan disia-siakan.
Ayat ini juga mencakup aspek "menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir" (Yaghīẓu al-Kuffār). Dalam konteks dakwah, ini bisa berarti mempertahankan syiar Islam di ruang publik, mengeluarkan pernyataan yang tegas membela kebenaran, atau membangun institusi yang kuat yang membuat pihak anti-Islam merasa tertekan oleh keberhasilan umat Islam.
Bagi kepala rumah tangga yang bekerja keras di bawah terik matahari, menghadapi risiko, dan menanggung kelelahan (naṣab) demi memberikan nafkah halal bagi keluarganya, dengan niat utama menjaga kehormatan diri dan keluarganya dari kemaksiatan atau meminta-minta, ia berada dalam kategori 'Fi Sabīlillāh'. Kelelahan yang dialaminya, meski bersifat duniawi, diangkat nilainya menjadi ibadah karena dorongan niat yang benar.
Konsep universal ini membuat ayat 120 relevan bagi setiap Muslim yang berjuang dalam batas-batas syariat, mengubah setiap aspek kesulitan hidup—asalkan niatnya adalah ketaatan—menjadi pahala yang tak terhingga.
Sebagai sambungan logis dari Ayat 120, Ayat 121 (yang menekankan nafkah) memberikan penekanan khusus pada pentingnya pengeluaran harta, baik kecil maupun besar. Pemahaman mendalam tentang dua ayat ini menunjukkan kesempurnaan syariat dalam menghargai kedua bentuk pengorbanan: badan dan harta.
Ayat 121 menyebutkan 'nafkah kecil dan nafkah besar'. Ini menolak alasan apapun bagi seseorang untuk tidak berkontribusi. Orang kaya wajib memberikan nafkah besar, sementara orang miskin yang hanya mampu memberikan 'nafkah kecil' (satu biji kurma, satu dirham) akan tetap dicatat pahalanya. Ini menghapus diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi dalam hal pahala pengorbanan.
Frasa 'tidak pula menyeberangi suatu lembah' adalah metafora untuk menempuh perjalanan yang sulit, penuh rintangan, dan terpencil. Ini merujuk pada kesiapan fisik dan mental untuk menghadapi tantangan logistik. Bersama dengan ayat 120, ini menekankan bahwa bukan hanya kesusahan yang tidak terhindarkan (seperti haus), tetapi juga upaya aktif untuk mengatasi rintangan (melintasi lembah) yang dicatat sebagai amal saleh.
Kedua ayat ini menjadi payung bagi seluruh umat Islam yang berjuang: jika Anda tidak bisa memberikan harta, berikan tenaga dan kesabaran (Ayat 120). Jika Anda tidak bisa memberikan tenaga, berikan harta dan fasilitas (Ayat 121). Keduanya menghasilkan hasil akhir yang sama: amal saleh yang dicatat sempurna.
Inti filosofis dari Surah At-Taubah 120 adalah penanaman kesabaran (ṣabr) dan keyakinan (yaqin) yang teguh terhadap janji Allah. Mengapa Allah memberikan ganjaran yang begitu besar hanya untuk rasa haus atau lelah?
Kesusahan adalah filter terbesar bagi keikhlasan. Ketika seseorang berada dalam kondisi lapar atau kelelahan ekstrem, niatnya yang tersembunyi akan terungkap. Jika niatnya adalah demi Allah semata, dia akan bertahan. Jika niatnya adalah untuk pamer atau mencari keuntungan duniawi, dia akan mudah menyerah. Dengan menjanjikan pahala untuk setiap kesulitan, Allah memotivasi hamba-Nya untuk menahan diri, bukan karena takut hukuman, melainkan karena mengharapkan ganjaran yang pasti.
Kelelahan yang dipaksakan oleh keadaan adalah ibadah yang paling jujur, karena tidak ada ritual formal yang bisa memalsukannya. Ia adalah bukti fisik dari penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi.
Janji dalam ayat ini berfungsi untuk menguatkan mental para mujahid dan para pengemban dakwah. Mereka tahu bahwa setiap kesulitan adalah mata uang yang dapat dibelanjakan di akhirat. Ini menghilangkan keputusasaan dan memberikan perspektif baru terhadap penderitaan; ia mengubah penderitaan menjadi aset spiritual yang berharga.
Ayat ini mengajarkan bahwa medan perjuangan adalah arena investasi spiritual yang paling menguntungkan. Di saat dunia melihat kegagalan, kelelahan, dan kerugian, Allah melihat kesabaran, keikhlasan, dan keuntungan abadi.
Ayat 120 diawali dengan peringatan keras: "وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنفُسِهِمْ عَن نَّفْسِهِ" (dan tidak patut (pula) bagi mereka mencintai diri mereka sendiri melebihi Rasulullah). Peringatan ini adalah konteks moral terpenting dari ayat tersebut.
Jika Rasulullah SAW menanggung kesulitan, maka tidak pantas bagi seorang mukmin yang mengaku setia untuk memilih kenyamanan diri sendiri sementara Rasulullah berada dalam kesulitan. Ini adalah tolok ukur tertinggi dari kasih sayang dan ketaatan. Mencintai Rasulullah melebihi diri sendiri adalah syarat keimanan yang sempurna.
Dalam konteks Tabuk, para sahabat yang sejati, seperti Abu Bakar dan Umar, rela mengorbankan seluruh atau separuh harta mereka, dan mereka menanggung haus dan lapar bersama Nabi. Ayat ini memuji mereka dan mengutuk orang-orang munafik yang memilih tinggal di balik bayangan rumah yang nyaman, menunjukkan bahwa pengorbanan tidak terpisahkan dari cinta yang benar kepada Nabi SAW.
Kesusahan yang dialami Rasulullah SAW berfungsi sebagai teladan. Ketika para sahabat merasakan lapar, mereka tahu bahwa Nabi juga lapar. Ketika mereka lelah, mereka tahu Nabi lebih lelah. Kesadaran ini meredakan beban mereka dan memperkuat niat mereka. Oleh karena itu, berjuang bersama Nabi dan menanggung kesulitan yang sama adalah bagian dari kesempurnaan iman.
Surah At-Taubah ayat 120 adalah salah satu ayat paling inspiratif dalam Al-Qur'an yang menjamin bahwa tidak ada upaya yang sia-sia, dan tidak ada penderitaan yang tak berharga, selama ia dilakukan 'Fī Sabīlillāh'. Ayat ini mengajarkan kita untuk menyambut kesulitan dengan optimisme, mengubah rasa haus menjadi wudhu spiritual, dan mengubah kelelahan menjadi energi untuk meningkatkan derajat di sisi Allah.
Prinsip 'pencatatan sempurna' ini menjadi cahaya bagi umat Islam di setiap zaman. Baik itu perjuangan melawan godaan maksiat di tengah gempuran dunia modern (Jihad al-Nafs), atau perjuangan mempertahankan standar moralitas Islam di lingkungan yang menentang, setiap kesulitan, setiap pengeluaran, setiap langkah maju yang diambil dengan niat tulus akan menemukan tempatnya dalam catatan amal saleh yang tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah, Dzat Yang Maha Melihat, Maha Adil, dan Maha Memberi Balasan yang Terbaik bagi hamba-Nya yang berbuat Ihsan.
Sehingga, tugas utama seorang mukmin setelah memahami ayat ini adalah mengoreksi niatnya dalam menghadapi kesulitan hidup. Ketika sakit, ketika lelah bekerja, ketika menghadapi kerugian dalam dakwah, kita harus mengingat janji Allah: "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (muhsinin)." Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak untuk terus berkorban dan berjuang hingga akhir hayat.
Setiap rasa lapar dan haus yang diderita oleh mereka yang berjuang menuntut ilmu, setiap kelelahan yang membebani pundak para guru yang mengajar kebaikan tanpa pamrih, setiap langkah yang diambil oleh seorang ibu untuk membesarkan anak-anaknya di atas jalan tauhid, setiap kerugian finansial yang ditanggung demi menjaga integritas dan kejujuran dalam berbisnis—semuanya memiliki potensi untuk diangkat menjadi amal saleh yang sempurna, setara dengan pengorbanan di Tabuk, asalkan niatnya adalah untuk mencari keridaan Allah semata.
Memahami At-Taubah 120 berarti memahami bahwa Allah adalah sebaik-baiknya perencana dan sebaik-baiknya pemberi ganjaran. Ia melihat apa yang tidak terlihat oleh mata manusia, dan Ia menghargai apa yang sering diabaikan oleh dunia. Ayat ini adalah undangan untuk mengambil risiko, berkorban, dan menanggung kesulitan, karena setiap kesulitan yang diderita adalah gema dari panggilan ilahi yang akan dibalas dengan kebahagiaan abadi.
Pilar-pilar ini—kehausan, kelelahan, kelaparan, langkah yang membuat marah musuh, dan keberhasilan—adalah komponen dari perjalanan keimanan yang tidak pernah berhenti. Ayat ini adalah konfirmasi bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang memerlukan pengorbanan, tetapi pengorbanan tersebut bukanlah beban, melainkan pemuliaan derajat di hadapan Sang Pencipta.
Maka, bagi setiap Muslim yang merasa letih atau putus asa dalam perjuangannya, baik itu perjuangan melawan dosa pribadi atau perjuangan menegakkan kebenaran di tengah masyarakat yang apatis, ayat ini adalah pengingat bahwa setiap hela napas kesulitan sudah dicatat. Kelelahan kita adalah ibadah kita, dan kerugian kita di dunia adalah keuntungan kita yang pasti di akhirat. Inilah janji pasti bagi para *muhsinin*.
Nilai spiritual ini harus meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Di saat kita tergoda untuk memilih jalan yang mudah dan meninggalkan kewajiban, ingatlah bahwa kenyamanan sesaat dapat menghapus peluang mendapatkan ganjaran sempurna atas kesulitan. Sebaliknya, memilih jalan yang penuh tantangan, demi Allah, adalah memilih rute cepat menuju rida dan ampunan-Nya. Ini adalah pelajaran abadi dari At-Taubah 120.
Kesimpulannya, janji Allah dalam At-Taubah 120 adalah jaminan universal bagi semua pengorbanan di jalan kebaikan. Ia adalah fondasi motivasi bagi kaum beriman, memastikan bahwa di mata Allah, tidak ada penderitaan yang tidak bernilai. Semua dicatat, semua dibalas, dan semua diangkat derajatnya, menjadikannya tonggak utama dalam memahami sistem pahala dan keadilan ilahi.